Share

Bab 2

Bab 2

Pov Melati

"Oe ... oe ... oe ...."

Suara ribut dari tadi membangunkan Aruna, mata bulatnya mengerjap.

Bening, suci tanpa dosa.

Betapa cantiknya anak ini. Seperti pada anak perempuan lainnya, Aruna mewarisi setiap lekuk wajah sang ayah.

"Maafkan ibu, Nak! Sekarang ibu belum bisa membelamu, tapi kelak kamu sendiri yang harus membela harga dirimu! Jangan takut sayang. Ibu tidak akan pernah ninggalin kamu."

Kubisikkan kata demi kata di telinganya.

Walau ia masih belum mengerti apa-apa, tapi aku yakin doa seorang ibu menembus pintu langit.

"Selamat tinggal, Mas. Jika satu hari penyesalan itu datang, jangan pernah mencariku lagi!"

Kutatap Mas Agung untuk terakhir kali.

Tak kuhiraukan ibu mertua yang masih duduk melipat tangan di dada.

Kutengok kembali rumah besar di belakangku, mungkin ini yang terakhir kalinya. Esok, takkan kulihat lagi tempat dimana pernah ada tawa dan tangis di berbagai sudutnya.

----------------------------------------------

Langit diluar semakin menggelap, hujan di bulan Desember seakan tiada pernah habis.

Dengan satu tas yang kujinjing di tangan kiri, berisi pakaianku dan Aruna yang tidak seberapa banyak, kaki ini melangkah menuju pemberhentian bis di dekat taman kota.

Payung yg kupegang dengan tangan kanan, menyulitkanku untuk bergerak.

Bagaimana bisa aku menjinjing tas, menggendong Aruna dan memegang payung secara bersamaan?

Tapi kalau bertahan disini, mau sampai kapan?

Malam semakin pekat, aku tidak ingin bayiku sampai kedinginan.

Fisiknya begitu rentan, alih-alih kena angin sedikit, dia bisa demam.

Beruntungnya dia tidak rewel malam ini.

Sedikit banyak peristiwa di rumah tadi membuatnya lebih kuat, kurasa.

Menyenangkan rasanya memandangi gemericik air hujan seperti ini, menebarkan bau tanah yang basah.

Dulu aku betah duduk berlama-lama di pinggir jendela kamar, menikmati butiran air yang turun.

Tak jarang kulihat teman-teman di panti yang nakal malah berlarian di tengah hujan.

Mereka tertawa lepas, bahagia sekali.

Meski waktu kanak-kanak yang kami lewati bersama tanpa ayah dan ibu, tapi aku bahagia.

Tuhan begitu baik mengirim perempuan berhati lembut. Dia pula yang menemukanku di pintu depan panti, meringkuk kedinginan dalam kardus.

Bu Lis, demikian aku memanggilnya.

"Kita mau kemana, Ar?"

Kucoba memecah keheningan malam.

Hujan sedari tadi membuat orang malas beraktivitas diluar.

"Apa kita mau disini semalam?"

Lagi, aku bertanya pada bayi yang bahkan belum bisa bicara.

"Oa ... oe ...," celotehnya seakan menjawab pertanyaanku.

Kujawil pipi mungil itu.

"Sungguh Nak, kamulah penguat ibu saat ini. Iya sayang, kamu mau bilang apa?" ujarku sambil menatap mata bening itu.

Apa aku pergi ke panti saja dulu? kalau tidak, mau kemana lagi?

Amplop yang diberikan Mas Agung tadi,masih teronggok di dalam tas.

Saat kubuka, nampak lembaran lima puluhan ribu menyembul.

Kuhitung jumlahnya lebih dari dua puluh lembar.

'Hanya segini Mas, nilaiku dan Melati bagimu? Segala pengorbanan, bakti ku padamu dan keluargamu cuma berakhir dengan lembaran uang? Apa bedanya aku dengan karyawan di tokomu?'

Keterlaluan.

Ha... ha... ha....

Kuambil satu lembar untuk ongkos naik ojek ke panti. Jika menunggu bis datang, bisa sampai pagi.

Semoga saja masih ada ojek yang mau mengantar.

Beruntung, tidak lama satu motor berhenti di depanku.

"Ojek Mbak," tawarnya.

Sedikit takut aku mengamati laki-laki paruh baya itu, memastikan dia benar-benar tukang ojek. Jangan sampai aku malah menjadi korban kejahatan.

Bapak itu tersenyum.

"Tenang saja, Mbak. Saya bukan orang jahat kok. Sebenarnya saya mau jalan pulang tapi melihat mbak sendirian di sini menunggu bis, saya jadi kasihan."

"Baik, Pak. Tolong antarkan saya ke panti Kasih ya, Pak! Bapak tahu 'kan?"

Kuserahkan tas kepadanya untuk ditaruh di depan, sementara aku duduk menggonceng dengan posisi miring.

"Iya, Mbak. Panti yang di ujung jalan Pahlawan 'kan?"

Aku mengangguk lalu berpegangan pada jok motor.

Jalanan terasa lengang, tukang ojek tadi melambatkan laju motornya, menghindari genangan air di kanan kiri.

Kurapatkan dekapan untuk menghangatkan Aruna dalam gendongan, sesekali kulihat tangan kecil itu melambai- lambai.

Hawa dingin merasuk sampai ke tulang, menembus dasterku yang lusuh.

"Mbak mau pulang ke panti atau ...."

Pak Dirman, begitu ia memperkenalkan diri tadi.

" Iya, Pak. Saya mau pulang," jawabku.

"Memang Mbak tinggal di sana? kok malam-malam hujan pula baru pulang?"

"Hehe iya, Pak. Saya tadi kemaleman."

Mungkin dikiranya aku akan membuang bayi atau bagaimana.

Sudah malam, hujan, bawa bayi pula. Belum lagi tas besar itu.

Untuk apalagi jika bukan untuk membuang bayi?

Aku maklum kalau Pak Dirman bisa kepikiran sampai ke sana.

Memang benar bukan? Mungkin itu juga yang dulu orangtuaku lakukan.

Mengendap di malam hari, membawa kardus yang ternyata berisi seonggok daging bernyawa, lalu meletakkannya di depan pintu panti, dengan selembar kertas bertuliskan  'tolong rawat anak ini'.

Seonggok daging itu adalah aku.

Sudah begitu saja, entah ibu atau ayah, atau keduanya yang sudah sepakat.

Mereka yang menghadirkan aku tapi mereka juga yang membuangku.

Apakah aku akan melakukan hal yang sama pada Aruna sekarang?

Sayangnya naluri itu mulai tumbuh, rasa untuk melindungi, menyayangi dan rasa lebih sakit jika ada yang menyakitinya.

Bisa saja aku menaruhnya di panti tapi membayangkan yang akan Aruna lalui di sana, batinku menolak.

Aku tahu betul rasanya terbuang.

Jika hari ini Mas Agung membuangku, apa aku juga harus membuang Aruna?

'Cukup Ibu yang merasakan, Nak. Hakmu untuk bahagia, untuk disayangi. Tidak akan ibu biarkan kamu merasakan yang ibu rasakan dulu!'

Aruna nampak terlelap dengan damai. Mungkin dia sudah lelah bergerak.

"Suaminya nggak ikut, Mbak?"

Pak Dirman masih asyik bertanya. Mungkin dengan begini, bisa mengusir rasa kantuk yang menyerang.

Aku yang duduk di belakang saja sudah mulai menguap, terpaan angin membuat mataku ingin terpejam.

Perjalanan baru terlampaui setengahnya, maklum saja panti tempat tujuan kami sedikit di luar kota dengan  waktu tempuh sekitar satu jam.

"Suaminya lagi amnesia, Pak," jawabku asal.

"Asem asem, asem apa Mbak?"

Pak Dirman terdengar bingung, membuatku tertawa seketika.

" Asem ketek kali, Pak!"

Pak Dirman ikut tertawa.

"Bisa aja si, Mbak."

Pak Dirman membelokkan motornya saat melewati perempatan jalan besar.

" Amnesia Pak. Lupa ingatan, lupa kali pak sama anak istrinya," kekehku.

"Bukannya lupa, Mbak, mungkin cuma sedang tidak ingat. Mbak yang sabar doainnya biar suaminya nggak lama-lama asem asem asem apa tadi Mbak?"

"Amnesia Pak," lanjutku setengah berteriak.

" Ah iya itu maksud bapak."

Kulihat dari spion Pak Dirman seperti menahan senyum.

Kerut-kerut di wajahnya sedikit terlihat, terkena sorotan lampu kendaraan dari arah berlawanan.

'Seperti inikah rasanya punya bapak? Ada yang mendengarkan keluh kesah lalu menasehati kita? atau bahkan memeluk dan menenangkan kita?'

Mataku memanas.

Apakah nanti Aruna bisa merasakan kasih sayang, bermanja dengan ayahnya?

Atau malah terlunta sepertiku?

Cinta pertama dalam kehidupan anak perempuan adalah sang ayah.

Cinta pertama itu tak kudapatkan, sedang cinta kedua juga nyaris bernasib sama.

Apa aku kurang bersabar menghadapi Mas Agung dan keluarganya?

Kupandangi suasana di sepanjang jalan, setelah melewati kota, sejuta kenangan seperti berkejaran.

Membuka satu persatu ingatan dari awal kami bertemu sampai berpisah saat ini.

Jalan itu masih sama.

Saat kami memasuki area perkampungan, Pak Dirman melambatkan laju kendaraannya, sambil mengingat-ingat dimana persisnya panti asuhan Kasih.

"Yang itu, Pak!"

Telunjukku mengarah pada satu bangunan berwarna kuning pucat.

Pak Dirman lantas meminggirkan kendaraannya persis di depan panti.

"Sebentar, Pak!"

Kurogoh uang yang sudah aku siapkan di kantong daster tadi.

"Ini, Pak! Terima kasih sudah mau nganterin saya."

Kusodorkan uang itu, sengaja kulebihkan dari tarif biasanya.

Kasihan Pak Dirman, sudah malam waktunya pulang malah mengantarku jauh-jauh sampai kesini.

"Sudah! Saya ikhlas kok nolongin, Mbak." Tanpa diduga Pak Dirman menepis uang yang kuberikan.

"Loh jangan, Pak! Ini kan sudah jadi hak bapak, nanti saya jadi dholim lho!" Setengah memaksa, kusodorkan lembaran uang itu.

"Ya Allah, si Mbak! Bapak kan sudah ikhlas, masa jadi dholim?" Pak Dirman terkekeh.

"Beneran, Pak?" tanyaku sekali lagi.

"Beneran, Mbak, yang penting mbak selamat sampai sini aja, bapak sudah senang. Kan bapak yang tanggung jawab nganterin, Mbak."

"Ya Allah, terima kasih banyak, Pak. Saya doakan bapak panjang umur, sehat, dikasih banyak rejeki."

Ternyata masih banyak orang baik di dunia ini. Ketika Allah menguji kita dengan kejahatan seseorang, Dia turunkan juga penolongnya.

Alhamdulillah ....

"Aamin, Mbak. Mbaknya juga doakan suaminya biar cepet inget, ha ... ha ...."

Pak Dirman kembali tertawa.

Aku ikut tertawa dibuatnya. Entah harus kuaminkan atau tidak.

Hatiku sudah terlalu sakit, mau diingat atau lupa, aku sudah tidak peduli.

" Kalau begitu Bapak permisi, Mbak. Assalamualaikum."

Pak Dirman menyalakan motornya lalu melaju pelan.

"Waalaikumsalam, hati-hati ya, Pak!"

Tinggalah aku berdua dengan Melati.

Kutatap bangunan yang sudah dimakan usia di depanku, dari sini aku datang, ke sini pula aku kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status