Share

Chapter 1– Awal

Author: Alsaeida
last update Last Updated: 2022-12-28 01:29:40

[ Wina! Mama sudah hubungi kenalan Mama. ]

[ Awas saja kalau kamu nggak dateng! ]

Aku menghela napas panjang melihat pesan Mama. Entah kenapa dia begitu terobsesi menjadikan aku seorang aktris, sedangkan selama ini aku tidak pernah sekalipun menunjukkan ketertarikan.

Sejak tadi dia bahkan tak berhenti menerorku dengan pesan dan telepon, bahkan dia juga mengirimkan voice note dengan suara mengancam.

Meski demikian, aku berusaha menahan amarah. Sudah lama aku tak pulang ke rumah karena kuliah di Malangkaya. Jika aku bertengkar dengan mama, bisa-bisa kedua adikku akan kebingungan dan kena getahnya.

Segera, aku pun bersiap menuruti perintah mamaku dan bersiap. Namun, ketika kakiku baru saja menapaki tangga terakhir, sebuah suara menganggetkanku.

“Mau ke mana, Mbak?”

Arfa--adikku--terlihat kebingungan.

“Mbak mau pergi casting,” jawabku sambil melihat sekilas ponsel yang kembali berdering.

“Sama Mama, Mbak? Bukannya Mama sudah pergi sejak siang?”

Aku mengangguk pelan. “Iya, Mbak nyusul.”

Sekali lagi teleponku berbunyi. Masih dari Mama.

“Mbak pergi dulu. Kalau nanti mau titip sesuatu, chat Mbak saja.”

Adikku itu tampak mengangguk. Dia kemudian mengantarkanku sampai pintu depan--melambai dan menyemangatiku.

'Semoga, casting ini gagal,' batinku.

*****

Butuh satu jam untuk sampai ke kawasan Kedora dan saat tiba di gedung ruko berlantai tiga itu.

Namun, aku begitu terkejut begitu menemukan Mama sudah tidak berada di sana.

Panggilan teleponku tidak diangkat, pesanku juga tidak di read.

Tanganku mengapal kesal. Rasanya, aku ingin langsung pulang saja, tapi aku tidak ingin terlibat pertengkaran lagi.

Mungkin aku akan menunggu beberapa menit lagi? 

“Mbak, kamar mandi di mana ya?” tanyaku pada salah satu  wanita yang duduk meja resepsionis.

Setidaknya, bila menunggu di sana, aku tidak perlu terlalu canggung. Terlebih, aku juga ingin buang air kecil.

Namun, respsionis itu tidak menjawabku. Lama, wanita itu menatapku--membuatku risih.

Kesal, aku pun balas menatapnya, hingga membuat dia terkejut.

“Di lantai atas, Mbak.”

"Terima kasih," ucapku cepat sambil berlalu

Masih saja kucoba menghubungi Mama sembari berjalan.  Namun saat di lantai dua, aku tidak menemukan tulisan toilet atau ikon bergambar Women dan Men yang sering tertempel di pintu.

Kantung kemihku sudah sesak, hingga aku memutuskan membuka pintu di samping tangga.

Mengikuti insting, biasanya kamar mandi sering berada di sana.

Namun, langkahku seketika terhenti begitu beberapa pasang mata yang tadi terlihat serius dengan percakapan mereka, kini melihat ke arahku. Bahkan, aku dapat melihat di antara mereka, ada Jevin--artis yang sedak naik daun--menatapku. Bila Arfa melihatnya, anak itu pasti terkejut. Akhir-akhir ini, dia terus memutar lagu yang dinyanyikan Jevin sampai aku pun hafal liriknya.

“Ma-maaf!” ujarku pelan.

Mereka masih saja menatapku, hingga seorang wanita berkacamata di samping Jevin berbicara, “Cari siapa Mbak?”

“Kamar mandi di mana, ya? Katanya ada di lantai dua,” ucapku pelan karena merasa sedikit malu.

“Di ruangan yang paling ujung.” Masih wanita berkacamata itu yang berbicara.

Aku pun mengangguk dan menunduk sopan. “Terima kasih dan maaf mengganggu.” 

Setelahnya, aku berjalan sedikit tergesa-gesa dan menuju ruangan yang dimaksud wanita berkacamata tadi.

Aku pun menghembuskan napas lega ketika ruangan itu memang benar kamar mandi--sampai suara wanita dewasa mengaggetkanku.

“Kamu Awina, kan? Anak Dariah?”

“Iya Tan,” jawabku dengan tersenyum ramah sambil menghidupkan kran air wastafel.

“Ini Tante Claudia, kamu masih ingat, kan?”

Aku memberikan senyum ramah. Otakku berusaha mengingat wanita seksi itu.

“Dulu waktu kami usia kisaran tiga belasan, tante sering main ke rumahmu.”

“Oh iya Tan, aku ingat,” kataku setelah bayangan beberapa tahun silam menunjukkan wajahnya.

Tapi seingatku lagi, hubungan antara Mama dan Tante Claudia sedang tidak baik. Aku pernah mendengar Mama memaki-makinya saat bertelepon.

Dia juga sudah tidak pernah ke rumah lagi sekarang. Tapi, mungkin dia tahu di mana Mama berada?

“Tante tahu Mama ada di mana sekarang? Sejak tadi aku menelponnya, tapi nggak diangkat,” tanyaku pada akhirnya.

Entah mengapa, wanita itu tiba-tiba tersenyum lebar--membuatku merinding. “Tadi Dariah memang di sini, tapi sekarang dia sudah pergi---”

Drrt!

Tiba-tiba ponsel yang Tante Claudia letakkan di atas keramik wastafel bergetar. Dia terlihat fokus dengan ponsel itu, sebelum akhirnya kembali menatapku.

“Tadi, sebelum Dariah pergi, dia berpesan kepada Tante untuk membawamu ke tempatnya. Dia menunggu di sana sekarang.”

“Memang Mama sedang di mana, Tan?” tanyaku bingung.

“Dia nunggu kita di Kafe Kemang,” Tante Claudia menjawab seraya berkutat mengetik di layar ponselnya.

“Kita berangkat sekarang, yuk,” ajak Tante Claudia, dia menatap cermin sebentar, memperhatikan penampilannya sebelum bergerak menuju pintu dan aku mengikutinya.

Tidak banyak yang kami perbincangkan di dalam mobil, hanya basa-basi sekadar menanyakan kabar.

Dan wajahku tidak bisa menyembunyikan raut kebingungan ketika mobil ini membelok memasuki area parkir sebuah hotel. Bukankah, seharusnya di kafe?

“Kok kita ke sini, Tan? Bukannya kata Tante kalau Mama menunggu di Kafe Kemang?” protesku.

“Dariah baru saja chat, meminta kita menunggu di hotel ini saja, nanti dia menyusul kok.”

Meski bingung, aku akhirnya membuka pintu mobil dan menyusul Tante Claudia yang sudah keluar duluan.

Dengan cepat, aku menyejajarkan langkah kami. “Memang Mama ada urusan apa sih, Tan? Kok dia balas chat Tante, tetapi nggak chat-ku?” 

“Mungkin dia nggak sempat karena sekarang dia ada interview sama reporter.”

Aku pun mengangguk. Ragu, kuikuti langkah Tante Claudia menuju meja resepsionis. Aku juga memperhatikan interior hotel di sini dengan kagum.

Tampak jelas kalau hotel Chancellor ini merupakan hotel bintang lima. Beberapa pengunjung yang berlalu lalang dengan penampilan luxury mereka, semakin menunjukkan kalau hotel ini memang bukan hotel kaleng-kaleng.

“Kita nunggu di atas saja,” kata Tante Claudia yang tanpa menunggu persetujuan dariku, dia lantas menuju lift.

Sekali lagi aku berdecak kagum. Kamar yang baru saja dimasuki ini didominasi warna emas dan dilengkapi dengan furnitur premium. Bahkan panorama yang disajikan juga spektakuler, menampilkan seluruh hamparan kota. Siapapun yang melihatnya pasti akan langsung menyukainya.

“Kamu tunggu disini sebentar, Tante mau bertemu seseorang di bawah.”

Aku hanya membalas dengan anggukan.

Terus saja, aku mengagumi kamar hotel ini hingga tidak sadar kapan Tante Claudia sudah keluar.

Sudah satu jam berlalu, tapi Tante Claudia belum kembali. Mama juga masih belum mengangkat teleponku, bahkan chat-ku juga belum dibalas. Langit yang terlihat dari jendela kamar sudah berubah gelap. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan jam delapan lewat lima belas menit.

Brak!

Tubuhku refleks berdiri ketika melihat pintu yang terbuka. Tapi sosok laki-laki beralis tebal yang muncul di balik pintu membuat dahiku mengernyit.

“Jevin?” lirihku.

Namun, pria itu tak menjawab. Dia justru berjalan tanpa ragu hingga duduk di salah satu sofa yang tidak terlalu jauh dari tempatku berdiri.

Matanya memindai tubuhku dari atas hingga ke bawah--hingga tanpa sadar membuatku mencengkram bantal di sampingku.

“Benar kalau kamu masih virgin?” ejeknya tiba-tiba.

Sontak bola mataku membelalak. Pertanyaan yang sedikit tak pantas untuk ditanyakan seorang laki-laki ke perempuan, apalagi bagi mereka yang tidak saling mengenal.

Bukankah seorang publik figur yang seharusnya bisa menjaga omongan? 

'Ah, aku lupa kalau Mamaku juga tidak bisa menjaga mulutnya,' batinku.

Aku pun menoleh pada Jevin. Pria itu hanya diam saja memandangiku. Aku pun berniat keluar dari ruangan itu, sampai ucapannya mengaggetkanku.

“Kamu anak kandungnya Dariah Angelica, si artis kontroversial itu?”

Kini, dia bahkan menunjukkan smirk mengejek sambil mendekatiku. “Aku nggak yakin kalau masih virgin. Tapi, tidak ada salahnya mencoba. Bila ternyata kamu tidak virgin, aku bisa minta ganti rugi seperti perkataannya.”

"A--apa?"

Alsaeida

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA. @Alsaeida0808

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 14 – Festival Kampus

    “Win, malam besok kamu nggak ada shift, kan?” tanya Yofi sambil meletakkan nampan di atas meja di samping counter dapur. “Pergi ke festival kampus yuk, katanya mereka banyak mengundang penyanyi-penyanyi terkenal.”“Nama penyanyinya siapa saja?”“Ada Fathika Azzira, Band Shelila, dan Bagas Pamungkas.”“Mereka nggak ngundang Jevin? Padahal Mbak berharap mereka bisa mengundang Jevin,” tiba-tiba Mbak Yani datang menimpali. “Kalau kata temanku yang panitia, mereka memang berniat untuk mengundang Jevin, tetapi Jevin menolaknya karena kesibukan jadwal. Makanya kemudian mereka memilih mengundang Bagas Pamungkas,” jelas Yofi. “Mbak benar-benar berharap suatu hari bisa bertemu Jevin secara langsung,” tukas Mbak Yani dengan tatapan mendamba. “Selain wajah ganteng, dia juga terkenal baik. Tidak pernah terdengar berita buruk tentang sikap Jevin,” tambahnya. “Aku bukan penggemarnya, tetapi aku cukup suka dengan lagu-lagunya,” sambung Yofi. “Kamu penggemar Jevin juga, Win?”“Nggak,” balasku sambil

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 13 – Rasa Bersalah

    “Kamu tunggu sebentar di sini, Mbak mau tebus obat dulu,” kata Mbak Yani yang menuntunku ke kursi tunggu. Meskipun kata sang bidan bahwa aku sudah bisa pulang dan kondisiku sudah baik-baik saja, dia tetap memberikan beberapa resep obat. Sebagai antisipasi saja, katanya. Aku terburu-buru membuka membuka tote bag, mengambil dompet hitam dan menyodorkannya. “Mbak, bawa ini.” “Nggak usah, pakai uang Mbak saja,” tolak Mbak Yani. “Tapi Mbak…,” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Mbak Yani sudah berjalan menjauh. Satu masalah telah selesai. Aku merasa lega. Tapi entah kenapa, selain rasa lapang itu, ternyata ada rasa lain, sedikit rasa bersalah yang tiba-tiba hadir. Padahal tak sepantasnya aku merasakannya. Tiba-tiba aku kepikiran, bagaimanakah bentuknya? Apakah bentuknya segumpal darah seperti artikel yang aku baca, atau bentuk lain? Dan dimanakah para perawat itu menguburkannya? Atau dia tidak dikubur, justru dibuang? “Yuk Win kita pulang,” ajak Mbak Yani yang memegang lenganku

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 12 – Maafkan Aku

    “Mbak,” panggilku sambil mengetuk pintu kamar Mbak Yani. Terdengar suara kaki mendekat sebelum pintu bercat coklat itu terbuka. “Masuk Win,” ucapnya. Kakiku bergerak melewati pintu, kemudian duduk di atas karpet merah yang terletak di tengah-tengah kamar. “Kalau mau makan snack, ambil saja ya Win,” sambungnya sambil wajahnya mengarah ke rak keranjang di dekat pintu yang terdapat berbagai jenis makanan ringan. “Aku sudah mendapatkan uangnya, Mbak,” jelasku to the point. “Berarti kamu tetap memutuskan untuk mengaborsikannya?” Aku mengangguk tanpa ragu. “Besok kamu selesai kuliah jam berapa?” “Hanya ada satu mata kuliah Mbak, di pagi hari.” “Baiklah, besok sore kita berangkat dan kamu minta ganti shift saja dengan karyawan lain.” “Iya Mbak, nanti aku minta tolong Karla untuk menggantikanku.” Mbak Yani sedikit menghembuskan nafas kasar. “Tapi kamu sudah memikirkan matang-matang, kan? Kamu sudah tahu kemungkinan resiko yang akan kamu alami meskipun klinik itu mengatakan aman? Mu

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 11 – Tidak Ada Pilihan

    Mataku menatap lekat ke bola mata Mbak Yani, mencari kebohongan di sana. “Mbak akan membantuku?” kataku meyakinkan, takut telinga ini salah menangkap dan Mbak Yani mengangguk tegas. “Tapi kenapa?” tanyaku, masih belum percaya, bagaimanapun aborsi merupakan suatu kejahatan terhadap nyawa seseorang. Mbak Yani sekali lagi memeluk dan mengusap-usap punggungku. “Kalau alasanmu karena suka sama suka, mungkin Mbak nggak akan memperdulikan. Tetapi kondisimu berbeda. Mbak tidak bisa menutup mata begitu saja, apalagi Mbak juga memiliki adik seusiamu, meskipun kami sudah tidak bertemu sejak orang tua kami bercerai. Setiap Mbak melihatmu, Mbak selalu teringat dengannya.” Air mata yang sedikit terhenti, kini kembali mengalir, merasa terharu sekaligus sedikit lega. “Terima Mbak. Terima kasih banyak,” ucapku. 0__ “Win, sudah tidur?” suara dari balik pintu kamar terdengar berbarengan dengan suara ketukan. Aku yang sedang berbaring sambil termenung memandang langit-langit kamar, langsung bangun d

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 10 – Empat Mata

    Kelopak mataku perlahan-lahan terbuka, samar-samar terlihat langit-langit berwarna putih. Kepala ini masih sedikit berdenyut dan badanku masih terasa lemas. Dari balik tirai putih yang mengelilingiku, sayup-sayup aku mendengar beberapa suara yang saling bercakap dan salah satunya cukup familiar. “Apakah aku di rumah sakit,” gumamku sambil berusaha bangun, hendak bersandar di kepala kasur. Tirai tiba-tiba terbuka dan menampakkan Mbak Yani yang memasang wajah khawatir. Dia berjalan mendekat sambil berucap, “Bagaimana kondisimu sekarang?” “Masih sedikit pusing dan lemas Mbak,” jawabku dengan memperbaiki posisi dudukku agar lebih nyaman. “Tapi kenapa aku bisa ada di sini Mbak?” “Kamu pingsan di kafe dan Mbak membawamu ke klinik ini.” Siluet kejadian beberapa jam lalu terlintas di benakku, aku tidak ingat apa-apa kecuali mataku yang tiba-tiba berkunang, sebelum akhirnya gelap datang. Aku terhenyak dan kemudian memandang Mbak Yani dengan tatapan was-was. Apa mungkin Mbak Yani sudah tahu

  • Putri sang Artis Kontroversial   Chapter 9 – Gejala

    "Mau pesan apa, Win?" tanya Gladis sembari meletakkan tas di atas meja."Mie ayam," jawabku tanpa melihat daftar menu yang tertempel di dinding, persis di tempat dudukku sekarang. Sejak pagi tadi, aku memang ingin makan olahan mie yang dicampur dengan daging ayam semur kecap tersebut. Alhasil setelah materi kuliah siang ini berakhir, aku langsung mengajak Gladis menuju gerobak Pak Mamat. "Sama jus jeruk," sambungku."Tumben pesan mie ayam, biasanya bakso?""Lagi pengen aja," jawabku.Gladis mengangguk paham dan beranjak mendekati gerobak. Sementara aku mulai membuka ponselku dan membuka DM Inst4gr4m, ternyata masih belum dibaca. Setelah berpikir semalaman, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti salah satu saran Yofi, mencoba meminta pertanggungjawaban Jevin meskipun jauh di lubuk hatiku, aku yakin dia pasti menolaknya. Dia pasti tidak akan mau merusak masa depan karirnya hanya karena kehadiran anak ini. Jevin mungkin akan berpikiran sama, akan menggugurkannya, tapi setidaknya aku tida

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status