Share

RADIO REKSA
RADIO REKSA
Author: Lonyenk Rap

BAB 01 : Radio Antah Berantah

     Mata Reksa terbelalak! 

     Tempat apa ini? Apa ini yang dinamakan studio radio? Sepi banget! Di dalamnya hanya ada beberapa orang yang Reksa sendiri belum tahu siapa dan apa jabatan mereka di radio ini. Penyiar atau OB? Karena penampilannya seperti tak ada beda.

     Reksa langsung menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. Rokok yang terselip di bibir, asapnya juga langsung terasa hambar.

     Tadi Reksa diantar Barudin, kesini. Tempatnya jauh dari jalan raya dengan kondisi jalanan yang penuh lubang. Sekarang Barudin telah melesat ke warung sebelah, beli rokok alasannya, meninggalkan Reksa sendiri disini, celingak-celinguk seperti Tarzan yang baru saja dibuang ke kota. 

     Reksa kemudian masuk ke dalam.

     Belum semenit berada disana nafas Reksa sudah terasa sesak, apalagi kalau mesti berlama-lama. Kalau dilihat-lihat, kok tampilannya seperti gudang penyimpanan beras? Pemandangannya sumpek. Udaranya apek. Mungkin di menit berikutnya dia sudah berada di ruang UGD saking shocknya menatap kenyataan hidup yang ada di depannya, yang ironisnya harus dia jalani seperti terapi penyembuhan bagi pasien rumah sakit jiwa.

     Lihat saja! 

     Bangunan ini berbentuk rumah biasa -jauh dari bangunan studio radio modern dengan model minimalis- hanya berlantai satu yang terdiri dari ruang depan yang merangkap lobi, ruang siar tanpa pemisah dengan ruang operator, dua kamar yang entah apalah fungsinya, ruang tengah yang sekaligus buat nonton teve, dapur yang sangat tidak layak disebut pantry dan toilet yang hanya muat pipis berdiri untuk satu orang, plus kamar pemancar yang ada di belakang.

     Reksa lagi-lagi hanya bisa menelan kekecewaannya. 

     Karena seburuk apapun kondisi tempat ini, yang ironisnya bernama studio siaran alias radio, toh cowok itu harus ‘mendekam’ di sini dengan waktu yang tak terhingga. Reksa harap itu takkan pernah terjadi karena dia –kalau bisa- mau cepat-cepat hengkang dari sini. Tapi apa bisa? Nasibnya sudah tergaris ke depan dan garis itu mulai di telusurinya satu persatu sekarang.

     Sebelum tiba di tempat ini, ekspektasi Reksa akan studio radio ini memang nggak terlalu muluk-muluk. Maklum, sebelumnya dia memang sudah diberitahu dulu sama Barudin seperti apa kondisi radio yang akan memperkerjakannya nanti sebagai penyiar. Tapi kan tidak juga seburuk ini? Bagaimana dia mau siaran dengan nyaman, kalau tempat siarannya saja seperti arena pacuan banteng di Spanyol. Kacau balau!

     “Jangan terkejut kalau kau sudah sampai di sana nantinya,” ujar Barudin, mewanti-wanti waktu itu. Ada senyum misteri tersungging di bibirnya yang sedang mengapit sebatang rokok.

     “Kenapa?” tanya Reksa, penasaran.

     “Pokoknya jangan harap kondisinya sama seperti radio Galaxy, tempat dimana kau bekerja dulu?” jawabnya penuh teka-teki.

     “Kenapa?” tanya itu melompat lagi dari bibir Reksa. Kali ini disertai dengan bayangan-bayangan mengerikan di kepalanya. Apa disana banyak hantunya? Atau, apa tempatnya berada di tengah-tengah hutan?

     “Di sana radionya masih sederhana. Maklum, milik swasta dengan modal tanggung. Radio cabang. Bisa mengudara saja sudah syukur,” jawab Barudin dengan nada miris.

     Reksa memandang Barudin dengan tatap sejuta tanya waktu itu. 

     Namun, seburuk apapun kondisi yang terpeta dalam benak Reksa, dia sama sekali tak menduga kalau kondisinya lebih menggenaskan dari bayangan sebelumnya. Bayangin, camp pengungsi para korban bencana alam saja masih mewah satu tingkat di banding tempat ini. Benar-benar terlalu!

     Semua serba minimalis dengan konotasi sesungguhnya. 

     Untung ruang siar berukuran 6x4 itu dilengkapi dengan AC -walau tipe jadul. Kalau tidak, alamat penyiarnya bakal ganti baju setiap lima menit sekali karena baju mereka basah kuyup oleh keringat. Keadaan juga lengang, jauh dari hiruk pikuk produksi sebuah siaran. Selain Barudin, hanya ada dua orang yang di jumpai Reksa disini. Sepertinya mereka bukan penyiar. Masyak penampilan lusuh dan kucel seperti itu penyiar?  

     Yang membuat Reksa geli, di dinding studionya penuh dengan foto-foto artis dan band-band dalam negeri yang entah tahun kapan ditempelnya. Bukan foto asli atau foto saat si artis bertandang ke studo radio ini –jangan harap deh, melainkan poster-poster yang diambil dari halaman majalah dan tabloid. Dari poster Dewa, Slank, Padi, Wali, Noah, sampai dengan Dewi Persik dan Trio Macan tertempel dengan ‘sangat manis’ di sana. 

     Belum lagi perangkat siarnya.

     Model microphonenya mengingatkan Reksa dengan mic yang ada di mushola, telanjang tanpa ada bantalan busa untuk menyaring suara. Tak dilihatnya mic model stereo berkaki empat apalagi mikropon wireless dengan tampilan modern. Headphonenya juga berbentuk setengah balon, bukan produk dengan kualitas dan model mutakhir seperti Behringer. 

     Sama sekali enggak futuristic. 

     Komputernya cuma satu. Itu pun bukan layar flat seperti yang sudah menjadi standar studio radio, melainkan berbentuk monitor jaman bahuela berwarna gading, pentium dua pula. Komputer itu juga nggak berkoneksi dengan jaringan internet. Jadi jangan mengharapkan software seperti MATRIX atau RCS ada disana, yang dapat mengatur semua data seperti lagu, scrift, insert, jingle atau beds. Jangan harap kalau tak ingin menjadi gila.

     Semua serba manual. 

     Mixernya juga masih berupa mixing desk biasa, yang hanya bisa memadukan pengaturan routing dan mengubah level, serta harmonisasi dinamis dari sinyal audio. Bukan jenis mixer consul yang dapat memproses lagu-lagu yang akan diputar. Tapi not bad-lah. Reksa jadi nggak mau berharap terlalu muluk kalau tak mau kepalanya menjadi migrain.

     Ketika sedang asyik melihat-lihat suasana tempat kerja barunya –yang dia sendiri masih enggan untuk menyebutnya radio, Reksa dikejutkan dengan kehadiran seorang cowok yang sebaya dengannya. Penampilannya sangat sederhana -kalau tak mau dibilang kucel. Cowok itu tersenyum ramah sambil mengulurkan tangannya pada Reksa dengan santun. Mereka pun bersalaman.

     “Kenalkan, aku Saeful. Kau pasti Reksa! Iya kan?” sapanya dengan suara cempreng dua belas. Nggak enak banget buat di konsumsi kuping.

      Reksa mengangguk dan kemudian tersenyum. Cowok itu tak menyangka kalau namanya sudah duluan mampir di tempat ini. Dasar Barudin tongkol! Cowok gokil itu pasti sudah berkoar-koar tentang dirinya ke semua orang disini, pikir Reksa gemas.

     “Semoga kau betah kerja disini,” senyum Saeful bersahabat.

     “Terima kasih, Saeful,” Reksa membalas senyum tulus itu.

     “Radio Gantara AM ini adalah anak cabang dari radio swasta yang ada di Pontianak,” jelasnya tanpa diminta.

     “Oiya?”

     “Iya. Cabang dari Khatulistiwa FM.” 

     Reksa ingat. Khatulistiwa FM adalah salah satu pesaing Galaxy FM.

     “Radio ini nyaris tutup kalau saja ndak diikuti dengan semangat para penyiarnya,” jelas Saeful, nelangsa. “Lagipula Kepala Radio di pusat sepertinya ndak terlalu mau ambil pusing. Mau berjalan ya syukur, tidak juga ndak apa-apa.”

     “Tutup? Kenapa begitu?” Reksa pura-pura antusias.

      “Ndak tahu persisnya seperti apa. Tapi dari tahun ke tahun ndak ada perubahan yang berarti disini. Baik itu materi siaran, maupun pemasukan bagi radio ini sendiri,” jelas Saeful dengan aksen melayu yang kental.

     “Mungkin belum ada produser acara yang mampu menyentuh minat pendengar dengan program-program yang menarik,” argument Reksa.

     “Mungkin juga. Karena dari tahun ke tahun acaranya ndak pernah berubah. Mungkin pendengar jenuh. Lagipula, disini ndak ada istilah produser acara karena semua dikerjakan sendiri oleh penyiarnya.” Saeful terkekeh sendiri.

      Reksa manggut-manggut, maklum.

     “Ngomong-ngomong, kamu bekerja disini, juga?” tanya Reksa, ragu.

     “Ya. Aku penyiar disini.”

     Reksa tertegun. Hampir saja menelan rokoknya. Suara kayak kucing kejepit pintu ini mengaku sebagai penyiar? Apa nggak salah? Kalau penyiarnya seperti ini, nggak salah kalau pendengarnya satu-satu menghilang dari udara.

***

            

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status