"Pergi dari sini! Bawa anakmu yang sakit-sakitan itu!"
Suara Sri, wanita yang disebut Melati sebagai ibu mertua, menggelegar bak petir.
Bergema dari sudut demi sudut ruangan.
"Susah payah aku membesarkan Agung sendirian, bukan untuk menikahi perempuan sepertimu. Sudah miskin, tak berpendidikan, cuih .... "
Ibu mertua yang dihormatinya selama ini, membuang ludah tepat di hadapan Mela, begitu ia biasa dipanggil.
"Ya Allah, Bu. Apa salahku? Aku menikah dengan Mas Agung karena kami saling mencintai. Aku juga tidak pernah memaksa anak ibu untuk menikahku."
Bayi dalam gendongannya menangis kencang, mendengar suara seseorang yang harusnya dipanggil nenek.
Tetapi sikap Sri kepada Aruna bukan sikap seharusnya nenek kepada cucu, apalagi kepada Mela, menantunya.
"Ha ... ha ... ha. Cinta kau bilang?!"
Tawa itu terdengar seperti ejekan.
"Tahu apa kau soal cinta? Apa bisa kau makan pakai cinta? Yang ada uang anakku, kau habiskan."
Kini telunjuk wanita paruh baya itu mengarah pada Mela.
Suasana di ruang keluarga ini tidak ubahnya seperti ruang sidang, dan Mela layaknya pesakitan yang menanti putusan.
Ibu Sri Kusumoadmojo, menjadi hakim yang memutuskan segala sesuatu.
Bapak mertua sudah lama berpulang sejak suaminya masih sekolah dasar.
Praktis hampir semua keputusan ibu mertua yang mendominasi.
Eka, anak pertama di keluarga Kusumoadmojo, duduk di sebelah kiri ibunya, sedangkan Mela duduk sendiri berhadapan dengan mereka.
"Ibu bilang apa, Gung? Wanita ini hanya membawa sial. Kamu nikah sama dia bukannya untung malah jadi buntung."
Sri menyilangkan kaki, mulutnya tidak berhenti mengeluarkan kata-kata pedas.
" Coba kamu pikir! Toko merugi bahkan nyaris bangkrut, karena kamu sibuk ngurusin anakmu itu, sudah prematur sesar pula. Perempuan bukannya bantuin cari duit malah ngabisin duit.
Mau jadi apa kamu Gung kalau terus-terusan begini? Mau lihat ibumu ini mati pelan-pelan?"
Tangannya memukul-mukul dada dengan kencang.
"Aduh Gusti, dosa apa aku punya menantu seperti dia?" desis Maryati lagi.
Kali ini Mela tidak akan menundukkan kepala, dengan berani, ia menatap orang-orang di hadapannya.
"Apa ia pikir aku memaksa anaknya untuk menikahiku?" batin perempuan bertubuh kurus itu.
Dari awal ibu yang paling keras menentang rencana Mas Agung meminangnya.
Bagaimana tidak? Agung Prasetyo, anak bungsu di keluarga ini, penerus pucuk pimpinan swalayan terbesar di kota ini, menikah seorang anak yatim piatu sepertinya?
"Sudah Bu, sudah! Nanti darah tinggi Ibu kumat lagi," bujuk Eka.
Tekanan dari sang ibu membuat Eka belum menikah sampai sekarang. Waktunya hanya habis untuk mengurus rumah.
Walau mereka sering bahu membahu, tapi Eka jarang ngobrol dengan Mela.
"Diam kamu, Ka! Biar Agung terbuka pikirannya. Perempuan seperti apa yang dia pilih!"
Sri dengan mata menyelidik menatap Melati dari atas ke bawah.
"Apa aku serendah itu di hadapanmu, Bu?" Melati balas menatapnya.
"Apa ibu tidak bisa melihat kebaikanku sebaik saja?" ujar Mela lantang.
Diusapnya airmata yang hampir jatuh dengan ujung kain gendongan.
Aruna yang baru menyusu, nampak terpejam.
Napasnya teratur setelah Melati mendekapnya erat.
Melihat bayi sekecil itu, tidak juga membuat ibu mertuanya luluh.
Dulu, Mela berpikir dengan kehadiran Aruna, bisa mencairkan keras hati wanita itu.
Namun, Mela salah, bukan perhatian yang anaknya dapat tapi malah kata-kata menyakitkan.
"Kasihan kamu, Nak. Umurmu belum genap satu tahun, tapi sudah harus kehilangan ayah."
Bayi perempuan itu masih tenang dalam gendongan ibunya.
Ya, laki-laki yang seharusnya jadi tameng saat anak istrinya disakiti, malah hanya duduk bagai orang linglung.
Berkali-kali mereka bersitatap, tapi Agung hanya membuang muka.
Jangankan pembelaan, mulutnya terkunci tanpa satu patah kata.
Melati tidak lagi melihat Agung yang dulu, yang dengan gigih memperjuangkan cinta mereka.
Sekarang, Agung seperti kerbau yang dicocok hidungnya, menurut saja pada keinginan ibunya.
"Bagaimana denganmu, Mas? Kenapa kamu diam saja? Apa keputusanmu?"
Mela mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang duduk di samping Sri.
Agung mendongak kaget, akhirnya dia bereaksi.
Mungkin tak menyangka, istri yang selama ini diam tak berdaya, kini bisa menjawab seperti ini.
"Aku serba salah," ujarnya lirih.
"Berani kamu menantang? Punya modal apa kamu hidup di luar sana, hah?!" sembur Sri lagi.
" Maaf, aku tidak bicara dengan ibu,
aku bertanya pada Mas Agung," balasnya.
Mata Sri sampai melotot, terlihat gurat otot di lehernya.
" Tunggu apalagi, Gung? Cepat talak dia! Untuk apalagi kamu mempertahankannya?!"
Mela merasakan kakinya bergetar, kalimat sakral itu.
"Bagaimana bisa ibu meminta Mas Agung melakukannya?"
Begitu pikir Melati.
Tak ingatkah ia bagaimana perjuangan membesarkan anak seorang diri?
Bagaiamana Agung hidup tanpa sosok ayah, sekarang ia ingin cucunya merasakan hal yang sama?
Melati melempar pandangan tajam.
"Apa ibu kira semudah itu mengucap kata talak? Istigfar, Bu! Allah melaknat perceraian tanpa alasan yang syar'i!"
Dadanya bergemuruh hebat.
"Jangan coba-coba menasehatiku! Dasar anak tak berpendidikan! Besar di panti saja, belagu kamu!"
"Iya, aku memang besar di panti, tapi-"
"Diam kalian ... diam semua!!!" teriak Agung seketika.
Mendadak suasana hening.
Eka spontan menopang lengan ibunya yang jatuh terperosot sambil memegang dada.
Mela tidak pernah mendoakan buruk kepadanya, tetapi kali ini ia rapalkan doa, semoga sandiwara sakit jantung ibu mertuanya itu benar-benar di ijabah Allah.
Jika ada yang sakit jantung, maka itu adalah Aruna. Buah cintanya bersama Agung itu lahir sebelum cukup bulan, membuat salah satu katup jantungnya belum menutup sempurna.
"Pergilah, Mel! Lebih baik kita cukupi sampai di sini, ini hanya akan menyiksamu lebih lama."
Agung menghampiri istrinya, lalu mencium pucuk kepala Aruna.
"Aku titip anakku! Jaga dia baik-baik! Aku percaya kamu wanita yang kuat," ujarnya sambil menyelipkan amplop coklat ke dalam gendongan.
Tanpa perlu bertanya, Mela sudah paham isinya.
"Begini saja perjuanganmu, Mas? Bagaimana aku bisa membesarkan Melati sendirian? Umurnya belum ada satu tahun, tapi sudah menjadi yatim?" lirih Melati.
Agung mengangkat wajahnya demi menyembunyikan airmata yang hampir jatuh.
" Melati, tolong mengertilah! Ini demi kebaikan kita semua, mas masih disini untuk mengurus usaha. Hasilnya juga untuk kita."
Mendengar Agung berkata demikian, membuat bibir ibunya mengerucut.
Dengan bercucuran airmata, Melati meraih tangan yang menjawab ijab qobulnya, lima tahun silam. Menciumnya dengan takzim.
"Kita pasti bisa mandiri! Kita bisa menghadapinya bersama, insyaallah Aruna juga bisa sembuh dengan perhatian kita.
Aku bisa bantu Mas kerja, kita bisa ngontrak du-"
"Melati, dengarkan aku!!!"
"Sungguh mas, setelah keluar dari sini, kita bisa mulai dari awal ...."
"Melati!!!" Agung mengguncang kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya dengan keras.
" Sadarlah Mel, kita tidak punya apa-apa."
"Aa ... aku, jangan suruh aku pergi sendiri!"
Akhirnya, Melati tergugu dalam pelukannya.
Bab 2 Pov Melati"Oe ... oe ... oe ...."Suara ribut dari tadi membangunkan Aruna, mata bulatnya mengerjap. Bening, suci tanpa dosa.Betapa cantiknya anak ini. Seperti pada anak perempuan lainnya, Aruna mewarisi setiap lekuk wajah sang ayah. "Maafkan ibu, Nak! Sekarang ibu belum bisa membelamu, tapi kelak kamu sendiri yang harus membela harga dirimu! Jangan takut sayang. Ibu tidak akan pernah ninggalin kamu." Kubisikkan kata demi kata di telinganya. Walau ia masih belum mengerti apa-apa, tapi aku yakin doa seorang ibu menembus pintu langit. "Selamat tinggal, Mas. Jika satu hari penyesalan itu datang, jangan pernah mencariku lagi!" Kutatap Mas Agung untuk terakhir kali.Tak kuhiraukan ibu mertua yang masih duduk melipat tangan di dada. Kutengok kembali rumah besar di belakangku, mungkin ini yang terakhir kalinya. Esok, takkan kulihat lagi tempat dimana pernah ada tawa dan tangis di berbagai sudutnya. ----------------------------------------------Langit diluar semakin menggela
Bab 3Kuseret langkah kaki yang terasa berat lalu mengetuk pintu pelan.Malam sudah semakin larut, ditambah suasana hujan menambah kenyamanan untuk tidur. Mungkin orang-orang di dalam juga, sampai aku mengetuk berkali-kali, pintu itu belum terbuka. " Mungkin sudah nasib kita, Nduk! Tidur di luar begini."Aku terkekeh menertawakan nasibku sendiri. Tapi takdir tidak selamanya buruk, lewat beberapa menit, terdengar suara langkah kaki mendekat.Krek...."Waalaikumsalam." Kini satu wajah muncul dari balik pintu sambil menjawab salam. Kulihat anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun menatapku dengan aneh. Mungkin dia bingung bagaimana ada seorang perempuan datang malam-malam, sudah hujan membawa tas pula. "Cari siapa, ya?" tanyanya kemudian. Sepertinya dia penghuni baru di panti, saat aku meninggalkan tempat ini tiga tahun lalu, dia belum ada. Aku mengusap pelan rambutnya."Namamu siapa? Kamu anak baru ya, di sini?" Dia tersenyum, pandangannya beralih pada Aruna yang men
Bab 4Bu Ratmi melepaskan pelukannya, lalu menghapus airmata di pipi ini. " Sudah! Jangan menangis, kamu pasti lelah! Dimana cucu ibu tadi? Rendi adiknya dibawa ke sini," panggilnya pada anak laki-laki tadi. Entah kemana dia menggendong Aruna, yang pasti sudah tak terdengar lagi tangisannya. Tak lama, suara bayi yang sedang tertawa semakin terdengar. " Apa ya, Dik? Ibu ini panggil-panggil, kita kan lagi asyik mainan." Wajah lucu itu membuat Aruna tertawa lagi. Anak itu segera menyerahkan Aruna kepada Ibu. " Ini ya, cucu Nenek yang cantik? Apa sayang? Kamu pasti kedinginan ya, jalan-jalan ke sini." Ibu seakan bisa berbicara dengan Aruna sehingga bayi berumur sembilan bulan itu tergelak. " Lucunya cucu Nenek. Siapa namanya Mel?" Ibu menoleh kepadaku. " Namanya Aruna, Bu." Belum sempat aku menjawab, sudah di dahului anak yang tadi. " Kamu sendiri namanya siapa? Dari tadi Mbak tanya kok nggak dijawab?" Aku berdiri lalu duduk di sampingnya. " Namanya Rendi, Nduk. Baru setah
Aku menautkan jari jemari, mencari kata yang sesuai, saat Ibu menanyakan kabar suamiku itu. Bagaimanapun beliau pernah melarang secara halus hubunganku dengan laki-laki yang lima tahun lebih tua dariku itu. Ibu pernah menasehatiku. "Nduk, pikirkan kembali apa kamu sudah mantap menerima pinangan Agung, Ibu lihat kalian terlalu terburu-buru." Aku yang baru berusia sembilan belas tahun kala itu, baru mekar-mekarnya jika diumpamakan. " Tidak, Bu. Mas Agung sudah mantap melamarku, ibunya juga akan datang kemari. Lebih baik menikah to, Bu? Daripada kami pacaran?" " Baiklah jika itu sudah menjadi keputusanmu, Ibu ikut saja. Apa keluarganya sudah tahu tentang keadaanmu ini?" tanya Ibu lagi dengan nada khawatir. Siapa yang tidak mengenal keluarga Mas Agung di kota ini? Salah satu kalangan ningrat yang konon katanya masih keturunan keraton? Kekayaan mereka tidak perlu diragukan lagi. Swalayan yang tersebar di berbagai sudut kota, sudah menunjukkan derajat mereka. Dibandingkan dengan d
Pov Author Melati membaringkan tubuhnya di sebelah Aruna. Netranya memandang langit-langit kamar. Masih segar dalam ingatan, saat Agung melepas kepergiannya tadi. "Apa sudah tidak ada cinta di hatimu, Mas?" gumamnya. Lamat-lamat, sinar lampu mulai meredup dan semakin mengecil. Tak lama, perempuan bertubuh mungil itu terlelap dalam tidur. "Oa ... oe...." suara tangis Aruna memecah keheningan pagi. Melati membuka matanya yang terasa berat, rasanya baru beberapa jam lalu dia tertidur, eh sudah pagi saja. "Kenapa anak Ibu? Lapar ya? Sini sayang!" Melati mengangkat tubuh bayi itu dengan hati-hati. Lalu bersiap mengASInya. Dari luar, terdengar jerit tawa anak-anak yang sedang bermain. Melati menepuk pelan punggung Aruna hingga bersendawa. "Kita keluar ya, Nak! Lihat kakak-kakak lagi main, kamu pasti seneng!" Melati membongkar pakaian Aruna di dalam tas, mengambil satu baju dan celana lalu membawanya keluar. "Eh, kamu sudah bangun, Mel?" sapa Ratmi yang baru saja selesai memasa
Pov Author "Ibu.... jangan sakiti Mbak Eka, ini bukan kesalahannya!" Seketika laki-laki bertubuh jangkung itu menjauhkan tangan ibunya dari wajah Eka. Sudah terlihat bekas gambar lima jari di wajahnya, tapi perempuan itu tetap saja diam dan menundukkan kepalanya. "Jangan berani-beraninya kau mempengaruhi Agung! Selama kau masih mau tinggal di sini!" ucap Sri dengan berang. Susah payah ia mengusir Melati, eh begitu berhasil, anak perempuannya sendiri yang menggagalkannya. "Maaf, Bu! Aku tidak bermaksud-" "Ah, sudah tutup mulutmu! Jangan sampai aku melihatmu mempengaruhi Agung lagi! Atau kau tanggung sendiri akibatnya!" Sri meninggalkan dua bersaudara itu begitu saja. Agung menghampiri kakaknya. "Maafkan aku ya, Mbak! Gara-gara aku, mbak sampai dipukul ibu." Agung meminta maaf seperti saat mereka masih kecil. Eka yang berumur lima tahun lebih tua, selalu melindunginya dari amarah Sri. Begitu erat persaudaraan mereka, walau Sri kerap membedakan keduanya. "Mbak nggak apa-apa, k
Bab 8 "Kamu.... beraninya kamu melindungi laki-laki ini?" ucap Agung dengan napas yang memburu. Aku berusaha meraih tubuh Anwar yang berlindung di sebaliknya, hingga mereka tersungkur. "Ayo bangun kamu!" Kuraih krah kemeja yang dipakai Anwar lalu mencengkeramnya dengan kuat. "Jangan beraninya berlindung di belakang wanita!" Kudekatkan wajahku padanya, lalubeberapa kali kulayangkan bogem di wajahnya yang terbilang tampan itu. "Ayo jangan diam saja! Lawan aku!" teriakku melihat Anwar tidak membalas pukulanku. Dia benar-benar memancing emosiku.Apa dia sedang berusaha menarik perhatian Melati dengan pasrah begitu saja? "Dasar laki-laki licik! Sudah berapa lama kau menjalin hubungan dengan istriku? Jawab!" Kutarik tubuhnya agar bangun. Spontan Melati mencegahnya.Pukulan yang sejatinya akan aku layangkan pada Anwar, ternyata malah mengenai Melati. Istriku itu meringis kesakitan. "Terus, Mas! Terus saja pukul aku sepuas hatimu, tapi jangan pukul Anwar!" Kepala itu mendongak, dapa
Pov MelatiApa pendengaranku tidak salah? Berulang kali aku mengingat perkataan Mas Agung sebelum pergi.Namun, tidak ada yang berubah.Laki-laki yang menikahiku tiga tahun itu sudah menjatuhkan talak. Tanpa sadar, sesuatu menggenang di pelupuk mata. Aku terkejut mendapatinya muncul dari balik teras.Rindu yang membuncah di dada, seakan sirna saat melihatnya berdiri di depanku. Namun, mengapa tatapannya begitu dingin? "Mas...." Kucoba meraih jemarinya tapi Mas Agung menepisnya dengan kasar. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" Netranya menatapku dengan jijik. Tangan kotor? Aku masih mencerna kata-katanya dengan lambat lalu menoleh pada Anwar. Teman kerjaku dulu, sekaligus orang kepercayaan Mas Agung itu memang datang berkunjung ke panti. Rupanya, berita sudah menyebar dengan cepat di kota kecil ini. Kabar jika ada satu keluarga terpandang mengusir menantu dan cucunya. Kebetulan aku sedang bersiap pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan saat Anwar datang. "Suda