Aruna seperti anak yang tidak diharapkan. Lahir secara prematur dari seorang ibu miskin dan tak berpendidikan, membuatnya dicap sebagai anak pembawa sial. Mendengar cerita masa lalu dari sang ibu, menyulut dendam yang tak pernah Aruna rencanakan sebelumnya. Di saat dirinya berjuang untuk hidup, saudara seayah Aruna justru hidup dalam gelimang kasih sayang dan kemewahan. Bagaimana rencana Aruna untuk menuntut haknya yang terabaikan bertahun-tahun? Akankah ia berhasil membalas rasa sakit sang ibu karena perlakuan keluarga ayahnya? Atau justru jatuh dalam permainan yang ia buat sendiri?
View More"Pergi dari sini! Bawa anakmu yang sakit-sakitan itu!"
Suara Sri, wanita yang disebut Melati sebagai ibu mertua, menggelegar bak petir.
Bergema dari sudut demi sudut ruangan.
"Susah payah aku membesarkan Agung sendirian, bukan untuk menikahi perempuan sepertimu. Sudah miskin, tak berpendidikan, cuih .... "
Ibu mertua yang dihormatinya selama ini, membuang ludah tepat di hadapan Mela, begitu ia biasa dipanggil.
"Ya Allah, Bu. Apa salahku? Aku menikah dengan Mas Agung karena kami saling mencintai. Aku juga tidak pernah memaksa anak ibu untuk menikahku."
Bayi dalam gendongannya menangis kencang, mendengar suara seseorang yang harusnya dipanggil nenek.
Tetapi sikap Sri kepada Aruna bukan sikap seharusnya nenek kepada cucu, apalagi kepada Mela, menantunya.
"Ha ... ha ... ha. Cinta kau bilang?!"
Tawa itu terdengar seperti ejekan.
"Tahu apa kau soal cinta? Apa bisa kau makan pakai cinta? Yang ada uang anakku, kau habiskan."
Kini telunjuk wanita paruh baya itu mengarah pada Mela.
Suasana di ruang keluarga ini tidak ubahnya seperti ruang sidang, dan Mela layaknya pesakitan yang menanti putusan.
Ibu Sri Kusumoadmojo, menjadi hakim yang memutuskan segala sesuatu.
Bapak mertua sudah lama berpulang sejak suaminya masih sekolah dasar.
Praktis hampir semua keputusan ibu mertua yang mendominasi.
Eka, anak pertama di keluarga Kusumoadmojo, duduk di sebelah kiri ibunya, sedangkan Mela duduk sendiri berhadapan dengan mereka.
"Ibu bilang apa, Gung? Wanita ini hanya membawa sial. Kamu nikah sama dia bukannya untung malah jadi buntung."
Sri menyilangkan kaki, mulutnya tidak berhenti mengeluarkan kata-kata pedas.
" Coba kamu pikir! Toko merugi bahkan nyaris bangkrut, karena kamu sibuk ngurusin anakmu itu, sudah prematur sesar pula. Perempuan bukannya bantuin cari duit malah ngabisin duit.
Mau jadi apa kamu Gung kalau terus-terusan begini? Mau lihat ibumu ini mati pelan-pelan?"
Tangannya memukul-mukul dada dengan kencang.
"Aduh Gusti, dosa apa aku punya menantu seperti dia?" desis Maryati lagi.
Kali ini Mela tidak akan menundukkan kepala, dengan berani, ia menatap orang-orang di hadapannya.
"Apa ia pikir aku memaksa anaknya untuk menikahiku?" batin perempuan bertubuh kurus itu.
Dari awal ibu yang paling keras menentang rencana Mas Agung meminangnya.
Bagaimana tidak? Agung Prasetyo, anak bungsu di keluarga ini, penerus pucuk pimpinan swalayan terbesar di kota ini, menikah seorang anak yatim piatu sepertinya?
"Sudah Bu, sudah! Nanti darah tinggi Ibu kumat lagi," bujuk Eka.
Tekanan dari sang ibu membuat Eka belum menikah sampai sekarang. Waktunya hanya habis untuk mengurus rumah.
Walau mereka sering bahu membahu, tapi Eka jarang ngobrol dengan Mela.
"Diam kamu, Ka! Biar Agung terbuka pikirannya. Perempuan seperti apa yang dia pilih!"
Sri dengan mata menyelidik menatap Melati dari atas ke bawah.
"Apa aku serendah itu di hadapanmu, Bu?" Melati balas menatapnya.
"Apa ibu tidak bisa melihat kebaikanku sebaik saja?" ujar Mela lantang.
Diusapnya airmata yang hampir jatuh dengan ujung kain gendongan.
Aruna yang baru menyusu, nampak terpejam.
Napasnya teratur setelah Melati mendekapnya erat.
Melihat bayi sekecil itu, tidak juga membuat ibu mertuanya luluh.
Dulu, Mela berpikir dengan kehadiran Aruna, bisa mencairkan keras hati wanita itu.
Namun, Mela salah, bukan perhatian yang anaknya dapat tapi malah kata-kata menyakitkan.
"Kasihan kamu, Nak. Umurmu belum genap satu tahun, tapi sudah harus kehilangan ayah."
Bayi perempuan itu masih tenang dalam gendongan ibunya.
Ya, laki-laki yang seharusnya jadi tameng saat anak istrinya disakiti, malah hanya duduk bagai orang linglung.
Berkali-kali mereka bersitatap, tapi Agung hanya membuang muka.
Jangankan pembelaan, mulutnya terkunci tanpa satu patah kata.
Melati tidak lagi melihat Agung yang dulu, yang dengan gigih memperjuangkan cinta mereka.
Sekarang, Agung seperti kerbau yang dicocok hidungnya, menurut saja pada keinginan ibunya.
"Bagaimana denganmu, Mas? Kenapa kamu diam saja? Apa keputusanmu?"
Mela mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang duduk di samping Sri.
Agung mendongak kaget, akhirnya dia bereaksi.
Mungkin tak menyangka, istri yang selama ini diam tak berdaya, kini bisa menjawab seperti ini.
"Aku serba salah," ujarnya lirih.
"Berani kamu menantang? Punya modal apa kamu hidup di luar sana, hah?!" sembur Sri lagi.
" Maaf, aku tidak bicara dengan ibu,
aku bertanya pada Mas Agung," balasnya.
Mata Sri sampai melotot, terlihat gurat otot di lehernya.
" Tunggu apalagi, Gung? Cepat talak dia! Untuk apalagi kamu mempertahankannya?!"
Mela merasakan kakinya bergetar, kalimat sakral itu.
"Bagaimana bisa ibu meminta Mas Agung melakukannya?"
Begitu pikir Melati.
Tak ingatkah ia bagaimana perjuangan membesarkan anak seorang diri?
Bagaiamana Agung hidup tanpa sosok ayah, sekarang ia ingin cucunya merasakan hal yang sama?
Melati melempar pandangan tajam.
"Apa ibu kira semudah itu mengucap kata talak? Istigfar, Bu! Allah melaknat perceraian tanpa alasan yang syar'i!"
Dadanya bergemuruh hebat.
"Jangan coba-coba menasehatiku! Dasar anak tak berpendidikan! Besar di panti saja, belagu kamu!"
"Iya, aku memang besar di panti, tapi-"
"Diam kalian ... diam semua!!!" teriak Agung seketika.
Mendadak suasana hening.
Eka spontan menopang lengan ibunya yang jatuh terperosot sambil memegang dada.
Mela tidak pernah mendoakan buruk kepadanya, tetapi kali ini ia rapalkan doa, semoga sandiwara sakit jantung ibu mertuanya itu benar-benar di ijabah Allah.
Jika ada yang sakit jantung, maka itu adalah Aruna. Buah cintanya bersama Agung itu lahir sebelum cukup bulan, membuat salah satu katup jantungnya belum menutup sempurna.
"Pergilah, Mel! Lebih baik kita cukupi sampai di sini, ini hanya akan menyiksamu lebih lama."
Agung menghampiri istrinya, lalu mencium pucuk kepala Aruna.
"Aku titip anakku! Jaga dia baik-baik! Aku percaya kamu wanita yang kuat," ujarnya sambil menyelipkan amplop coklat ke dalam gendongan.
Tanpa perlu bertanya, Mela sudah paham isinya.
"Begini saja perjuanganmu, Mas? Bagaimana aku bisa membesarkan Melati sendirian? Umurnya belum ada satu tahun, tapi sudah menjadi yatim?" lirih Melati.
Agung mengangkat wajahnya demi menyembunyikan airmata yang hampir jatuh.
" Melati, tolong mengertilah! Ini demi kebaikan kita semua, mas masih disini untuk mengurus usaha. Hasilnya juga untuk kita."
Mendengar Agung berkata demikian, membuat bibir ibunya mengerucut.
Dengan bercucuran airmata, Melati meraih tangan yang menjawab ijab qobulnya, lima tahun silam. Menciumnya dengan takzim.
"Kita pasti bisa mandiri! Kita bisa menghadapinya bersama, insyaallah Aruna juga bisa sembuh dengan perhatian kita.
Aku bisa bantu Mas kerja, kita bisa ngontrak du-"
"Melati, dengarkan aku!!!"
"Sungguh mas, setelah keluar dari sini, kita bisa mulai dari awal ...."
"Melati!!!" Agung mengguncang kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya dengan keras.
" Sadarlah Mel, kita tidak punya apa-apa."
"Aa ... aku, jangan suruh aku pergi sendiri!"
Akhirnya, Melati tergugu dalam pelukannya.
Apa itu Aruna? Aruna Kinanti?Agung memarkirkan mobil di depan toko yang nampak ramai itu.Jam makan siang baru saja berakhir, tapi masih nampak beberapa orang asyik memilih kue yang dipajang di etalase.Salah seorang pegawai menghampirinya."Mari, Pak. Silahkan mau beli kue apa?" sapanya ramah.Aku tersenyum lalu menerima nampan yang ia berikan.Toko kue berkonsep minimalis ini menyajikan beragam kue yang cukup lengkap.Ada juga kue tradisional yang bersanding manis dengan cake dari luar negeri.Barisan toples berisi kue kering juga berjajar rapi.Sesaat ingatan Agung melayang, istrinya itu juga gemar membuat kue dengan seperti itu."Ini, Mas! Cobain deh nastar yang aku buat!" Wanita yang masih memakai celemek itu menyodorkan sepotong kue nastar ke mulutnya."Gimana enak, nggak?" matanya mengerjap penuh harap."Rencananya aku mau buat kue itu untuk dibawa ke rumah ibu pas lebaran nanti!" Agung masih tekun mengunyah, dicomotnya lagi beberapa biji dari loyang yang masih panas."Iihhh
"Ahhh...." Kurasakan nyeri di tangan kiri bekas kecelakaan dulu saat aku menggunakannya untuk bertumpu di meja.Peristiwa yang hampir saja merenggut nyawaku itu, aku masih bergidik saat membayangkan detik-detik truk itu nyaris menabrak mobilku."Siapa ya, orang yang sudah mendonorkan darahnya padaku?" batinku sambil melihat keadaan toko dari dalam kantorku.Sampai sekarang, aku masih belum tahu orang baik hati itu.Ibu selalu saja menghindar setiap kali kutanya."Sudah! Masalah siapa yang mendonorkan darahmu itu, tidak perlu kau pikirkan! Dia juga tidak ingin namanya identitasnya di ungkap!" Kata ibu tempo hari.Tetap saja aku penasaran, siapa orang yang sudah menyelamatkanku di hari naas itu.Hari yang tidak akan pernah kulupakan.Bagaimana aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, perselingkuhan Melati.Tadinya aku ingin mempercayai kata-katanya saat di rumah sakit.Namun, fakta yang diungkap Anwar membuat darahku mendidih seketika.Wanita yang selama ini kuperjuangkan, tak lebih da
"Berhenti!" teriak Melati lantang, suaranya berusaha mengalahkan kebisingan alat berat yang menggerus halaman rumahnya.Di hadapannya, sebagian halaman sudah rata dengan tanah, sementara tanaman dan pot bunga yang selalu dirawat ibunya kini lenyap tanpa jejak."Apa-apaan ini?" Melati bertanya pada Diki, suami Lastri, namun pertanyaannya seolah tidak didengar. Diki lebih tertarik berbicara dengan seorang laki-laki bertopi safety, yang di topinya terpampang logo perusahaan properti terkenal di kota."Aku bilang berhenti!"Melati berlari, merentangkan tangan di depan alat berat yang bergerak maju."Woi ... minggir, Mbak!" teriak operator alat berat, melongok dari dalam kabin sambil mengibaskan tangannya."Tidak akan, sebelum kalian menghentikan alat ini!" Melati bersikeras, meskipun dia tahu alat itu bisa saja melindaskannya.Diki, yang sejak tadi berpura-pura sibuk, tiba-tiba menoleh ke arah keributan itu. Dia melongo sejenak sebelum berlari ke arah Melati."Apa-apaan kau ini?" Dia menc
Bab 13pov authorMelati terbelalak mendapati tumpukan tas di lantai."Mbak Mel, kita mau pergi kemana?Hu...hu...hu!" tangis Lisa dan Rima bersamaan.Kedua anak perempuan itu menarik-narik baju yang dipakainya."Gimana donornya, Nduk? Sudah selesai? Agung sudah sadar?" Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Ratmi yang bergetar."Nanti Mbak pikirin dulu, ya! Sekarang kalian diem dulu, ya! Tuh, Aruna aja nggak nangis!"Melati mengusap kepala adik asuhnya itu lalu berjalan mendekati Ratmi yang duduk memangku Aruna."Aruna sayang, anak ibu. Pinter nggak nangis ya!" diangkatnya bayi itu dari pangkuan Ratmi.Lalu menciumi pipi gembulnya dengan gemas.Aruna sampai tertawa kegelian."Mas Agung sudah sadar, Bu! Keadaannya sudah jauh lebih baik."Ratmi mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Alhamdulillah, terima kasih ya Allah!"Melati tertegun, ia tidak mungkin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi pada ibunya.'Maafkan Melati, Bu! Bukannya aku mau berbohong, tapi aku tidak mau menambah be
Bab 12Aku harus bisa meyakinkan Mas Agung. Beruntung Anwar masih dengan sabar menemaniku di rumah sakit.Kami bisa menjelaskan kesalahpahaman ini langsung di depan suamiku."Baik! Ayo, kita buktikan sekarang!" Ibu mertuaku melangkah dengan tergesa ke dalam ruangan.Sementara aku dan Anwar mengikutinya dari belakang."Tolong jelaskan pada Mas Agung, ya War!" pintaku sesaat sebelum masuk ke ruang tempat Mas Agung di rawat.Laki-laki yang berjalan beriringan denganku itu, hanya tersenyum simpul."Gung, kamu sudah sadar?"Ibu menghampiri Mas Agung yang sudah membuka mata.Lelaki halalku itu tersenyum lemah, netranya menyipit saat melihatku."Mas, kamu sudah sadar?" Kuusap airmata yang jatuh lalu bergerak untuk mendekatinya.Mas Agung diam saja ketika aku menyentuh tangannya membantunya.Kutata bantal di belakangnya agar lebih nyaman untuk bersandar."Gimana, Mas? Sudah enakan?" tanyaku kemudian.Laki-laki itu hanya mengangguk lalu menoleh pada Anwar.Ibu mertua seakan tidak mau memberi
pov author"Tapi Bu-" sahut Melati cepat.Biar bagaimana panti ini milik Ratmi, tidak sedikitpun ada haknya maupun Lastri disini.Ratmi tersenyum."Kalian siapkan saja apa syaratnya!" Netra tuanya berkabut."Tapi ingat! Kalian harus pergi ke rumah saki sekarang juga!"Melati mengenggam tangan ibunya yang gemetar."Ibu tidak perlu melakukan ini! Melati pasti bisa dapat donor darah yang lain!""Jangan, Mel. Jangan buat Agung menunggu terlalu lama." Diusapnya tangan Melati.Lasti dan Diki saling melirik, dengan menahan senyum.Sebentar lagi, mereka akan jadi orang kaya.Terbayang berapa banyak uang yang akan mereka terima dari Affandi, bos besar pengusaha properti itu."Ibu, tinggal tanda tangan saja di sini!" Diki menyodorkan surat berisi persetujuan penjualan tanah beserta pant
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments