Share

3. Bayu Brisena

Reza mendarat dengan sukses di taman belakang sekolah. Dia baru saja selesai tawuran dengan musuh bebuyutan sekolahnya, SMA Budi Pertiwi. Beruntung, guru jam pertama dan keduanya hari ini tidak masuk.

Reza menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon besar yang berhadapan langsung dengan danau buatan. Dikeluarkannya sebilah silet dari saku seragamnya dan mulai menggerakkan ujung silet tersebut di sekitar pergelangan tangannya. Rasa perih namun menyenangkan langsung dirasa Reza saat luka yang beberapa hari lalu kembali terbuka. Ditambah, darah segar yang sedikit demi sedikit mengotori rumput.

Reza baru saja pulang dari pesta ulang tahun yang diadakan di rumah Dirga. Diliriknya sekali lagi jam di tangan yang sudah menunjukkan angka sepuluh. Reza pulang bersamaan dengan Maya yang juga baru pulang dari kantor. Hanya saja, ibunya itu tidak menyadari keberadaannya.

"Dari mana saja kamu? Jalan sama selingkuhanmu itu?" Reza hendak masuk namun diurungkan saat mendengar suara sang ayah menggelegar dari ruang tamu.

Berantem ... lagi? batin Reza miris.

"Nggak salah? Bukannya kamu yang selingkuh dengan sekretarismu yang jalang itu?" balas Maya dingin. Matanya menatap penuh benci pria berstatus suaminya itu.

"Jaga bicaramu, Maya! Saya tidak ada hubungan apa pun dengan Raline!"

"Hah! Mana ada maling mau mengaku, Fahri! Kebusukkanmu itu memang sudah mendarah daging."

"Dasar jal—"

Ucapan Fahmi terputus saat Reza dengan santai memasukki ruang tamu. Amarah Fahri kian menjadi-jadi saat Reza melewatinya begitu saja dengan tatapan penuh benci.

"Dari mana saja kamu, Anak Sial? Anak sama Ibu sama saja, suka keluyuran nggak jelas," ucap Fahri ketus. Reza menghentikan langkahnya, berbalik menatap kedua orang tuanya.

"Buat apa Anda repot-repot bertanya tentang kemana saya pergi? Urus aja saham dan berkas sialan Anda."

"Anak kurang ajar! Nggak tahu terima kasih! Kamu lihat hasil didikan kamu, Maya? Jadi liar macam binatang." Fahri menampar pipi kiri Reza. Nafasnya memburu menatap marah anaknya.

"Cukup, Mas! Jangan kasar sama Eja!" Maya memeluk putra semata wayangnya.

"Bela saja terus anak kamu. Nggak berguna! Cuma bisa tawuran dan bolos sekolah. Mau jadi apa hidup kamu, Eja? Jadi gembel?!"

"CUKUP, FAHRI!" jerit Maya marah.

"Tch! Sudah selesai, kan? Saya pergi." Reza melepas paksa pelukan Maya. Wanita itu menangis menatap Reza yang mulai tak terlihat.

"Kamu berdarah!" Reza tersentak dan tanpa sengaja malah memperdalam luka di pergelangannya.

"Heh, diem!" bentak Reza. Salma langsung diam tak berkutik. Reza meringis saat lukanya cukup lebar.

Sial! Perih juga.

Reza beralih menatap Salma yang kini diam ketakutan. Kesal rasanya saat cewek yang tidak dia kenal menganggu aktifitasnya.

"Ki-kita ke UKS, ya? Tangan kamu luka."

"Heh, emangnya ini ulah siapa, hm?" omel Reza. Dia langsung berdiri dan hendak beranjak pergi namun tertahan oleh Salma yang memegang ujung seragamnya.

"Tunggu—"

"Lepas! Gue mau pergi," ketus Reza.

"Ta-tapi luka kamu—"

"Lepas! Budek, lo?"

Salma diam. Antara takut, kesal, dan khawatir. Padahal dia berniat baik mau mengobati luka cowok di depannya ini, tapi, kenapa malah dia yang kena omel?

"Aku minta maaf udah buat kamu luka. Ta-tapi kalo nggak diobatin, bisa infeksi."

Reza menatapnya tajam. "Bahkan kalo gue mati pun, nggak ada urusannya sama lo," bisik Reza tajam. Dia melepas paksa cengkraman Salma dan kembali berjalan.

"Tunggu!"

Shit! Nelen anak orang dosa nggak, sih?

"Mau lo apa, sih?" sekali lagi, Reza berteriak di depan Salma.

Dengan tangan bergetar, Salma memberikan sebotol air mineral yang tadi dia beli di kantin. Reza terdiam, sadar kala cewek di hadapannya ini bergetar ketakutan. Dia menghela nafas pelan dan pergi begitu saja tanpa menerima botol minum pemberian Salma.

Cowok yang Salma yakini adalah kakak kelasnya itu terus berjalan sampai tidak bisa dia lihat lagi. Heran, baru ini bertemu orang yang mau ditolong, marah balik marah padanya. Dengan berat hati, Salma membiarkan kakak kelasnya itu dan kembali ke ruang olahraga.

Dita pasti ngomel, deh.

"Salma!" seru Dita dari kejauhan. Salma memerlihatkan cengiran sok polosnya saat sahabatnya itu sudah ada di depannya.

"Ini anak kambing emang nggak bisa dipegang omongannya, ya?" omel Dita. Tangannya menjitak Salma, "Lama banget cuma ke kantin."

"Maaf, tadi aku kesasar di taman belakang"

Trus ketemu Kating aneh yang hobi ngomel-ngomel.

"Apa gue bilang? Udah sana absen dulu ke Pak Zul." Dita menarik Salma masuk ke area lapangan menemui guru olahraga yang sedang mengawasi murid-muridnya.

Selepas pengambilan nilai, Salma, Dita, dan beberapa teman ceweknya duduk di kursi penonton, menyoraki teman-teman cowoknya yang sedang bermain futsal.

"Si Anwar gaya doang tengil, tapi, giliran ngoper bola aja nggak becus. Gebetan lo, Dit," ucap Dewi.

Dita berpose seakan mau muntah mendengarnya. "Gue sama Anwar? Iyuh lah! Cowok kadal kayak dia mah buat apa?"

"Eh, si Rangga jago juga main futsal. Anjir ngelap keringet aja keren banget," seru Lidya. Dewi, Dita, dan Salma langsung menatapnya.

"Lo naksir sama si kedelai hitam itu?"

"Apanya yang kedelai hitam?"

"Ya, itu, Rangga. Dia kan hitam manis kayak kecap bango," jawab Dewi. Dia ikut memerhatikan Rangga yang tampak lebih manis saat tersenyum atau tertawa bareng teman-temannya.

"Gue naksir dia udah lama. Dari kelas dua SMP."

"SERIUS SUKA SAMA RANGGA??" teriak Dewi heboh. Lidya sampai harus menutupi wajahnya karena malu.

"Dewi... lo bisa kontrol suara lo nggak, sih?" Lidya menggeram kesal dengan pelan. Dewi yang sepertinya sudah sadar situasi dan perbuatannya langsung duduk dan memeluk Salma. Membenamkan wajahnya di tubuh Salma yang lebih kecil darinya.

"Eh, lo wangi bayi, Sal. Ih! suka bangeeett." Salma duduk dengan kaku, melirik Dita mencoba meminta pertolongan. Dita tersenyum tulus.

"Salma kan polos, orang baik, ya, jelas aja bau bayi. Enak dicium. Kalo lo mah bau kabel kebakar. Gosipin orang mulu."

"Garing banget, Dit. Lo mau ngelawak?" sindir Dewi.

Lidya bersyukur bahwa Dewi mulai melupakan pembahasan mereka sebelumnya. Memang ide buruk bercerita di depan Dewi si lambe turah sekolah. Bukannya untung, malah buntung.

••¤¤••

Tepat pukul sepuluh, bel istirahat pertama berbunyi. Pelajaran olahraga kelas IPS 3 pun selesai. Mereka berbondong-bondong ke ruang ganti. Beberapa anak laki-laki bahkan memutuskan mandi.

Suasana kantin ramai seperti biasa. Kedatangan Reza, Randi, dan Dirga langsung disambut antusias oleh penghuni Cakrawala. Dita memandang bosan ketiga cowok paling hits di sekolahnya.

"Gue bersyukur bisa keterima masuk sini. Tiap jam istirahat bisa lihat wajah ganteng mereka itu bikin mood naik lagi. Belajar juga makin semangat." Dewi menatap penuh kagum ke arah Randi. Mereka selalu duduk di meja yang sama, seakan itu mutlak milik mereka.

"Gue lebih bersyukur kalo tiga mahluk tengil itu enyah dari sini," balas Dita sinis.

"Sstt.. itu Bayu, kan? Gila, beneran Bayu?" Belum habis pekikan cewek-cewek di kantin tentang ketiga cowok itu, teriakan mereka bertambah saat seorang cowok dengan senyum sejuta watt-nya memasukki kantin. Sesekali cowok yang terlihat bersinar itu membalas sapaan beberapa orang yang sebenarnya tidak dia kenal.

"Gila gila gila! Itu Kak Bayu, Dit! Aaaaa... sumpah, ya, itu orang, tiga bulan di NY makin ganteng banget! Uuuhh... stylenya itu, lho, udah seganteng Shawn Mendes." Dewi sama histerisnya dengan beberapa cewek di sekitar mereka. Bahkan, ada yang terang-terangan menggoda Bayu.

"Berisik, Dewi, gue mau makan," ketus Dita. Lidya mengelus lengan Dita yang terlihat kesal.

"Lo kenapa, Dit? Kok ngelihat Bayu malah makin sinis? Coba deh kayak Salma yang anteng sambil lihatin Kak Reza."

Mendengar namanya disebut, Salma menoleh, menatap Dewi dan Dita bergantian. "Ada apa?"

Lidya mengangkat bahunya. "Lanjut makan, yuk, Sal. Nggak usah dengerin dua orang gila ini tengkar. Bikin sakit kuping." Salma terlihat bingung awalnya. Namun, dia memilih tidak bertanya lebih lanjut.

Tatapannya kembali ke tempat Reza duduk. Sejak terakhir bertemu, Salma tidak bisa berhenti memikirkan Reza. Banyak pertanyaan yang mengelilingi kepalanya, dan tak ada jawaban yang bisa dia dapat.

Katanya, Kak Reza punya sakit mental, apa iya? Orang normal macam apa yang nyakitin dirinya sendiri? Terus-

"... Ma? Salma?" Salma tersentak kaget saat Dita menyentil keningnya.

"Nah, sadar juga dia," celetuk Dewi.

"Kok aku disentil?" tanya Salma bingung. Dilihatnya suasana kantin yang sudah tidak seramai sebelumnya.

"Ngelamun mulu, sih. Kalo sampai lo kesambet setan lambe turah kayak si Dewi, kan, bisa gawat nanti, Sal." Dewi mendelik ke arah Dita yang malah membicarakannya.

"Ngapain bawa-bawa nama gue, sih? Lagian, ya, gue itu Dewi Aryaningsih, calon anggota jurnalistik sekolah, bukan lambe turah."

"Heh, jurnalis itu nggak pernah ngegosipin orang, apalagi teriak-teriak manggilin Randi CS macam orang ketiban duren."

"Ketiban duren mah bocor, dong," seru Dewi tak terima.

Lidya yang jengah langsung menjewer telinga Dewi. "Udah, berisik! Bisa diem nggak? Buruan ke kelas."

"Aduh! Jangan di jewer kuping gue. Putus ini, Lid, putus, ya ampuunn. Sakit, ih! Nggak ada gantinya ini." Lidya langsung menggeret Dewi tanpa mau mendengar keluhan Dewi yang menyerukan kata 'sakit'.

"Bentar lagi Idul Qurban, banyak kuping kambing, Dew." Dita terbahak, beberapa orang yang masih ada di sekitar mereka ikut tertawa.

"Dita jahat banget. Kasihan Dewi, tuh, sampe diketawain gitu," tegur Salma pelan. Dita tersenyum sambil merangkul sahabatnya itu, sambil memandang sekelilingnya.

"Yang penting bukan lo yang jadi bahan tertawaan mereka."

Bergeser dari tempat Salma berada, meja tempat Reza makan mendadak ramai oleh beberapa teman sekelasnya yang ikut bergabung berkat adanya Bayu. Cowok yang baru saja menyelesaikan pertukaran pelajarnya di New York itu sempat mendapat protes dari ketiga sahabatnya karena tidak bilang akan datang ke sekolah.

"Tahu gitu, kan, kita bolos buat jemput lo ke Bandara, Bay." Dirga masih tidak terima bahwa Bayu tidak mengabarinya. Dia bisa minta izin dispensasi untuk menjemput Bayu yang tentu saja langsung mendapat sorakan dari teman-temannya.

"Itu mah emang pengennya lo bolos sekolah, Ga," ejek Rizal, "Eh, tapi, Bay, gimana hidup di NY? Merdeka banget, dong, lihat bule-bule pake bikini di sepanjang jalan."

"Alah, Semvak! Pertanyaan lo porno banget, Zal," ejek Randi balik.

"Nggak ada bule pake bikini di jalan, Zal, adanya ya di pantai," jawab Bayu. Dia sengaja menggantung kata-katanya. "Tapi kalau bule ciuman di pinggir jalan baru banyak. Hahaha."

"Bangke! Ngapain lo bahas, anjir." Dirga protes seketika.

"Yang mancing bahas bikini tadi siapa? Ya, gue tembak aja langsung pake itu. Sama aja, kan?" bela Bayu.

"Terus, asrama lo di mana? Sekamar berapa orang?" tanya Fara. Rata-rata cewek IPA 1 selain cantik dan pintar, mereka juga di kenal tomboy. Mereka sangat akrab satu sama lain tanpa memandang gender. Tidak ada perbedaan topik bahasan. Mereka sudah paham apa saja yang boleh maupun tidak boleh mereka bahas jika sedang berkumpul seperti ini. Cowok IPA 1 masih menghormati teman rekan cewek mereka.

"Gue tinggal nggak jauh dari sekolah. Cuma satu blok doang jaraknya. Kalo jalan kaki, nggak sampai lima menit udah sampai di sekolah. Satu kamar buat dua orang, tanpa sharing dapur dan kamar mandi. Enak, sih, jadi gue nggak harus rebutan kamar mandi sama penghuni asrama yang lain."

"Kebayang banget, sih, kalo sampe kamar mandi dan dapur aja berbagi sama yang di luar kamar."

"Karena ada asrama yang kayak gitu. Asrama Kakak gue di SIPA juga sharing. Udah gitu, jarak dari asrama ke kampus juga lumayan. Kalau jalan kaki bisa lima belas menit baru sampai." ucap Fara. Dia langsung ingat derita kakanya yang harus berbagi kamar mandi dan dapur semasa kuliah di SIPA, Columbia.

"Iya, gila, Kakak lo kan penerima LPDP terus lanjut ke SIPA, ya? Target gue, tuh, bisa kuliah di sana," seru Rizal penuh percaya diri.

"Benerin dulu otak lo kalo mau kuliah di SIPA. Di sana nggak ada otak ngeres kayak lo. Isinya cuma belajar dan belajar, pulang ke Indonesia, bangun sistem buat kemajuan negara kita." Randi yang sedari tadi diam pun akhirnya bicara. Rizal hanya bisa mencibir.

"Dengerin kata Ketos. Eh, by the way, kapan lo lengser? Udah ada kandidat buat OSIS baru?" tanya Andika—sekretaris bidang I.

"Rapat minggu depan," balas Randi.

Reza hanya diam mengamati. Dia sedang malas ikut masuk ke dalam pembahasan mereka. Pikirannya sedang ada di tempat lain. Memikirkan cewek yang tadi menatapnya kosong saat di kantin. Cewek yang sama yang memergokinya sedang sakau di taman belakang.

Nggak bakal gue lepasin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status