“Ardiansyah Putra Abimana, 40 tahun, pencinta wanita, pengedar narkoba jenis sabu, pecandu alcohol, dan yang terakhir memiliki beberapa club untuk memperjualkan barang-barang terlarang, dan menjajakan perempuan penjaja seks, benar?” tanya Abbas menatap dingin Ardian, sedangkan yang ditanya hanya diam.
“Jawab, jika tidak ingin ada kekerasan!”
“Ya…” jawab Ardian singkat.
“Sudah berapa lama anda menjual barang-barang haram ini?”
“12 tahun….” jawabnya lagi.
“Dimana saja anda sudah membuka club untuk menjual barang-barang terlarang dan melakukan tindakkan prostusi?”
“Ada dimana-mana….”
“Apakah anda mengenal Randy Miller?” tanya Abbas lagi, membuat ekspresi Ardian berubah yang semula tenang menjadi gelisah.
“Tidak…” jawabnya berusaha tenang.
“Barra Rafeyfa Zayan?” tanya Abbas lagi. Semakin membuat Ardian menampakkan keterkejutannya.
“Tidak….” jawabnya dengan nada bergetar.
“Kami tahu kau adalah kaki tangan keduanya atau salah satu nya….” ucap Abbas dengan dingin.
“Jika sudah tahu, kenapa harus bertanya lagi?” balas Ardian menyembunyikan ketakutannya.
“Hanya memastikan saja, itu tugas kami….” jawabnya dengan sabar, walaupun Abbas sudah dari tadi ingin mencekik Ardian karena menjawab dengan singkat.
“Jadi sudah jelas kau kaki tangannya Randy Miller atau Barra Rafeyfa Zayan. Baiklah untuk sementara kau ditahan, selama kami mengumpulkan semua bukti dan kau keluar jika ada yang bisa menebusmu….” jelas Abbas meninggalkan ruang introgasi.
Seorang polisi lainnya menarik Ardian keluar dari ruang introgasi dan membawanya kedalam tahanan.
“Kapan saya bisa keluar?” tanya Ardian kepada polisi yang membawanya kedalam tahanan.
“Tunggu saja, kau pasti akan keluar jika semua bukti bisa dihilangkan….” jawab sang polisi mengunci pintu tahanan.
“Aku tidak ingin berlama-lama disini!”
“Sabar saja….”
“Aku tidak bisa bersabar tinggal disini….” ketus Ardian.
“Makanya jangan keasyikan terus main perempuan, hingga tidak sadar para polisi sudah mengincarmu….” ucap polisi meninggalkan tahanan.
“Sialan….” umpat Ardian memukul besi jeruji.
Abbas, Safira, dan tiga polisi lainnya melakukan penyelidikan di rumah Ardian. Rumah Ardian tersebut sudah disegel garis polisi. Safira, Abbas, dan tiga polisi lainnya menunduk melewati garis polisi tersebut dan berjalan memasuki rumah.
Mereka segera memeriksa kamar demi kamar dan mencari semua bukti yang bisa ditemukan. Rumah tersebut sangatlah besar, dan mewah.
Sedangkan Safira memeriksa lemari, dan membongkar laci disamping ranjang, dimana dimalam sebelumnya Ardian dan tiga teman wanitanya berpesta. Safira menemukan sebuah foto, smarphone, dan flashdisk. Safira segera mengambilnya sebagai barang bukti.
Abbas dan yang lainnya menemukan beberapa paket sabu, satu amplop yang penuh berisi uang didalam sebuah lemari, dikamar yang berbeda.
“Apakah ada barang bukti yang kamu temukan?” tanya Abbas pada Safira saat keluar dari salah kamar. Safira menganguk pelan,
“Sebuah foto, flashdisk, smarphone…” jelas Safira.
“Apa yang kalian temukan?” tanya Safira balik.
“Beberapa paket sabu dan satu amplop uang…. Kemungkinan mereka pernah melakukan transaksi jual beli sabu…” ucap Abbas. Safira hanya menganguk.
“Foto apa yang kamu temukan? Boleh saya melihatnya?” tanya Abbas. Dalam diam, Safira memberikan foto tersebut pada Abbas.
Abbas mengeryitkan dahinya melihat dua orang difoto tersebut, membuat Safira menaikkan alisnya, “Apa kamu mengenal orang itu?” tanya Safira heran dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh Abbas.
“Orang yang didalam foto ini adalah Barra Rafeyfa Zayan, seorang pengedar obat-obatan terlarang dan melakukan banyak kejahatan. Saya sudah menduganya, Adrian berkomplot dengan pak Barra….”
“Apakah dia sangat berbahaya?” tanya Safira.
“Sangat…. Bahkan dia pernah terlibat melakukan pembunuhan terhadap seseorang, namun tidak ditangkap dan kasusnya ditutup begitu saja, karena dia menyogok para polisi dan hakim untuk memenangkan kasus tersebut….” jelas Abbas. Safira hanya menganguk perlahan, dan tersenyum tipis.
“Apa kau juga mengenalnya?” selidik Abbas menoleh kearah Safira.
“Tidak begitu mengenalnya, namun ada dendam yang harus dia bayar….” Safira tersenyum simpul, menatap lurus kejalanan.
“Dendam? Kau pernah bermasalah dengannya? Ku harap segeralah menjauh, karena pria itu sangat berbahaya…. Dia akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan lawannya, termasuk membunuh….” peringat Abbas.
“Saya sangat suka tantangan dan saya tidak takut dengan itu…. Saya dilahirkan untuk menjadi pemberontak, bukan menjadi penakut, yang berlindung dibawah ketiak orang lain….” ucap Safira dingin.
“Setidaknya saya sudah mengingatkanmu, bahwa dia sangat berbahaya....” balas Abbas melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Sesampainya dikantor polisi, Safira langsung mencolok flashdisk di komputernya, dan membuka satu persatu file yang tersimpan di flashdisk tersebut.
Safira mengeryitkan dahinya saat membuka sebuah video,
“Jangan pernah mencampuri urusanku, jika tidak ingin kau kubunuh….” seorang pria menodongkan sebuah pisau kepada pria yang berdiri tepat didepannya.
“Kau tidak bisa mengancamku, aku tidak takut…..” jawab sang pria didepannya dengan tegas.
“Serahkan handphone itu, dan keluargamu akan selamat….” sergah pria yang menodong pisau tersebut. Safira sangat serius mendengarkan dan melihat video tersebut melalui earphonenya.
“Lakukan saja sesukamu, aku sudah tidak bisa membiarkan lagi kejahatanmu merajalela…. Kau sudah mencemarkan nama baikku, dengan menuduhku mengelapkan uang perusahaan. Maksudmu apa hah? Bukan kah kita berteman dengan cukup baik, kenapa kau malah mengkhianati pertemanan kita?” tanya pria yang berkameja putih tersebut dengan nada yang tenang tanpa rasa takut sedikitpun diancam.
“Bukan aku yang mengkhianti pertemanan kita, tapi sikapmu yang sok suci itu yang membuat kita harus bermusuhan…. Ingat ya, sebelum kau serahkan handphone tersebut, maka hidupmu dan keluargamu tidak akan pernah aman….” mata Safira terbelalak saat sebuah pisau yang dipegang oleh pria tersebut menghujam pria yang berbaju kameja putih tersebut.
Saat sudah menusuk perut pria tersebut, pria yang dianggap teman oleh pria yang berbaju putih, mengeledah celana dan baju pria yang berbaju putih. Pria tersebut mendapatkan sebuah handphonenya dan meninggalkan pria yang berbaju putih tersebut dengan meringis kesakitan, dan darah segar membasahi bajunya.
Sejenak Safira menoleh kearah Handphonenya yang dia dapatkan tadi, dan sejenak menoleh kearah video yang dia tekan tombol pouse, dan membandingkan Handphone yang diambil oleh pria yang menusuk pria yang berbaju putih itu, dengan handphonenya yang dia temukan saat pengeledahan.
Safira menjerit kaget saat Abbas menepuk pundaknya dengan cukup keras, membuat semua orang menatap bingung kearahnya.
“Kau….” geram Safira saat melihat siapa dalang dari keterkejutannya.
“Kau sedang menonton apa? Serius sekali, sampa-sampai tidak mendengar aku memanggilmu….” jelas Abbas dengan wajah dingin.
“Jangan bermain atau menonton apapun saat bekerja yang tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan….” tegur Abbas. Safira menghela napas pendek.
“Seharusnya anda lihat dulu apa yang saya tonton baru menuduh saya….” ketus Safira menarik Abbas melihat video yang ada di komputernya.
“Tonton dan pahami video tersebut….” Abbas hanya menurut menonton video tersebut dengan seksama.
“Saya tidak menemukan barang bukti terkait dengan pak Ardian, tapi saya malah menemukan barang bukti kasus lain….” imbuh Safira.
“Pria itu adalah Barra Rafeyfa Zayan….” ucap Safira.
“Dan yang tertusuk itu adalah pak Bagas Hidayatullah…. Beliau sudah meninggal 12 tahun yang lalu, dia tewas ditangan keponakannya sendiri….”
“Namun seiring berjalannya kasus tersebut, terungkaplah tersangkanya pak Barra Rafeyfa Zayan, namun dia tidak pernah tertangkap…. Dia memenangkan kasus tersebut dipengadilan, dan kasus kematian pak Bagas, ditutup begitu saja tanpa kejelasan…” jelas Abbas panjang lebar.
“Lalu apa isi Flashdisk itu lagi?” tanya Abbas.
“Aku belum melihat keseluruhannya….” jawab Safira. Abbas pun mengeluarkan video tersebut, dan beralih pada file lainnya, dan menemukan catatan transaksi jual beli dan data-data perusahaan.
“Berarti Ardian bekerja sama dengan Barra….” imbuh Abbas.
“Lalu kenapa flashdisk sepenting ini ada dirumah Ardian? Kenapa tidak bapak Barra saja yang menyimpannya sendiri?” tanya Safira.
“Pak Barra memiliki banyak musuh, tentu saja sesuatu rahasia besarnya tidak akan disimpan didalam rumahnya, kemungkinan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka semua bukti untuk menjeratnya tidak ditemui dalam rumahnya….”
“Lalu jika dia tidak percaya didalam rumahnya tidak aman untuk menyimpan rahasianya, kenapa malah menyerahkan rahasianya kepada pak Andrian, apakah dia tidak takut, suatu saat Andrian bisa saja berkhianat padanya, seperti dia berkhianat dengan pak Bagas?”
“Mungkin Andrian orang kepercayaannya….”
“Bodoh sekali, bisa mempercayai orang begitu mudah….” ketus Safira dingin.
“Apa kau sudah memeriksa isi handphone itu? Mana tau ada petunjuk untuk menjerat Andrian dan komplotannya kepenjara.” tanya Abbas menatap Safira, Safira langsung meraih handphone tersebut, dia mengerutkan keningnya.
“Kenapa?” tanya Abbas heran dengan ekspresi Safira.
“Handphonenya terkunci….” jawab Safira.
“Sial….” umpat Abbas.
“Sepertinya kita harus mendatangi rumah pak Ardian lagi, mana tahu kita mendapatkan banyak bukti disana….” usul Safira yang langsung diangguki oleh Abbas.
“Ayo kita pergi sekarang, lebih cepat lebih baik….” ujar Abbas membuat Safira hanya bisa melonggo.
“Sekarang?” ujar Safira membeo. Abbas yang sudah melangkah hendak keluar, menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Safira.
“Iya… kenapa? Kamu keberatan?” tanya Abbas menaikkan alisnya.
“Bukan keberatan, tapi lebih tepatnya kita baru saja pulang dari sana, masa harus kembali lagi…” jawab Safira.
“Apa itu masalah, jika kasus ini cepat selesai itu lebih baik…. Takutnya, jika lama kita bertindak, barang bukti bisa saja dimusnakan….” Abbas segera keluar, sedangkan Safira segera memungut barang bukti yang dia temukan dan memasukkannya ke dalam tas.
Safira segera berlari mengejar Abbas yang sudah berada didalam mobil, Safira segera memasuki mobil dan mobil polisi tersebut segera meninggalkan kantor polisi.
Sesampainya di rumah Ardian, Safira dan Abbas bergegas memasuki rumah tersebut. Keduanya segera memeriksa kamar demi kamar dan disudut ruangan. Abbas membuka sebuah ruangan dan menemukan beberapa map, dan Safira menemukan pistol, jas hitam, sepatu hitam dan kaca mata hitam. Safira segera memungutnya sebagai barang bukti dan keluar dari kamar tersebut. “Saya menemukan beberapa map, beberapa foto yang dilingkari merah, kemungkinan ini adalah musuhnya yang harus disingkirkan….” jelas Abbas. “Bagus….” imbuh Safira. “Termasuk dirimu….” Abbas menatap Safira dingin. Safira mengerutkan keningnya bingung. “Foto kau ada disalah satu foto yang dilingkari dengan tinta merah…. Mungkin kau juga target pembunuhan….” jelas Abbas. Belum sempat Safira mencerna perkataan Abbas, mereka sudah mendengar seperti ledakkan dan seperti bunyi alarm. “Disini ada bom….” teriak Abbas menarik Safira keluar dari rumah tersebut. Mereka berlari sekuat tenaga, sesaat mereka sudah keluar, rumah Ardian pun meledak m
Safira duduk di anyaman tikar menikmati goreng ubi yang baru saja dimasak, sambil mengobrol dengan akrab dengan pemilik rumah. Selesai menikmati ubi goreng, Safira membantu pemilik rumah membersihkan piring kotor. Sesudah itu, Safira berjalan-jalan sendiri berkeliling desa. Sesekali mencari signal hp untuk menghubungi Abbas. Namun didesa yang belum ada tower tersebut membuat Safira kesulitan untuk menelpon Abbas. Safira kembali kerumah bu Rima saat sudah puas keliling desa. Saat pagi tiba, semua warga desa dihebohkan dengan penemuan mayat seorang pria di pinggir jalan. Saat Safira dan warga desa mendatangi tempat kejadian, disana sudah terlihat seorang wanita menangis histeris melihat mayat tersebut. Safira mendekati mayat dan mengamati kondisinya. Safira mengerutkan keningnya, berjongkok disamping mayat. Dia mendengar para warga mengungjing mayat. “Melihat luka yang dialami oleh korban, korban meninggal karena dipukul….” jelas Safira dengan tegas. Perempuan yang menangisi mayat,
Saat pagi tiba, Abbas mengikuti pak Dody ke kebun. Abbas membantu mengembur tanah untuk ditamani cabe dan sayuran lainnya. Sedangkan Safira membantu istrinya pak Dody memasak dan membersihkan rumah. Setelah shalat magrib, Safira duduk dikursi teras rumah pak Dodi. Tak lama kemudian, Abbas duduk disamping Safira membawakan dua gelas kopi. “Ayo minum….” ajak Abbas menyeruput kopinya. Safira hanya tersenyum simpul, meraih kopi tersebut dan menyeruputnya perlahan. “Jangan bilang kepada siapapun, kalau kau adalah polisi dan aku seorang agent….” ujar Safira perlahan meletakan kopi diatas meja disampingnya, lalu menatap Abbas yang langsung menganguk menyetujui permintaan Safira. “Lalu, kapan kau mulai menyelidiki kasus tersebut? Siapa orang yang kau curigai?” tanya Abbas menyilangkan kakinya, sambil kembali menyeruput kopinya. “Belum tahu, mungkin secepatnya….” jawab Safira seadanya. “Kau tahu siapa dalangnya?” tanya Abbas lagi. Safira mengelengkan kepalanya perlahan. “Namun aku harus
Saat pagi tiba Safira sudah bergegas menyiapkan diri melakukan penyelidikan. Safira berjalan sendiri menyusuri jalan demi jalan, kakinya terhenti saat melihat seorang wanita duduk termenung dikursi teras rumahnya. Kaki Safira spontan melangkah mendekati rumah tersebut dan menyapa wanita tersebut dengan ramah. “Assalamualaikum….” ucap Safira tersenyum ramah. Namun tidak ada sahutan dari Nadira. Safira berinisiatif melangkah memasuki teras rumah Nadira, dan berdiri tepat disamping Nadira. “Bagaimana kabarmu?” tanya Safira mencoba ramah, walaupun mencoba ramah bukanlah sifatnya. Sunyi, wanita itu hanya diam, tatapannya lurus kedepan, wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya nampak kurus dan tak terurus, tatapannya kosong. Safira menghela napas pendek, mengusap pundak Nadira. “Saya tahu kamu pasti sangat terpukul atas kematian Ulungmu, tapi apakah kau bisa menceritakan kronologi kematian Ulung mu? Mana tahu aku bisa membantumu menemukan siapa pelakunya.” Tak ada jawaban dari Nadira, kemb
“Kita perlu bicara….” Ajak Safira saat melihat Abbas yang baru saja pulang dari berkebun bersama pak Dody dan anaknya. “Mau bicara apa?” “Kita harus kekota yang ada labortariumnya, untuk mengecek barang bukti yang saya temukan….” jelas Safira dengan cara berbisik ditelinga Abbas. Jarak mereka cukup jauh dari jangkaun pak Dody dan anaknya, sehingga mereka tidak perlu khawatir akan didengar pembicaraan mereka. “Baiklah, kita harus izin terlebih dahulu pada pak Dody dan istrinya….” ajak Abbas. Setelah mendapat izin dari pak Dody dan istrinya, Safira dan Abbas bergegas pergi kekota. Cukup jauh dari desa mereka, baru mereka menemukan kota. Mereka pulang saat adzan magrib. Safira berusaha mencari tahu nama dan tempat tinggal orang-orang yang dicurigainya. Malam itu dia mengendap-endap berjalan dibelakang rumah pak Somad, tempat kejadian terdapatnya mayat pak Slamet, tiga hari yang lalu. Namun dia tidak menemukan apapun. “Bagaimana mungkin tidak ada jejak barang bukti sedikitpun?” bath
Abbas dan Safira pulang kerumah pak Dody. Sesampainya disana, mereka disambut dengan tatapan tajam para polisi. “Maaf, apakah kau bernama Safira Ramadhani?” tanya seorang polisi. Safira hanya menganguk dengan cepat. “Bolehkah saya bertanya dengan kamu?” “Silahkan….” jawab Safira singkat. Safira duduk dikursi teras rumah pak Dody. Ada lima kursi disana, pak Dody dan istrinya segera masuk kedalam rumah saat melihat Safira sudah pulang. Abbas dan Safira pun duduk dikursinya dengan tenang, sedangkan dua polisi itu juga duduk dikursinya. Safira menatap tajam seorang pria yang juga ikut duduk disamping pak polisi. “Darimana kamu tahu tentang kejadian kematian pak Slamet?” “Saya mendengar teriakan para warga dan melihat banyak orang-orang berbondong-bondong ke lokasi kejadian…. Jadi kami hanya ingin melihat apa yang terjadi….” jawab Safira sekenanya. “Kami? Berarti kamu tidak sendirian datang ketempat lokasi kejadian?” tanya polisi itu lagi. “Bersama pak Dody, bu Rima dan anaknya Ardi
Pukul 17:45 Pak Somad bergegas pulang kerumahnya dengan berjalan kaki. Namun langkahnya terhenti saat mendapati sosok seorang pria yang berdiri tegak memakai pakaian dan masker hitam ditengah jalan dengan posisi sebelah tangannya memegang balok kayu. “Maaf anda ini siapa? Kenapa berdiri tengah jalan seperti ini? Anda tersesat?” tanya pak Somad kebingungan. Namun pria itu hanya diam, namun tatapan matanya sangatlah tajam seperti pedang yang siap menghunus siapa-saja. “Kenapa diam? Sepertinya anda bukan orang desa ini? Anda mau kemana?” tanya pak Somad lagi. “Mau kerumah pak Somad….” ujarnya membuat pak Somad menunjukkan ekspresi bingung. “Saya pak Somad, ada apa kau bertemu dengan saya?” “Mau membunuh….” ucapnya dingin, diiringi dengan tawa yang melengking, membuat bulu kuduk pak Somad berdiri. “Apa salah saya?” tanya pak Somad dengan suara bergetar. “Karena kau membunuh teman saya bernama Fitra Rafisqy Alfa rezi abangnya Nadira Zerina Adzra Nadhifa, juga pak Slamet, dan sekara
Semua warga pun mendatangi rumah pak Somad, tak terkecuali keluarga pak Dody, Safira dan Abbas juga tiga orang polisi. Safira berjongkok mendekati jenazah pak Somad dan mengeryitkan keningnya. “Sungguh bejat kelakuan pelaku ini, begitu banyak luka yang didapat oleh pak Somad, sampai-sampai wajahnya hancur seperti ini….” celutuk Safira. Sedangkan tiga polisi juga sedang mengamati tubuh pak Somad dan ada juga yang mengambil gambarnya. “Lihat seperti ada sesuatu dikantong baju itu?” ujar Abbas menyenggol bahu Safira. Mata tiga polisi langsung melototi kantong baju pak Somad. Safira segera mengambil sesuatu yang ada dikantong baju pak Somad. Ternyata sebuah surat. “Target selanjutnya adalah pak Basir…. Tunggu saja, maut akan menjemputmu….” Safira membaca surat tersebut membuat para warga spontan melihat kearah Safira. “Ini surat pengancaman…..” ucap Safira menatap tiga polisi yang juga menatapnya. “Dimana pak Basir? Apakah beliau ada disini?” tanya Safira nampak panik. Dia memikirkan