Safira duduk di anyaman tikar menikmati goreng ubi yang baru saja dimasak, sambil mengobrol dengan akrab dengan pemilik rumah. Selesai menikmati ubi goreng, Safira membantu pemilik rumah membersihkan piring kotor.
Sesudah itu, Safira berjalan-jalan sendiri berkeliling desa. Sesekali mencari signal hp untuk menghubungi Abbas. Namun didesa yang belum ada tower tersebut membuat Safira kesulitan untuk menelpon Abbas.
Safira kembali kerumah bu Rima saat sudah puas keliling desa. Saat pagi tiba, semua warga desa dihebohkan dengan penemuan mayat seorang pria di pinggir jalan.
Saat Safira dan warga desa mendatangi tempat kejadian, disana sudah terlihat seorang wanita menangis histeris melihat mayat tersebut. Safira mendekati mayat dan mengamati kondisinya.
Safira mengerutkan keningnya, berjongkok disamping mayat. Dia mendengar para warga mengungjing mayat.
“Melihat luka yang dialami oleh korban, korban meninggal karena dipukul….” jelas Safira dengan tegas. Perempuan yang menangisi mayat, menoleh sebentar kearah Safira.
“Ulung Fitra memang dibunuh, mereka yang membunuh Ulung….” teriak Nadira menatapi beberapa orang warga dengan tatapan benci.
“Dia pantas mendapatkannya…..” teriak pak Nafis seorang warga yang ditatap sinis oleh Nadira.
“Semuanya fitnah, kalian tidak tahu kejadian sebenarnya….” teriak Nadira histeris.
“Dia jelas-jelas telah memperkosa Dewi….” bentak pak Ahmad.
“Apa kalian bisa membuktikan, bahwa Ulung saya memperkosa kak Dewi hah?” teriak Nadira tidak terima dengan tuduhan warga. Nadira berusah menyerang para warga yang ngotot menuduh Ulungnya memperkosa Dewi.
Dua orang warga berusaha memegang tangan Nadira yaitu pak Bowo dan Buyung. Sedangkan kaki Nadira masih bisa mengapai dan menendang para warga yang menuduh abangnya memperkosa Dewi. Para warga terlihat takut melihat keberingasan Nadira, beberapa warga otomatis mundur melihat sorot mata Nadira yang seperti orang kerasukan.
“Kami melihat Fitra melakukan perbuataan yang tidak senonoh itu pada Dewi….” hardik pak Somad mundur beberapa langkah kebelakang, takut melihat Nadira yang seperti kerasukan.
“Sudahlah, biar polisi yang mengungkapkan kasus ini….” jelas Safira kembali berdiri, dan meminta kepada warga yang hadir untuk mengangkat jenazah tersebut membawanya kerumah korban.
Namun kebanyakkan warga tidak mengindahkan permintaan Safira dan langsung pergi meninggalkan lokasi kejadian. Hanya pak Dodi dan bu Rima beserta anak laki-lakinya yang tersisa disana.
“Biarkan bapak yang mengangkatnya….” usul pak Dodi. Pak Dody mengangkat jenazah tersebut dengan cara membopongnya. Hanya beberapa orang yang memiliki nurani membantu pemakaman Fitra. Kepergian Fitra membuat trauma bagi Nadira.
Saat malam tiba, suasana didesa itu hening, hanya terdengar sayup-sayup lantunan tahlilan dirumah Nadira.
Namun siapa sangka, malam pertama tahlilan kematian Fitra, terjadi juga tragedi yang mengejutkan dari sebelumnya. Saat pagi tiba, kembali ditemukan mayat seorang laki-laki dibelakang rumah seorang warga dengan posisi yang mengenaskan. Kembali warga digemparkan oleh penemuan mayat tersebut.
“Pembunuhan beruntun….” bathin Safira.
Tiga orang polisi segera mendatangi tempat kejadian perkara, dan menanyai beberapa saksi. Safira berdiri tepat disamping mayat, mengamati luka-luka yang ada ditubuh pria tersebut.
“Sepertinya dari semua orang yang ada disini, yang terlihat tenang hanya dirimu…. Apa kau sering melihat kejadian seperti ini? Wajahmu tak memperlihatkan ketakutan dengan kematian pria ini.” seorang polisi berdiri tepat disamping Safira. Safira hanya menoleh sebentar dan tersenyum dingin.
“Ya, sangat sering, hingga membuatku tidak takut lagi jika melihat kematian seperti ini….” jawab Safira sekenanya, lalu meninggalkan polisi tersebut, sedangkan sang korban segera dibawa kerumahnya.
“Sepertinya gadis yang berdiri disamping mayat tersebut perlu di intogasi….” ucap seorang polisi kepada rekannya.
Dirumah sang korban, para warga segera memandikan jenazah, hingga pemakaman selesai. Para polisi tetap siaga melakukan penyelidikan dan introgasi pada para warga.
“Ada yang mau bertemu dengan kak Safira….” ucap anak pak Dodi mendekati Safira yang sedang makan.
“Siapa?” tanya Safira mengerutkan keningnya.
“Kurang tahu kak, sepertinya bukan orang desa sini…. Dia seorang pria….” jelas Arkana. Safira segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Safira kaget bercampur senang dengan kehadiran pria yang dia kenal.
“Hai, syukur kamu baik-baik saja….” Safira memeluk pria tersebut dengan singkat.
“Bagaimana kabarmu Ra?” tanya pria tersebut, tersenyum.
“Baik….”
“Ada berita buruk Ra, kasus yang kita tangani di tutup oleh pihak kepolisian, dan Ardian telah dibebaskan….” jelas Abbas menghela napas panjang, begitupun Safira yang mendengarnya.
“Ayo kita pulang….” ujarnya lagi. Safira mengeleng pelan, membuat Abbas mengerutkan keningnya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Didesa ini baru saja mengalami pembunuhan beruntun, aku mau membantu mereka mengungkapkan kasus ini….”
“Lalu bagaimana dengan kasus kita yang belum selesai? Apa kita tidak perlu melanjutkan kasus tersebut dan memenjarakan dalangnya?”
“Lagi pun kasus tersebut sudah ditutup, apa salahnya kita sumbangkan tenaga dan pikiran kita untuk membantu keluarga desa ini yang sedang berduka….” jelas Safira perlahan.
Pak Dodi dan istrinya pun menghampiri Safira diteras rumah dan mempersilahkan Abbas masuk.
Abbas pun masuk setelah mengucapkan terima kasih pada pria yang membantunya mencari alamat rumah pak Dodi yang telah menyelamatkan rekannya.
Abbas, Safira, pak Dody berserta sang istri memasuki rumah dan duduk dihamparan tikar anyaman. Sedangkan bu Rima segera pergi kedapur membuatkan minuman dan kembali dengan membawakan kue kering dan teh. Setelah berbincang-bincang, pak Dody mengizinkan Abbas menginap di rumahnya.
Saat pagi tiba, Abbas mengikuti pak Dody ke kebun. Abbas membantu mengembur tanah untuk ditamani cabe dan sayuran lainnya. Sedangkan Safira membantu istrinya pak Dody memasak dan membersihkan rumah. Setelah shalat magrib, Safira duduk dikursi teras rumah pak Dodi. Tak lama kemudian, Abbas duduk disamping Safira membawakan dua gelas kopi. “Ayo minum….” ajak Abbas menyeruput kopinya. Safira hanya tersenyum simpul, meraih kopi tersebut dan menyeruputnya perlahan. “Jangan bilang kepada siapapun, kalau kau adalah polisi dan aku seorang agent….” ujar Safira perlahan meletakan kopi diatas meja disampingnya, lalu menatap Abbas yang langsung menganguk menyetujui permintaan Safira. “Lalu, kapan kau mulai menyelidiki kasus tersebut? Siapa orang yang kau curigai?” tanya Abbas menyilangkan kakinya, sambil kembali menyeruput kopinya. “Belum tahu, mungkin secepatnya….” jawab Safira seadanya. “Kau tahu siapa dalangnya?” tanya Abbas lagi. Safira mengelengkan kepalanya perlahan. “Namun aku harus
Saat pagi tiba Safira sudah bergegas menyiapkan diri melakukan penyelidikan. Safira berjalan sendiri menyusuri jalan demi jalan, kakinya terhenti saat melihat seorang wanita duduk termenung dikursi teras rumahnya. Kaki Safira spontan melangkah mendekati rumah tersebut dan menyapa wanita tersebut dengan ramah. “Assalamualaikum….” ucap Safira tersenyum ramah. Namun tidak ada sahutan dari Nadira. Safira berinisiatif melangkah memasuki teras rumah Nadira, dan berdiri tepat disamping Nadira. “Bagaimana kabarmu?” tanya Safira mencoba ramah, walaupun mencoba ramah bukanlah sifatnya. Sunyi, wanita itu hanya diam, tatapannya lurus kedepan, wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya nampak kurus dan tak terurus, tatapannya kosong. Safira menghela napas pendek, mengusap pundak Nadira. “Saya tahu kamu pasti sangat terpukul atas kematian Ulungmu, tapi apakah kau bisa menceritakan kronologi kematian Ulung mu? Mana tahu aku bisa membantumu menemukan siapa pelakunya.” Tak ada jawaban dari Nadira, kemb
“Kita perlu bicara….” Ajak Safira saat melihat Abbas yang baru saja pulang dari berkebun bersama pak Dody dan anaknya. “Mau bicara apa?” “Kita harus kekota yang ada labortariumnya, untuk mengecek barang bukti yang saya temukan….” jelas Safira dengan cara berbisik ditelinga Abbas. Jarak mereka cukup jauh dari jangkaun pak Dody dan anaknya, sehingga mereka tidak perlu khawatir akan didengar pembicaraan mereka. “Baiklah, kita harus izin terlebih dahulu pada pak Dody dan istrinya….” ajak Abbas. Setelah mendapat izin dari pak Dody dan istrinya, Safira dan Abbas bergegas pergi kekota. Cukup jauh dari desa mereka, baru mereka menemukan kota. Mereka pulang saat adzan magrib. Safira berusaha mencari tahu nama dan tempat tinggal orang-orang yang dicurigainya. Malam itu dia mengendap-endap berjalan dibelakang rumah pak Somad, tempat kejadian terdapatnya mayat pak Slamet, tiga hari yang lalu. Namun dia tidak menemukan apapun. “Bagaimana mungkin tidak ada jejak barang bukti sedikitpun?” bath
Abbas dan Safira pulang kerumah pak Dody. Sesampainya disana, mereka disambut dengan tatapan tajam para polisi. “Maaf, apakah kau bernama Safira Ramadhani?” tanya seorang polisi. Safira hanya menganguk dengan cepat. “Bolehkah saya bertanya dengan kamu?” “Silahkan….” jawab Safira singkat. Safira duduk dikursi teras rumah pak Dody. Ada lima kursi disana, pak Dody dan istrinya segera masuk kedalam rumah saat melihat Safira sudah pulang. Abbas dan Safira pun duduk dikursinya dengan tenang, sedangkan dua polisi itu juga duduk dikursinya. Safira menatap tajam seorang pria yang juga ikut duduk disamping pak polisi. “Darimana kamu tahu tentang kejadian kematian pak Slamet?” “Saya mendengar teriakan para warga dan melihat banyak orang-orang berbondong-bondong ke lokasi kejadian…. Jadi kami hanya ingin melihat apa yang terjadi….” jawab Safira sekenanya. “Kami? Berarti kamu tidak sendirian datang ketempat lokasi kejadian?” tanya polisi itu lagi. “Bersama pak Dody, bu Rima dan anaknya Ardi
Pukul 17:45 Pak Somad bergegas pulang kerumahnya dengan berjalan kaki. Namun langkahnya terhenti saat mendapati sosok seorang pria yang berdiri tegak memakai pakaian dan masker hitam ditengah jalan dengan posisi sebelah tangannya memegang balok kayu. “Maaf anda ini siapa? Kenapa berdiri tengah jalan seperti ini? Anda tersesat?” tanya pak Somad kebingungan. Namun pria itu hanya diam, namun tatapan matanya sangatlah tajam seperti pedang yang siap menghunus siapa-saja. “Kenapa diam? Sepertinya anda bukan orang desa ini? Anda mau kemana?” tanya pak Somad lagi. “Mau kerumah pak Somad….” ujarnya membuat pak Somad menunjukkan ekspresi bingung. “Saya pak Somad, ada apa kau bertemu dengan saya?” “Mau membunuh….” ucapnya dingin, diiringi dengan tawa yang melengking, membuat bulu kuduk pak Somad berdiri. “Apa salah saya?” tanya pak Somad dengan suara bergetar. “Karena kau membunuh teman saya bernama Fitra Rafisqy Alfa rezi abangnya Nadira Zerina Adzra Nadhifa, juga pak Slamet, dan sekara
Semua warga pun mendatangi rumah pak Somad, tak terkecuali keluarga pak Dody, Safira dan Abbas juga tiga orang polisi. Safira berjongkok mendekati jenazah pak Somad dan mengeryitkan keningnya. “Sungguh bejat kelakuan pelaku ini, begitu banyak luka yang didapat oleh pak Somad, sampai-sampai wajahnya hancur seperti ini….” celutuk Safira. Sedangkan tiga polisi juga sedang mengamati tubuh pak Somad dan ada juga yang mengambil gambarnya. “Lihat seperti ada sesuatu dikantong baju itu?” ujar Abbas menyenggol bahu Safira. Mata tiga polisi langsung melototi kantong baju pak Somad. Safira segera mengambil sesuatu yang ada dikantong baju pak Somad. Ternyata sebuah surat. “Target selanjutnya adalah pak Basir…. Tunggu saja, maut akan menjemputmu….” Safira membaca surat tersebut membuat para warga spontan melihat kearah Safira. “Ini surat pengancaman…..” ucap Safira menatap tiga polisi yang juga menatapnya. “Dimana pak Basir? Apakah beliau ada disini?” tanya Safira nampak panik. Dia memikirkan
“Mau saya bantu pak?” tanya seorang pria yang memakai kaos oblong dengan celana selutut. Pak Budi yang sedang sibuk membawa kambing-kambingnya masuk kedalam kandang, menoleh sebentar kearah pria tersebut. Pak Budi mengerutkan keningnya bingung. “Anak ini orang baru ya? Kok bapak nggak pernah lihat?” tanya pak Budi bingung. Pria tersebut hanya tersenyum. “Iya pak, saya saudara jauhnya Fitra Rafisqy Alfa rezi abangnya Nadira Zerina Adzra Nadhifa….” Pak Budi nampak kaget. “Ada keperluan apa anak ini kesana?” tanya pak Budi mencoba bersikap tenang. “Saya sangat merindukan Fitra dengan Nadira adiknya pak. Saya ingin sekali bertemu dengan mereka? Kalau boleh tahu, bapak tahu rumah mereka?” tanya pria tersebut dengan ramah. “Apa kamu tidak mendengar apa yang terjadi dengan Fitra?” selidik pak Budi mencoba memasukkan satu persatu kambing-kambingnya masuk kekandang, juga dibanu oleh pria asing tersebut. “Emang apa yang terjadi dengan Fitra pak?” “Fitra sudah meninggal dua minggu yang lal
Paginya warga desa digemparkan dengan penemuan mayat pak Budi dibelakang rumahnya. Yang menemukan mayat pak Budi adalah istrinya sendiri yang baru saja pulang dari rumah ibunya dikampung sebelah. Tiga polisi mendatangi rumah korban, tak ketinggalan Safira dan Abbas juga mendatangi rumah pak Budi. Sang istri sangat histeris melihat tubuh pak Budi yang sudah hancur dibagian kepalanya. Safira memalingkan wajahnya menatap ngeri tubuh pak Budi. “Kita lakukan autopsi saja….” Safira membuka suara. Sedangkan istri pak Budi melirik sejenak kearah Safira dan kembali merapati kematian suaminya. “Autopsi itu akan mengungkapkan siapa pelaku pembunuhan suami ibu, dan pembunuh warga yang telah meninggal sebelumnya….” “Soal uang biar saya dan teman saya yang tanggung, yang penting kasus ini segera terselesaikan…. Saya sudah tidak sabar ingin memukul wajah sipembunuh, dan saya pastikan dia akan memohon ampun agar tidak memukulnya….” geram Safira mengepalkan tangannya. Istri pak Budi hanya diam. “B