Semoga suka dengan karya-karyaku dan nanti terus kelanjutannya. Terima kasih.
“Mbak,” panggilku sambil mengetuk pintu kamar Mbak Yani. Terdengar suara kaki mendekat sebelum pintu bercat coklat itu terbuka. “Masuk Win,” ucapnya. Kakiku bergerak melewati pintu, kemudian duduk di atas karpet merah yang terletak di tengah-tengah kamar. “Kalau mau makan snack, ambil saja ya Win,” sambungnya sambil wajahnya mengarah ke rak keranjang di dekat pintu yang terdapat berbagai jenis makanan ringan. “Aku sudah mendapatkan uangnya, Mbak,” jelasku to the point. “Berarti kamu tetap memutuskan untuk mengaborsikannya?” Aku mengangguk tanpa ragu. “Besok kamu selesai kuliah jam berapa?” “Hanya ada satu mata kuliah Mbak, di pagi hari.” “Baiklah, besok sore kita berangkat dan kamu minta ganti shift saja dengan karyawan lain.” “Iya Mbak, nanti aku minta tolong Karla untuk menggantikanku.” Mbak Yani sedikit menghembuskan nafas kasar. “Tapi kamu sudah memikirkan matang-matang, kan? Kamu sudah tahu kemungkinan resiko yang akan kamu alami meskipun klinik itu mengatakan aman? Mu
“Kamu tunggu sebentar di sini, Mbak mau tebus obat dulu,” kata Mbak Yani yang menuntunku ke kursi tunggu. Meskipun kata sang bidan bahwa aku sudah bisa pulang dan kondisiku sudah baik-baik saja, dia tetap memberikan beberapa resep obat. Sebagai antisipasi saja, katanya. Aku terburu-buru membuka membuka tote bag, mengambil dompet hitam dan menyodorkannya. “Mbak, bawa ini.” “Nggak usah, pakai uang Mbak saja,” tolak Mbak Yani. “Tapi Mbak…,” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Mbak Yani sudah berjalan menjauh. Satu masalah telah selesai. Aku merasa lega. Tapi entah kenapa, selain rasa lapang itu, ternyata ada rasa lain, sedikit rasa bersalah yang tiba-tiba hadir. Padahal tak sepantasnya aku merasakannya. Tiba-tiba aku kepikiran, bagaimanakah bentuknya? Apakah bentuknya segumpal darah seperti artikel yang aku baca, atau bentuk lain? Dan dimanakah para perawat itu menguburkannya? Atau dia tidak dikubur, justru dibuang? “Yuk Win kita pulang,” ajak Mbak Yani yang memegang lenganku
“Lihat deh, Dariah Angelica berulah lagi. Sepertinya, dia tidak bisa hidup kalau tidak membuat kontroversi dan sensasi.”Deg! Mendengar nama ibuku disebut, aku refleks memandang ke sumber suara. Di sana, terlihat dua perempuan yang duduk berhadap-hadapan dan terus mengomentari Dariah Angelica. Ibuku memang seorang artis yang terkenal bukan karena prestasinya, tetapi karena suka ikut campur dengan masalah orang lain. Bahkan, dia juga pernah masuk penjara lantaran menganiaya artis lain. Beruntungnya, selama hampir empat tahun berkuliah di Universitas Sunway ini, tidak banyak yang tahu kalau wanita itu adalah ibu kandungku. Dengan demikian, aku bisa menjalani masa studi dengan sedikit tenang, tanpa harus di-judge kalau buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Aku pun berjalan mendekati pagar pembatas taman, tetapi darahku seketika mendidih ketika melihat papan reklame yang terletak di depan kampus. "Jevin ...."Brand ambassador di iklan tersebut--tersenyum dengan visual malaikatnya. Na
[ Wina! Mama sudah hubungi kenalan Mama. ] [ Awas saja kalau kamu nggak dateng! ] Aku menghela napas panjang melihat pesan Mama. Entah kenapa dia begitu terobsesi menjadikan aku seorang aktris, sedangkan selama ini aku tidak pernah sekalipun menunjukkan ketertarikan. Sejak tadi dia bahkan tak berhenti menerorku dengan pesan dan telepon, bahkan dia juga mengirimkan voice note dengan suara mengancam.Meski demikian, aku berusaha menahan amarah. Sudah lama aku tak pulang ke rumah karena kuliah di Malangkaya. Jika aku bertengkar dengan mama, bisa-bisa kedua adikku akan kebingungan dan kena getahnya.Segera, aku pun bersiap menuruti perintah mamaku dan bersiap. Namun, ketika kakiku baru saja menapaki tangga terakhir, sebuah suara menganggetkanku. “Mau ke mana, Mbak?” Arfa--adikku--terlihat kebingungan. “Mbak mau pergi casting,” jawabku sambil melihat sekilas ponsel yang kembali berdering. “Sama Mama, Mbak? Bukannya Mama sudah pergi sejak siang?” Aku mengangguk pelan. “Iya, Mbak nyu
“A-Apa maksudmu?” lontarku, memastikan telingaku tidak salah dengar. Jevin terkekeh kecil. “Jangan berpura-pura polos.” “Seperti kamu salah orang,” kataku sebelum terburu-buru membalikkan badan, ingin segera pergi dari kamar ini. Tapi belum sempat satu langkah kakiku bergerak, lenganku ditarik. Kedua lengan Jevin memerangkap tubuhku. “Lepaskan! Lepaskan aku!” teriakku sambil meronta-ronta. Alarm bahaya di kepalaku berbunyi. Jevin menyeringai mengejek, tampak menikmati reaksi yang aku berikan. Dia mendorongku ke belakang hingga tubuhku menabrak dinding. Dirampasnya kedua pergelangan tanganku dan menggantungkannya di atas kepala. Paha sebelah kirinya diselipkan diantara kedua pahaku. Sementara tangan kanannya memegang daguku dengan kasar. Dan pupil mataku membesar ketika bibir Jevin menyatu dengan bibirku. Aku berusaha menghindar, menggelengkan-gelengkan kepalaku, tetapi Jevin semakin kuat memegang daguku. “Shit! Bibirmu benar-benar lembut,” ujar Jevin di sela-sela mengambil napas.
“Kamu membuat Mama malu. Kamu membuat Om Ferdy marah ke Mama,” Mama berucap ketus. Aku memandang Mama dengan tajam. “Seharusnya aku yang marah,” ucapku setengah berteriak. “Aku mengalami hal mengerikan tadi malam,” sambungku yang sekarang dengan suara bergetar. Mataku juga sedikit berkaca-kaca. Mama mencibir, “Jangan banyak alasan.” “Banyak alasan?” Aku menatap tak percaya. “Sudahlah, jangan mencari-cari alasan. Pokoknya besok kamu harus pergi ke tempat Om Ferdy. Dia memberikanmu satu kesempatan lagi.” Tanpa menunggu reaksiku, Mama berbalik dan meninggalkan kamarku. Seketika air mataku pecah. Tubuhku terduduk lemas di atas kasur. Tidakkah Mama melihat kondisiku sekarang, dengan bibir bengkak dan memar di pergelanganku? Tidakkah dia sedikit prihatin denganku? Atau setidaknya, bisakah dia sedikit menunjukkan rasa bersalahnya saja? Kenapa dia berpura-pura tidak terjadi apa-apa seperti itu? Ah, seandainya saja aku tidak lahir di Rahim Mama, apakah aku tidak akan mengalami kejadian me
“Setahun lalu Mbak ke Kelantan dan menginap di samping rumahmu. Makanya Mbak tahu kalau Dariah Angelica adalah Mamamu,” ungkap Mbak Yani sebelum mengunyah potongan chicken katsunya. “Ehm… Kata teman-teman kosan, Mbak punya kafe sendiri, ya?” kataku mengubah topik, berharap Mbak Yani tak tertarik membahas tentang sosok bernama Dariah Angelica itu. “Bukan milik Mbak, tapi Mbak hanya mengelolanya saja. Namanya Spectra Cafe. “Aku pernah ke sana Mbak. Tempatnya nyaman dan luas. Makanannya juga enak,” pujiku antusias, bukan semata-mata karena menghargai Mbak Yani ataupun supaya dia tidak teringat dengan siapa mamaku, tetapi memang begitulah keadaannya. Malahan Spectra Cafe menjadi salah satu list yang akan didatangi jika Arfa dan Alby datang ke Malangkaya nanti. “Terima kasih. Mbak senang mendengarnya.” Senyum Mbak Rani tersungging. “Sebentar lagi cabang kedua juga akan dibuka.” “Ada buka lowongan kerja, Mbak?” tanyaku memastikan. Uangku sudah menipis. Mbak Rani mengangguk. “Ada. Tap
"A--ah, iya."“Yofi Mahendra, tapi panggil aja Yofi.” Dia semakin mengulurkan tangannya ke depan. Aku menghela nafas pelan. Aku seharusnya tidak menunjukkan sikap defensif seperti ini. Sekarang aku sedang tidak sendirian. Yofi tidak mungkin bertindak macam-macam. Mungkin tidak semua laki-laki juga memiliki sikap seperti Jevin. “Awina,” balasku sambil menyambut uluran tangannya. “Kuliah di mana?” “Di USUN, Universitas Sunway.” “Kami juga di USUN,” timpal Karla dengan sumringah. “Aku di Fakultas Ekonomi,” sahutku, yang semula ingin membatasi diri, tiba-tiba menjadi gembira karena ternyata kami satu almamater. Dan sepanjang menunggu waktu wawancara, kami banyak bercerita, kebanyakan membahas kegiatan kampus. Aku juga sudah tidak bersikap canggung dengan Yofi. Siapa sangka beberapa hari kemudian, kami kembali bertemu di Spectra Cafe. Kami sama-sama diterima sebagai waitress di sini. “Meja nomor lima, Win,” kata Mang Abram, salah satu koki di sana. “Sip Mang,” jawabku sambil mengan