Di sebuah ruang meeting, Tyo duduk dengan seseorang di seberangnya. Tidak ada yang berniat membuka pembicaraan.
Dean, lelaki yang satunya juga sibuk dengan ponselnya. Sesekali dia melirik orang yang di depannya canggung karena aura lelaki itu terlihat sangat dingin sehingga dia enggan berbicara panjang setelah saling memperkenalkan diri saat masuk tadi.
“Permisi.. Maaf gue telat ya?” tiba-tiba seseorang masuk dengan menggaruk tengkuknya merasa tak enak. Dia mengedarkan pandangan dan tersenyum pada dua orang lelaki yang sudah datang duluan.
“Perkenalkan, saya Jeffrian.” sambung lelaki pemilik lesung pipi itu.
“Tyo.”
“Dean. Duduk Jeff.”
“Thanks. Ini kita bertiga aja nih? Apa ada yang lain?”
“Belum tau.” Tyo menjawab singkat.
Tidak ada lagi pembicaraan setelahnya, semua sama-sama canggung atas pertemuan pertama mereka. Mereka bertiga tak saling mengenal secara pribadi, tapi nama mereka cukup dikenal di perusahaan karena mereka adalah seorang kepala di divisinya masing-masing dan hanya berbicara untuk urusan pekerjaan saja.
Tujuan mereka berkumpul disini karena mereka bertiga terpilih sebagai karyawan dengan kinerja dan profesionalitas tinggi sehingga dijanjikan untuk naik pangkat dengan beberapa persyaratan tertentu.
“Diem-diem bae, kayak di kuburan aja.” akhirnya Jeff buka suara dan memilih untuk berbicara santai agar tidak terlalu kaku.
Dean pun menanggapi ucapan Jeffri dengan menceritakan projek yang baru-baru ini dia selesaikan. Pembicaraan mereka lagi-lagi tak jauh dari obrolan seputar pekerjaan. Sesekali Jeff dan Dean menceritakan atasan mereka yang sering membuat kesal dengan suara yang sedikit dipelankan karena takut terdengar dari luar.
Sedangkan Tyo hanya sebagai pendengar yang baik sambil sesekali mengangguk dan memberikan respon dengan senyum tipisnya. Mau seprofesionalitas apapun seorang karyawan, tentu saja mereka memiliki unek-unek tentang atasan yang menyebalkan. Tetapi tenang saja, jika bukan karena kinerja yang bagus, mereka bertiga tentu tidak akan berkumpul disini.
Saat sedang asyik mengobrol, seseorang masuk ke ruangan meeting mengalihkan fokus ketiganya.
“Siang semuanya.” sapa seseorang dengan setelah jas mahal membalut tubuhnya.
“Siang Pak.” jawab semuanya terkesiap melihat keberadaan Pak Hendra yang menyuruh mereka berkumpul disini.
“Maaf saya terlambat, kalau gitu kita langsung mulai aja meeting-nya ya. Saya sudah baca tentang profil dan keahlian kalian masing-masing. Kalian terpilih menjadi karyawan terbaik dan akan segera naik pangkat, tetapi kalian harus menyelesaikan sebuah misi.”
“Misi Pak?” tanya Dean yang heran dengan pemilihan kata Pak Hendra.
“Iya misi. Jadi ini sebenarnya misi dari Pak Danuarta, CEO perusahaan kita. Sebuah kebanggaan bagi kalian bisa turut serta dalam misi ini.” ucap Hendra.
Tyo, Dean dan Jeff menegakkan tubuh mereka dari kursi sangat tertarik dengan misi yang akan disampaikan.
Pak Hendra pun menjelaskan bahwa selama tiga bulan mereka harus bekerja di sebuah perusahaan properti di kota Bandung. Selama tiga bulan itu mereka juga harus menyelesaikan misi tersebut.
“Maaf Pak, bukannya itu perusahaan kecil ya?” tanya Tyo.
“Benar sekali. Perusahaan ini baru saja dirintis kurang lebih 5 tahun.”
“Oh jadi kita disuruh memimpin perusahaan disana ya ,Pak?”
“Bukan, kalian disana hanya menjadi karyawan biasa. Lihat gadis kecil di foto ini, namanya Azalea. Dia adalah cucu satu-satunya Pak Danuarta.” ucap Hendra sembari menunjukkan selembar foto seorang gadis kecil.
Ketiganya mengerutkan dahi semakin tak mengerti maksud Pak Hendra.
Kemudian Pak Hendra kembali menjelaskan asal usul sebuah misi tersebut. Jadi, Azalea hilang saat berumur 7 tahun akibat kecelakaan dan mobilnya masuk ke dalam jurang. Jasad kedua orang tuanya ditemukan setelah melakukan pencarian beberapa hari, tetapi jasad Azalea tidak juga ditemukan. Pihak keluarga pasrah dan menganggap dia juga sudah meninggal. Tetapi baru-baru ini salah satu tim yang dulu mencari keberadaan Azalea menemukan foto anak yang mirip dengan Azalea di salah satu panti asuhan di Bandung.
“Setelah bertanya dengan pihak panti, gadis itu sudah tumbuh dewasa dan sekarang bekerja di perusahaan itu. Namanya Larasati.” ucap Hendra memberikan selembar kertas yang berisi profil seorang gadis.
“Jadi, tugas kita apa Pak?” tanya Jeff masih tak mengerti alur pembicaraan ini.
“Dekati dia, lindungi dia dan bantu dia mengingat masa lalunya tentang Pak Danuarta.”
“Maaf Pak, tapi ini kami bukan bodyguard atau mata-mata, tugas kami …” ucap Dean bermaksud protes tetapi langsung terhenti saat Pak Hendra menyodorkan sebuah kertas berisi kontrak yang isinya sangat mengejutkan. Tak tanggung-tanggung, mereka seperti mendapat durian runtuh jika mampu menyelesaikan misi ini.
“Saya deal, Pak!” sahut Jeff tanpa basa-basi dengan wajah berbinar seolah membentuk dollar di matanya.
“Pak Danuarta punya alasan khusus mengapa menyuruh kalian melakukan misi ini. Bukan hal sulit baginya membayar tim mata-mata, tapi ini bukan hanya masalah cucunya saja, ini juga permasalahan perusahaan. Dan kalian dipercaya mampu menyelesaikannya.” Sebagai asisten pribadi Pak Danuarta, Hendra mencoba meyakinkan ketiga lelaki itu.
Mendengar hal itu mereka seperti mendapat suatu kebanggaan karena telah dipercaya penuh oleh pimpinan mereka. Tanpa berpikir panjang lagi, mereka langsung menyetujui persyaratan tersebut dan menandatangani kontrak.
“Oh iya, segala penginapan dan fasilitas kalian sudah dipersiapkan. Kalian tinggal menikmati saja. Kalian juga harus ingat bahwa kalian bekerja sebagai tim. Keberhasilan satu orang adalah keberhasilan bersama, begitu pula sebaliknya. Kinerja kalian tetap dipantau oleh tim kami. Ini merupakan misi rahasia, jangan sampai ada yang tahu tentang misi ini, Azalea sekalipun.”
Tyo, Jeff dan Dean saling pandang mendengar penjelasan tambahan dari Pak Hendra.
“Satu lagi, jangan sampai jatuh cinta.”
“Kenapa Pak?”
“Semua yang sudah berurusan pakai hati, akan lebih ribet urusannya. Saya cuma mengingatkan saja.” jawab Hendra dengan senyum tersungging di wajahnya.
“Kami akan professional, Pak.” jawab Tyo sebagai penutup perjumpaan mereka dilanjutkan dengan saling berjabat tangan.
“Wohooo… Gokil!! Ini mah bukan cuma bisa beli mobil, beli rumah sampai isi-isinya juga masih sisa.” ujar Jeff bersemangat seraya mencium-ciumin kertas kontrak yang sangat berharga itu. tentu saja dia bisa berteriak sekarang karena Pak Hendra sudah keluar dari ruangan meeting.
“Kalau dilihat-lihat juga gak terlalu buruk. Tugasnya juga di Bandung, bisa sekalian nyantai kita.” jawab Dean.
“Tyo, lo sariawan ya? Kenapa diem mulu sih?” tanya Jeff.
“Saya lagi mikir.”
“Mikir apa?”
“Tiga bulan, apa bisa kita menyelesaikan misi ini?”
“Bisa lah, sebulan juga bisa.” jawab Dean sesumbar.
“Selama tiga bulan kita akan tinggal bareng dong.” Jeff menggelayutkan lengannya pada bahu Dean dan Tyo mencoba akrab dengan keduanya.
“Sono ah, jijik.”
“Azaleeaaa.. we’re coming!!”
“Sstt.. berisik.”
Mulut Jeff langsung terdiam karena kini yang protes adalah Tyo dan Dean hanya cekikikan geli.
"Jadi kita nungguin Azalea disini nih?""Iya tungguin aja." Tyo menjawab pertanyaan Jeff yang sudah berapa kali menanyakan hal yang sama. Pasalnya Jeff protes karena belum tentu mereka mengenali wajah Azalea dalam sekali tatap. Selembar profil milik Azalea belum bisa dijadikannya sebagai patokan."Ingat, namanya Larasati, bukan Azalea." Dean menepuk paha Jeff yang duduk di sampingnya."Oke, jadi strategi kita apa nih?""Strategi apa?""Ya pertemuan awal tuh harus berkesan kan?""Menurut saya kita jangan terlalu kentara kalau tujuan kita disini untuk mendekati dia.""Nah, pinter si Tyo. Semua ngalir aja Jeff. Kok lu ribet banget pake strategi segala.""Kita juga kan harus tau dia itu orangnya gimana.. Nah dari pertemuan awal kita bisa tau langkah apa yang bisa kita ambil selanjutnya. Lo bedua sih jomblo, gak tau gimana cara deketin cewek. Udah pokoknya lo bedua ikut saran gue deh.""Yaudah strateginya gimana Bambang?" tan
“Makasih kang.” “Sama-sama neng.” Setelah membayar ojek online yang dinaikinya, Laras masuk ke dalam gedung. Sebelum menuju kantornya seperti sebuah kebiasaan kakinya berbelok dahulu untuk membeli caramel macchiato sebagai santapan sarapannya. “Gue yang bayar. Janji gue kemaren.” seseorang menyenggol lengan Laras dan mengeluarkan kartu member dan selembar uang lima puluh ribuan. “Thank you.” balas Laras seraya tersenyum pada Yudha. “Mau rontok badan gue Ras.” eluh rekan kerjanya itu. “Kenapa?” “Yakan dua hari ini gue handle kerjaannya Cita.” “Ya gak apa lah, Yud. Itung-itung pahala.” “Dia sakit apaan sih?” “Gak tau, dia gak ada bilang gue.” Laras memencet tombol lift, mereka berdua datang cukup pagi sehingga lift tidak terlalu ramai. “Eh lu tau gak tiga orang karyawan yang datang semalem tuh ya katanya pegawai teladan di kantornya dulu, trus dipindahin ke sini karena bakal
“Pagi ceu”“Pagi neng Laras. Eh pagi-pagi udah datang. Dianter siapa neng?”“Naik mobil sendiri ceu. Haykal sama kakek kan udah disini dari tadi malam.”“Oh iya? Aduh eceu baru dateng jadi gak tau hehe.”“Saya masuk dulu, ceu.”“Mangga neng.”Laras melangkahkan kaki ke sebuah rumah bercat putih tulang dengan desain interior lama menghiasinya. Sebelum masuk akan terlihat plat kayu yang sudah usang bertuliskan Panti Asuhan Teras Singgah. Langkah Laras langsung menelusuri bilik-bilik kamar untuk menyapa anak-anak panti.“Teh Laraaasss..” sapa seorang anak laki-laki dengan bola di tangannya.“Loh pagi-pagi udah mau main bola? Sarapan dulu atuh.”“Iya teh, mau olahraga pagi biar sehat.”“Kita mau main sama a’ Ekal.” seru lelaki yang satunya lagi.“Udah beresin tempat tidur?”
“Beneran yang ini jalannya?”“Berdasarkan map yang saya lihat sih benar.”“Nama panti asuhannya apa Jeff?”“Bentar..Hmm Teras Singgah. Itu tuh.” ujar Jeffri dari bangku belakang seraya menunjuk papan nama bertuliskan nama panti asuhan yang mereka tuju.Akhirnya mereka sampai di tujuan dan hari sudah semakin siang. Jarak yang mereka tempuh memang cukup jauh karena panti asuhannya terletak di luar kota Bandung dan sudah menuju pedesaan. Mereka menghabiskan hampir dua jam untuk bisa sampai di tujuan, itu juga termasuk waktu bertanya-tanya pada warga sekitar agar tak salah jalan.Mereka pun memarkirkan mobil di luar pekarangan panti dan segera turun untuk melihat-lihat ke dalam. Suasana luar panti terlihat sepi, hanya ada satu orang penjaga yang sedang menyapu halaman.“Punten, ada yang bisa saya bantu?”“Siang pak, eh hmm.. kita kesini mau..”“Kita ada n
“Terimakasih Pak Jeffri.”“Sama-sama, Pak. Saya tunggu kabar baiknya.” jawab Jeffri sambil menjabat tangan kliennya.Jeffri membereskan berkas-berkasnya setelah memastikan kliennya sudah beranjak pergi. Dia menyesap kopinya yang sudah dingin dan juga berniat untuk kembali ke kantor. Namun dia mengurungkan niatnya saat melihat sosok gadis yang dikenalnya duduk di meja seberang, dia juga sedang meyakinkan seorang klien. Jeffri kembali membuka laptopnya dan berniat untuk duduk di café itu lebih lama.“Larass..” panggil Jeffri menghampiri gadis itu ketika memastikan dia sudah menyelesaikan meeting-nya.“Hey, selamat siang Pak Jeffri.”“Hahaha santai lah, meeting udah kelar juga. Gimana? Lancar?”“Hmm.. so far so good lah.”“Good job, toss dulu dong sesama tim marketing.” Laras membalas adu toss oleh Jeffri seraya tersenyum.“Udah makan?
“Teteh sama aa begadang nonton badminton lagi ya?”“Hehe iya kek.” jawab Haykal sambil mengucek matanya.“Pantes tidurnya bablas.”“Abisnya teh Laras ngajakin begadang.”“Kok jadi nyalahin teteh, nontonnya berdua juga. Lagian kamu tuh yang kebablasan subuh, teteh aja masih sempat masak.” sahut Laras menghampiri kakek dan Haykal yang berada di ruang makan. Dia membawa sebakul nasi goreng hangat yang harumnya membuat Haykal semakin lapar.“Ada tim Indonesia yang menang gak?”“Menang dong kek, jagoannya teteh menang.” kini Laras yang menjawab pertanyaan kakeknya seraya menuangkan nasi goreng ke piring.“Taufik Hidayat ya?”“Beuuh si kakek lawas banget. Jaman sekarang tuh ada Minions, The Daddies. Kalau penerus a taufik itu ada Anthony Ginting, Jonatan Christie…” jawab Haykal panjang lebar yang hanya ditanggapi dengan
Laras merenggangkan tubuhnya pada kursi putarnya yang sudah menimbulkan bunyi decitan menandakan kursi itu sudah pantas untuk diganti. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.00. Laras baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap untuk pulang. Saat dia berdiri dan mengambil tas tiba-tiba satu sosok mengagetkan dirinya.“Astaga.. kaget gue.”Sosok yang dimaksud tidak bergeming sedikit pun, dia hanya diam dan menatap Laras dengan lekat.“Saya gak bermaksud ngagetin kamu.”“Iya tapi gue kaget.” jawab Laras pelan hampir tak terdengar lelaki tanpa ekspresi itu, siapa lagi kalau bukan Tyo.“Mau pulang?”Laras tak menjawab pertanyaan Tyo karena jelas saja dia mau pulang, masak mau nginap di kantor.“Mau pulang?” tanya Tyo lagi mengharapkan jawaban Laras yang malah terbengong.“Iya.” jawabnya singkat dengan senyum seadanya.Tidak ada jawaban lagi, Tyo han
“Ras, lo belum cerita sama gue.”“Cerita apa?”“Itu loh, cowok yang kemaren jemput lo di kantor.”“Ojek?”“Dih, cowok keren naik pajero lo bilang ojek. Jahat lo.”“Oh yang itu.. lo yang jelas dong kalau ngomong. Kan emang gue seringan dijemput ojek. Cit, olive oil-nya mana?”“Itu di pojokan. Udah buru cerita, jangan ngalur ngidul lo.”“Itu mas Jhony.”“Siapa?”“Temen.”“Temen dari mana?”“Ketemu gak sengaja di perpus dekat panti, terus ngobrol.”“Udah jadian?”“Apaan sih lo, udah dibilang temen cit, temen.”“Yaelah, santai dong.”“Eh, lo ada parmesan gak?”“Gak ada, udah pake keju parut biasa aja.”Laras melanjutkan proses memasaknya, sedangkan Cita tengah sibuk mer