Sesampainya di rumah Ardian, Safira dan Abbas bergegas memasuki rumah tersebut. Keduanya segera memeriksa kamar demi kamar dan disudut ruangan.
Abbas membuka sebuah ruangan dan menemukan beberapa map, dan Safira menemukan pistol, jas hitam, sepatu hitam dan kaca mata hitam. Safira segera memungutnya sebagai barang bukti dan keluar dari kamar tersebut.
“Saya menemukan beberapa map, beberapa foto yang dilingkari merah, kemungkinan ini adalah musuhnya yang harus disingkirkan….” jelas Abbas.
“Bagus….” imbuh Safira.
“Termasuk dirimu….” Abbas menatap Safira dingin. Safira mengerutkan keningnya bingung.
“Foto kau ada disalah satu foto yang dilingkari dengan tinta merah…. Mungkin kau juga target pembunuhan….” jelas Abbas. Belum sempat Safira mencerna perkataan Abbas, mereka sudah mendengar seperti ledakkan dan seperti bunyi alarm.
“Disini ada bom….” teriak Abbas menarik Safira keluar dari rumah tersebut. Mereka berlari sekuat tenaga, sesaat mereka sudah keluar, rumah Ardian pun meledak membuat keduanya harus terpelanting jauh menghindari percikan api.
Keduanya berusaha berdiri, saat merasa telah selamat dan menatap diam api yang membakar rumah Ardian.
“Seperti dugaanmu, seseorang akan berusaha menghilangkan barang bukti….” cetus Safira dingin, menatap nanar api yang berkobar tersebut.
“Untung saja kita masih bisa selamat…. Jika tidak, maka semua barang bukti bersama kita ini akan musnah begitu saja bersamaan dengan kita juga….”
“Anggap saja ini keberuntungan bagi kita, masih dikasi hidup….” jawab Safira meninggalkan Abbas. Namun saat hendak mendekati mobil, Abbas segera menarik tubuh Safira menjauh dari mobil yang tiba-tiba meledak, hingga tubuh keduanya menghantam aspal.
“Terima kasih….” ucap Safira segera berdiri, dan membantu Abbas yang meringis berdiri.
“Sepertinya tidak hanya barang bukti yang hendak mereka hilangkan, tapi juga nyawa kita….” Safira melenguh kasar.
“Resiko bagi seorang polisi dan mata-mata yang hendak mengungkapkan kasus…. Selalu saja ada rintangan dan seseorang yang membenci….” jawab Abbas.
“Terpaksa pulang harus jalan kaki….” Safira melangkah dengan wajah kesal.
“Jangan terburu-buru, kita harus berhati-hati dengan sekitar kita…. Mana tahu orang yang ingin menghilangkan barang bukti dan ingin membunuh kita ada disini….” peringat Abbas membuat Safira menjadi siaga.
Abbas meraih ponselnya dari saku celana dan menelpon seseorang, dan tidak lama kemudian sebuah mobil menghampirinya.
“Mobil siapa?” tanya Safira saat melihat mobil mendekati mereka. Saat itu Safira berada diposisi siap siaga jika diperlukan untuk menyerang.
“Dari kantor, saya sudah menelpon orang kantor untuk menjemput kita….” terang Abbas. Keduanya langsung masuk kedalam mobil.
“Kenapa tidak Ridho yang menjemput?” tanya Abbas kepada rekan polisinya yang menyetir.
“Dia sedang sibuk….” jawab Kevin sekenanya.
“Tapi dia bilang kepadaku, dia yang menjemput….” ujar Abbas melirik kearah rekannya heran.
“Ridho yang menyuruh saya menjemputmu kapten….” jawab Kevin. Abbas hanya menganguk dan keduanya saling mengobrol satu sama lain, sedangkan Safira sibuk dengan handphonenya.
“Kita mau kemana?” tanya Abbas heran saat melihat mobil yang mereka tumpangi tidak mengarah ke jalan kantor polisi. Kevin hanya diam dan mengas mobil dengan kecepatan tingi.
“Apa yang sedang kau lakukan? Kita bisa menabrak orang….” tegur Abbas heran melihat gelagat Kevin yang mulai mencurigakan.
Sedangkan Safira mulai merasakan ketidakberesan. Belum sempat berpikir hendak bertindak, Kevin membuka jendela mobil dan melompat keluar dari dalam mobil yang melaju kencang.
Sedangkan Abbas berusaha tenang mengambil kendali menyetir mobil yang mulai oleng.
“Rem nya blong….” pekik Abbas membuat Safira kesal. Abbas berusaha menginjak rem, dan berusaha mengendalikan laju mobil.
Tidak lama kemudian mobil tersebut menabrak tiang listrik, mobil tersebut terjatuh disemak-semak samping jalan dan seketika meledak. Seseorang tersenyum puas menyaksikan mobil yang ditumpangi oleh Abbas dan Safira meledak. Lalu pria yang berkaca mata hitam tersebut memasuki mobil dan menelpon seseorang.
“Barang bukti dan target sudah berhasil dilumpuhkan….”
“Bagus….” jawab seorang pria yang sedang berdiri didepan jendela ruang kerjanya, dengan memakai kacamata hitam, dan satu tangannya dimasukkan kedalam kanton celananya.
Dua minggu kemudian….
“Selamat anda di bebaskan….” ucap seorang polisi tersenyum membuka pintu jeruji.
“Terima kasih sudah bekerja keras untuk mengeluarkanku….” balas Ardian tersenyum menepuk pundak sang polisi perlahan. Polisi tersebut hanya tersenyum menanggapi perkataan Ardian.
“Berhati-hatilah, jangan sempat anda tertangkap lagi….” peringat sang polisi, sedangkan Ardian hanya melambaikan tangan perpisahan meninggalkan sang polisi.
Disisi lain Safira dan Abbas harus meratapi nasibnya yang harus terjebak disebuah perkampungan yang jauh dari keramaian, secara terpisah.
Safira merenung duduk diteras rumah seorang warga yang menemukannya tidak sadarkan diri saat terjadinya tragedi mobil mereka meledak.
“Apakah adek baik-baik saja? Bagaimana keadaan kepalanya?’ tanya seorang bapak dan seorang pria yang seumuran dengannya. Keduanya hendak masuk kerumah dan baru saja pulang dari kebun.
Safira hanya tersenyum tipis, “Sudah mendingan pak…” jawabnya tersenyum, walaupun kepalanya masih merasakan nyeri.
“Ayo masuk nak, kita makan ubi bareng. Bapak bawa banyak ubi dan sayur untuk dimakan nanti….” jelas sang bapak dengan ramah. Safira tersenyum mengikuti langkah sang bapak dalam rumah.
Saat sudah didalam rumah, Safira membantu sang ibu memotong ubi yang mau digoreng, sedangkan sang bapak dan anaknya sedang membersihkan diri dibelakang rumah.
Safira duduk di anyaman tikar menikmati goreng ubi yang baru saja dimasak, sambil mengobrol dengan akrab dengan pemilik rumah. Selesai menikmati ubi goreng, Safira membantu pemilik rumah membersihkan piring kotor. Sesudah itu, Safira berjalan-jalan sendiri berkeliling desa. Sesekali mencari signal hp untuk menghubungi Abbas. Namun didesa yang belum ada tower tersebut membuat Safira kesulitan untuk menelpon Abbas. Safira kembali kerumah bu Rima saat sudah puas keliling desa. Saat pagi tiba, semua warga desa dihebohkan dengan penemuan mayat seorang pria di pinggir jalan. Saat Safira dan warga desa mendatangi tempat kejadian, disana sudah terlihat seorang wanita menangis histeris melihat mayat tersebut. Safira mendekati mayat dan mengamati kondisinya. Safira mengerutkan keningnya, berjongkok disamping mayat. Dia mendengar para warga mengungjing mayat. “Melihat luka yang dialami oleh korban, korban meninggal karena dipukul….” jelas Safira dengan tegas. Perempuan yang menangisi mayat,
Saat pagi tiba, Abbas mengikuti pak Dody ke kebun. Abbas membantu mengembur tanah untuk ditamani cabe dan sayuran lainnya. Sedangkan Safira membantu istrinya pak Dody memasak dan membersihkan rumah. Setelah shalat magrib, Safira duduk dikursi teras rumah pak Dodi. Tak lama kemudian, Abbas duduk disamping Safira membawakan dua gelas kopi. “Ayo minum….” ajak Abbas menyeruput kopinya. Safira hanya tersenyum simpul, meraih kopi tersebut dan menyeruputnya perlahan. “Jangan bilang kepada siapapun, kalau kau adalah polisi dan aku seorang agent….” ujar Safira perlahan meletakan kopi diatas meja disampingnya, lalu menatap Abbas yang langsung menganguk menyetujui permintaan Safira. “Lalu, kapan kau mulai menyelidiki kasus tersebut? Siapa orang yang kau curigai?” tanya Abbas menyilangkan kakinya, sambil kembali menyeruput kopinya. “Belum tahu, mungkin secepatnya….” jawab Safira seadanya. “Kau tahu siapa dalangnya?” tanya Abbas lagi. Safira mengelengkan kepalanya perlahan. “Namun aku harus
Saat pagi tiba Safira sudah bergegas menyiapkan diri melakukan penyelidikan. Safira berjalan sendiri menyusuri jalan demi jalan, kakinya terhenti saat melihat seorang wanita duduk termenung dikursi teras rumahnya. Kaki Safira spontan melangkah mendekati rumah tersebut dan menyapa wanita tersebut dengan ramah. “Assalamualaikum….” ucap Safira tersenyum ramah. Namun tidak ada sahutan dari Nadira. Safira berinisiatif melangkah memasuki teras rumah Nadira, dan berdiri tepat disamping Nadira. “Bagaimana kabarmu?” tanya Safira mencoba ramah, walaupun mencoba ramah bukanlah sifatnya. Sunyi, wanita itu hanya diam, tatapannya lurus kedepan, wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya nampak kurus dan tak terurus, tatapannya kosong. Safira menghela napas pendek, mengusap pundak Nadira. “Saya tahu kamu pasti sangat terpukul atas kematian Ulungmu, tapi apakah kau bisa menceritakan kronologi kematian Ulung mu? Mana tahu aku bisa membantumu menemukan siapa pelakunya.” Tak ada jawaban dari Nadira, kemb
“Kita perlu bicara….” Ajak Safira saat melihat Abbas yang baru saja pulang dari berkebun bersama pak Dody dan anaknya. “Mau bicara apa?” “Kita harus kekota yang ada labortariumnya, untuk mengecek barang bukti yang saya temukan….” jelas Safira dengan cara berbisik ditelinga Abbas. Jarak mereka cukup jauh dari jangkaun pak Dody dan anaknya, sehingga mereka tidak perlu khawatir akan didengar pembicaraan mereka. “Baiklah, kita harus izin terlebih dahulu pada pak Dody dan istrinya….” ajak Abbas. Setelah mendapat izin dari pak Dody dan istrinya, Safira dan Abbas bergegas pergi kekota. Cukup jauh dari desa mereka, baru mereka menemukan kota. Mereka pulang saat adzan magrib. Safira berusaha mencari tahu nama dan tempat tinggal orang-orang yang dicurigainya. Malam itu dia mengendap-endap berjalan dibelakang rumah pak Somad, tempat kejadian terdapatnya mayat pak Slamet, tiga hari yang lalu. Namun dia tidak menemukan apapun. “Bagaimana mungkin tidak ada jejak barang bukti sedikitpun?” bath
Abbas dan Safira pulang kerumah pak Dody. Sesampainya disana, mereka disambut dengan tatapan tajam para polisi. “Maaf, apakah kau bernama Safira Ramadhani?” tanya seorang polisi. Safira hanya menganguk dengan cepat. “Bolehkah saya bertanya dengan kamu?” “Silahkan….” jawab Safira singkat. Safira duduk dikursi teras rumah pak Dody. Ada lima kursi disana, pak Dody dan istrinya segera masuk kedalam rumah saat melihat Safira sudah pulang. Abbas dan Safira pun duduk dikursinya dengan tenang, sedangkan dua polisi itu juga duduk dikursinya. Safira menatap tajam seorang pria yang juga ikut duduk disamping pak polisi. “Darimana kamu tahu tentang kejadian kematian pak Slamet?” “Saya mendengar teriakan para warga dan melihat banyak orang-orang berbondong-bondong ke lokasi kejadian…. Jadi kami hanya ingin melihat apa yang terjadi….” jawab Safira sekenanya. “Kami? Berarti kamu tidak sendirian datang ketempat lokasi kejadian?” tanya polisi itu lagi. “Bersama pak Dody, bu Rima dan anaknya Ardi
Pukul 17:45 Pak Somad bergegas pulang kerumahnya dengan berjalan kaki. Namun langkahnya terhenti saat mendapati sosok seorang pria yang berdiri tegak memakai pakaian dan masker hitam ditengah jalan dengan posisi sebelah tangannya memegang balok kayu. “Maaf anda ini siapa? Kenapa berdiri tengah jalan seperti ini? Anda tersesat?” tanya pak Somad kebingungan. Namun pria itu hanya diam, namun tatapan matanya sangatlah tajam seperti pedang yang siap menghunus siapa-saja. “Kenapa diam? Sepertinya anda bukan orang desa ini? Anda mau kemana?” tanya pak Somad lagi. “Mau kerumah pak Somad….” ujarnya membuat pak Somad menunjukkan ekspresi bingung. “Saya pak Somad, ada apa kau bertemu dengan saya?” “Mau membunuh….” ucapnya dingin, diiringi dengan tawa yang melengking, membuat bulu kuduk pak Somad berdiri. “Apa salah saya?” tanya pak Somad dengan suara bergetar. “Karena kau membunuh teman saya bernama Fitra Rafisqy Alfa rezi abangnya Nadira Zerina Adzra Nadhifa, juga pak Slamet, dan sekara
Semua warga pun mendatangi rumah pak Somad, tak terkecuali keluarga pak Dody, Safira dan Abbas juga tiga orang polisi. Safira berjongkok mendekati jenazah pak Somad dan mengeryitkan keningnya. “Sungguh bejat kelakuan pelaku ini, begitu banyak luka yang didapat oleh pak Somad, sampai-sampai wajahnya hancur seperti ini….” celutuk Safira. Sedangkan tiga polisi juga sedang mengamati tubuh pak Somad dan ada juga yang mengambil gambarnya. “Lihat seperti ada sesuatu dikantong baju itu?” ujar Abbas menyenggol bahu Safira. Mata tiga polisi langsung melototi kantong baju pak Somad. Safira segera mengambil sesuatu yang ada dikantong baju pak Somad. Ternyata sebuah surat. “Target selanjutnya adalah pak Basir…. Tunggu saja, maut akan menjemputmu….” Safira membaca surat tersebut membuat para warga spontan melihat kearah Safira. “Ini surat pengancaman…..” ucap Safira menatap tiga polisi yang juga menatapnya. “Dimana pak Basir? Apakah beliau ada disini?” tanya Safira nampak panik. Dia memikirkan
“Mau saya bantu pak?” tanya seorang pria yang memakai kaos oblong dengan celana selutut. Pak Budi yang sedang sibuk membawa kambing-kambingnya masuk kedalam kandang, menoleh sebentar kearah pria tersebut. Pak Budi mengerutkan keningnya bingung. “Anak ini orang baru ya? Kok bapak nggak pernah lihat?” tanya pak Budi bingung. Pria tersebut hanya tersenyum. “Iya pak, saya saudara jauhnya Fitra Rafisqy Alfa rezi abangnya Nadira Zerina Adzra Nadhifa….” Pak Budi nampak kaget. “Ada keperluan apa anak ini kesana?” tanya pak Budi mencoba bersikap tenang. “Saya sangat merindukan Fitra dengan Nadira adiknya pak. Saya ingin sekali bertemu dengan mereka? Kalau boleh tahu, bapak tahu rumah mereka?” tanya pria tersebut dengan ramah. “Apa kamu tidak mendengar apa yang terjadi dengan Fitra?” selidik pak Budi mencoba memasukkan satu persatu kambing-kambingnya masuk kekandang, juga dibanu oleh pria asing tersebut. “Emang apa yang terjadi dengan Fitra pak?” “Fitra sudah meninggal dua minggu yang lal