Share

Chapter 2 – Mimpi Buruk

“A-Apa maksudmu?” lontarku, memastikan telingaku tidak salah dengar.

Jevin terkekeh kecil. “Jangan berpura-pura polos.”

“Seperti kamu salah orang,” kataku sebelum terburu-buru membalikkan badan, ingin segera pergi dari kamar ini. Tapi belum sempat satu langkah kakiku bergerak, lenganku ditarik. Kedua lengan Jevin memerangkap tubuhku. “Lepaskan! Lepaskan aku!” teriakku sambil meronta-ronta. Alarm bahaya di kepalaku berbunyi.

Jevin menyeringai mengejek, tampak menikmati reaksi yang aku berikan. Dia mendorongku ke belakang hingga tubuhku menabrak dinding. Dirampasnya kedua pergelangan tanganku dan menggantungkannya di atas kepala. Paha sebelah kirinya diselipkan diantara kedua pahaku. Sementara tangan kanannya memegang daguku dengan kasar. Dan pupil mataku membesar ketika bibir Jevin menyatu dengan bibirku. Aku berusaha menghindar, menggelengkan-gelengkan kepalaku, tetapi Jevin semakin kuat memegang daguku.

Shit! Bibirmu benar-benar lembut,” ujar Jevin di sela-sela mengambil napas.

Aku terus berusaha melepaskan diri dan semakin kuat juga cengkeraman Jevin. Air mataku yang tadi menggenang, kini mengalir di kedua pipi tatkala cumbuannya beralih ke leherku.

Shit!” Jevin mengumpat. Matanya tidak lepas menatapku dengan kabut bergairah. Kemudian dia menyeretku memasuki ruangan di sebelah, melemparku ke atas kasur, dan memenjarakan tubuhku diantara kedua pahanya.

“Aku akan melaporkanmu perbuatanmu ini ke polisi,” bentakku dengan suara bergetar.

Jevin tertawa mengolok-olok. Saat itulah aku menendangnya hingga dia terjatuh dari atas tubuhku dan merintih di lantai. Aku segera berdiri, berlari sekuat tenaga menuju pintu, sambil mengambil ponselku, berharap seseorang bisa menolongku. Tapi sepertinya dewi fortuna sedang tidak berada di pihakku. Belum sempat menyentuh gagang pintu, Jevin sudah menangkap dan memanggul tubuhku.

Tanganku memukul-mukul punggungnya, sambil memaki-maki dengan kata-kata yang tidak pernah aku lontarkan sebelumnya, berharap tubuhku bisa terlepas. Dia menjatuhkan tubuhku dengan kasar di atas kasur. Aku berusaha menelepon Mama, tapi Jevin dengan cepat mengambilnya dan membuang ke lantai.

“Seperti kamu suka bermain kasar,” kata Jevin yang terdengar menyeramkan di telingaku.

Jevin tiba-tiba merobek kemeja maroon kotak-kotakku dan aku kontan berteriak histeris.

Air mataku semakin mengalir deras ketika jemari-jemarinya menyentuh agresif kulitku. Dan aku menatap miris ponselku yang sekarang menampakkan nama Mama di layar.

0_<

Mataku terbelalak tiba-tiba dan tubuhku langsung terbangun. Deru nafasku memburu kasar, seolah baru selesai lari sprint puluhan kilometer. Mimpi yang mengerikan, benar-benar sangat mengerikan.

Mataku semakin terbuka lebar-lebar melihat ornamen dan furniture di depanku. Ini jelas bukan kamarku. Kamarku tak semewah dan semegah ini. Takut-takut aku menoleh ke kiri, memastikan apakah kejadian beberapa jam lalu bukanlah mimpi belaka. Leherku bak tercekik mendapati sosok yang sedang tertidur tertelungkup. Lantas aku segera menarik selimut, menutupi tubuh bagian atasku yang ternyata tanpa selesai benangpun. Air mataku perlahan menggenang, sebelum akhirnya mengalir ketika rasa sakit menyerang tubuh bagian bawahku.

Kasur disampingku sedikit bergerak. Aku spontan mengatup mulutku, membungkam suara isak tangis yang keluar. Jevin mengubah posisi tidur yang tadi menghadap ke kanan, kini menghadap ke arahku. Wajah tidurnya terlihat damai.

Jam berapa sekarang? Aku membatin dalam hati sambil bergerak menjauh dari posisi Jevin. Tubuh ini bak luluh lantak, bahkan tadi Jevin tidak segan untuk main tangan.

“Mau ke mana?” suara serak dan rangkulan di pinggangku, membuat tubuhku menegang.

“Le-lepaskan aku!” Aku berusaha melepaskan lengan Jevin, tapi dia semakin mengencangkannya.

Jevin menarik pergelanganku hingga tubuhku terbaring di kasur dan dia langsung memerangkapku dengan tubuh berototnya.

“LEPASKAN AKU! BIARKAN AKU PERGI!” teriakku lantang, cairan bening sudah meleleh di pipiku.

Jevin menyeringai, “Aku membayarmu cukup mahal dan aku masih belum puas, tidak mungkin aku melepaskanmu sekarang.”

“TIDAK! TIDAK! AKU TIDAK MAU!” pekikku keras.

Jevin tidak mengindahkan. Dia mendekatkan wajahnya, menyatukan bibir kami. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, berusaha menghindar. Jevin memegang daguku agar tidak bergerak. Cumbuannya memang tidak sekasar tadi, tapi aku tetap tidak menyukainya. Aku selalu berandai-andai akan melakukannya dengan orang yang kucintai, bukan secara paksaan seperti ini.

Kejadian mengerikan itu kembali terulang, dengan suara isakan yang mendominasi.

0_<

Kakiku bertatih-tatih mendekati celana dalam dan bra yang dilempar serampangan.

Sementara Jevin sedang duduk santai di tempat tidur sambil menghisap rokok. Sekali-kali suara rintihan keluar dari mulutku, kain celana dalam bergesekan dengan area sensitifku. Aku tidak tahu sampai jam berapa Jevin menyentuhku. Aku sudah tak sadarkan diri ketika matahari malu-malu menunjukkan cahayanya.

Tubuhku refleks menegang ketika punggungku merasa seseorang sedang mendekat. Jevin merangkul tubuhku dan meletakkan dagunya di bahuku. “Tinggallah beberapa jam lagi, aku akan membayarmu lebih.” Jevin memberikan gigitan kecil di leherku.

“LEPAS!” kataku setengah berteriak.

Aku berjalan tergesa mengambil celana jeansku yang tergeletak di atas bufet. Kemudian kepalaku celingak-celinguk mencari kemejaku.

Air mataku hendak menetes ketika menatap kemeja kotak itu sudah terkoyak mengenaskan dan tak bisa dipakai lagi.

“A-aku pinjam hoodie-mu,” lirihku pelan.

Tanpa menunggu persetujuan Jevin, aku langsung memakai hoodie hitamnya dan segera berjalan mendekati pintu kamar.

Aku harus keluar dari ruangan ini bagaimanapun caranya. Dan mungkin kali ini Tuhan mendengarkan doaku.

Jevin tidak mencegatku seperti tadi malam. Taksi juga tepat berhenti di depanku sehingga aku tidak perlu menunggu terlalu lama.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, butir bening ini tidak berhenti untuk mengalir. Bahkan, pak sopir melirik dari rear view mirror di depannya.

Mungkin, dia keheranan dengan kondisiku.

“Mbak dari mana saja, kok tadi malam nggak pulang?” tanya Arfa dengan wajah khawatir.

“Malam tadi Mbak nginap di rumah teman Mbak. Maaf ya karena Mbak nggak ngasih kabar,” jawaku dengan senormal mungkin, tidak ingin membuat Arfa curiga.

“Mbak ke kamar dulu,” sambungku saat melihat Arfa mau melontarkan pertanyaan. Aku berjalan cepat menaiki tangga dan menuju kamarku.

Aku ingin mandi, ingin menghilang jejak-jejak Jevin yang melekat.

Aku menatap miris melihat penampilanku di cermin, dengan kissmark yang bersebaran hampir di seluruh tubuh. 

Kuusap kasar air mata yang jatuh di kedua pipiku.

Cukup! Aku tidak ingin menangis lagi. Anggap kalau semua kejadian mengerikan malam tadi hanyalah mimpi buruk belaka.

Setelah mandi hampir satu jam, karena berusaha menghapus jejak-jejak yang ditinggalkan Jevin, aku keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang sedikit baik.

Baru saja selesai berpakaian, tiba-tiba pintu kamarku dibuka kasar.

Mama datang dengan tatapan marah.

Plak

“Wina! Mengapa kamu nggak ikut casting kemarin? Mama sudah bersusah payah melobi produsernya.” 

0_<

Alsaeida

TERIMA KASIH TELAH MEMBACA. @Alsaeida0808

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status