Share

Chapter 6 Tragedi

Safira duduk di anyaman tikar menikmati goreng ubi yang baru saja dimasak, sambil mengobrol dengan akrab dengan pemilik rumah. Selesai menikmati ubi goreng, Safira membantu pemilik rumah membersihkan piring kotor.

Sesudah itu, Safira berjalan-jalan sendiri berkeliling desa. Sesekali mencari signal hp untuk menghubungi Abbas. Namun didesa yang belum ada tower tersebut membuat Safira kesulitan untuk menelpon Abbas.

Safira kembali kerumah bu Rima saat sudah puas keliling desa. Saat pagi tiba, semua warga desa dihebohkan dengan penemuan mayat seorang pria di pinggir jalan.

Saat Safira dan warga desa mendatangi tempat kejadian, disana sudah terlihat seorang wanita menangis histeris melihat mayat tersebut. Safira mendekati mayat dan mengamati  kondisinya.

Safira mengerutkan keningnya, berjongkok disamping mayat. Dia mendengar para warga mengungjing mayat.

“Melihat luka yang dialami oleh korban, korban meninggal karena dipukul….” jelas Safira dengan tegas. Perempuan yang menangisi mayat, menoleh sebentar kearah Safira.

“Ulung Fitra memang dibunuh, mereka yang membunuh Ulung….” teriak Nadira menatapi beberapa orang warga dengan tatapan benci.

“Dia pantas mendapatkannya…..” teriak pak Nafis seorang warga yang ditatap sinis oleh Nadira.

“Semuanya fitnah, kalian tidak tahu kejadian sebenarnya….” teriak Nadira histeris.

“Dia jelas-jelas telah memperkosa Dewi….” bentak pak Ahmad.

“Apa kalian bisa membuktikan, bahwa Ulung saya memperkosa kak Dewi hah?” teriak Nadira tidak terima dengan tuduhan warga. Nadira berusah menyerang para warga yang ngotot menuduh Ulungnya memperkosa Dewi.

Dua orang warga berusaha memegang tangan Nadira yaitu pak Bowo dan Buyung. Sedangkan kaki Nadira masih bisa mengapai dan menendang para warga yang menuduh abangnya memperkosa Dewi. Para warga terlihat takut melihat keberingasan Nadira, beberapa warga otomatis mundur melihat sorot mata Nadira yang seperti orang kerasukan.

“Kami melihat Fitra melakukan perbuataan yang tidak senonoh itu pada Dewi….” hardik pak Somad mundur beberapa langkah kebelakang, takut melihat Nadira yang seperti kerasukan.

“Sudahlah, biar polisi yang mengungkapkan kasus ini….” jelas Safira kembali berdiri, dan meminta kepada warga yang hadir untuk mengangkat jenazah tersebut membawanya kerumah korban.

Namun kebanyakkan warga tidak mengindahkan permintaan Safira dan langsung pergi meninggalkan lokasi kejadian. Hanya pak Dodi dan bu Rima beserta anak laki-lakinya yang tersisa disana.

“Biarkan bapak yang mengangkatnya….” usul pak Dodi. Pak Dody mengangkat jenazah tersebut dengan cara membopongnya. Hanya beberapa orang yang memiliki nurani membantu pemakaman Fitra. Kepergian Fitra membuat trauma bagi Nadira.

Saat malam tiba, suasana didesa itu hening, hanya terdengar sayup-sayup lantunan tahlilan dirumah Nadira.

Namun siapa sangka, malam pertama tahlilan kematian Fitra, terjadi juga tragedi yang mengejutkan dari sebelumnya. Saat pagi tiba, kembali ditemukan mayat seorang laki-laki dibelakang rumah seorang warga dengan posisi yang mengenaskan. Kembali warga digemparkan oleh penemuan mayat tersebut.

 “Pembunuhan beruntun….” bathin Safira.

Tiga orang polisi segera mendatangi tempat kejadian perkara, dan menanyai beberapa saksi. Safira berdiri tepat disamping mayat, mengamati luka-luka yang ada ditubuh pria tersebut.

“Sepertinya dari semua orang yang ada disini, yang terlihat tenang hanya dirimu…. Apa kau sering melihat kejadian seperti ini? Wajahmu tak memperlihatkan ketakutan dengan kematian pria ini.” seorang polisi berdiri tepat disamping Safira. Safira hanya menoleh sebentar dan tersenyum dingin.

“Ya, sangat sering, hingga membuatku tidak takut lagi jika melihat kematian seperti ini….” jawab Safira sekenanya, lalu meninggalkan polisi tersebut, sedangkan sang korban segera dibawa kerumahnya.

“Sepertinya gadis yang berdiri disamping mayat tersebut perlu di intogasi….” ucap seorang polisi kepada rekannya.

Dirumah sang korban, para warga segera memandikan jenazah, hingga pemakaman selesai. Para polisi tetap siaga melakukan penyelidikan dan introgasi pada para warga.

“Ada yang mau bertemu dengan kak Safira….” ucap anak pak  Dodi mendekati Safira yang sedang makan.

“Siapa?” tanya Safira mengerutkan keningnya.

“Kurang tahu kak, sepertinya bukan orang desa sini…. Dia seorang pria….” jelas Arkana. Safira segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Safira kaget bercampur senang dengan kehadiran pria yang dia kenal.

 “Hai, syukur kamu baik-baik saja….” Safira memeluk pria tersebut dengan singkat.

“Bagaimana kabarmu Ra?” tanya pria tersebut, tersenyum.

“Baik….”

“Ada berita buruk Ra, kasus yang kita tangani di tutup oleh pihak kepolisian, dan Ardian telah dibebaskan….” jelas Abbas menghela napas panjang, begitupun Safira yang mendengarnya.

“Ayo kita pulang….” ujarnya lagi. Safira mengeleng pelan, membuat Abbas mengerutkan keningnya.

“Kenapa?” tanyanya.

“Didesa ini baru saja mengalami pembunuhan beruntun, aku mau membantu mereka mengungkapkan kasus ini….”

“Lalu bagaimana dengan kasus kita yang belum selesai? Apa kita tidak perlu melanjutkan kasus tersebut dan memenjarakan dalangnya?”

“Lagi pun kasus tersebut sudah ditutup, apa salahnya kita sumbangkan tenaga dan pikiran kita untuk membantu keluarga desa ini yang sedang berduka….” jelas Safira perlahan.

Pak Dodi dan istrinya pun menghampiri Safira diteras rumah dan mempersilahkan Abbas masuk.

Abbas pun masuk setelah mengucapkan terima kasih pada pria yang membantunya mencari alamat rumah pak Dodi yang telah menyelamatkan rekannya.

Abbas, Safira, pak Dody berserta sang istri memasuki rumah dan duduk dihamparan tikar anyaman. Sedangkan bu Rima segera pergi kedapur membuatkan minuman dan kembali dengan membawakan kue kering dan teh. Setelah berbincang-bincang, pak Dody mengizinkan Abbas menginap di rumahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status