Share

Chapter 5 Target Pembunuhan

Sesampainya di rumah Ardian, Safira dan Abbas bergegas memasuki rumah tersebut. Keduanya segera memeriksa kamar demi kamar dan disudut ruangan.

Abbas membuka sebuah ruangan dan menemukan beberapa map, dan Safira menemukan pistol, jas hitam, sepatu hitam dan kaca mata hitam. Safira segera memungutnya sebagai barang bukti dan keluar dari kamar tersebut.

“Saya menemukan beberapa map, beberapa foto yang dilingkari merah, kemungkinan ini adalah musuhnya yang harus disingkirkan….” jelas Abbas.

“Bagus….” imbuh Safira.

“Termasuk dirimu….” Abbas menatap Safira dingin. Safira mengerutkan keningnya bingung.

“Foto kau ada disalah satu foto yang dilingkari dengan tinta merah…. Mungkin kau juga target pembunuhan….” jelas Abbas. Belum sempat Safira mencerna perkataan Abbas, mereka sudah mendengar seperti ledakkan dan seperti bunyi alarm.

“Disini ada bom….” teriak Abbas menarik Safira keluar dari rumah tersebut. Mereka berlari sekuat tenaga, sesaat mereka sudah keluar, rumah Ardian pun meledak membuat keduanya harus terpelanting jauh menghindari percikan api.

Keduanya berusaha berdiri, saat merasa telah selamat dan menatap diam api yang membakar rumah Ardian.

“Seperti dugaanmu, seseorang akan berusaha menghilangkan barang bukti….” cetus Safira dingin, menatap nanar api yang berkobar tersebut.

“Untung saja kita masih bisa selamat…. Jika tidak, maka semua barang bukti bersama kita ini akan musnah begitu saja bersamaan dengan kita juga….”

“Anggap saja ini keberuntungan bagi kita, masih dikasi hidup….” jawab Safira meninggalkan Abbas. Namun saat hendak mendekati mobil, Abbas segera menarik tubuh Safira menjauh dari mobil yang tiba-tiba meledak, hingga tubuh keduanya menghantam aspal.

“Terima kasih….” ucap Safira segera berdiri, dan membantu Abbas yang meringis berdiri.

“Sepertinya tidak hanya barang bukti yang hendak mereka hilangkan, tapi juga nyawa kita….” Safira melenguh kasar.

“Resiko bagi seorang polisi dan mata-mata yang hendak mengungkapkan kasus…. Selalu saja ada rintangan dan seseorang yang membenci….” jawab Abbas.

“Terpaksa pulang harus jalan kaki….” Safira melangkah dengan wajah kesal.

“Jangan terburu-buru, kita harus berhati-hati dengan sekitar kita…. Mana tahu orang yang ingin menghilangkan barang bukti dan ingin membunuh kita ada disini….” peringat Abbas membuat Safira menjadi siaga.

Abbas meraih ponselnya dari saku celana dan menelpon seseorang, dan tidak lama kemudian sebuah mobil menghampirinya.

“Mobil siapa?” tanya Safira saat melihat mobil mendekati mereka. Saat itu Safira berada diposisi siap siaga jika diperlukan untuk menyerang.

“Dari kantor, saya sudah menelpon orang kantor untuk menjemput kita….” terang Abbas. Keduanya langsung masuk kedalam mobil.

“Kenapa tidak Ridho yang menjemput?” tanya Abbas kepada rekan polisinya yang menyetir.

“Dia sedang sibuk….” jawab Kevin sekenanya.

“Tapi dia bilang kepadaku, dia yang menjemput….” ujar Abbas melirik kearah rekannya heran.

“Ridho yang menyuruh saya menjemputmu kapten….” jawab Kevin. Abbas hanya menganguk dan keduanya saling mengobrol satu sama lain, sedangkan Safira sibuk dengan handphonenya.

“Kita mau kemana?” tanya Abbas heran saat melihat mobil yang mereka tumpangi tidak mengarah ke jalan kantor polisi. Kevin hanya diam dan mengas mobil dengan kecepatan tingi.

“Apa yang sedang kau lakukan? Kita bisa menabrak orang….” tegur Abbas heran melihat gelagat Kevin yang mulai mencurigakan.

Sedangkan Safira mulai merasakan ketidakberesan. Belum sempat berpikir hendak bertindak, Kevin membuka jendela mobil dan melompat keluar dari dalam mobil yang melaju kencang.

Sedangkan Abbas berusaha tenang mengambil kendali menyetir mobil yang mulai oleng.

“Rem nya blong….” pekik Abbas membuat Safira kesal. Abbas berusaha menginjak rem, dan berusaha mengendalikan laju mobil.

 Tidak lama kemudian mobil tersebut menabrak tiang listrik, mobil tersebut terjatuh disemak-semak samping jalan dan seketika meledak. Seseorang tersenyum puas menyaksikan mobil yang ditumpangi oleh Abbas dan Safira meledak. Lalu pria yang berkaca mata hitam tersebut memasuki mobil dan menelpon seseorang.

“Barang bukti dan target sudah berhasil dilumpuhkan….”

“Bagus….” jawab seorang pria yang sedang berdiri didepan jendela ruang kerjanya, dengan memakai kacamata hitam, dan satu tangannya dimasukkan kedalam kanton celananya.

Dua minggu kemudian….

“Selamat anda di bebaskan….” ucap seorang polisi tersenyum membuka pintu jeruji.

“Terima kasih sudah bekerja keras untuk mengeluarkanku….” balas Ardian tersenyum menepuk pundak sang polisi perlahan. Polisi tersebut hanya tersenyum menanggapi perkataan Ardian.

“Berhati-hatilah, jangan sempat anda tertangkap lagi….” peringat sang polisi, sedangkan Ardian hanya melambaikan tangan perpisahan meninggalkan sang polisi.

Disisi lain Safira dan Abbas harus meratapi nasibnya yang harus terjebak disebuah perkampungan yang jauh dari keramaian, secara terpisah.

Safira merenung duduk diteras rumah seorang warga yang menemukannya tidak sadarkan diri saat terjadinya tragedi mobil mereka meledak.

“Apakah adek baik-baik saja? Bagaimana keadaan kepalanya?’ tanya seorang bapak dan seorang pria yang seumuran dengannya. Keduanya hendak masuk kerumah dan baru saja pulang dari kebun.

Safira hanya tersenyum tipis, “Sudah mendingan pak…” jawabnya tersenyum, walaupun kepalanya masih merasakan nyeri.

“Ayo masuk nak, kita makan ubi bareng. Bapak bawa banyak ubi dan sayur untuk dimakan nanti….” jelas sang bapak dengan ramah. Safira tersenyum mengikuti langkah sang bapak dalam rumah.

Saat sudah didalam rumah, Safira membantu sang ibu memotong ubi yang mau digoreng, sedangkan sang bapak dan anaknya sedang membersihkan diri dibelakang rumah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status