"Untung aja gue nggak masuk angin, bener-bener kalian berdua titisan dakjal." Shira terbahak diikuti indah yang sudah hampir menangis saking bahagianya.
"Basah kuyub nggak bangun dia, heran asli," ujar Indah sambil memegang perutnya, tidak kuat lagi dengan apa yang terjadi.
"Apa begitu rasanya mimpi basah?"
"Ssst, pelan, Pak Arga di atas." Meraih cepat bibir Luna untuk Shira bungkam.
"Lepas, Maemunah, gincu gua, woi!" teriak perempuan itu tidak terima.
"Sumpah, ngakak banget, pas Luna bangun teriak banjir-banjir." Indah masih saja tertawa, membayangkan semalam saat hujan angin semakin deras, tanpa tau diri keduanya membiarkan Luna tidur di bawah beralaskan tikar dengar air yang menggenangi sekitar.
"Diem lu, Siti! Gua gibeng juga lu bedua abis!"
"Onty, kangennnn..." Bocah lelaki itu berlari, menubruk cepat kaki Shira, kedua tangannya di ulurkan agar wanita itu menggendongnya.
"Anak tampanku." Dengan mata berbinar, Shira mengambil tubuh kecil bocah lelaki itu untuk dia dekap.
"Arzha, katanya mau ketemu papi?!" teriakan itu sontak membuat ketiganya menengok.
"Mami, aku mau sama onty Shira dulu, boleh?" pintah bocah lelaki itu pelan.
Perempuan itu menggeleng, lalu mengambil paksa putranya. "Nggak, Arzha ke sini mau ketemu papi, cepat ke atas!"
"Tapi, Mi ---"
"Siapa yang ngajari kamu bantah?" Perempuan itu menurunkah tubub kecil sang anak.
"Ikut Mami ke atas." Liza menarik tangan putra kecilnya.
"Mbak, jangan diteken, nanti tangan adek sakit." Dengan refleks tangan Shira terangkat, berusaha melepaskan cekalan Liza.
"Kamu itu ikut campur mulu, ya?! Aku masih mending cuma neken tangan anakku, sedangkan kamu? Apa yang kamu lakukan sama anak tak berdosa itu?!" Perkataan Liza mampu melumpuhkan saraf Shira, perempuan muda itu mengangkat tubuh kecil sang putra lalu berjalan menuju ruangan Arga di lantai atas.
Shira terdiam, tubuh ringkih itu limbung yang untungnya cepat Indah tangkap. "Benar, apa yang mbak Liza lakukan nggak ada apa-apa nya sama perbuatanku."
"Dasar, penghisep darah! Sok tau banget, bangsul!" umpat Luna berapi-api.
"Mau aku buatkan teh?" Indah membantu sahabatnya untuk duduk.
"Aku jahat banget, ya? Nggak ada wanita yang lebih jahat dari aku, iya' kan?"
**
"Habis ini main ke timezone aja, yak? Ambil boneka, lu pasti dapet banyak!" Luna terus saja mengoceh sambil memakan sosis bakar di tangan.
"Lama banget munculnya sih keburu malam." Berdecak kesal Indah yang jarang mengeluh pun akhirnya menyerah.
"Lu baru sekali' kan ikutan? Gua nih tahan banting, lima tahun bisa lu bayangkan, gua selalu ngikut dia tiga kali sehari macam minum obat buat liat si pentolan itu." Dengan sekali lahap, potongan sosis besar masuk sempurna ke mulut Luna.
"Berisik lu pada." Pelototan tajam langsung merekan dapatkan.
"Lha dia ngomel," tukas Indah mengerucut.
"Mending lu sini, duduk samping gua sambil makan sosis, burem liatin pentolan sama para cewek murcenya." Luna menepuk sisi kursi panjang yang sengaja mamang bakso tinggal.
"Nah itu mas Ken." Shira meloncat kegirangan, hatinya menghangat setiap kali melihat lelaki itu walau dari jarak jauh, semua dendam seakan lenyap hanya menyaksikan separuh jiwanya itu baik-baik saja.
"Cinta boleh, goblog jangan, sekedar memberitahu sih." Ditariknya satu tusuk sosis dari dalam plastik.
Shira mengangkat bibir, saat mobil itu melaju pergi perempuan itu duduk di sebelah kedua sahabatnya. "Ketika kamu tulus mencintai, bahkan melihatanya bahagia itu sudah sangat cukup."
"Lihat, temen lu," ucap Luna sambil menunjuk Shira menggunakan sosis di tangannya. "Goblognya nggak ada obat, udah permanen," sambung perempuan itu menggeleng.
"Semalem udah gue ceramahin, Shira keras banget." Indah mencibir.
"Eh, Maemunah, lu punya akal nggak sih?! Itu laki lu pernah selingkuh,terus lu dicerain dalam keadaan tak berdaya, lu kalo Indah nggak temuin udah metong kalik ya!" Luna memang sudah lelah memberitahu, tapi terkadang rasa kesal membuat bibirnya tidak bisa dikunci.
"Percuma, Luna, lu mau ngomong sampe gimana nggak akan ada efek, yang ada dongkol aja kita." Saut Indah yang sudah sangat pasrah.
"Lu emang nggak waras! Kasihan hati lu, pasti pedih banget, butuh obat dia, jangan lu bawa ke masa lalu mulu, remuk itu organ." Maju pantang mundur, Luna terus saja berbicara.
"Sakit hati itu memang tidak ada obatnya, kita hanya perlu merenung sesaat lalu bangkit di detik berikutnya."
"Bubar, udah mulai begini, yok kita nge-mall aja dah."
Dengan cepat Luna bangkit, menarik kasar pergelangan tangan Shira agar mengikutinya. Indah terbahak, melihat perdebatan keduanya memang sudah biasa, tetapi rasanya tetap menyenangkan setiap kali menyaksikan. Dirinya juga tau bahwa sampai kapan pun Shira tidak akan pernah berubah, perempuan itu tidak akan membenci mantan suaminya bahkan seujung jari pun, semua perkataan, nasehat hanya masuk telinga kanan lalu keluar di kiri pada waktu yang sama.
Karena Shira selalu berkata, bagaimana pun Ken Farrel, dia itu terindah dan tak akan pernah terganti.
***
"Tumben ke sini?"
Lelaki itu tidak menjawab, segera masuk tanpa mempedulikan sang pemilik rumah yang sedang bertanya. "Dih, nggak sopan amat lu."
Farrel terduduk di kursi, memijat berat keningnya. "Gua nggak mau nikah."
"Perjodohan lagi?" Farzan bisa menduga.
"Gue bukan lelaki sempurna, lu tau kekurangan gue? Mana ada keluarga yang mau nyerahin anak gadisnya sama lelaki kayak gue?!" teriak Farrel frustasi. "Nyokap gue pasti nggak bilang apa-apa sama pihak perempuan, setelah menikah masalah muncul, lalu siapa yang mau tanggung jawab?!"
"Nyokap lu kenapa ngebet banget sih, giliran dulu lu sama Shira ---"
"STOP! Kenapa jadi disangkut-pautin sama dia?!"
"Karena lu cuma cinta dia." Bibir Farzan mencibir.
"Zan!" teriak Farrel frustasi.
"Bro, gua bukan orang goblog, bahkan anak awam aja bisa ngerti gimana cinta lu sama Shira." Farzan menepuk bahu sahabatnya. "Dan cuma Shira wanita yang bahkan mau ngelakuin apapun buat lu, dari yang waras sampe hal gila yang manusia normal nggak akan mau."
"Gue salah datang ke sini." Diacak kasar rambut hitamnya.
"Ya emang salah, yang benar lu dateng ke club terus mabuk, tidurin sembarang cewe di sana, itu baru benar' kan?" ejek lelaki itu.
"Gua pergi." Farrel bangkit sambil mengambil cepat kunci mobil yang berada di meja.
"Tunggu." teriak Farzan sambil merogoh kantongnya.
"Tinggal satu, mumpung istri gue masih di rumah orang tuanya." Farzan melempar benda yang masih berbungkus plastik rapi itu dan segera Farrel tangkap.
"Apaan?!" Emosi lelaki itu tersentil.
"Walau lu nggak bisa bikin hamil, setidaknya lu tetap pakai, nggak ada yang tau penyakit apa yang di bawa para penghibur di sono!" Tanpa menjawab Farrel bergegas keluar, mengantongi cepat benda itu dan menghilang dari peredaran mata sahabatnya.
"Jangan lupa dipakai! Kalau yang di atas berkehendak, kecebong lu bisa juga jadi." Tidak ada jawaban, lelaki itu sudah terlanjur menjauh.
"Loh, Arzha di sini?" Shira yang baru selesai membersihkan meja menghampiri bocah lima tahun yang sedang menyuapkan es cream ke mulut."Onty Shira," ujar anak itu berbinar."Makannya pelan, Nak." Perempuan itu dengan kilat mengambiltissudi meja samping lalu membersihkan sisa es cream di bibir Arzha."Mami lagi pergi, aku dititip Papi," jawab bocah lelaki itu meringis."Udah jam sembilan, Arzha nggak sekolah?" tanya Shira sambil merapikan rambut anak tampan di depannya."Nggak tau." Geleng anak itu polos."Shir, persediaan gula di dapur abis, belanja gih." Luna berjalan mendekat."Ha?" Shira mendongak, membenarkan alat bantu dengarnya."Belanja gula!" Mulut Luna sampai menempel di telinga Shira, membuat perempuan itu refleks berdiri."Ya nggak usah begitu kalik, lu pikir gua tuli," omel Shira tidak terima.
"Tumben ngajak gue ke tempat beginian?" Farzan mengkerut, tidak ada tempat yang lebih menyenangkan dari padaclub, Farrel sendiri yang pernah mengatakan hal itu. "Haduh, ditanyain diem aja, kali ini yang bermasalah telinga atau mulut lu?!" Lelaki itu terus berbicara walau langkahnya tetap bergerak."Tanya sekali lagi, mending lu pulang!" Ditariknya cepat kursi kayu itu lalu Farrel duduki.Farzan mengkerut, ikut menarik kursi dan duduk tepat di hadapan sang sahabat. "PMS atau gimana sik, judes amat jadi manusia?!"Tidak ada jawaban, duda keren itu malah membuka buku menu untuk mencari makanan yang akan dirinya pesan."Eh, bukanya itu Shira, ya?" Suara Farzan tidak lelaki itu gubris, dia tau semua tentang sang mantan, bahkan dia bisa bertarung bahwa wanita itu tidak akan menginjakan kaki di restaurant dengan menu seperti ini. "Eh, bener! Itu mantan bini lu, duit dari mana bisa makan di sini." Farza
"Apa?!""Cedera saraf tulang belakang adalah kondisi bila bagian manapun pada tulang belakang, seperti jaringan, bantalan, tulang, ataupun saraf tulang belakang itu sendiri mengalami kerusakan.""Bukan itu! Apa hubungannya dengan kesuburan?!""Rayline, sabar.""Sabar kamu bilang?! Kamu sengaja sembunyiin ini dari aku? Makanya kamu awalnya nggak mau aku ajak tes kesuburan?!""Ray... malu dilihatin,"bentak Farrel."Dok, bisa dilanjutkan""Cedera saraf tulang belakang dibagi menjadi dua tipe, yaitu traumatis dan non-traumatis.Cedera saraf tulang belakang traumatis adalah kondisi ketika tulang punggung mengalami pergeseran, patah, ataupun terkilir akibat kecelakaan, seperti kecelakaan bermotor, cedera saat berolahraga, terjatuh atau mengalami kekerasan. Sedangka
"Widih, pergi nyelonong sendiri sekarang mah, nggak bilang dulu!" Luna mencibir ketika pintu kontrakan terbuka."Berisik dah lu," jawab perempuan itu sambil masuk kamar mandi untuk berganti baju."Eh lu ke mana sih, di telfon nggak nongol." Shira keluar kamar mandi, terduduk sambil mengeringkan tangan dan kakinya yang basah."Kepo!" Lidah perempuan itu terjulur."Eh, woy, gincu lu kenapa?" Mulut Luna terbuka. "Wah nggak bener, habis slepetan sama siapa lu?!""Hah?" Dengan tergesa Shira menyamber kaca di samping."Emmm ini," ujar Shira tergagap. "Tadi aku pake masker jadi gini." Alibi wanita itu berjalan."Itu bekas slepetan keleus, pake masker nggak begitu," ujar Luna tidak percay
"Wah, wah, kalian ngapain?!" Suara berat itu menggema."Emmm, Ken lepas, huh ...." Dorongan keras Shira berikan kepada mantan suaminya."Kalian berdua berbuat mesum?" Shira menggeleng cepat."Pak, ini ....""Kamu tau aturan di desa ini 'kan, Shira? Kalau ada yang berbuat mesum harus apa?" ujar lelaki paruh baya itu tegas."Pak, saya bisa jelasin," ujar Shira mengelap kasar bibirnya. "Ken, aku mohon jelaskan." Mata Shira berkaca, menatap Farrel yang masih setia membisu."Memang aturannya apa kalau berbuat mesum di sini?" tanya lelaki itu tanpa dosa."Ken Farrel!" Teriak Shira."Apa?" jawab lelaki itu santai."Kalian harus menikah.""Menikah?" Dahi Farrel mengkerut. "Hanya karena berciuman harus menikah?""Ini pedesaan, aturan di sini begitu, sudah turun temurun." Jelasnya."Pak, sa
--"Gue pergi semalem si Shira sama Ken udah kawin, gila nggak tuh?!" Gibah pagi hari resmi dimulai."HAH, BENERAN?" Indah yang sedang ngemil hampir saja menyemburkan makanannya."Tadi pagi pas gue masuk rumah, begitu berdosanya lihat Ken telanjang dada dan si shira rambutnya basah," ujar Luna melebih-lebihkan, perempuan satu ini memang pantas disebut 'Ratu Gibah'. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Shira yang baru keluar dari kamar mandi karna rambut panjangnya terkena kecap yang tumpah di dapur dan Ken yang akan mengambil jam tangan di meja depan, kebiasaan lelaki itu memang tidak berubah, selalu menunda memakai baju jika sehabis mandi."Astafirullah, Shir, kamu?" Tatapan tajam Indah serasa ingin menghakimi."Lu kompor banget sih, Lun," ujar Shira kesal.
-"Kamu tau nggak, tempat apa yang akan aku kunjungi setelah sembuh?" Perempuan itu membuka pembicaraan.Bibir mungil itu mengerucut. "Oke, aku paham kalau kamu nggak suka diajak bicara pas nyetir.""Aku pengen banget ke pantai lagi, jalan di tepian terus nunggu ombak dateng, kamu inget nggak pas honeymoon dulu?" Tidak ada jawaban, lelaki di sampingnya tetap saja diam."Ah, itu es cream kesukaanku, kenapa nggak berhenti? Aku bukannya udah pesen kalau mau mampir?" perempuan itu terus saja berbicara.Decitan rem terdengar. "Mas!""Kamu kenapa berhenti mendadak? Gimana kalau tadi kepala aku kebentur?"
Shira membuka mata, jam masih menunjukan pukul lima pagi tapi matanya tidak bisa tertutup kembali, semalam saat lelaki itu berkata ingin memanfaatkannya, Shira tidak lagi bisa berbicara, lidahnya kelu, tubuhnya lemas, dan otaknya kosong. Lagi pula apa yang bisa perempuan itu harapkan dari lelaki yang sudah berkhianat? Cinta dan kesetiaan? Bodoh jika iya. Memilih bangkit, perempuan itu mengikat cepat rambut panjangnya."Sudah bangun?" Shira terperanjat, lelaki itu sudah berdiri di depan, semalam dengan tidak tau diri, Ken mengambil tempat tidur istrinya dan dengan bodoh Shira menurut begitu saja. "Kamu banyak berubah, Lashira mana pernah bangun sepagi ini? Hmm?"Perempuan itu tidak mengubris, memilih menjauh dari sang suami, tapi sebuah tarikan membuat tubuh Shira menabrak kasar dada Ken."Lepas!" Shira mendorong kasar lelakinya. "Kamu boleh membuatku menjadi milikmu kembali, ta