Share

2. The Gesrek

"Ja!!"

Reza menoleh tanpa minat ke arah suara yang tadi memanggil namanya. Cowok itu mendengus saat Randi berdiri di sampingnya dengan tatapan menusuk.

"Belum pulang?" tanya Reza santai.

"Pulang pala lo! Ngapain lo di sini?"

"Kelihatannya? Yuk, balik." Dengan santai Reza merangkul Randi yang langsung di tepis kasar.

"Mau sampai kapan lo begini? Nggak takut mati? Inget, dosa lo masih numpuk. Neraka aja ogah nampung orang kayak lo!" ucap Randi pedas. Yang malah terdengar sangat perhatian di telinga Reza.

"Lo lama-lama mirip Bayu, Ran. Cocok lo berdua."

"Ja, Gue serius!" ucap Randi tajam.

"Serius udah bubar, Ran. Sekarang Candil solo karir."

"Ja, lihat gue!" Kesal selalu diajak bercanda, Randi langsung mencekal kuat-kuat pergelangan tangan Reza yang terdapat bekas luka sayatan.

"Ah! Sakit, Bego! Lepasin dulu tangan lo, Ran. Gue nyiletin tangan bukan buat lo tambah rasa sakitnya."

"Apa perlu gue seret lo ke psikiater?" ucap Randi tajam. Nadanya keras membuat Reza diam.

Memilih mengalah, Reza membuang silet yang tadi dia gunakan untuk menyayat pergelangan tangannya. "Puas? Sekarang kita pulang."

"Ditunggu Dirga di warung Bu Em." kata Randi setelah emosinya reda. Reza melangkah lebih dulu. Baru beberapa meter, Reza berbalik, menatap datar Randi di belakangnya. "Dan jangan kasih gue tatapan kayak gitu. Gue benci dikasihanin."

Randi menghela napas pelan lalu menyusul Reza. Keduanya berjalan menuju warung Bu Em yang tak jauh dari sekolah. Di sana sudah ada Dirga yang melambai ke arah mereka. Cowok yang selalu ceria.

"Lama banget lo berdua. Ngapain aja di taman belakang?"

"Nungguin orang main."

"Hah? Main?" Dirga menatap polos ke arah Reza yang terkekeh.

Tatapan Dirga selanjutnya jatuh ke arah luka yang baru saja Reza buat. Lalu Dirga menatap Randi seakan paham.

"Lo jangan mati dulu selagi masih jomlo. Di neraka sana nggak ada bidadari cantik. Adanya di surga, itu pun kalo lo diterima di surga."

"Gue aja enggak yakin dia bakal masuk surga," sela Randi. Rupanya dia masih ngambek dengan Reza.

Reza mendengus. Ada lagi yang mau menceramahinya.

"Gue udah dapet kultum dari Randi. Lo nggak perlu nambahin materi lagi, Ga. Gue enggak bawa buku buat nyatet semua ceramah lo," sela Reza.

"Sialan emang," gumam Randi.

Reza tersenyum miring. Dia mulai menyesap kopi pesanan Dirga yang sudah dingin. Rasa pahit kopi dan manisnya gula langsung terasa di indera perasanya.

Kopi ibaratkan hidupnya saat ini. Ada rasa pahit yang kental dan mendominasi di sela-sela manisnya gula. Bayu, Randi, dan Dirga adalah glukosanya. Rasa manis yang Naufal punya dari pahitnya lingkup keluarganya saat ini. Keluarga dan sahabat adalah dua hal yang saat ini mewarnai dunianya yang hitam pekat.

Seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun hanya bisa menangis, meringkuk di dalam kamarnya yang redup. Kedua tangannya seakan tak cukup menutupi telinganya yang terus mendengar pertengkaran kedua orangtuanya. Bibir mungilnya bergetar, menangis terisak.

Dia baru saja pulang dari les matematika saat kedua orang tuanya bertengkar dengan topik yang sama. Reza—nama anak laki-laki itu—tidak pernah mengerti tentang apa yang mereka ributkan. Hanya ada kata-kata jalang, bajingan, dan selingkuh yang dia dengar tanpa dia mengerti maksudnya.

Reza menghitung detik demi detik sampai pertengkaran kedua orangtuanya berhenti. Reza baru saja akan bangkit dari posisinya saat pintu kamarnya di buka pelan oleh sang mama.

"Sayang, udah pulang, Nak?" mamanya mendekat. Meraih tubuh kecil Reza dan memeluknya erat. Mamanya tahu bahwa Reza mendengar semuanya.

"Ma-Mamaaa~" tangis Reza kecil pun pecah. Suaranya teredam oleh pelukannya yang kian mengerat. Sang Mama ikut menangis diam-diam. Tangan halusnya mengelus kepala belakang Reza sampai anak itu jatuh tertidur.

Diperhatikannya sejenak wajah polos Naufal saat tidur. Ibu jarinya bergerak menghapus sisa-sisa air mata Reza yang mengering.

"Maafin Mama, Eja Sayang. Maafin Mama yang nggak bisa menyembunyikan masalah Mama dan Papa di hadapan kamu."

Setelah mencium kening Reza, Maya bergegas pergi, benar-benar pergi dari hadapannya.

"... Ja? Woy, Si Gubluk. Eh, Ja, Bayu pulang, tuh."

Mendengar nama Bayu disebut, Reza langsung sadar dari lamunannya. Kepalanya memutar ke belakang, mencari sosok Bayu.

"Pfftt!! Giliran Bayu aja sadar lo. Dari tadi gue panggilin enggak digubris."

"Pasangan homo lo belum balik, Ja. Masih di Amerika sama bule-bule," ejek Randi.

Menyadari kedua temannya mengerjainya, Reza menjitak keras kepala mereka berdua.

"Enggak lucu, Nyet."

"Enggak usah pake mukul, Njing," protes Dirga sambil mengusap-usap bekas jitakan Reza yang bisa dibilang tidak pelan.

"Enggak usah ngomong kasar, Setan!"

"Nyuruh orang enggak ngomong kasar, lo sendiri tadi ngomong apa, hah?" protes Reza.

"Otak lo itu udah kotor, jangan sampe mulut lo berdua juga ikutan kotor. Heran gue, kenapa sih, bisa punya temen kayak kalian?" Randi masih sibuk mengomel, mengabaikan Reza yang sudah siap menelannya hidup-hidup.

"Tuhan itu baik mempertemukan orang suci kayak lo buat kita, Ran. Gue tahu lo diam-diam peduli dan sayang sama kita, kan?" goda Dirga dengan nada yang menjijikan di telinga Randi.

"Sialan! Lepas, woy! Nggak usah meluk gue. Jijik anjir!" teriak Randi saat Dirga malah memeluknya dari samping.

"Hahaha... Sok nolak amat sih lo." Dirga masih belum melepas pelukannya. Bahkan kini, Reza pun ikut memeluk kedua sahabatnya ini.

"Bangsat lo berdua! Geli gue. Cukup Eja sama Bayu aja yang homoan, gue nggak sudi lo ajak nyeleweng, Ga!"

Setelah puas menggoda Randi, Reza dan Dirga kompak melepaskan pelukan mereka. Keduanya langsung tertawa sambil ber-high five-ria.

"Nggak boleh ngomong kasar, Ran. Inget, lo itu suci, kita penuh dosa. Lo nggak boleh ikut kotor kayak kita," ucap Dirga memeringatinya. Memang diantara mereka berempat, Randi termasuk yang paling kalem dan alim. Dia juga yang rajin menyuruh ketiga sahabatnya salat.

"Dunia udah mau kiamat, kapan lo bertiga tobat, hah? Buruan ke masjid, jamaah."

Randi tidak menjawab. Dalam hati, dia hanya bisa beristigfar. Berteman dengan Reza, Randi, dan Bayu memang membuat kerja jantungnya tidak pernah normal. Ada saja yang mereka lakukan untuk membuat Randi marah, senang, bahkan khawatir.

Dibalik sifat mereka yang tidak bisa diselamatkan lagi kewarasannya, Randi bahagia memiliki sahabat seperti mereka bertiga. Kegesrekannya memberi warna tersendiri bagi Randi. Menangani ketiganya yang memiliki karakter jauh dari kata cocok membuat Randi banyak belajar untuk tidak melihat orang dari luarnya saja. Reza contohnya. Walaupun kelihatannya cuek bahkan tidak peduli sekitar, Randi tahu Reza itu orang baik. Reza juga sangat setia kepada sahabatnya dan mau berkorban demi mereka.

"Kemungkinan minggu depan si Bayu udah di sini," ucap Randi membuka keheningan yang mulanya tercipta.

"Formasi kita bakal lengkap, dong."

"Formasi kita atau contekan berjalan lo, Ga?" tanya Reza. Dirga tertawa kecil membenarkan pertanyaan Reza yang tentu saja tidak membutuhkan jawaban.

"Jawab soal pake otak lo yang segede tinja luwak itu, Ga. Lo udah kelas dua belas. Ya, kalo kita seruangan, kalo nggak? Mau nyontek ke siapa, lo? Bentar lagi ujian nasional."

Dirga mulai menyesal membahas soal contekan karena setelahnya, Randi langsung menceramahinya tentang pentingnya belajar dan jujur dalam menjawab soal. Reza hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal. Tinja luwak katanya?

Oke, Reza memang tidak sepintar Randi dan Bayu. Peringkatnya pun hanya bisa masuk di lima atau empat besar, tapi, Reza sejujurnya tidak bodoh. Jika dia mau, dia bisa menjadi saingan Randi atau Bayu. Ia hanya... lelah mencoba terlihat di depan keluarganya. Atau mungkin, dia sudah tidak peduli seperti apa dirinya di mata keluarganya.

••¤¤••

Reza meletakkan sepatu di rak. Keadaan rumahnya sepi membuat Reza mendengus. Sudah bertahun-tahun sejak kejadian itu, tapi Reza masih enggan terbiasa. Memang dasar kurang ajar. Meski hatinya merindu, egonya masih begitu besar untuk mencoba ikhlas menerima keadaannya.

"Assalamu'alaikum, Mbok," panggilnya.

"Mbok di dapur, Den," jawab suara itu. Reza tersenyum tipis menghampiri seorang wanita paruh baya yang sedang menata piring di meja.

"Udah pulang, Den? Maaf, Mbok enggak sempat nyambut Den Eja di pintu depan. Mbok sibuk masak." Reza dengan sopan mencium punggung tangan Mbok Inah, kepala rumah tangga sekaligus wanita yang sudah ada bersamanya sejak masih kecil.

"Enggak usah ditungguin juga enggak masalah, Mbok. Eja enggak lupa letak kamar sendiri, kok." Laki-laki itu menarik kursi dan mendudukinya. Matanya menatap banyaknya makanan yang tersaji.

"Ada acara apa, Mbok? Tumben masak banyak banget. Yang makan, kan, cuma Eja, Mbok, sama Mang Adi aja."

Mbok Inah diam sesaat. Dirinya ragu untuk menjawab, tapi raut wajah Reza membutuhkan jawabannya. Ah, lagi pula mereka akan bertemu nanti.

"I-itu, Den, Bapak bilang mau makan di rumah. Mungkin sebentar lagi sampai. Terus katanya mau bawa beberapa temannya untuk makan di sini sekalian rapat di ruang kerja."

Dua bola mata Reza mendadak dingin. Tangannya terdiam beberapa detik, lalu kembali menyendok sayur asem ke piringnya. "Hm, tumben."

"Tadi, Ibu juga sempat ke sini, nitip buah-buahan buat Den Eja. Nanti Mbok siapin-"

"Enggak usah, Mbok. Eja juga udah kenyang. Nanti buahnya kasih ke Mang Adi aja. Oh, kalau nanti Papa nyariin Eja, bilang aja Eja lagi ngerjain tugas di rumah Randi."

"Iya, Den." Mbok Inah menatapnya dengan rasa tidak enak dan prihatin. Menemani Reza dari kecil membuat dirinya menjadi satu-satunya sandaran anak itu setelah retaknya hubungan kedua orang tua Reza.

"Mbok, ikutan makan sama Eja sini. Eja enggak mau makan sendirian."

"Iya, Den." Mbok Inah duduk di depan Reza, ikut makan bersamanya.

Selesai makan, Reza masuk ke kamar. Tubuhnya berbaring nyaman dengan lengan menutupi mata. Padahal, cuaca sedang cerah di luar, tapi kenapa Reza merasa dingin? Bertahun-tahun Reza merindukan kehangatan rumah yang dulu begitu disukainya.

"Cih," decihnya saat mendengar suara mobil masuk. Sudah pasti itu ayahnya.

Reza bangkit, memasukkan beberapa buku ke dalam tas dan bergegas ke luar. Tidak ada gunanya dia berlama-lama di sini saat ada ayahnya.

Dan saat Reza tiba di anak tangga terakhir, keduanya berpapasan. Reza tak melirik ayahnya sedikit pun meski mereka berhadapan.

"Eja," panggil Fahri. Reza berhenti tepat di depannya. 

"Kenalkan, ini teman-teman Papa. Ada Om Arya dan Om Rusman. Bro, ini anakku yang bakal bantu usaha kita nanti."

"Salam kenal, Om." Reza menganggukkan kepala dengan sopan. Wajahnya datar dan tampak tidak minat. Reza beralih menatap Fahri, "Sudah, kan? Eja pamit."

"Mau ke mana kamu?"

Reza berhenti melangkah dan tanpa berbalik menjawab, "Ke rumah Randi."

"Ngapain? Mending kamu di rumah, nggak usah kelayapan. Atau, kamu ikut Papa aja ke ruang kerja, rapat bareng temen-temen Papa supaya kamu tahu pekerjaan kamu nanti."

Reza menyeringai sinis dan berbalik, "Saya bawa tas, isinya ada buku pelajaran, menurut Papa, kelayapan jenis apa yang bawa buku?"

"Eja!"

"Oh, dan satu lagi, Eja nggak pernah minat untuk menekuni bisnis Papa-ups, atau harus Eja sebut, bisnis Mama yang Papa ambil secara paksa?"

"Anak kurang ajar!" bisik Fahri penuh emosi. Sekuat mungkin dia tidak berteriak karena harus menjaga wibawa di depan teman-temannya. 

"Ehem, biasa, anak muda memang begitu, kan? Jiwanya masih suka main bareng temen-temennya. Yuk, langsung ke ruangan gue aja."

Sementara itu, Reza mengendarai motornya dengan kecepatan penuh. Giginya bergemelatuk tanda dia menahan marah. Reza kalah cepat untuk pergi dari rumah tanpa harus bertemu dengan ayahnya. 

"Bisnis, bisnis, bisnis. Selalu aja bisnis yang ada diotaknya. Kapan dia mikirin gue? Gue ini anaknya, kan?"

Reza mengentikan motornya di sebuah jembatan dengan sungai yang cukup deras di bawahnya. Turun dari motor, Reza kemudian duduk di pagar sambil menghadap sungai. Dadanya membusung sambil menarik napas dalam-dalam.

"Gue anak kalian, Sialan! Kapan kalian sadar kalo masih punya tanggung jawab sebagai orang tua, hah?" teriaknya kencang. Angin berhembus kencang seakan membawa teriakan Reza pergi.

Bugh!

Reza meninju tiang pembatas jembatan dengan kencang. Bibir bawahnya dia gigit guna menahan isakan yang selama ini tertahan.

"Gue masih butuh kalian. Gue akan selalu butuh kalian. Ma, Pa, Eja kangen," ucapnya getir. Sebelah tangan Reza meremas dada kiri, tepat di mana sakit yang sudah bertahun-tahun dia rasa tanpa pernah terobati. Setiap tarikan napasnya, bertambahlah sakit dan rindu di hati Reza.

Bermenit-menit menangis, Reza duduk bersandar pada pagar jembatan. Sebelah kakinya tertekuk dan kaki satunya lurus lemas. Kepalanya beberapa kali dibenturkan ke pagar mencoba menghilangkan pening. 

Mata yang mulanya terpejam erat itu terbuka saat merasakan hawa kehadiran seseorang. Mata hitam legam Reza menatap tajam sepasang mata coklat teduh di depannya. 

"Ada urusan apa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status