Tiga polisi mendatangi rumah bu Ina dengan wajah kecewa. “Kami tidak menemukan sidik jari apapun ditubuh tersangka….” jelas Riko mendatangi rumah bu Ina. Mendengar hal itu membuat bu Ina menangis histeris. “Lebih baik, kita lakukan pemakaman secepat mungkin untuk jenazah pak Budi….” jelas Polisi Bagas. Para warga pun menyiapkan pemakaman untuk pak Budi. Safira mendatangi Riko, Bagas, dan Vino yang menghadiri pemakaman pak Budi. “Bagaimana mungkin tidak terdeteksi sidik jari pelaku?” tanya Safira tidak habis pikir. Bukankah para polisi itu sangatlah pintar mengungkapkan kasus-kasus seperti ini. Bagaimana mungkin sidik jari pelaku pun tidak terdeteksi. “Entahlah…. Semua bukti yang ada ditempat kejadian sudah kami periksa, namun tidak terdeteksi sidik jari siapa pun….” Riko menghela napas pendek. “Juga darah pada tempayan itu? Bukankah saat tempayan itu dipukulkan pada korban, tentu saja sipelaku memegangnya? Kenapa bisa tidak terdeteksi sidik jarinya?” selidik Safira. “Itulah yang
Dewi tengah sibuk mendiamkan dan memberikan susu pada bayinya. Sejak dilahirkan, bayi itu terus saja menangis. Dewi nampak lelah, namun sudah pekerjaanya sebagai seorang ibu untuk lebih sabar merawat anaknya. Gorden jendela nampak berhembus dengan kencang. Suasana rumah Dewi sunyi, hanya ada ibunya dan Dewi. Suara anjing melolong membuat suasana semakin mencekam. “Apa kau sudah memberikannya susu?” tanya ibu Dewi mendekati Dewi. “Sudah bu, seperti biasanya Farhan tidak pernah mau diam….” jawab Dewi lirih. “Ya sudah, bawa Farhan kedalam kamarmu dan tidurkan dia….” perintah ibu Dewi yang langsung dituruti oleh Dewi. Saat memasuki kamar, Dewi terperanjat saat melihat seorang pria berdiri membelakanginya. “Siapa kau?” tanya Dewi dengan wajah memucat. Pria tersebut hanya diam dan tiba-tiba tertawa dengan nyaring membuat Dewi merinding. “Kenapa kau melakukannya? Kenapa kau memilih diam dan mengorbankanku?” tanya pria itu dengan nada dingin. “Maaf, kau siapa? Kau tidak bisa sembarangan
Ibu Dewi memeluk anaknya dengan erat, “Menurut ibu, lebih baik kau beritahu saja kejadian yang sebenarnya…. Karena semua akan berakhir jika kau mengakui semua nak. Beritahu semua orang! Ibu sudah tidak sanggup lagi menanggung malu dan teror dari pria itu…. Dia hanya meminta kita mengakui semuanya…. Hanya itu! Dengan begitu, dia mendapatkan keadilan yang dia inginkan….” Ibu Dewi semakin mempererat pelukan pada anaknya. “Mengaku lah! Dengan kau ceritakan semuanya, maka hidupmu akan aman…. Saya janji tidak akan mengusikmu lagi….” ujar suara mesterius itu lagi. Dewi nampak semakin ketakutan mempererat pelukan ibunya dan sang ibu hanya diam sambil menangis. “Katakan semua? Aku ingin keadilan? Aku ingin kau mengakui siapa pelakunya? Kau akan lihat mayat pak Ahmad, pak Nafis, dan pak Abdul besok pagi jika kau tidak mengakuinya….” “Kenapa kau terus mengusik kami? Saya tidak memiliki kesalahan padamu.” teriak Dewi terisak. “Karena kau semua orang menuduhku memperkosamu dan aku tidak akan me
Warga kembali digemparkan dengan penemuan mayat dan seorang gadis tanpa busana disemak-semak. Safira mengamati mayat tersebut, “Sepertinya ini pembunuhan lagi….” ujar Safira menghela napas panjang. Safira mendekati seorang gadis yang ditemukan disemak-semak. “Kemungkinan ini pemerkosaan dan dia masih hidup….” jelas Safira setelah memeriksa urat nadi wanita tersebut. “Bagaimana ini? Desa kita semakin hari semakin resah…. Sudah banyak para warga dibunuh dengan sadis dan sekarang juga terjadi lagi pemerkosaan setelah kejadian pemerkosaan Dewi….” ujar seorang warga. “Apa yang harus kita lakukan? Bisa jadi salah satu dari kita akan menjadi korban selanjutnya jika kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini dan mendapatkan siapa pelaku pembunuhan ini….” sambung warga lainnya. “Apa perlu kita melakukan autopsi lagi pak?” tanya seorang remaja kepada pak polisi. Matanya memerah karena terus saja menangis. “Jika kau ingin ayahmu di autopsi, biar saya yang menanggung biayanya…. Tapi saya ragu,
“Assalamualaikum….” ucap polisi Riko mengetuk pintu rumah Dewi. “Waalaikumsalam….” jawab ibu Dewi membukakan pintu. “Boleh saya bicara sebentar bu?” tanya polisi Riko dengan ramah. “Boleh silahkan masuk…. Mau tanya apa ya pak?” tanya ibu Dewi bingung mendapati seorang polisi mendatangi rumahnya. “Dewi nya ada buk?” tanya Riko. Ibu Dewi hanya diam. “Bisa saya bicara denganya?” “Anak saya tidak enak badan pak…. Maaf, Dewi baru saja istirahat….” “Kami mendapatkan foto anak ibu di balik baju pak Nafis yang tewas dibunuh oleh seseorang. Saya harap ibu, tidak menghalangi tugas kami untuk menanyai Dewi!” ibu Dewi nampak terkejut. “Anak saya bukan pembunuh pak….” jawabnya dengan lirih. “Kami tidak menuduhnya, tapi kami hanya ingin menanyai beberapa hal saja….” jelas Riko. Ibu Dewi menghela napas pendek, lalu mengizinkan polisi Riko untuk menemui Dewi didalam kamarnya. Dewi sangat terkejut saat melihat polisi memasuki kamarnya. “Saya mau bertanya beberapa hal, saya harap mbak bisa me
Para warga dikumpulkan dikantor kepala desa, “Dengan berat hati kami mengumumkan lagi-lagi tidak terdeteksi sidik jari pelaku ditubuh pak Nafis dan juga pelaku pemerkosaan terhadap Naira…. Kami merasa gagal tidak bisa mengungkapkan kasus ini…. Kami merasa pembunuhan ini tidak dilakukan oleh manusia…. Bukan mengajari, tapi bisa saja ada salah satu warga sini melakukan kesalahan, sehingga masalah terus terjadi didesa ini…. Seperti semacam kutukan….” jelas polisi Riko menghela napas panjang. Para warga hanya saling pandang, “Kami tidak pernah melakukan kesalahan yang fatal yang membuat desa kami harus dikutuk….” sanggah pak Ahmad. “Mungkin saja desa ini telah dikutuk…. Bukankah sudah banyak warga disini mati dengan mengenaskan, setiap bayi yang baru lahir pasti terus saja menangis, dan sekarang Naira juga diperkosa…. Bukan sekali ini saja terjadinya pemerkosaan terhadap para gadis didesa kita ini, namun untuk menutupi harga diri desa ini, kejadian ini tidak diberitahu pada semua warga….
Seketika mata Dewi melotot dan mengadah kelangit. Dewi kembali tertawa diiringi dengan tangis pillu. “Sakit....” teriak Dewi pillu. Dia meronta-ronta seperti kesurupan. Menarik-narik rambutnya, memukul-mukul badannya dan mulutnya terus mengucapkan kata “ Tolong dan sakit….” Nadira berlari memecah kerumunan dan memeluk Dewi, “Ulung!” teriaknya memanggil nama Ulungnya dan memeluk Dewi. “Maafkan Ulung…. Maafkan Ulung…. Ulung tidak bisa menjagamu…. Maafkan Ulung….” ujar Dewi dengan suara serak. Suaranya berubah menjadi suara seorang pria. Dewi semakin erat memeluk Nadira. “Aku yang membunuh para warga…. Aku yang membunuhnya…. Kecuali kematian pak Slamet, pak Slamet dibunuh pak Ahmad. Karena beliau adalah saksi dari peristiwa pengeroyokan tersebut, namun saat niat baik pak Slamet untuk melaporkan kejadian itu ke polis, pak Ahmad membunuh pak Slamet agar bapak tidak dipenjara atas kasus pengeroyokan itu….” “Bohong….” sanggah pak Ahmad. “Malam itu aku hendak meminta keadilan kepada oran
Nadira duduk dikursi teras rumahnya. Matanya kosong menatap jalananan. Nadira terperanjat saat merasakan sesuatu mengusap tangannya, namun saat dilihat disekitarnya, Nadira tidak menemui seorang pun. “Jangan takut dan kaget…. Ini Ulung, mulai dari sekarang Ulung akan menjagamu dengan cara seperti ini…. Ulung janji akan terus disisimu, jangan bersedih adik kecilku…. Jika Dira sedih, Ulung juga sedih….. tersenyumlah sayang….” Nadira memejamkan matanya saat merasakan pelukan hangat dari seseorang tanpa wujud. Mata Nadira terbuka saat mendengar suara seseorang. Abbas dan Safira mendekati Nadira. Abbas memeluk hangat Nadira. “Mau ikut abang? Abang mau pulang? Abang mau mengajak Nadira ikut abang pulang…. Abang janji akan menjagamu dan merawatmu seperti adik abang sendiri….” jelas Abbas dengan lembut memeluk erat Nadira. Safira hanya buang muka melihat kedekatan Abbas dan Nadira. Hatinya terasa teriris, hatinya sedih saat melihat ada sebuah keluarga atau abang dan adiknya saling menyayan