Share

5. Pesan Dari Mama

"Nak Eja?" panggil seorang wanita berumur tiga puluh lima tahun itu.

"Mama Ayu."

"Kemana aja baru mampir? Bayu bilang kemarin mau ke sini. Ditungguin malah nggak dateng."

Namanya Ayu, Reza biasa memanggilnya Mama Ayu. Beliau sudah Reza anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Keluarga Bayu yang lain juga sangat baik padanya. Kadang, Reza iri.

"Sibuk, Ma. Mama Ayu sehat?" Reza menyalami Ayu dengan sopan. Ayu mengusap rambut Reza yang sudah dia anggap seperti anak sendiri.

"Alhamdulillah, sehat. Masuk, yuk? Mama mau masak udang goreng tepung asam manis kesukaan kamu." Ayu menggandeng Reza memasukki rumahnya.

Keduanya sudah ada di dapur. Reza menawarkan diri untuk membantu memasak, tapi, Ayu melarangnya. Dia bilang agar Reza cukup menunggu masakannya jadi saja.

"Bayu, turun, Nak. Ada Eja di bawah. Kita makan bareng dulu," teriak Ayu dari dapur.

Berbeda dengan Reza yang memiliki rumah bertingkat dua, rumah Bayu tidak bertingkat, hanya dibuat luas di bagian pekarangan depan dan belakang saja. Sederhana, namun tetap nyaman dan terasa luas. Reza bisa merasakan kehangatan keluarga yang luar biasa di sini.

"Eh, lo, Ja. Katanya kemarin mau ke rumah? Ngibul aja lo. Mama udah masak banyak, lho." Bayu terlihat memasuki ruang makan. Masih menggunakan baju seragam dan celana boxer selutut.

Reza menampilkan raut kaget dan rasa bersalahnya saat menatap Ayu yang saat itu langsung tersenyum tipis.

"Maaf, Ma."

"Nggak masalah, yang penting, kan, kamu udah di sini. Bayu, kok masih pake seragam? Ganti dulu, Nak," ucap mama Ayu lembut.

"Mager, ah, Ma. Nanti aja abis makan. Fal, lo mau nginep?" Bayu duduk di depan Naufal sambil memakan biskuit yang sudah disiapkan Ayu. "Nih, biskuit. Lumayan buat ganjel perut sebelum masakan Mama siap."

"Thanks. Gue balik ke rumah aja."

"Lo bawa mobil? Motor lo kemana?" tanya Bayu. Dia ingat sepulang sekolah tadi melihat Reza masuk ke mobilnya.

"Motor gue ada di rumah. Lo nggak manggil dua curut itu ke sini?" Reza langsung mengalihkan pembicaraan. Dia sedang malas mencari alasan.

"Boleh, deh, gue chat di grup, ya?" Bayu beranjak dari kursinya. Mengambil ponselnya yang dia tinggalkan di kamar.

"Randi sama Dirga nggak di ajak?" tanya Ayu. Reza membantu Ayu menata piring dan sendok.

"Bayu lagi ngabarin mereka, Ma. Mama Ayu makan bareng kita, kan?"

Ayu menggeleng pelan sebagai jawaban. "Mama lagi nggak enak banget perutnya buat makan. Kalian aja nanti makan."

"Mama Ayu sakit?"

"Cuma lagi meriang aja. Ini Mama lagi minum air jahe biar agak enakan." Reza kemudian berdiri di belakang Ayu, memijat pundaknya. Bayu menghampiri Ayu dan Reza yang tampak asyik berbincang.

Si Eja...

Bayu bersyukur, keluarganya benar-benar menyayangi sahabatnya. Walaupun di sekolah, Reza terlihat berandalan dan tempramental, tapi, Bayu tahu bahwa Reza adalah orang yang penyayang. Bayu bisa melihat itu dari sikap lembut Reza ke keluarganya.

Setelah menunggu lima belas menit, Randi dan Dirga pun datang. Suara langkah kaki Dirga sudah terdengar bahkan dari jarak cukup jauh.

"Selamat siang menjelang sore, Tante Cantik yang selalu terlihat muda." Dirga menyapa Ayu dengan riang. Tak lupa dengan gombalan wajib miliknya yang tak pernah lupa dia sebutkan untuk Ayu. Ayu memang secantik namanya.

"Sopan dikit, kek, lo. Di rumah orang udah kayak di hutan pake teriak-teriak segala," omel Randi sambil menjitak kepalanya.

"Tante Ayu, Dirga dipukul Randi, tuh. Jahat banget nggak, sih, anak Tante yang mukanya datar kayak triplek itu." Dirga mengadu. Menyembunyikan dirinya di belakang Ayu berusaha mencari perlindungan.

"Najis, aleman banget! Nggak usah sok ngadu lo, Kambing," ketus Randi.

"Rumah gue langsung berisik ada lo, Ga," keluh Bayu. Memang, jika sudah ada Dirga, kediamannya tidak akan pernah damai. Berisik, berantakan, dan makanan langsung ludes dilalapnya.

Ayu tertawa kecil, mengelus bekas jitakan Randi. "Udah, makan dulu sana. Emang nggak bisa, ya, kalo sehari aja kalian nggak ribut?"

"Randi duluan, Tante, yang main kasar sama Dirga. Dirga, kan, cuma mau nyapa Tante aja." Dirga kembali merengek layaknya anak kecil.

"Ya Allah, dosa apa gue punya temen kayak gini banget." Randi memijat pelipisnya yang mendadak pening.

"Ga, duduk." suara dingin Reza memecah kekacauan rumah Bayu. Jika Reza sudah mengeluarkan nada ancamannya, tidak ada yang berani menolaknya. Bahkan Dirga sekalipun yang sebelumnya masih tersenyum songong ke arah Randi.

"Oke, oke, Ja, santuy man santuy." Dirga langsung cengengesan dan segera mengambil tempat duduk agak jauh dari Reza.

Takut kena tabok, katanya.

Pada akhirnya, keempat sahabat itu makan bersama. Dirga dan Randi sudah kembali seperti biasa—saling adu mulut. Reza masih diam menikmati masakan Ayu yang selalu menjadi favoritnya, dan Bayu yang kini mengobrol santai dengan sang mama.

"Ah, Bangke! Pemain gue nggak becus ngoper bola, ya? Gawang udah di depan mata aja pake meleset," teriak Dirga kesal.

Setelah makan, keempat sahabat itu langsung menyerbu kamar Bayu melangsungkan ritual rutin mereka--bermain playstation.

"Lo aja yang nggak becus main. Udah tiga kali tanding, tiga kali kalah. Pulang aja sana," ejek Reza. Dirga yang kesal membanting stik PSnya. Untunglah mereka bermain di atas kasur.

"Tukeran stik, Ja. Ini pasti stik punya gue udah rusak, nggak sinkron sama pemain."

Bayu terbahak mendengarnya. Dirga memang bodohnya sudah sampai ke DNA. Susah buat di paksa pinter juga. Otaknya sudah banyak yang konslet sel-selnya.

"Alesan aja lo, Kambing. Udah, minggir, biar gue yang main sama Randi." Bayu menarik ujung baju belakang Dirga hingga cowok itu berpindah dari tempatnya. Dirga sebenarnya masih tidak terima. Dia boleh saja ahli di lapangan, tapi, kenapa dia payah sekali dalam game? Apa yang salah dari jari-jarinya ini?

••¤¤••

Salma tampak melamun sambil menunggu jemputannya. Ingatannya melayang ke beberapa hari lalu, saat dia tak sengaja bertemu dengan Reza di jembatan yang biasa dia datangi. Jika libur, Salma memang rutin ke jembatan itu. Tak jauh dari sana, ada sebuah taman kecil dengan danau buatan yang tidak terlalu besar.

Awalnya, Salma penasaran siapa yang tiba-tiba berteriak sore-sore. Dan ternyata dia adalah Reza, kakak tingkatnya di sekolah. Awalnya dia ragu untuk menyapa, tapi melihat Reza yang seperti butuh teman bercerita, Salma memutuskan menghampiri laki-laki itu.

"Ada urusan apa?" tanya Reza. Dengan mata tajamnya, Reza memandang Salma dari tempatnya.

"A-aku ...." Lidah Salma mendadak kelu. Beberapa saat lalu, Reza seperti orang yang putus asa hendak bunuh diri, dan sekarang berubah drastis seperti kutub, tak bisa Salma dekati. Dinginnya tatapan Reza menohok hati Salma, seolah menciptakan dinding besar antara mereka.

Beberapa hari kemudian, Reza yang kelihatannya cuek memaksa Salma berlaku sama. Dia tidak menyinggung apa-apa soal pertemuan mereka.

Argh, bikin kepikiran aja.

"Hai," sapa sebuah suara dari sisi kirinya. Salma menengok dan secara reflek menggeser tempat duduknya sedikit menjauh.

Laki-laki itu tersenyum tipis melihat sikap waspada gadis itu. "Salma, kan, temennya Dita?"

"I-iya, aku Salma. Kakak kenal Dita?"

"Cuma tahu aja. Ada yang suka sama dia." Bayu mengedipkan sebelah mata. Salma menatap Bayu penuh antusias.

"Oh, iya? Siapa, Kak? Kelas berapa? Aku kenal, nggak?"

Aku, ya? Menarik juga inceran lo, Ja. Laki-laki itu adalah Bayu, sahabat Reza.

"Sstt... diem-diem aja, ya? Ini rahasia kita. Oh iya, kenalin, nama Kakak, Bayu. Tahu Reza, kan? Kakak sahabatnya."

Saat Salma akan menjawab, mobil kakaknya sudah tiba. "Oh, aku pulang dulu, ya?"

"Hati-hati di jalan." Bayu melambaikan tangannya sambil tersenyum manis mengiringi masuknya Salma ke mobil.

Mobil Reza memasuki halaman rumahnya tepat pukul setengah dua belas malam. Reza sengaja pulang larut dari rumah Bayu demi menghindari orang tuanya. Namun, naas, di sampingnya sudah terparkir mobil ayahnya. Reza segera keluar dari mobil dan memasukki rumahnya.

"Dari mana saja kamu? Sekolah sampai tengah malam begini baru pulang." Reza melirik ayahnya yang tengah duduk di sofa ruang keluarga. Menatap anaknya tajam.

"Bukan urusan Anda."

"Dasar anak kurang ajar!" langkah Reza terhenti mendengar nada tajam Fahri. Rezamembalik badannya menghadap Fahri. Ayahnya itu sedang terengah-engah menahan marah. Dan, Reza tidak terlalu peduli.

"Kamu itu Papa sekolahin biar pinter bukan malah jadi preman dan membangkang begini. Ngapain aja kamu di luar sampai jam segini? Tawuran? Balapan motor? Atau jangan-jangan narkoba?"

Reza menatap Fahri tak percaya. "Seburuk itu saya di mata Anda? Peduli apa Anda tentang Saya? Biasanya juga Anda nggak pernah sekali pun tanya keadaan saya. Saya mau ngapain pun bukan urusan Anda."

"Eja!!" teriak Fahri lebih keras. Wajahnya memerah tanda ia benar-benar marah. Anaknya sudah semakin kurang ajar. Semua berkat didikan mantan istrinya yang selalu memanjakannya.

"Kamu anak saya. Anak satu-satunya yang akan meneruskan—"

"Meneruskan apa? Perusahaan Anda? Saya bahkan punya mimpi sendiri. Dan mimpi saya jelas bukan untuk meneruskan usaha Anda."

"Kamu mau jadi apa? Pelukis? Mau makan apa kamu dari hasil melukis?" tanya Fahri meremehkan.

"Kalau pun saya harus berbisnis, yang jelas itu bukan untuk meneruskan bisnis Anda. Bisnis kotor yang harusnya bukan milik Anda, tapi, Maya, mantan istri Anda."

Dan juga ibu kandung saya.

Reza berbalik memunggungi ayahnya. Matanya terpejam sejenak sebelum akhirnya terbuka, menampilkan sorot mata penuh kecewa dan rasa sakit yang sudah tidak bisa dia tahan. Reza butuh pelampiasan. Seperti biasa.

"Anak kurang ajar! Eja, Papa belum selesai bicara!"

Tanpa peduli panggilan Fahri, Reza langsung masuk ke kamarnya, mengunci pintu, sambil bersandar pada tembok. Air matanya lolos begitu saja. Tangannya merogoh saku celananya, mengambil sebilah silet yang terbungkus kertas. Reza mengarahkan silet itu di pergelangan tangannya, dan hendak menggoresnya seperti biasa saat ponselnya berbunyi, tanda ada pesan masuk.

Maya Raniya

Sudah tidur, Nak? Mama baru pulang kerja. Mama kangen kamu. Maafin Mama, ya, Nak.

Reza menyileti pergelangan tangannya secara perlahan setelah membaca pesan dari mamanya. Hatinya bertambah sakit mengingat keluarganya yang hancur berantakan, mamanya yang tak pernah pulang ke rumah sejak hari itu—tiga tahun lalu.

Tak ada rasa perih di pergelangan tangannya. Seolah tertutupi oleh hatinya yang berdenyut di setiap tarikan napasnya. Dia membenci dirinya sendiri yang selalu lemah di saat sendiri.

Hari ini adalah hari kelulusan SMP Aksara 3. Reza baru pulang dari pesta yang diadakan di rumah Bayu tepat jam sebelas malam. Tidak seperti biasa, keadaan rumah sedikit sepi. Biasanya, jam segini orang tuanya sedang bertengkar atau minimal ayahnya akan memarahinya karena pulang terlambat.

Reza masuk ke ruang keluarga. Tak ada siapa pun, mungkin masih kerja, pikirnya. Saat hendak ke dapur, matanya tak sengaja menangkap sebuah amplop coklat dan pulpen tergeletak di atas meja. Awalnya Reza enggan mengambilnya.

Palingan hanya berkas kerja sama biasa. Batin Reza.

Reza mengambil minum dan membawanya ke ruang keluarga. Rasa penasarannya kian membuncah.

Mengintip sedikit nggak akan mengubah isi amplopnya, kan? Kira-kira begitulah yang Reza pikirkan.

Tanpa firasat negatif apa pun, Reza membuka amplop tersebut pelan-pelan. Mudah-mudahan isinya tiket liburan keluarga atas kelulusannya. Itu lah harapan kecil Reza.

Namun, Reza terdiam kaku setelah membaca judul surat tersebut. Ya, baru judul, belum sampai isi, tapi, Reza sudah sangat syok membacanya. Tangannya bergetar, jantungnya berdegup sangat kencang, bahunya melemas seketika. Reza membentangkan kertas tersebut.

Surat perceraian kedua orang tuanya dan sudah ditandatangani secara sadar oleh mereka.

Reza tahu, detik dia mengetahui semuanya, dia sudah hancur. Harapannya untuk memiliki keluarga yang harmonis sudah lenyap. Yang tersisa hanya sesak dan hampa.

Luka di tangannya pun semakin melebar. Reza sedikit memperdalam goresannya, berharap rasa sakit di hatinya segera hilang. Namun, Reza malah semakin menikmatinya.

Hai, kewarasan, ada di mana sekarang? Katakan saja Reza nyaris gila sekarang. Ibu yang disayangi memutuskan komunikasi mereka, ayah yang harusnya menjadi panutan malah menjadikan alasan dirinya mulai menyakiti diri sendiri.

Saat nyeri ditangannya kian menjadi, barulah Reza mendecih pelan, "Sialan, sakit juga."

Darah segar menetes, mengotori lantai marmer kamarnya. Reza tersenyum, ingatkan dia untuk segera membersihkan semuanya, ya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status