Mata Reksa terbelalak!
Tempat apa ini? Apa ini yang dinamakan studio radio? Sepi banget! Di dalamnya hanya ada beberapa orang yang Reksa sendiri belum tahu siapa dan apa jabatan mereka di radio ini. Penyiar atau OB? Karena penampilannya seperti tak ada beda.
Reksa langsung menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. Rokok yang terselip di bibir, asapnya juga langsung terasa hambar.
Tadi Reksa diantar Barudin, kesini. Tempatnya jauh dari jalan raya dengan kondisi jalanan yang penuh lubang. Sekarang Barudin telah melesat ke warung sebelah, beli rokok alasannya, meninggalkan Reksa sendiri disini, celingak-celinguk seperti Tarzan yang baru saja dibuang ke kota.
Reksa kemudian masuk ke dalam.
Belum semenit berada disana nafas Reksa sudah terasa sesak, apalagi kalau mesti berlama-lama. Kalau dilihat-lihat, kok tampilannya seperti gudang penyimpanan beras? Pemandangannya sumpek. Udaranya apek. Mungkin di menit berikutnya dia sudah berada di ruang UGD saking shocknya menatap kenyataan hidup yang ada di depannya, yang ironisnya harus dia jalani seperti terapi penyembuhan bagi pasien rumah sakit jiwa.
Lihat saja!
Bangunan ini berbentuk rumah biasa -jauh dari bangunan studio radio modern dengan model minimalis- hanya berlantai satu yang terdiri dari ruang depan yang merangkap lobi, ruang siar tanpa pemisah dengan ruang operator, dua kamar yang entah apalah fungsinya, ruang tengah yang sekaligus buat nonton teve, dapur yang sangat tidak layak disebut pantry dan toilet yang hanya muat pipis berdiri untuk satu orang, plus kamar pemancar yang ada di belakang.
Reksa lagi-lagi hanya bisa menelan kekecewaannya.
Karena seburuk apapun kondisi tempat ini, yang ironisnya bernama studio siaran alias radio, toh cowok itu harus ‘mendekam’ di sini dengan waktu yang tak terhingga. Reksa harap itu takkan pernah terjadi karena dia –kalau bisa- mau cepat-cepat hengkang dari sini. Tapi apa bisa? Nasibnya sudah tergaris ke depan dan garis itu mulai di telusurinya satu persatu sekarang.
Sebelum tiba di tempat ini, ekspektasi Reksa akan studio radio ini memang nggak terlalu muluk-muluk. Maklum, sebelumnya dia memang sudah diberitahu dulu sama Barudin seperti apa kondisi radio yang akan memperkerjakannya nanti sebagai penyiar. Tapi kan tidak juga seburuk ini? Bagaimana dia mau siaran dengan nyaman, kalau tempat siarannya saja seperti arena pacuan banteng di Spanyol. Kacau balau!
“Jangan terkejut kalau kau sudah sampai di sana nantinya,” ujar Barudin, mewanti-wanti waktu itu. Ada senyum misteri tersungging di bibirnya yang sedang mengapit sebatang rokok.
“Kenapa?” tanya Reksa, penasaran.
“Pokoknya jangan harap kondisinya sama seperti radio Galaxy, tempat dimana kau bekerja dulu?” jawabnya penuh teka-teki.
“Kenapa?” tanya itu melompat lagi dari bibir Reksa. Kali ini disertai dengan bayangan-bayangan mengerikan di kepalanya. Apa disana banyak hantunya? Atau, apa tempatnya berada di tengah-tengah hutan?
“Di sana radionya masih sederhana. Maklum, milik swasta dengan modal tanggung. Radio cabang. Bisa mengudara saja sudah syukur,” jawab Barudin dengan nada miris.
Reksa memandang Barudin dengan tatap sejuta tanya waktu itu.
Namun, seburuk apapun kondisi yang terpeta dalam benak Reksa, dia sama sekali tak menduga kalau kondisinya lebih menggenaskan dari bayangan sebelumnya. Bayangin, camp pengungsi para korban bencana alam saja masih mewah satu tingkat di banding tempat ini. Benar-benar terlalu!
Semua serba minimalis dengan konotasi sesungguhnya.
Untung ruang siar berukuran 6x4 itu dilengkapi dengan AC -walau tipe jadul. Kalau tidak, alamat penyiarnya bakal ganti baju setiap lima menit sekali karena baju mereka basah kuyup oleh keringat. Keadaan juga lengang, jauh dari hiruk pikuk produksi sebuah siaran. Selain Barudin, hanya ada dua orang yang di jumpai Reksa disini. Sepertinya mereka bukan penyiar. Masyak penampilan lusuh dan kucel seperti itu penyiar?
Yang membuat Reksa geli, di dinding studionya penuh dengan foto-foto artis dan band-band dalam negeri yang entah tahun kapan ditempelnya. Bukan foto asli atau foto saat si artis bertandang ke studo radio ini –jangan harap deh, melainkan poster-poster yang diambil dari halaman majalah dan tabloid. Dari poster Dewa, Slank, Padi, Wali, Noah, sampai dengan Dewi Persik dan Trio Macan tertempel dengan ‘sangat manis’ di sana.
Belum lagi perangkat siarnya.
Model microphonenya mengingatkan Reksa dengan mic yang ada di mushola, telanjang tanpa ada bantalan busa untuk menyaring suara. Tak dilihatnya mic model stereo berkaki empat apalagi mikropon wireless dengan tampilan modern. Headphonenya juga berbentuk setengah balon, bukan produk dengan kualitas dan model mutakhir seperti Behringer.
Sama sekali enggak futuristic.
Komputernya cuma satu. Itu pun bukan layar flat seperti yang sudah menjadi standar studio radio, melainkan berbentuk monitor jaman bahuela berwarna gading, pentium dua pula. Komputer itu juga nggak berkoneksi dengan jaringan internet. Jadi jangan mengharapkan software seperti MATRIX atau RCS ada disana, yang dapat mengatur semua data seperti lagu, scrift, insert, jingle atau beds. Jangan harap kalau tak ingin menjadi gila.
Semua serba manual.
Mixernya juga masih berupa mixing desk biasa, yang hanya bisa memadukan pengaturan routing dan mengubah level, serta harmonisasi dinamis dari sinyal audio. Bukan jenis mixer consul yang dapat memproses lagu-lagu yang akan diputar. Tapi not bad-lah. Reksa jadi nggak mau berharap terlalu muluk kalau tak mau kepalanya menjadi migrain.
Ketika sedang asyik melihat-lihat suasana tempat kerja barunya –yang dia sendiri masih enggan untuk menyebutnya radio, Reksa dikejutkan dengan kehadiran seorang cowok yang sebaya dengannya. Penampilannya sangat sederhana -kalau tak mau dibilang kucel. Cowok itu tersenyum ramah sambil mengulurkan tangannya pada Reksa dengan santun. Mereka pun bersalaman.
“Kenalkan, aku Saeful. Kau pasti Reksa! Iya kan?” sapanya dengan suara cempreng dua belas. Nggak enak banget buat di konsumsi kuping.
Reksa mengangguk dan kemudian tersenyum. Cowok itu tak menyangka kalau namanya sudah duluan mampir di tempat ini. Dasar Barudin tongkol! Cowok gokil itu pasti sudah berkoar-koar tentang dirinya ke semua orang disini, pikir Reksa gemas.
“Semoga kau betah kerja disini,” senyum Saeful bersahabat.
“Terima kasih, Saeful,” Reksa membalas senyum tulus itu.
“Radio Gantara AM ini adalah anak cabang dari radio swasta yang ada di Pontianak,” jelasnya tanpa diminta.
“Oiya?”
“Iya. Cabang dari Khatulistiwa FM.”
Reksa ingat. Khatulistiwa FM adalah salah satu pesaing Galaxy FM.
“Radio ini nyaris tutup kalau saja ndak diikuti dengan semangat para penyiarnya,” jelas Saeful, nelangsa. “Lagipula Kepala Radio di pusat sepertinya ndak terlalu mau ambil pusing. Mau berjalan ya syukur, tidak juga ndak apa-apa.”
“Tutup? Kenapa begitu?” Reksa pura-pura antusias.
“Ndak tahu persisnya seperti apa. Tapi dari tahun ke tahun ndak ada perubahan yang berarti disini. Baik itu materi siaran, maupun pemasukan bagi radio ini sendiri,” jelas Saeful dengan aksen melayu yang kental.
“Mungkin belum ada produser acara yang mampu menyentuh minat pendengar dengan program-program yang menarik,” argument Reksa.
“Mungkin juga. Karena dari tahun ke tahun acaranya ndak pernah berubah. Mungkin pendengar jenuh. Lagipula, disini ndak ada istilah produser acara karena semua dikerjakan sendiri oleh penyiarnya.” Saeful terkekeh sendiri.
Reksa manggut-manggut, maklum.
“Ngomong-ngomong, kamu bekerja disini, juga?” tanya Reksa, ragu.
“Ya. Aku penyiar disini.”
Reksa tertegun. Hampir saja menelan rokoknya. Suara kayak kucing kejepit pintu ini mengaku sebagai penyiar? Apa nggak salah? Kalau penyiarnya seperti ini, nggak salah kalau pendengarnya satu-satu menghilang dari udara.
***
Semua gara-gara Papa. Kalau saja orangtua itu tak terlibat kasus korupsi dan sekarang meringkuk di tahanan, mungkin Reksa tak akan pernah menginjakkan kakinya di kota kecil ini, Mempawah. Di saat karirnya sebagai penyiar di salah satu radio swasta terkenal di Pontianak melejit, Papa malah mematikan karirnya dengan cara yang sangat memalukan. Reksa benar-benar kecewa. Semua aset yang mereka miliki disita Negara. Rumah beserta isinya dan kendaraan, semua masuk ke dalam daftar hitam oleh pihak berwajib. Bahkan tabungan dan deposito Papa sekarang sedang diusut dan bakal bernasib sama pula. Keluarga mereka dalam sekejap jadi berantakan. Persis seperti anak-anak ayam yang kehilangan induknya. Kecewa dan malu kini memenuhi hari-hari mereka. Mama dan adik perempuannya, Rifka, untuk sementara waktu numpang di rumah tante Eli di Singkawang. Untung M
Di sekolahnya Rifka mendapat perlakuan yang sama. Tak hanya teman-temannya, bahkan guru yang dianggap pengayom yang bijaksana bisa berbuat sebelah mata, dengan beranggapan kesalahan ayahnya adalah tanggung jawab Rifka juga. Gadis enam belas tahun itu bingung. Dia merasa di dakwa atas kesalahan yang tak pernah diperbuatnya. Sering Reksa melihat Rifka pulang dari sekolah dengan wajah yang kusut dan mata yang merah. Walau tak pernah bertanya tapi Reksa tahu apa yang sedang dialami adik semata wayangnya itu. Rifka juga jadi gadis yang pendiam dan sering melamun. Kalau boleh memilih, Reksa mau menanggung aib papanya sendiri saja tanpa melibatkan mama dan adiknya. Puncak dari kejadian itu saat Reksa di panggil Pak Anto, Manajer Radio Galaxy FM, tempat di mana dia bekerja selama tiga tahun terakhir. &ldq
BAB 04 : Kita Harus Bicara, Reksa Ratu Matalatta termenung di dalam kamarnya yang luas dengan interior dinding dan pernak-pernik bernuansa pastel. Gadis cantik itu tercenung sejenak, ia sedang memikirkan berita yang lagi hangat dibicarakan orang-orang sekarang, headline news yang menjadi bulan-bulanan pers dan netizen akhir-akhir ini, tentang perkara yang menimpa keluarga Darman Achmad, papa Reksa. Berita yang dianggapnya belum tentu benar walau bukti-bukti sudah mengarah ke sana. Sebenarnya bukan urusan Ratu kalau sampai ia memikirkan hal itu, apalagi sampai membuat mood-nya turun ke titik nadir. Namun ini semua menyangkut keberadaan Reksa, kekasihnya. Bukankah seorang kekasih selalu berbagi persoalan kepada kekasihnya? Memberi dukungan sekaligus saling menguatkan? Dan hal itu yang selalu mereka aplikasikan kedalam hubungan yang mereka jalin selama ini. Namun kini sepertinya ada yang b
Seakan tak mau menyia-nyiakan waktu, sepulang dari Galaxy FM hari itu juga Ratu meluncur ke Mempawah. Dengan mobilnya cewek itu nyetir sendiri kesana. Tak ada tujuan lain selain menjumpai Reksa. Ratu harus tahu semuanya dari mulut cowok terkasih itu, bukan dari orang lain. Setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam, Ratu pun tiba di Mempawah, kota kecil yang bersih dan asri itu tak banyak mengalami perubahan suasana dari tahun ke tahun. Suasananya terlihat lengang. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas di jalanan. Setelah melewati gerbang Selamat Datang, Ratu lantas memasang headset, menelepon Reksa. Untunglah di nada dering ketiga teleponnya diangkat. Tak sadar Ratu mendesah lega. Reaksi Reksa yang mengangkat teleponnya membuat Ratu seakan mendapat durian runtuh. “Reksa, aku ada di Mempawah, nih. Kamu di mana?”
Sore itu juga Ratu memutuskan untuk secepatnya pulang ke Pontianak. Tak ada gunanya lagi ia berlama-lama disini. Hanya melahirkan kemarahan dan kekecewaan baru pada Reksa. Dia kecewa sekali dengan sikap Reksa. Tadinya dia berharap cowok itu mau berkompromi dengan keadaan dan memperbaiki hubungan mereka yang telah lama sunyi. Ratu rindu saat-saat dulu. Rindu tawa ramah dan kehangatan Reksa. Tapi bagaimana bisa dia merubahnya? Sedangkan Reksa sendiri tak yakin akan keadaan dirinya dan selalu skeptis memandang hari esok. Reksa sudah berubah menjadi laki-laki pengecut! Ratu paham. Paham sekali dengan kondisi psikologis yang sedang melanda kehidupan keluarga Reksa. Anak mana yang tak terbebani mendapati ayahnya menjadi tersangka sebuah kasus korupsi besar dan lantas dicap sebagai koruptor? Anak mana yang tak merasa bingung dengan perubahan keadaan yang terjadi secara tiba-tiba, dari seorang pangera
Jam tujuh malam Reksa siaran di Gantara AM. Sebenarnya dia kurang bersemangat untuk cuap-cuap di udara malam ini. Apalagi tadi mixernya bermasalah. Baru saja mau menaikkan chanel mikropon, tiba-tiba mixernya keluar asap, seperti ada yang bikin api unggun di dalam ruang siarnya, bersaing dengan asap rokok yang mengepul dari mulut Reksa. Ya, tak seperti di Galaxy FM dengan peraturan dan etika siar yang cukup ketat, disini Reksa sedikit bebas, bisa merokok walaupun sedang on-air dan AC ruangan dalam keadaan menyala. Bebas sebebas-bebasnya. Melihat pemandangan yang tak biasa itu Reksa panik dan langsung menelepon Saeful untuk segera datang ke studio. Tuh anak, walau suaranya kalau lagi siaran kalah merdu dengan suara kucing dalam karung, tapi kalau soal membenarkan alat-alat yang rusak di studio, masih bisa diandalkan. Walaupun lebih sering dibuat semakin rusak. Begitu informasi sementara yang Reksa d
Kecelakaan mobil yang dialami Ratu sangat parah. Tak hanya luka yang dideritanya namun juga patah tulang di beberapa bagian di tubuh gadis malang itu. Kalau melihat kondisi body mobilnya yang ringsek, tak ada yang yakin kalau pengemudianya masih bisa bertahan hidup. Semuanya semata hanya karena mukjizat dari Tuhan yang membuat Ratu masih bisa menghirup udara dunia hingga hari ini, walau untuk itu ia mesti melaluinya dengan cara yang sangat sulit untuk dibayangkan. Karena insiden itu Ratu koma selama dua hari di RSU Antonius Pontianak. Semua mengkhawatirkan keselamatan jiwanya, terlebih keluarga dan kedua orangtuanya. Saat pertama kali siuman, Ratu langsung histeris melihat kondisi dirinya dan beberapa kali pingsan kembali. Kedua orangtuanya semakin sedih melihat fisik dan psikis yang dialami oleh Ratu. Seminggu di rumah sakit keadaan Ratu semakin memburuk. B
Luka fisik Ratu memang sembuh tapi tidak dengan luka psikisnya. Pasca kakinya diamputasi, Ratu selalu termenung di kamarnya. Ragam pikirannya bercampur aduk sekarang. Kadang Ratu tak bisa membedakan mana alam nyata dengan alam khayalnya. Seribu satu penyesalan ia hujamkan kedalam diri sendiri. Mengapa ia nekad menemui Reksa? Mengapa ia kalap menyetir mobil di kala hujan mendera? Apakah ia puas setelah ini? Apa yang ia dapatkan setelah apa yang ia perjuangkan tak dapat menghasilkan kemenangan? Tanpa sadar airmata sudah membasahi wajahnya. Tak cukup sampai disitu. Gadis itu juga menolak keluar kamar kalau ada tamu, sanak famili atau keluarga jauh yang datang berkunjung ingin menjenguknya. Kenalan dan teman-teman semasa kuliah yang ingin menemuinya juga tak pernah digubris. Semua kecewa dengan sikap yang diambil Ratu. Namun mereka juga sadar dan memaklumi keadaan. Bagaimana perasaan mereka jika posisi Ratu adala