Share

Putrimu Membalaskan Dendamku
Putrimu Membalaskan Dendamku
Penulis: Yedhika Tonago

Bab 1

"Pergi dari sini! Bawa anakmu yang sakit-sakitan itu!"

Suara Sri, wanita yang disebut Melati sebagai ibu mertua, menggelegar bak petir.

Bergema dari sudut demi sudut ruangan.

"Susah payah aku membesarkan Agung sendirian, bukan untuk menikahi perempuan sepertimu. Sudah miskin, tak berpendidikan, cuih .... "

Ibu mertua yang dihormatinya selama ini, membuang ludah tepat di hadapan Mela,  begitu ia biasa dipanggil. 

"Ya Allah, Bu. Apa salahku? Aku menikah dengan Mas Agung karena kami saling mencintai. Aku juga tidak pernah memaksa anak ibu untuk menikahku."

Bayi dalam gendongannya menangis kencang, mendengar suara seseorang yang harusnya dipanggil nenek.

Tetapi sikap Sri kepada Aruna bukan sikap seharusnya nenek kepada cucu, apalagi kepada Mela, menantunya.

"Ha ... ha ... ha. Cinta kau bilang?!"

Tawa itu terdengar seperti ejekan.

"Tahu apa kau soal cinta? Apa bisa kau makan pakai cinta? Yang ada uang anakku, kau habiskan." 

Kini telunjuk  wanita paruh baya itu mengarah pada Mela. 

Suasana di ruang keluarga ini tidak ubahnya seperti ruang sidang, dan Mela layaknya pesakitan yang menanti putusan.

Ibu Sri Kusumoadmojo, menjadi hakim yang memutuskan segala sesuatu.

Bapak mertua sudah lama berpulang sejak suaminya masih sekolah dasar.

Praktis hampir semua keputusan ibu mertua yang mendominasi.

Eka, anak pertama di keluarga Kusumoadmojo, duduk di sebelah kiri ibunya, sedangkan Mela duduk sendiri berhadapan dengan mereka. 

"Ibu bilang apa, Gung? Wanita ini hanya membawa sial. Kamu nikah sama dia bukannya untung malah jadi buntung."

Sri menyilangkan kaki, mulutnya tidak berhenti mengeluarkan kata-kata pedas.

 " Coba kamu pikir! Toko merugi bahkan nyaris bangkrut, karena kamu sibuk ngurusin anakmu itu, sudah prematur sesar pula. Perempuan bukannya bantuin cari duit malah ngabisin duit.

Mau jadi apa kamu Gung kalau terus-terusan begini? Mau lihat ibumu ini mati pelan-pelan?" 

Tangannya memukul-mukul dada dengan kencang.

"Aduh Gusti,  dosa apa aku punya menantu seperti dia?" desis Maryati lagi.

Kali ini Mela tidak akan menundukkan kepala, dengan berani, ia menatap orang-orang di hadapannya.

"Apa ia pikir aku memaksa anaknya untuk menikahiku?" batin perempuan bertubuh kurus itu. 

Dari awal ibu yang paling keras menentang rencana Mas Agung meminangnya. 

Bagaimana tidak? Agung Prasetyo, anak bungsu di keluarga ini, penerus pucuk pimpinan swalayan terbesar di kota ini, menikah seorang anak yatim piatu sepertinya? 

"Sudah Bu, sudah! Nanti darah tinggi Ibu kumat lagi," bujuk Eka.

Tekanan dari sang ibu membuat Eka belum menikah sampai sekarang. Waktunya hanya habis untuk mengurus rumah.

Walau mereka sering bahu membahu, tapi Eka jarang ngobrol dengan Mela. 

"Diam kamu, Ka! Biar Agung terbuka pikirannya. Perempuan seperti apa yang dia pilih!"

Sri dengan mata menyelidik menatap Melati dari atas ke bawah.

"Apa aku serendah itu  di hadapanmu, Bu?" Melati balas menatapnya. 

"Apa ibu tidak bisa melihat kebaikanku sebaik saja?" ujar Mela lantang. 

Diusapnya airmata yang hampir jatuh dengan ujung kain gendongan. 

Aruna yang baru menyusu, nampak terpejam.

Napasnya teratur setelah Melati mendekapnya erat.

Melihat bayi sekecil itu, tidak juga membuat ibu mertuanya luluh. 

Dulu, Mela berpikir dengan kehadiran Aruna, bisa mencairkan keras hati wanita itu. 

Namun, Mela salah, bukan perhatian yang anaknya dapat tapi malah kata-kata menyakitkan. 

"Kasihan kamu, Nak. Umurmu belum genap satu tahun, tapi sudah harus kehilangan ayah."

Bayi perempuan itu masih tenang dalam gendongan ibunya. 

Ya, laki-laki yang seharusnya jadi tameng saat anak istrinya disakiti, malah hanya duduk bagai orang linglung.

Berkali-kali mereka bersitatap, tapi Agung hanya membuang muka.

Jangankan pembelaan, mulutnya terkunci tanpa satu patah kata.

Melati tidak lagi melihat Agung yang dulu, yang dengan gigih memperjuangkan cinta mereka. 

Sekarang, Agung seperti kerbau yang dicocok hidungnya, menurut saja pada keinginan ibunya. 

"Bagaimana denganmu, Mas? Kenapa kamu diam saja? Apa keputusanmu?"

Mela mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang duduk di samping Sri. 

 Agung mendongak kaget, akhirnya dia bereaksi.

Mungkin tak menyangka, istri yang selama ini diam tak berdaya, kini bisa menjawab seperti ini.

"Aku serba salah," ujarnya lirih. 

"Berani kamu menantang? Punya modal apa kamu hidup di luar sana, hah?!" sembur Sri lagi. 

" Maaf, aku tidak bicara dengan ibu,

aku bertanya pada Mas Agung," balasnya.

Mata Sri sampai melotot, terlihat gurat otot di lehernya. 

" Tunggu apalagi, Gung? Cepat talak dia! Untuk apalagi kamu mempertahankannya?!"

Mela merasakan kakinya bergetar,  kalimat sakral itu.

"Bagaimana bisa ibu meminta Mas Agung melakukannya?"

Begitu pikir Melati.

Tak ingatkah ia bagaimana perjuangan membesarkan anak seorang diri?

Bagaiamana Agung hidup tanpa sosok ayah, sekarang ia ingin cucunya merasakan hal yang sama?

Melati melempar pandangan tajam.

"Apa ibu kira semudah itu mengucap kata talak? Istigfar, Bu! Allah melaknat perceraian tanpa alasan yang syar'i!"

Dadanya bergemuruh hebat.

"Jangan coba-coba menasehatiku!  Dasar anak tak berpendidikan! Besar di panti saja, belagu kamu!"

"Iya, aku memang besar di panti, tapi-"

 "Diam kalian ... diam semua!!!" teriak Agung seketika. 

Mendadak suasana hening.

Eka spontan menopang lengan ibunya yang jatuh terperosot sambil memegang dada.

Mela tidak pernah mendoakan buruk kepadanya, tetapi kali ini ia rapalkan doa, semoga sandiwara sakit jantung ibu mertuanya itu benar-benar di ijabah Allah.

Jika ada yang sakit jantung, maka itu adalah Aruna. Buah cintanya bersama Agung itu lahir sebelum cukup bulan, membuat salah satu katup jantungnya belum menutup sempurna.

"Pergilah, Mel! Lebih baik kita cukupi sampai di sini, ini hanya akan menyiksamu lebih lama."

Agung menghampiri istrinya, lalu mencium pucuk kepala Aruna. 

"Aku titip anakku! Jaga dia baik-baik! Aku percaya kamu wanita yang kuat," ujarnya sambil menyelipkan amplop coklat ke dalam gendongan.

Tanpa perlu bertanya, Mela sudah paham isinya.

"Begini saja perjuanganmu, Mas? Bagaimana aku bisa membesarkan Melati sendirian? Umurnya belum ada satu tahun, tapi sudah menjadi yatim?" lirih Melati.

Agung mengangkat wajahnya demi menyembunyikan airmata yang hampir jatuh. 

" Melati, tolong mengertilah! Ini demi kebaikan kita semua, mas masih disini untuk mengurus usaha. Hasilnya juga untuk kita."

Mendengar Agung berkata demikian,  membuat bibir ibunya mengerucut. 

Dengan bercucuran airmata, Melati meraih tangan yang menjawab ijab qobulnya, lima tahun silam. Menciumnya dengan takzim.

"Kita pasti bisa mandiri! Kita bisa menghadapinya bersama, insyaallah Aruna juga bisa sembuh dengan perhatian kita.

Aku bisa bantu Mas kerja, kita bisa ngontrak du-"

"Melati,  dengarkan aku!!!"

"Sungguh mas, setelah keluar dari sini, kita bisa mulai dari awal ...."

"Melati!!!" Agung mengguncang kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya dengan keras.

" Sadarlah Mel, kita tidak punya apa-apa."

"Aa ... aku, jangan suruh aku pergi sendiri!"

Akhirnya, Melati tergugu dalam pelukannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status