Share

Bagian 8 : Tidak selemah Itu.

"Apa?!"

"Cedera saraf tulang belakang adalah kondisi bila bagian manapun pada tulang belakang, seperti jaringan, bantalan, tulang, ataupun saraf tulang belakang itu sendiri mengalami kerusakan."

"Bukan itu!  Apa hubungannya dengan kesuburan?!"

"Rayline, sabar."

"Sabar kamu bilang?! Kamu sengaja sembunyiin ini dari aku? Makanya kamu awalnya nggak mau aku ajak tes kesuburan?!"

"Ray... malu dilihatin," bentak Farrel. "Dok, bisa dilanjutkan"

"Cedera saraf tulang belakang dibagi menjadi dua tipe, yaitu traumatis dan non-traumatis.

Cedera saraf tulang belakang traumatis adalah kondisi ketika tulang punggung mengalami pergeseran, patah, ataupun terkilir akibat kecelakaan, seperti kecelakaan bermotor, cedera saat berolahraga, terjatuh atau mengalami kekerasan. Sedangkan cedera saraf tulang belakang non-traumatis, disebabkan oleh penyakit lain, misalnya radang sendi (arthritis), osteoporosis, kanker, kelainan pertumbuhan tulang belakang sejak lahir, dan peradangan tulang belakang."

"Kamu nggak pernah cerita!" Rayline menatap galak lelakinya.

"Aku pernah kecelakaan dulu."

"Yang sama mantan istri kamu?" Mata setajam elang itu melotot.

Farrel mengangguk. "Tapi aku udah sembuh, Ray, ini tinggal pemulihan."

"Apa karena ini Shira ceraian kamu?" selidik Rayline.

Farrel menggeleng. "Dia tau aku lebih bahagia sama kamu, makanya dia lepasin aku."

"Aku pengen punya anak cepat, berapa tahun lagi pemulihannya, aku nggak bisa sabar," omel wanita itu.

"Karena cedera saraf tulang belakang ini Pak Farrel mengalami Impoten."

"APA?!"

"Impotensi merupakan kondisi saat pria sulit atau tidak bisa mengalami ereksi atau mempertahankannya dalam waktu yang lama." Jelas dokter itu. "Tapi tenang saja Pengobatan sudah lama berjalan, hanya tinggal pemulihan."

"Aku nggak mau tau, kita putus." Perempuan itu bangkit dari kursi.

"Ray, kita sudah tunangan, pernikahan hanya menghitung bulan saja." Farrel menggeleng.

"Masi berani kamu bicara begini? Setelah bohongin aku selama ini?!" ujar Rayline menggebu.

"Aku nggak bohong, cuman belum sempat cerita saja."

"Peduli setan, aku nggak mau dengar lagi!" Wanita itu berlari keluar dengan luapan amarah yang menggebu.

*

"Buset, ngalamun mulu." Farrel terlonjak.

"Mikirin Shira?" Lelaki itu menggeleng.

"Dih, bohong," cibir Farzan tidak percaya.

"Keinget Rayline." Lelaki itu mengacak kasar rambutnya, kenapa bayangan wanita itu masih menghantuinya?

"Nenek lampir itu masih kamu inget, najis!" Wajah jijik Farzan terpancar.

"Aku salah waktu itu."

Farzan mengambil duduk di samping. "Apa salahnya sih, karena kamu sakit?  Masalahnya kamu udah sembuh,  tinggal pemulihan aja, apa kudu diperjelas?!"

"Nggak tau aku sembuh belum." Lelaki itu menggeleng.

"Dokter bilang udah!  Lagian pas main apa loyo? Nggak kan?!" Kesal Farzan, pasalnya lelaki itu benar-benar sudah sembuh dari sakitnya.

Farrel menyugar rambutnya. "Entahlah, tiba-tiba malah keinget Rayline."

"Mengalihkan pembicaraan mulu lu, kayak nggak pernah main aja." kesal Farzan.

***

"

Nak, saya minta maaf, ya?" Perempuan itu membelai lembut nisan di depannya. "Andai kamu masih ada, pasti saya lebih punya semangat untuk menjalani hidup," lanjutnya lirih. "Tapi saya sendiri yang membuat kamu pergi."

"Shira?" Perempuan itu menghapus kasar air matanya lalu menoleh.

"Mas Ken?" Lelaki itu terdiam, lalu ikut berjongkok di samping nisan.

Shira terdiam, ikut memejamkan mata ketika lelaki itu juga melakukannya, entah sudah berapa tahun mereka tidak bersanding seperti ini, rasanya sangat canggung.

Dan ketika beberapa menit berlalu, lelaki itu membuka mata dan memberikan buket bunga cantik di atas makam.

"Aku duluan," ujar Farrel yang langsung berdiri, Shira menatap lekat suaminya lalu mengikuti hingga keluar dari pemakaman.

"Sejak kapan kamu suka ke sini?" Langkah pasti milik lelaki itu terhenti. "Bukanya kita membunuhnya bersama, kenapa masih peduli?"

Tatapan setajam pisau milik Farrel terpancar. "Tanya pada diri kamu sendiri, kita membunuhnya bersama, tapi kamu juga kenapa peduli?"

Shira terkekeh, mungkin di belakang lelaki ini dirinya bisa menunjukan cinta, tapi jika di depan? Menunjukan rasa benci adalah yang terbaik. "Karena aku menyesal."

"Apa kamu juga menyesal? Membunuh anakmu dan menceraikan istrimu yang cacat?" Shira tersenyum sengit.

"Jaga mulutmu!" Tangan Farrel terangkat, tapi hal itu tidak terjadi.

"Mau menamparku? Silahkan." Perempuan itu tersenyum. "Tapi di mana urat malumu? Kamu menyakitiku masih disekitar pemakaman anak yang kamu bunuh?" lanjut wanita itu berani.

"Aku terharu dengan sikapmu yang menolongku kemaren saat keracunanan seafood." Shira menunjuk dada suaminya dengan jemari. "Entah itu hanya refleks atau kamu memang tidak bisa melupakanku," lanjutnya mengejek.

Farrel tertawa keras. "Kamu yang selalu mengikutiku selama lima tahun ini, apa aku tidak tau?! Lebih menjijikan mana?"

"Ternyata kamu tau." Wanita itu tersenyum tenang, hal yang membuat Farrel mengerutkan dahi tidak mengerti. "Kamu tau bukan bahwa aku cinta mati denganmu, jadi jika sehari saja aku tidak melihatmu hatiku tidak akan baik-baik saja," ujar perempuan itu lantang membuat bibir Farrel terkatup. Shira berubah, wanita itu tidak seperti sebelumnya, apa waktu yang mengubahnya menjadi seperti ini?

Farrel menarik kasar pergelengan tangan mantan istrinya lalu menyeretnya ke dalam mobil.

Shira menyeringah lalu segera memakai seltbeat. "Jika ke hotel, kamu yang harus bayar, kalau tidak mau mari lakukan di kontrakanku, temanku sedang bekerja."

"Lepas!" Farrel menghempas kasar tangan sang lelaki. "Aku kira kamu masih sama." Lelaki itu menjalankan kasar mobilnya.

"Aku? Masih sama?" Shira tertawa keras. "Setelah kamu menyelingkuhiku? Setelah kamu menceraikanku tanpa uang tunjangan? Kamu berharap aku masih sama?"

"Turun!" Napas lelaki itu terengah, tidak menyangka sama sekali wanitanya berubah seperti ini, dirinya terkejut? Tentu saja.

"Kamu mau menurunkanku dikolong jembatan? Seperti saat kamu membuangku dulu?" Shira menatap remeh lelakinya. "Sudah lupa? Perlu aku ingatkan secara detail?"

"Turun, Lashira!" Perempuan itu semakin tertawa, jika Farrel sudah menyebutkan namanya secara panjang sudah dipastikan emosinya sudah di ujung tanduk. "Turun, atau aku akan...."

"Akan apa?" Saut wanita itu pelan. "Akan memperkosaku di sini?" Perempuan itu maju membelai dada sang lelaki.

"Menjijikan kamu!"

"Yakin jijik?" Shira semakin maju, menubruk tubuh mantan suaminya lalu menciumnya, tidak memberikan jeda ketika lelaki itu ingin membuang muka, sampai pada akhirnya Farrel membalas ciuman itu dengan ganas lalu mulai menarik baju Shira agar terlepas.

"Kamu tidak pernah bisa menolak ciumanku, memang benar, bukan?" bisik Shira setelah melepaskan lumatannya.

"Brengsek kamu, Shira!" Farrel mendorong kasar tubuh sang mantan istri.

"Akhhh." Kepala Shira terbentur dashboard.

"Kamu? Kamu tidak apa-apa?"  Shira membenarkan cepat pakaiannya lalu terkikih.

"Bagaimana dulu kamu tega membuangku yang tidak berdaya ini, walau nyatanya melihatku terluka sedikit saja wajahmu sudah sepucat ini," ujar wanita itu mengejek sambil membelai wajah lelakinya. "Kamu dibutakan oleh wanita itu, wanita yang langsung mundur saat tau kamu sedang sakit." Farrel terperangah, bagaimana Shira bisa tau?

"Jangan bertanya aku tau dari mana, karena aku tidak sebodoh yang kamu kira." Perempuan itu keluar dari mobil dengan wajah penuh kemenangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status