Happy ReadingRehan menatap Nara dengan pandangan yang tak biasa. Kali ini, tak ada senyum sarkastik, tak ada lelucon sinis yang biasa ia lontarkan saat suasana terlalu tegang. Ia hanya diam, sejenak, sebelum menjawab dengan suara rendah.“Kakakku.”Nara terdiam. Tak hanya karena keterkejutan dari pengakuan itu, tapi karena nada suara Rehan—datar, tapi mengandung luka yang belum sembuh. Ini bukan sekadar tentang operasi rahasia atau kode militer lagi. Ini mulai menyentuh hal personal.“Namanya Damar,” lanjut Rehan. “Dulu dia bagian dari unit pengamanan internal fasilitas riset militer swasta. Tapi dia keluar… atau lebih tepatnya menghilang. Katanya dia tahu sesuatu yang membuatnya jadi target.”Nara menautkan alis. “Kamu yakin dia masih hidup?”Rehan menarik napas panjang. “Kalau dia mati, aku yakin mereka bakal ngumumin. Tapi nggak ada berita, nggak ada jejak. Seolah dia lenyap. Tapi Damar nggak bodoh. Kalau dia masih hidup, dia pasti sembunyi dengan baik.”Nara mengangguk pelan. “Ka
Happy ReadingBeberapa hari setelah pertemuan Rehan dengan Damar, suasana di tempat persembunyian mereka berubah. Fira mulai menunjukkan kestabilan, berkat usaha Nara untuk menjaga lingkungannya tetap tenang. Namun Nara tahu, badai yang lebih besar sedang mendekat—dan bukan hanya dari Delta 5-K.Sore itu, Rehan duduk di luar bangunan tua yang mereka gunakan sebagai markas sementara. Ia memandangi langit jingga yang mulai berubah ungu. Nara datang, membawa dua cangkir teh panas. Ia duduk di sampingnya tanpa banyak kata, sebelum akhirnya membuka suara.**“Kamu belum bilang ke Damar soal aku, ya?”**Rehan menghela napas. **“Belum. Dia nggak nanya juga. Tapi cepat atau lambat dia pasti tahu.”****“Bukan cuma dia, Rehan,”** ujar Nara pelan. **“Kita belum bilang siapa pun. Karena kita tahu, begitu mereka tahu… segalanya bisa berubah.”**Rehan menunduk. Cangkir teh di tangannya terasa terlalu panas, tapi tak ia lepaskan.**“Ayahku masih nyalahin keluargamu atas kebangkrutan PT Kaldera, Na. P
Happy ReadingLangit mendung ketika Nara sampai di rumah. Suasana rumahnya yang biasanya dingin kini terasa lebih menekan, seperti dinding-dindingnya tahu bahwa ada badai yang akan meledak.Begitu ia membuka pintu, suara langkah cepat terdengar dari ruang tengah.**“Nara?”** suara ibunya muncul duluan, diikuti oleh wajah cemas. Tapi sebelum sempat bertanya, suara berat ayahnya menyusul.**“Masuk ke ruang kerja. Sekarang.”**Nara menelan ludah, meletakkan tasnya, lalu berjalan masuk ke ruangan itu dengan langkah pelan.Pintu ditutup. Sunyi sesaat.Lalu suara ayahnya meledak.**“Kamu pikir kamu bisa main petak umpet dengan kami? Kamu pikir kami nggak tahu kamu ke mana selama ini?”**Nara berdiri diam, menatap lantai.**“Dan sekarang kamu pulang, setelah semua masalah ini muncul—kontrak kita ditahan, saham anjlok, investor panik—dan semua karena *kamu* dekat dengan anak dari keluarga Adikara?!”****“Pak…”****“Diam!”** bentak ayahnya. **“Aku cuma mau satu jawaban. Benar atau tidak, kamu
Happy ReadingNara menggelar semua dokumen di atas meja kayu tua—memo “Delta 5‑K”, potongan foto satelit, dan daftar tiga nama kontak. Sinar lampu meja memantul tipis di kertas, menciptakan bayangan bergerak, serupa suara-suara di kepalanya yang terus berdengung: “Di mana Ares? Apa jadinya keluarga kita jika rahasia ini terkuak?”Pagi menjelang, hujan menetap di jendela kamar, menetes lambat di bingkai kayu. Ia meniup secarik kertas kecil: surat anonim setebal satu halaman yang ditemukannya di saku jas Rehan dua minggu lalu. Hanya tertulis satu kalimat: > “Percayalah pada jalur lama, bukan yang baru.”Kalimat itu yang membawanya pada nama Dr. Theresia Irawan. “Jalur lama.” Apakah maksudnya jalan pintas, atau petunjuk untuk mencari di arsip-arsip lama pemerintah? Dengan hati-hati Nara menyelipkan map merah ke dalam ransel, mengemas laptop, kamera kecil, dan pulpen. Tangannya gemetar, tapi ia menelan rasa takut itu. Ia sudah bertaruh segalanya—cinta, keluarga, bahkan nyawanya—untuk
Happy Reading Langit senja tampak mengabu, seperti pikiran Nara yang berkabut oleh konflik batin yang tak kunjung reda. Di kamar penginapan kecil dekat stasiun Metro, ia duduk membatu di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang gelap. Tangannya menggenggam erat map merah berisi bukti dan kesaksian Dr. Theresia. Tapi yang lebih menyesakkan bukanlah isi dokumen itu—melainkan kenyataan bahwa semua jejak kini mengarah pada Rehan. Ia telah mencoba menelepon Rehan dua kali sejak meninggalkan rumah Dr. Theresia, namun tak satu pun dijawab. Mungkin karena sinyal buruk… atau mungkin karena Rehan tahu. "Dia tahu aku tahu," gumam Nara pelan. Ponselnya akhirnya berdering. Nama Rehan menyala di layar. Seketika, jantung Nara seakan meloncat ke tenggorokan. Ia ragu. Haruskah diangkat? Atau lebih baik ia menghindar? Dengan napas dalam, ia menyentuh tombol hijau. "Nara…" suara Rehan berat, pelan, tapi tetap membawa kehangatan yang selama ini menenangkannya. “Aku tahu,” jawab Nara cepat
Happy Reading Tangga itu sempit, dindingnya lembap dan berlumut, seolah tak tersentuh cahaya selama bertahun-tahun. Setiap langkah yang mereka ambil menimbulkan gema yang menyeramkan, memantul dan menyatu dengan suara tetesan air dari langit-langit lorong bawah tanah.Di belakang Rehan, Nara menggenggam senter kecil yang baru saja mereka nyalakan setelah menuruni dua puluh anak tangga pertama. Ia tidak banyak bicara, pikirannya masih mengambang antara ingin mempercayai Rehan atau menjadikannya sebagai tersangka terakhir.Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah pintu logam besar, terukir dengan pola geometris menyerupai jaringan saraf otak. Di tengahnya, terdapat pemindai retina dan lubang kecil seukuran koin.Rehan menarik napas. “Kamu masih ingat foto Ares yang kamu temukan di buku tua milik Dr. Theresia?”Nara mengangguk. “Yang sedang memegang lencana kampus?”“Itu bukan lencana. Itu koin akses. Kita harus menyalin polanya. Aku sudah cetak duplikatnya.”Ia mengeluark
Happy ReadingSejak besi terbuka dan Rehan hampir mengorbankan dirinya demi sebuah kebenaran yang terkubur. Sejak mereka duduk di atas aspal dingin, saling menggenggam napas dan ketakutan.Kini, semuanya terasa jauh… seperti kenangan dari dunia lain.Apartemen Rehan berada di lantai sembilan, menghadap langsung ke langit Jakarta yang sering kelabu. Tapi sore ini, langit tampak jernih, semburat oranye mengalir lembut dari balik jendela lebar yang dibiarkan terbuka.Nara berdiri di dapur, mengenakan kaus Rehan yang kebesaran, dan celana pendek yang bahkan tidak kelihatan dari sudut pandang Rehan yang duduk di sofa.Ia sedang menyusun dua mug cokelat panas—satu dengan marshmallow, satu lagi polos. Rehan memperhatikannya dari balik sandaran, wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kagum.“Kenapa kamu selalu bikin dua mug yang beda?” tanya Rehan akhirnya.Nara menoleh, senyum tipis bermain di bibirnya. “Supaya kamu tahu, aku masih ingat yang kamu suka.
Happy ReadingPagi itu, sinar matahari menembus tirai apartemen, membentuk pola lembut di dinding. Nara sudah bangun lebih dulu. Ia berdiri di balkon, mengenakan kemeja Rehan yang terlalu besar untuk tubuhnya, rambutnya berantakan oleh angin pagi, tapi wajahnya tampak tenang.Rehan datang dari belakang, memeluk pinggangnya pelan. “Pagi.”“Pagi,” jawab Nara tanpa menoleh, tapi ia menaruh tangannya di atas tangan Rehan yang melingkar di perutnya.Beberapa detik berlalu dalam hening.“Aku harus bilang sesuatu,” ucap Nara akhirnya.Rehan menghela napas. “Aku juga.”Mereka saling berpandangan. Nara yang lebih dulu bicara.“Ibuku menelepon semalam. Mereka dengar tentang kita... dan dia nggak setuju.”Rehan mengerutkan kening. “Karena aku?”Nara mengangguk pelan. “Karena masa lalumu. Karena keluargamu. Karena semua... yang pernah kamu lakukan dan siapa kamu sekarang.”Rehan melangkah mundur satu langkah, memalingkan wajahnya. Luka lama di matanya muncul kembali. “Aku sudah berubah, Nar.”“Ak
Happy ReadingMatahari bersinar hangat di Zurich siang itu. Setelah berminggu-minggu penuh perjuangan, cemas, dan harapan, kini semuanya terbayar dengan manis. Nara sudah sepenuhnya pulih berkat pengobatan terbaik di Swiss. Wajahnya berseri, matanya bersinar penuh semangat yang baru, dan tawa kecilnya yang khas kembali memenuhi rumah.Hari itu, mereka semua berkumpul di halaman belakang villa kecil yang mereka sewa selama di Swiss. Sebuah perayaan kecil diadakan untuk merayakan kesembuhan Nara, keberhasilan Aiden dan Alea dalam ujian semester mereka, dan rencana besar yang mulai membentuk masa depan keluarga mereka.Alea berlarian kecil di taman, tertawa saat Aiden mengejarnya dalam permainan ringan mereka. Sesekali, Aiden dengan nakalnya mencolek pinggang Alea, membuat gadis itu berteriak geli sambil berusaha melarikan diri.Di bawah pohon apel yang rindang, Nara duduk di kursi rotan sambil menikmati teh hangat. Rehan duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya dengan lembut, se
Happy ReadingPagi yang cerah di Zurich terasa begitu sempurna. Aiden, yang biasanya serius dan terkadang terlihat sangat sibuk dengan pekerjaan dan urusan lainnya, tampak lebih santai hari ini. Setelah menikmati sarapan bersama Alea dan Nara, serta mendengarkan rencana liburan mereka yang semakin menyenangkan, Aiden merasa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.Nara, yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi berbelanja dengan Alea, duduk di kursi ruang tamu, memandangi pemandangan luar jendela yang indah. Rehan, yang sedang mengatur jadwal pertemuannya lewat telepon, terlihat sibuk dengan pekerjaannya, namun tetap mencuri waktu untuk berbicara dengan keluarga.Aiden menatap Nara dan Rehan, dengan niat untuk meminta sesuatu yang cukup besar. Melihat momen yang pas, dia mengambil napas panjang dan akhirnya berkata, "Mami, papi, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."Nara yang baru saja selesai memeriksa ponselnya, menoleh dan tersenyum pada Aiden. "Ada apa, Nak? Kamu kelihatan serius,"
Happy ReadingMinggu pertama liburan mereka di Swiss dimulai dengan suasana yang penuh kebahagiaan. Setelah ujian semester selesai dan kabar baik tentang pemulihan Nara yang semakin membaik, Aiden, Alea, Nara, dan Rehan memutuskan untuk menikmati liburan panjang di negeri yang terkenal dengan pegunungannya yang megah dan pemandangan yang menakjubkan ini. Mereka memutuskan untuk menjelajahi keindahan alam Swiss, menikmati kebersamaan mereka setelah melewati banyak tantangan.Pagi itu, mereka tiba di Zurich, kota terbesar di Swiss, dan langsung disambut dengan cuaca yang cerah dan udara segar yang begitu menyegarkan. Rehan, yang selalu merencanakan setiap perjalanan dengan teliti, memesan penginapan di sebuah hotel mewah yang terletak di tengah kota, dekat dengan banyak tempat wisata terkenal. Setelah check-in dan beristirahat sejenak, mereka semua berkumpul untuk merencanakan petualangan mereka hari itu."Bagaimana kalau kita mulai dengan jalan-jalan di sekitar Zurich dulu?" Rehan meng
Happy ReadingAiden dan Alea duduk bersama di meja belajar, keduanya sangat fokus pada buku-buku mereka. Meskipun ujian semester sudah semakin dekat, mereka tidak bisa mengabaikan kabar bahagia yang baru saja mereka terima. Nara, yang sempat terbaring lemah di rumah sakit, kini mulai pulih berkat perawatan yang diterima di Swiss. Kabar ini membuat hati mereka sangat lega. Sejak mengetahui kondisi Nara membaik, mereka merasa seolah-olah beban yang ada di pundak mereka sedikit berkurang."Alea, kamu dengar kabar tentang Nara kan?" Aiden memecah keheningan sambil memandang wajah Alea, yang tampak lebih ceria dari biasanya.Alea mengangguk sambil tersenyum lebar. "Iya, aku senang sekali mendengar bahwa Mami Nara mulai pulih. Aku bahkan tidak sabar untuk bisa bertemu dengan dia lagi. Mami Nara benar-benar wanita yang kuat, Aiden. Aku percaya dia akan kembali sehat seperti sediakala."Aiden mengangguk, matanya tampak penuh dengan kehangatan. "Aku juga merasa lega mendengarnya. Setelah semua
Happy ReadingSetelah keputusan untuk membawa Nara ke Swiss, perjalanan pengobatan dimulai dengan penuh harapan. Nara, yang sebelumnya sangat terpuruk karena kondisinya, kini merasakan sedikit perubahan positif berkat pengobatan yang intensif dan tepat sasaran. Di bawah pengawasan dokter ahli di salah satu rumah sakit terkemuka di Zurich, setiap hari menjadi langkah kecil menuju kesembuhan.Rehan, yang selama ini setia menemani Nara, merasakan betapa beratnya perasaan sang istri, tetapi ia tidak pernah menunjukkan kelelahan atau keputusasaan. Ia selalu berusaha memberikan dukungan terbaik untuk Nara, bahkan ketika terkadang dirinya sendiri merasakan kelelahan luar biasa. Namun, melihat Nara perlahan mulai pulih membuat hatinya tenang. Proses pemulihan Nara tidak hanya mempengaruhi tubuhnya, tetapi juga hatinya. Sinar kebahagiaan kembali menerangi wajahnya, meski masih ada sisa-sisa kelelahan yang harus dihadapi.Hari-hari di Swiss bagi Rehan dan Nara terasa sangat berbeda. Di tengah k
Happy ReadingHari-hari menjelang ujian semester semakin dekat, dan Aiden serta Alea semakin sibuk mempersiapkan diri. Meskipun banyak hal yang mereka hadapi dalam kehidupan pribadi, mereka tetap berfokus pada tujuan yang lebih besar—menyelesaikan ujian dengan hasil yang memuaskan. Alea, yang sudah beberapa kali terlibat dalam berbagai olimpiade, tahu betul bahwa persiapan yang matang adalah kunci. Sementara itu, Aiden, meskipun tertekan dengan keadaan keluarganya, tetap berusaha keras untuk belajar dan berfokus pada ujian.Setiap pagi, Aiden selalu menjemput Alea dengan mobil sport kesayangannya. Mobil itu, yang biasanya menjadi simbol kemewahan dan kesuksesan, kini menjadi alat untuk mendekatkan mereka berdua. Aiden tidak hanya mengandalkan mobilnya untuk mengantar Alea, tetapi juga untuk memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbicara lebih banyak, bertukar pikiran, dan saling mendukung.“Alea, siap untuk belajar?” tanya Aiden sambil tersenyum, mengingatkan Alea tentang hari yang
Happy ReadingMalam itu, setelah seharian penuh menjalani perawatan untuk Nara di rumah sakit, Rehan akhirnya memutuskan untuk pulang lebih awal. Nara masih terbaring lemah, meskipun ada sedikit kemajuan. Rehan tahu bahwa mereka harus menghadapinya dengan sabar, meskipun terkadang rasa cemas itu begitu besar. Namun, hari esok adalah hari ujian semester bagi Aiden. Rehan merasa sudah waktunya Aiden untuk kembali pulang dan bersiap-siap. Sebelum berangkat, Rehan mendekati Aiden yang sedang duduk di ruang tunggu rumah sakit, memegang ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Rehan tahu betul betapa berat beban yang harus dipikul oleh Aiden, tetapi dia juga tahu, sebagai seorang anak, Aiden perlu waktu untuk menenangkan pikirannya."Aiden, pulanglah bersama Alea. Sudah saatnya kamu istirahat," kata Rehan dengan nada lembut, mencoba memberikan ketenangan. "Nara butuh dukungan kita, tapi kamu juga harus fokus pada ujian semester yang semakin dekat. Jangan biarkan perasaanmu menguasai,
Happy ReadingHari demi hari berlalu, namun keadaan Nara tak kunjung membaik. Meskipun telah mendapatkan perawatan terbaik yang bisa diberikan di Indonesia, kondisi tubuh Nara tetap lemah. Rehan dan Aiden semakin cemas, dan begitu banyak harapan yang terus digantungkan pada kesembuhan Nara. Namun, setiap pagi yang mereka lewati bersama Nara di rumah sakit semakin terasa berat. Nara masih terbaring lemah, tak banyak bergerak, dan wajahnya semakin pucat. Rehan bisa merasakan betapa tubuhnya tak lagi sekuat dulu.Suatu pagi, setelah berbicara dengan tim dokter di rumah sakit, Rehan merasakan ada sesuatu yang harus segera dilakukan. Dia tidak bisa terus berdiam diri menunggu perubahan yang tampaknya tak akan datang. Keputusan ini datang begitu mendalam, begitu mendesak. Dia tidak bisa hanya mengandalkan perawatan di Indonesia yang sepertinya sudah mencapai titik maksimal. "Saya rasa sudah waktunya kita mencari solusi lain," kata Rehan kepada Aiden, suaranya penuh dengan ketegasan dan kes
Happy ReadingSudah hampir seminggu Nara terbaring di rumah sakit, dan keadaan tubuhnya belum juga membaik. Rehan, Aiden, dan Alea tidak pernah meninggalkannya. Mereka bergantian menjaga Nara, selalu berada di sisinya, mendampingi setiap detik yang penuh kekhawatiran. Meski mereka berusaha tetap kuat di hadapan Nara, ada rasa cemas yang tak bisa mereka sembunyikan.Setiap kali Rehan melihat Nara terbaring lemah, hatinya terasa perih. Dia merasa seperti tidak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan ibunya. Walaupun sudah diberi penjelasan tentang penyakit yang diderita Nara, tetap saja tidak ada yang bisa menenangkan rasa takut di dalam dirinya. Nara adalah sosok yang selalu hadir dalam kehidupannya—wanita yang penuh kasih, yang selalu memberi dukungan. Namun kini, ia harus berjuang melawan kondisi tubuhnya yang semakin lemah.Pagi itu, Rehan berdiri di samping jendela rumah sakit, memandangi langit yang mulai cerah, namun hatinya tetap terasa gelap. Di luar sana, dunia berjalan seper