"Widih, pergi nyelonong sendiri sekarang mah, nggak bilang dulu!" Luna mencibir ketika pintu kontrakan terbuka.
"Berisik dah lu," jawab perempuan itu sambil masuk kamar mandi untuk berganti baju.
"Eh lu ke mana sih, di telfon nggak nongol." Shira keluar kamar mandi, terduduk sambil mengeringkan tangan dan kakinya yang basah.
"Kepo!" Lidah perempuan itu terjulur.
"Eh, woy, gincu lu kenapa?" Mulut Luna terbuka. "Wah nggak bener, habis slepetan sama siapa lu?!"
"Hah?" Dengan tergesa Shira menyamber kaca di samping.
"Emmm ini," ujar Shira tergagap. "Tadi aku pake masker jadi gini." Alibi wanita itu berjalan.
"Itu bekas slepetan keleus, pake masker nggak begitu," ujar Luna tidak percaya.
"Ah yaudah kalau nggak percaya, serah!"
"Heh gue ini orang beragama, percayanya ama Tuhan, kalau ama elu mah musyrik." Timpal Luna tanpa dosa.
"Ya udah iya lah, bodo amad." Shira mengambil charger, lalu menancapkan ponselnya yang mati.
"Eh, by the way, Abil tadi ke sini."
Shira refleks menengok. "Anak ibu kontrakan?"
Luna mengangguk mantap. "Dia itu tulus, Shira, kamu keberatan karena Abil duda punya anak?"
"Bukan masalah itu," ujar Shira menyaut. "Aku juga janda beranak, tapi aku lebih tidak beruntung karena anakku tidak hidup."
"Shir," potong Luna.
"Aku tidak bisa membuka hati untuk siapa pun, sejauh aku berusaha, akhirnya tetap di titik pertama," lirihnya.
"Jika Farrel menikah lagi, kamu tetap akan berkata seperti ini?"
Kepala Shira terangkat. "Aku mencintainya, bahkan ketika dia bersalah sekali pun, dan ketika dia sudah menjadi milik orang lain, apa menyimpan perasaan seperti itu berdosa?"
"Nggak paham lagi sama kegoblokan lu yang udah mendarah daging, sekian, terima kasih." Luna melengos ke dapur. "By the way, buka handphone lu, katanya Abil tadi telfon tapi nggak diangkat, saran gue sih temuin aja dulu, siapa tau cocok kalau udah lebih kenal."
*
"Mau ke mana?" Luna menyelidik ketika temannya memoles tipis lipstik di bibir.
"Ketemu Abil," Napasnya terhembus. "Kata lu temuin dulu."
"Eh bener, siti?" Muka Luna berbinar. "Gilak, kirain lu tetep goblog, nyatanya otaklu mulai waras walau perlahan." Ditangkupnya wajah Shira yang cemberut.
"Kalau jalan bareng nggak pasti terus pacaran' kan?" tanya Shira polos.
"Ya elah woy, siti, lu kayak anak muda belasan tahun!" Luna menonyor kepala sang sahabat.
"Lama nggak jalan berdua sama cowok, sedikit gugup." Perempuan itu mengigit bibir bawah.
"Asli, jijiy banget lu, woy sadar udah tua juga!" Luna melotot galak.
"Ah lu mah mana paham," cibir Shira.
"Gue bulan depan nikah." Luna berkata perlahan.
"APAHH?!"
"Ibu gua yang minta, sama temen kecil sih, yaudah emang rencana lama." Luna menunduk tidak enak.
"Nggak usah bohong?!" Shira mengangkat dagu sahabatnya dengan tergesa.
"Udahlah nggak usah dibahas, males." Bibir perempuan itu tercebik.
"Nggak pernah cerita, Luna ah." Shira berkacak pinggang.
"Gue nggak bisa ninggalin lu sebenernya, Shir." Mata Luna berkaca. "Gue pengen tinggal dikontrakan sama lu, tapi setelah nikah mana bisa," Dan setetes air mata jatuh dari mata Luna.
"Lun." Tatapan tidak percaya Shira terpancar.
"Aku berharap sebelum aku menikah dan tinggal sama suamiku, kamu udah ada yang jaga," ujar Luna di sela tangisnya.
Air mata Shira ikut menetes. "Kamu kira aku nggak bisa jaga diri sendiri?"
"Aku nggak mau ninggalin kamu sendiri, kamu gila, Shira. Bagaimana di suatu malam kamu meminum obat tidur secara asal-asalan atau kamu yang menyayat pergelangan tanganmu?" Napas Luna naik-turun
"Aku nggak akan begitu lagi, kamu jangan khawatir." Shira menangis keras, memeluk erat sahabatnya. Setelah Indah menemukannya di jembatan pada malam itu, Shira sepenuhnya tinggal bersama Luna yang kebetulan perantau.
"Kamu ikut tinggal bareng aku dan suami aja, Shir." Pelukan itu menguat.
"Kamu mau aku liat kalian bercinta tiap malam?"
"Aku nggak bercanda." Teriak Luna di sela tangisnya.
"Kamu kira aku juga bercanda?"
"Shira, nyebelin!"
***
"Setelah ini mau ke mana?" Shira menengok, menatap lelaki yang duduk di sebelahnya, Abil, anak ibu kontrakan.
"Terserah Mas aja," cicit Shira pelan sambil meminum es boba. Mereka berdua berada di taman kota, menyaksikan pemandamgan sore dari balik bangku panjang yang berada di sana.
"Kamu suka seafood?" Shira hampir saja tersedak.
"Kebetulan aku alergi, Mas."
"Oh, maaf." Abil merasa tidak enak.
"Nggak apa, lagian seafood memang enak kok, akunya aja yang kampungan." Cengir Shira.
Abil tertawa. "Kamu ternyata lucu."
"Tapi cantik juga' kan?" ujar Shira malu-malu.
"Sangat, kamu benar-benar menakjubkan." Puji lelaki itu tanpa ragu.
"Mas juga ganteng, apalagi kalau senyum, lesung pipinya." Shira terkikih.
"Hahahaha bisa aja kamu, Lashira." Pipi Abil memerah.
"Eh, gerimis, Mas." Shira beranjak dari kursi. Lelaki itu segera melepas jaket lalu menutupi kepala sang wanita.
"Kok ngalamun, ayo lari." Lamunan Shira terbuyar lalu mengangguk, setelahnya sepasang anak muda itu berlari. Sesekali mereka tertawa ketika cipratan air mengenai wajahnya. Tawa tulus Shira melengking, hatinya tiba-tiba bertanya, kapan terakhir kali dirinya mendapatkan perhatian dari seorang laki-laki?
*
"Mau minum apa?"
"Hah?" Shira terperanjat.
"Teh atau jeruk?" Abil tersenyum
"Teh anget aja," jawab wanita itu cepat.
"Okedeh."
"Bang, sate dua porsi sama teh anget nya dua, ya," ujar lelaki itu cepat.
"Oke, Mas, siap meluncur."
"Kamu kelihatan gelisah, kenapa?" tanya Abil menatap Shira lembut.
"Enggak, cuma lagi mikir kapan terakhir kali jalan bareng." Ringisnya.
"Kamu tipe yang jujur banget, ya?" Lelaki itu terkagum.
"Ya kan kalau bohong dosa." Bibir wanita itu mengerucut.
"Bener juga kamu." Shira tersenyum penuh kemenangan.
"Anak kamu kenapa nggak diajak?"
"Ah, Sheo lagi sama ibuku, diajak belanja tadi." Shira mengangguk. "Semoga kamu nggak terbebani dengan aku yang mau kenal kamu lebih dekat."
"Hah?" Perempuan itu mendongak.
"Aku ingin kenal kamu lebih dekat, kalau jodoh pasti kita bersama, kalau belum kita temenan dulu," ujar Abil to the point yang hanya Shira jawab sebuah senyuman. "Aku enggak mau membebani kamu dengan ini, biarkan semuanya mengalir apa adanya."
Shira membalas tatapan tulus Abil. "Aku akan menerima apa pun yang takdir berikan, walau di saat hatiku belum siap sekali pun."
"Terima kasih." Tulus Abil.
"Untuk?" Kerutan dahi Shira terpampang.
"Kamu mau saya ajak makan hari ini."
"Hahahahaha, okedeh." Lagi-lagi tawa itu merebak.
"Tidak ada yang lucu, kamu kenapa senang sekali tertawa, ya?" Wajah bingung Abil begitu kentara.
"Itu cara satu-satunya untuk memecah rasa canggung." Dan lagi-lagi pipi lelaki itu bersemu merah.
"Mari habiskan, langit sudah mulai menggelap." ujar Shira membuat lelaki itu mengangguk cepat, lalu keduanya menikmati makan sore itu dengan tenang.
*
"Dari mana kamu?" Shira terperangah ketika menemukan lelaki itu di depan pintu kontrakannya.
"Kamu tau tempat tinggalku dari mana?" Bukanya menjawab, wanita itu malah kembali bertanya.
"Kamu dari mana, aku tanya?!" Tangan Shira teremas.
"Eh, kamu kok kasar sih!" Shira berusaha menghindar tapi gagal.
"Dari nge jalang di mana kamu?"
Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Farrel. "Jaga mulut kamu ya, Ken! Aku mau ke mana aja itu terserah aku, kamu udah nggak berhak ngatur lagi."
"Siapa bilang begitu?" Tubuh Shira terbanting di kursi depan.
"Gila kamu, gimana kalau ada yang lihat?" Shira berusaha memberontak tetapi kekuatan lelaki itu lebih kuat.
"Bagian mana yang lelaki itu sentuh? Hah?" Ken menekan kuat tubuh Shira.
"Gila aku nggak bisa napas, brengsek, Lepas..." Shira terbungkam ketika mulut Farel menyambar bibirnya.
.
.
"Wah, wah, kalian ngapain?!" Suara berat itu menggema."Emmm, Ken lepas, huh ...." Dorongan keras Shira berikan kepada mantan suaminya."Kalian berdua berbuat mesum?" Shira menggeleng cepat."Pak, ini ....""Kamu tau aturan di desa ini 'kan, Shira? Kalau ada yang berbuat mesum harus apa?" ujar lelaki paruh baya itu tegas."Pak, saya bisa jelasin," ujar Shira mengelap kasar bibirnya. "Ken, aku mohon jelaskan." Mata Shira berkaca, menatap Farrel yang masih setia membisu."Memang aturannya apa kalau berbuat mesum di sini?" tanya lelaki itu tanpa dosa."Ken Farrel!" Teriak Shira."Apa?" jawab lelaki itu santai."Kalian harus menikah.""Menikah?" Dahi Farrel mengkerut. "Hanya karena berciuman harus menikah?""Ini pedesaan, aturan di sini begitu, sudah turun temurun." Jelasnya."Pak, sa
--"Gue pergi semalem si Shira sama Ken udah kawin, gila nggak tuh?!" Gibah pagi hari resmi dimulai."HAH, BENERAN?" Indah yang sedang ngemil hampir saja menyemburkan makanannya."Tadi pagi pas gue masuk rumah, begitu berdosanya lihat Ken telanjang dada dan si shira rambutnya basah," ujar Luna melebih-lebihkan, perempuan satu ini memang pantas disebut 'Ratu Gibah'. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Shira yang baru keluar dari kamar mandi karna rambut panjangnya terkena kecap yang tumpah di dapur dan Ken yang akan mengambil jam tangan di meja depan, kebiasaan lelaki itu memang tidak berubah, selalu menunda memakai baju jika sehabis mandi."Astafirullah, Shir, kamu?" Tatapan tajam Indah serasa ingin menghakimi."Lu kompor banget sih, Lun," ujar Shira kesal.
-"Kamu tau nggak, tempat apa yang akan aku kunjungi setelah sembuh?" Perempuan itu membuka pembicaraan.Bibir mungil itu mengerucut. "Oke, aku paham kalau kamu nggak suka diajak bicara pas nyetir.""Aku pengen banget ke pantai lagi, jalan di tepian terus nunggu ombak dateng, kamu inget nggak pas honeymoon dulu?" Tidak ada jawaban, lelaki di sampingnya tetap saja diam."Ah, itu es cream kesukaanku, kenapa nggak berhenti? Aku bukannya udah pesen kalau mau mampir?" perempuan itu terus saja berbicara.Decitan rem terdengar. "Mas!""Kamu kenapa berhenti mendadak? Gimana kalau tadi kepala aku kebentur?"
Shira membuka mata, jam masih menunjukan pukul lima pagi tapi matanya tidak bisa tertutup kembali, semalam saat lelaki itu berkata ingin memanfaatkannya, Shira tidak lagi bisa berbicara, lidahnya kelu, tubuhnya lemas, dan otaknya kosong. Lagi pula apa yang bisa perempuan itu harapkan dari lelaki yang sudah berkhianat? Cinta dan kesetiaan? Bodoh jika iya. Memilih bangkit, perempuan itu mengikat cepat rambut panjangnya."Sudah bangun?" Shira terperanjat, lelaki itu sudah berdiri di depan, semalam dengan tidak tau diri, Ken mengambil tempat tidur istrinya dan dengan bodoh Shira menurut begitu saja. "Kamu banyak berubah, Lashira mana pernah bangun sepagi ini? Hmm?"Perempuan itu tidak mengubris, memilih menjauh dari sang suami, tapi sebuah tarikan membuat tubuh Shira menabrak kasar dada Ken."Lepas!" Shira mendorong kasar lelakinya. "Kamu boleh membuatku menjadi milikmu kembali, ta
"Kamu gila?" Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Farrel."Tapi itu kenyataannya, aku dan Shira sudah menikah." Lelaki itu berkata tanpa ragu."Apa kurangnya Sandra? Dia cantik, baik, kaya dan pastinya sempurna!" Saut wanita paruh baya itu membuat tawa Farrel menggema."Baik?" Ulang Farrel tidak percaya. "Wanita selingkuh dan diceraikan suaminya itu baik di mata Mama?"Nuria terpingkal. "Apa bedanya sama kamu yang juga selingkuh dan diceraikan?""Papa tidak peduli! Kamu tidak boleh menikah dengan anak pembohong itu!" Potong Aji marah."Aku dan Shira sudah menikah, restu kalian tidak perlu." Ketika lelaki itu akan keluar sebuah tarikan dan pukulan kembali Farrel dapatkan."Papa!" Teriak Nuria histeris."Anak ini benar-benar kurang ajar jika dibiarkan!""Farrel, tidak bisa kah kamu menuruti kata Papa sekali saja?!" Mata Nuria b
"Hujan deres banget ini, Shira balik bareng gue aja sih ya?" Luna mengamati tetesan air yang jatuh dari jendela."Bukannya mau dijemput calon misua?" Kerutan di dahi Shira muncul."Ya nggak apa lah nanti anter lu dulu.""Mau bonceng tiga gitu?" Saut Indah dari dapur."Itulah, puyeng gue juga." Luna menggaruk kasar rambutnya."Udahlah gue balik sendiri juga berani.""Masalahnya kalo ujan kaga ada bus." Luna menyentil dahi sahabatnya."Naik taksi lah." Dengan sombong perempuan itu menyibak kucir kudanya."Duit aman?" Bukan pertanyaan ini lebih mirip ledekan.Shira menghembuskan napas kesal. "Ken punya utang ke gue belum dibalikin, kesel.""Nggak dikasih duit bulanan?" tanya Indah heran."Auk lah males.""Shir, gue merasa aneh banget sih sama lu, bukanya cinta lu sama Farrel itu nggak ad
Perempuan itu berjalan perlahan, menutup pintu hati-hati karena takut seseorang terbangun karena dirinya."HalloIbu....""........""Shira udah dapet uangnya, besok pagi langsung Shira transfer."".......""Enggak, Bu, Shira nggak mau Shania marah.""........""Tapi, Bu....""Ibu, hallo, Bu...."Shira menggerang ketika telfon dimatikan sepihak, tidak, dirinya tidak boleh pulang kampung! Shania akan sangat murka jika tau kepulangannya."Belum tidur?" Jika tidak secepat kilat Shira menangkap ponsel semi buluknya itu sudah bisa dipastikan benda pipih berwarna putih di tangannya sudah terkapar di lantai."Kenapa?" Walau kesal Shira tetap saja bertanya, menatap garang wajah sang suami."Buat
Plak...Suara tamparan menyambut kedatangan keduanya."Shania, apa yang kamu lakukan?!"Tarikan kasar perempuan muda itu dapatkan."Setelah membunuh keponakanku, kalian berdua masih berani datang?" Matanya berkaca, tubuhnya merontai dari pelukan sang ibu."Kalian masuk dulu," ujar perempuan paruh baya itu masih memeluk erat anak bungsunya."Tapi, Bu....""Shira, masuklah, Nak Farrel juga." Lelaki paruh baya itu ikut berbicara.Shira terpaksa menurut, tetesan air mata mulai memenuhi pipi, tubuhnya lemas luar biasa. Perempuan itu tidak pernah menyangka kejadian beberapa tahun silam menimbulkan luka sedalam ini untuk ad