Happy Reading Beberapa bulan berlalu sejak Nara membuat keputusan besar untuk berhenti bekerja sebagai psikiater. Ia memutuskan untuk menggali potensi dirinya di luar dunia medis yang selama ini ia kenal. Kehidupan barunya dimulai dengan perjalanan kembali ke tanah kelahirannya, Arga Makmur, tempat ia mulai belajar tentang pentingnya menemukan kedamaian dengan diri sendiri. Namun, semangat baru itu segera membawanya pada sebuah rencana besar yang selama ini hanya menjadi impian yang tertunda—bisnis fashion. Nara duduk di meja kerja, laptop terbuka di depannya, memeriksa daftar barang-barang yang perlu dibeli untuk toko konsep barunya. Sebuah ide yang seakan menghidupkan kembali api yang sempat padam dalam dirinya. Ia sudah mengurus perizinan dan menemukan lokasi untuk toko pertamanya—sebuah bangunan di Jakarta yang terletak di area strategis, namun dengan atmosfer yang tenang dan elegan, persis seperti yang ia inginkan. Toko itu akan berbeda dengan yang lainnya. Nara ingin men
Happy ReadingToko Nara, *Ateliera*, telah berdiri megah di sudut jalan Kemang. Bangunan dua lantai itu memancarkan nuansa minimalis elegan, dengan kaca besar di fasad depan dan interior yang didominasi warna netral dan aksen emas. Pelanggan yang datang tidak hanya tertarik pada koleksi fashion yang unik, tetapi juga pengalaman eksklusif: konsultasi gaya pribadi, ruangan fitting seperti galeri seni, dan musik ambient yang menenangkan.Namun, seperti roda yang terus berputar, kehidupan Nara kembali diuji.Suatu pagi, saat sedang mengecek laporan keuangan di ruang belakang tokonya, telepon Nara berdering. Nama “Karin” terpampang di layar—sepupu jauhnya yang kini bekerja di dunia korporat. Nara jarang berhubungan dengannya, jadi telepon ini langsung menimbulkan rasa was-was.“Nara, kamu harus hati-hati. Aku denger kabar dari salah satu rekananku di perusahaan distribusi bahan—ada yang nyebar isu kalau brand kamu pakai bahan impor ilegal dari China. Katanya, kamu ngejalanin bisnis dengan
Happy ReadingLangit Jakarta sore itu berwarna kelabu. Udara terasa lembap, dan jalanan macet seperti biasa. Tapi bagi Nara, kemacetan hari itu tak seberapa dibanding macetnya pikirannya sendiri.Sudah tiga hari berturut-turut Rehan tidak membalas pesannya dengan utuh. Hanya balasan singkat seperti, “Oke.” atau “Nanti ya.”Bahkan semalam, panggilannya ditolak. Padahal sebelumnya, Rehan selalu menjadi tempat pulang paling nyaman setelah hari yang melelahkan.Nara duduk di ruang belakang toko Ateliera, membuka ponsel untuk kesekian kalinya, menatap chat yang menggantung tanpa kejelasan. Di benaknya, mulai tumbuh pertanyaan yang menakutkan: Apakah dia mulai menjauh? Atau... sudah ada yang menggantikan?Sore itu, tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk datang ke kantor Rehan.***Di gedung tinggi tempat Rehan bekerja, Nara menunggu di lobi selama hampir satu jam. Ia menolak pulang meski resepsionis bilang Rehan sedang rapat dan belum bisa diganggu. Akhirnya, saat jarum jam menyentuh angk
Happy ReadingSudah dua bulan sejak Rehan dan Nara putus. Dan seperti yang Nara takutkan, Rehan berubah—atau mungkin, kembali ke versi dirinya yang dulu. Versi yang dingin, tidak peduli, dan memperlakukan hubungan seperti permainan catur. Bar malam di kawasan SCBD menjadi tempat pelarian barunya. Setiap akhir pekan, bahkan kadang di malam kerja, Rehan ada di sana—minuman di tangan, perempuan berbeda di sisi. Teman-teman lamanya yang dulu sempat menjauh saat ia bersama Nara, kini kembali mengelilinginya.“Lu balik lagi, Han. Ini baru Rehan yang gue kenal!” seru Bagas, menepuk punggung Rehan keras-keras.Rehan hanya tertawa kecil. Di depannya duduk seorang perempuan muda dengan mata tajam dan senyum yang mencurigakan. Namanya *Remaine*—model, influencer, dan gadis yang tak asing dengan permainan kuasa.“Jadi ini kamu yang katanya dulu kalem banget pas pacaran?” tanya Remaine sambil menyedot minuman dengan sedotan logamnya. “Gue nggak percaya.”Rehan menoleh, ekspresinya datar. “Pacaran
Happy ReadingLangit Jakarta malam itu terasa berat. Angin panas menyelinap lewat jendela tinggi apartemen Remaine di kawasan pusat kota, membawa aroma hujan yang belum jatuh juga. Di dalam, lampu-lampu kuning redup menciptakan bayangan yang panjang di dinding. Dan di tengah ruang tamu yang berantakan oleh botol anggur kosong dan kertas kerja, duduklah Rehan — diam, dengan rahang mengeras dan mata menatap kosong ke arah balkon.Remaine berdiri di belakangnya, menyender pada dinding dengan gelas wine di tangan, mengenakan gaun satin merah marun yang terlalu tipis untuk malam sedingin itu."Aku selalu suka versi kamu yang begini, Han," ucapnya pelan, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Dingin. Brengsek. Nggak peduli.”Rehan tidak menjawab. Sudah lewat tengah malam. Ia bahkan tidak tahu kenapa kakinya membawanya ke sini, ke tempat yang seharusnya ia hindari. Tapi sejak perpisahannya dengan Nara—yang berakhir dengan pesan pendek dan panggilan tak terjawab selama tiga hari berturut-tur
Happy ReadingSudah tiga hari sejak malam itu. Tiga hari sejak Rehan bangun dari ranjang Remaine dengan kepala penuh penyesalan… dan entah kenapa, sedikit kenikmatan gelap yang tak mau hilang. Ia mencoba melanjutkan harinya seperti biasa—meeting, deadline, dan segunung laporan. Tapi bayangan Remaine, suaranya yang berbisik di telinga, dan tatapan Nara yang selalu ia ingat tiap malam sebelum tidur, membuat pikirannya terkoyak habis-habisan.Nara, di sisi lain, merasa ada yang berubah. Bukan hanya karena Rehan mulai sulit dihubungi, tapi juga karena setiap kali mereka bicara—kalaupun sempat—nada Rehan terdengar datar, seperti sedang menyimpan sesuatu yang ia sendiri belum siap akui.Pagi itu, Nara duduk sendirian di kafe tempat mereka biasa bertemu. Ia menatap ke luar jendela sambil menggenggam cangkir kopi yang sudah mendingin. Ia mencoba menghubungi Rehan dua kali sejak semalam, tapi tak ada balasan. Entah kenapa, dada Nara terasa sesak.Bersamaan dengan itu, di seberang kota, Remai
Happy Reading Remaine tidak pernah menjadi tipe perempuan yang puas hanya dengan kemenangan kecil. Bagi sebagian orang, membuat Rehan berselingkuh dari Nara sudah cukup. Tapi bagi Remaine? Itu baru langkah pembuka. Ia duduk di balik meja kaca di ruang kerjanya, mengenakan setelan hitam yang tajam dan lipstik merah gelap yang kontras dengan kulitnya. Di layar monitornya, tampak laporan keuangan perusahaan Rehan—informasi yang ia peroleh bukan secara legal. Tapi itu bukan masalah. Karena permainan yang sedang ia mainkan memang kotor sejak awal.“Aku akan buat kamu kehilangan semuanya, Han,” gumamnya sambil menyesap espresso. “Bukan cuma Nara. Tapi juga nama baikmu. Bisnismu. Bahkan harga dirimu.”Remaine membuka satu folder lagi. Di dalamnya, ada rekaman percakapan. Beberapa email pribadi. Serta laporan transaksi mencurigakan atas nama Rehan—yang sebenarnya adalah bagian dari jebakan yang ia atur sendiri sejak berbulan-bulan lalu. Ya, jauh sebelum Rehan menyentuh tubuhnya, Remaine
Happy Reading Hujan mengguyur atap kamar Nara malam itu, seolah ikut menekan beban yang menghantam dadanya. USB hitam yang tadi ia putar, kini tergeletak di atas meja. Tapi gema suara dalam video itu masih berputar di kepalanya: suara ayah Rehan, menyebut nama kakaknya, Aria, yang meninggal lima tahun lalu dalam kecelakaan misterius.“Ada yang disembunyikan... dan kamu tahu siapa yang harus bungkam kalau kita nggak mau semua terbongkar.”Kata-kata itu mengguncang dasar-dasar kepercayaan Nara. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana, dan kehilangan kakaknya adalah pukulan terberat dalam hidupnya. Tapi tak pernah ia duga, kematian itu bisa jadi... **bukan kecelakaan**.Tangannya menekan layar ponsel yang kini menyala kembali. Ia menekan nama: **Bima**.Nada sambung panjang. Lalu suara berat menjawab, “Nara?”“Aku butuh ketemu. Sekarang.”***Di sebuah kafe tua pinggir jalan, mereka duduk berseberangan. Bima masih sama seperti dulu—tenang, penuh rahasia. Ia menatap Nara dengan sorot yang sul
Happy ReadingMatahari bersinar hangat di Zurich siang itu. Setelah berminggu-minggu penuh perjuangan, cemas, dan harapan, kini semuanya terbayar dengan manis. Nara sudah sepenuhnya pulih berkat pengobatan terbaik di Swiss. Wajahnya berseri, matanya bersinar penuh semangat yang baru, dan tawa kecilnya yang khas kembali memenuhi rumah.Hari itu, mereka semua berkumpul di halaman belakang villa kecil yang mereka sewa selama di Swiss. Sebuah perayaan kecil diadakan untuk merayakan kesembuhan Nara, keberhasilan Aiden dan Alea dalam ujian semester mereka, dan rencana besar yang mulai membentuk masa depan keluarga mereka.Alea berlarian kecil di taman, tertawa saat Aiden mengejarnya dalam permainan ringan mereka. Sesekali, Aiden dengan nakalnya mencolek pinggang Alea, membuat gadis itu berteriak geli sambil berusaha melarikan diri.Di bawah pohon apel yang rindang, Nara duduk di kursi rotan sambil menikmati teh hangat. Rehan duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya dengan lembut, se
Happy ReadingPagi yang cerah di Zurich terasa begitu sempurna. Aiden, yang biasanya serius dan terkadang terlihat sangat sibuk dengan pekerjaan dan urusan lainnya, tampak lebih santai hari ini. Setelah menikmati sarapan bersama Alea dan Nara, serta mendengarkan rencana liburan mereka yang semakin menyenangkan, Aiden merasa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.Nara, yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi berbelanja dengan Alea, duduk di kursi ruang tamu, memandangi pemandangan luar jendela yang indah. Rehan, yang sedang mengatur jadwal pertemuannya lewat telepon, terlihat sibuk dengan pekerjaannya, namun tetap mencuri waktu untuk berbicara dengan keluarga.Aiden menatap Nara dan Rehan, dengan niat untuk meminta sesuatu yang cukup besar. Melihat momen yang pas, dia mengambil napas panjang dan akhirnya berkata, "Mami, papi, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."Nara yang baru saja selesai memeriksa ponselnya, menoleh dan tersenyum pada Aiden. "Ada apa, Nak? Kamu kelihatan serius,"
Happy ReadingMinggu pertama liburan mereka di Swiss dimulai dengan suasana yang penuh kebahagiaan. Setelah ujian semester selesai dan kabar baik tentang pemulihan Nara yang semakin membaik, Aiden, Alea, Nara, dan Rehan memutuskan untuk menikmati liburan panjang di negeri yang terkenal dengan pegunungannya yang megah dan pemandangan yang menakjubkan ini. Mereka memutuskan untuk menjelajahi keindahan alam Swiss, menikmati kebersamaan mereka setelah melewati banyak tantangan.Pagi itu, mereka tiba di Zurich, kota terbesar di Swiss, dan langsung disambut dengan cuaca yang cerah dan udara segar yang begitu menyegarkan. Rehan, yang selalu merencanakan setiap perjalanan dengan teliti, memesan penginapan di sebuah hotel mewah yang terletak di tengah kota, dekat dengan banyak tempat wisata terkenal. Setelah check-in dan beristirahat sejenak, mereka semua berkumpul untuk merencanakan petualangan mereka hari itu."Bagaimana kalau kita mulai dengan jalan-jalan di sekitar Zurich dulu?" Rehan meng
Happy ReadingAiden dan Alea duduk bersama di meja belajar, keduanya sangat fokus pada buku-buku mereka. Meskipun ujian semester sudah semakin dekat, mereka tidak bisa mengabaikan kabar bahagia yang baru saja mereka terima. Nara, yang sempat terbaring lemah di rumah sakit, kini mulai pulih berkat perawatan yang diterima di Swiss. Kabar ini membuat hati mereka sangat lega. Sejak mengetahui kondisi Nara membaik, mereka merasa seolah-olah beban yang ada di pundak mereka sedikit berkurang."Alea, kamu dengar kabar tentang Nara kan?" Aiden memecah keheningan sambil memandang wajah Alea, yang tampak lebih ceria dari biasanya.Alea mengangguk sambil tersenyum lebar. "Iya, aku senang sekali mendengar bahwa Mami Nara mulai pulih. Aku bahkan tidak sabar untuk bisa bertemu dengan dia lagi. Mami Nara benar-benar wanita yang kuat, Aiden. Aku percaya dia akan kembali sehat seperti sediakala."Aiden mengangguk, matanya tampak penuh dengan kehangatan. "Aku juga merasa lega mendengarnya. Setelah semua
Happy ReadingSetelah keputusan untuk membawa Nara ke Swiss, perjalanan pengobatan dimulai dengan penuh harapan. Nara, yang sebelumnya sangat terpuruk karena kondisinya, kini merasakan sedikit perubahan positif berkat pengobatan yang intensif dan tepat sasaran. Di bawah pengawasan dokter ahli di salah satu rumah sakit terkemuka di Zurich, setiap hari menjadi langkah kecil menuju kesembuhan.Rehan, yang selama ini setia menemani Nara, merasakan betapa beratnya perasaan sang istri, tetapi ia tidak pernah menunjukkan kelelahan atau keputusasaan. Ia selalu berusaha memberikan dukungan terbaik untuk Nara, bahkan ketika terkadang dirinya sendiri merasakan kelelahan luar biasa. Namun, melihat Nara perlahan mulai pulih membuat hatinya tenang. Proses pemulihan Nara tidak hanya mempengaruhi tubuhnya, tetapi juga hatinya. Sinar kebahagiaan kembali menerangi wajahnya, meski masih ada sisa-sisa kelelahan yang harus dihadapi.Hari-hari di Swiss bagi Rehan dan Nara terasa sangat berbeda. Di tengah k
Happy ReadingHari-hari menjelang ujian semester semakin dekat, dan Aiden serta Alea semakin sibuk mempersiapkan diri. Meskipun banyak hal yang mereka hadapi dalam kehidupan pribadi, mereka tetap berfokus pada tujuan yang lebih besar—menyelesaikan ujian dengan hasil yang memuaskan. Alea, yang sudah beberapa kali terlibat dalam berbagai olimpiade, tahu betul bahwa persiapan yang matang adalah kunci. Sementara itu, Aiden, meskipun tertekan dengan keadaan keluarganya, tetap berusaha keras untuk belajar dan berfokus pada ujian.Setiap pagi, Aiden selalu menjemput Alea dengan mobil sport kesayangannya. Mobil itu, yang biasanya menjadi simbol kemewahan dan kesuksesan, kini menjadi alat untuk mendekatkan mereka berdua. Aiden tidak hanya mengandalkan mobilnya untuk mengantar Alea, tetapi juga untuk memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbicara lebih banyak, bertukar pikiran, dan saling mendukung.“Alea, siap untuk belajar?” tanya Aiden sambil tersenyum, mengingatkan Alea tentang hari yang
Happy ReadingMalam itu, setelah seharian penuh menjalani perawatan untuk Nara di rumah sakit, Rehan akhirnya memutuskan untuk pulang lebih awal. Nara masih terbaring lemah, meskipun ada sedikit kemajuan. Rehan tahu bahwa mereka harus menghadapinya dengan sabar, meskipun terkadang rasa cemas itu begitu besar. Namun, hari esok adalah hari ujian semester bagi Aiden. Rehan merasa sudah waktunya Aiden untuk kembali pulang dan bersiap-siap. Sebelum berangkat, Rehan mendekati Aiden yang sedang duduk di ruang tunggu rumah sakit, memegang ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Rehan tahu betul betapa berat beban yang harus dipikul oleh Aiden, tetapi dia juga tahu, sebagai seorang anak, Aiden perlu waktu untuk menenangkan pikirannya."Aiden, pulanglah bersama Alea. Sudah saatnya kamu istirahat," kata Rehan dengan nada lembut, mencoba memberikan ketenangan. "Nara butuh dukungan kita, tapi kamu juga harus fokus pada ujian semester yang semakin dekat. Jangan biarkan perasaanmu menguasai,
Happy ReadingHari demi hari berlalu, namun keadaan Nara tak kunjung membaik. Meskipun telah mendapatkan perawatan terbaik yang bisa diberikan di Indonesia, kondisi tubuh Nara tetap lemah. Rehan dan Aiden semakin cemas, dan begitu banyak harapan yang terus digantungkan pada kesembuhan Nara. Namun, setiap pagi yang mereka lewati bersama Nara di rumah sakit semakin terasa berat. Nara masih terbaring lemah, tak banyak bergerak, dan wajahnya semakin pucat. Rehan bisa merasakan betapa tubuhnya tak lagi sekuat dulu.Suatu pagi, setelah berbicara dengan tim dokter di rumah sakit, Rehan merasakan ada sesuatu yang harus segera dilakukan. Dia tidak bisa terus berdiam diri menunggu perubahan yang tampaknya tak akan datang. Keputusan ini datang begitu mendalam, begitu mendesak. Dia tidak bisa hanya mengandalkan perawatan di Indonesia yang sepertinya sudah mencapai titik maksimal. "Saya rasa sudah waktunya kita mencari solusi lain," kata Rehan kepada Aiden, suaranya penuh dengan ketegasan dan kes
Happy ReadingSudah hampir seminggu Nara terbaring di rumah sakit, dan keadaan tubuhnya belum juga membaik. Rehan, Aiden, dan Alea tidak pernah meninggalkannya. Mereka bergantian menjaga Nara, selalu berada di sisinya, mendampingi setiap detik yang penuh kekhawatiran. Meski mereka berusaha tetap kuat di hadapan Nara, ada rasa cemas yang tak bisa mereka sembunyikan.Setiap kali Rehan melihat Nara terbaring lemah, hatinya terasa perih. Dia merasa seperti tidak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan ibunya. Walaupun sudah diberi penjelasan tentang penyakit yang diderita Nara, tetap saja tidak ada yang bisa menenangkan rasa takut di dalam dirinya. Nara adalah sosok yang selalu hadir dalam kehidupannya—wanita yang penuh kasih, yang selalu memberi dukungan. Namun kini, ia harus berjuang melawan kondisi tubuhnya yang semakin lemah.Pagi itu, Rehan berdiri di samping jendela rumah sakit, memandangi langit yang mulai cerah, namun hatinya tetap terasa gelap. Di luar sana, dunia berjalan seper