Semua gara-gara Papa. Kalau saja orangtua itu tak terlibat kasus korupsi dan sekarang meringkuk di tahanan, mungkin Reksa tak akan pernah menginjakkan kakinya di kota kecil ini, Mempawah. Di saat karirnya sebagai penyiar di salah satu radio swasta terkenal di Pontianak melejit, Papa malah mematikan karirnya dengan cara yang sangat memalukan.
Reksa benar-benar kecewa. Semua aset yang mereka miliki disita Negara. Rumah beserta isinya dan kendaraan, semua masuk ke dalam daftar hitam oleh pihak berwajib. Bahkan tabungan dan deposito Papa sekarang sedang diusut dan bakal bernasib sama pula. Keluarga mereka dalam sekejap jadi berantakan. Persis seperti anak-anak ayam yang kehilangan induknya.
Kecewa dan malu kini memenuhi hari-hari mereka. Mama dan adik perempuannya, Rifka, untuk sementara waktu numpang di rumah tante Eli di Singkawang. Untung Mama masih punya simpanan di beberapa bank. Setidaknya, uang itu bisa buat biaya hidup mereka sehari-hari untuk sementara waktu dan tidak merepotkan Tante Eli.
Kejadiannya sekitar dua minggu lalu. Waktu itu Reksa sedang berada di studio, siaran pagi. Setelah jeda sesi kesekian dan lagu sedang dimainkan, iseng dia mengambil salah satu koran pagi yang selalu nangkring di meja siar dari berbagai harian yang terbit di Kalimantan Barat. Walaupun korannya berbeda-beda, namun berita yang terpampang sebagai headline hampir semuanya mengangkat berita terhangat yang sama, yang sedang menjadi pembicaraan akhir-akhir ini. Mayoritas berita kriminal dan korupsi.
Reksa tak pernah tertarik dengan artikel kriminal. Apalagi berita tentang kasus korupsi yang sepertinya tak pernah habisnya di Nusantara tercinta ini. Dia membaca koran hanya mencari berita-berita ringan. Berita showbiz tentang film dan musik, syukur-syukur ada review film terbaru dan CD album penyanyi mancanegara yang di gandrunginya. Selain menghibur, berita-berita itu juga bisa menambah wawasan sesuai dengan dunia broadcast yang digelutinya.
Saat membolak-balik halaman koran, matanya tertumbuk pada berita korupsi di salah satu kolom yang ada disana. Artikel itu menurunkan berita tentang kasus korupsi yang menimpa salah seorang pejabat setempat. Entah kenapa kali ini Reksa merasa tertarik dan mulai membaca artikel terebut.
Seorang pejabat dari sebuah Departemen Pendidikan berinisal DA terbukti melakukan penggelapan dana bantuan pemerintah untuk biaya operasional pendidikan Sekolah Dasar senilai 15 milyar rupiah. KPK telah mengumpulkan data-data akurat dan pihak berwenang akan segera menyita harta DA dalam waktu dekat. DA sendiri kini sudah diamankan oleh pihak berwajib, guna dimintai keterangan….
Reksa semula tak menyangka kalau DA itu adalah inisial nama papanya, karena banyak sekali para pejabat yang terlibat kasus korupsi. Dan DA yang dimaksud mungkin saja Darwis Anggoro, Dedi Atmaja atau DA DA lainnya. Dia tak pernah menyangka kalau DA itu adalah inisial dari Darman Achmad, papanya.
Saat mau mulai cuap-cuap lagi di depan mikropon, ponselnya bergetar. Telepon dari Mama. Mama? Tumben Mama nelepon, pikir Reksa. Padahal beliau tahu kalau sekarang Reksa sedang bertugas, siaran pagi. Reksa lantas melepaskan headset yang melingkari puncak kepalanya dan menjawab telepon Mama.
“Assallamuallaikum, Ma,” sapa Reksa.
“Waallaikum sallam. Reksa…” suara Mama menggantung.
Reksa mengernyit heran. Tak biasanya Mama seperti ini. “Ada apa, Ma?”
“Kamu bisa pulang nggak sekarang,” pinta Mama. Suaranya bergetar seperti menahan tangis.
“Emang ada apa, Ma? Aku kan lagi on air.” Firasat Reksa mengatakan, telah terjadi sesuatu di sana, entah apa.
“Kalo bisa kamu segera pulang, Sa. Papamu.. Papamu…”
Hubungan telepon lantas terputus.
Dada Reksa sontak berdegup keras. Ada apa dengan Papa? Apa yang sebenarnya terjadi di keluarga mereka yang membuat Mama bersikap aneh seperti itu? Reksa termangu di dalam studio dengan ribuan pertanyaan yang kontan mencuat di benaknya. Dari kaca pemisah sang operator tampak bingung melihat gelagat Reksa yang belum juga memulai siaran di sesi selanjutnya.
Reksa kemudian keluar dari ruang siar dan menuju ruang operator.
“Ada apa, Sa?” tanya Budi sang operator.
“Aku harus pulang, Bud. Mamaku nelepon tadi,” jawabnya, pelan.
“Apa yang terjadi?”
“Entahlah. Mamaku minta aku untuk segera pulang.”
“Oke, kamu pulang saja sekarang. Biar nanti aku naikkan iklan dan masukan lagu-lagu sesuai format acara kamu. Tinggal tiga puluh menit lagi kok, acaranya. Sepertinya telepon mamamu sangat penting.”
“Sip. Thanks, Bud.”
Tiga menit kemudian, Reksa pun melesat pulang dengan CBR hitamnya. Tiba di rumah Mama menyodorkan surat penyitaan pada Reksa, serta menceritakan status Papa yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Wajah Mama pucat, matanya merah, sepertinya beliau habis menangis. Mendengar berita itu Reksa langsung ingat dengan artikel yang baru saja dibacanya tadi di ruang siar.
DA itu ternyata Darman Achmad, papanya.
“Tadi dua orang petugas datang dan memberikan surat peringatan pengosongan dan penyitaan rumah beserta aset dan kendaraan pada Mama. Kita diminta selambat-lambatnya keluar dari rumah ini satu minggu dari sekarang,” urai Mama, lirih.
“Papa…?” Reksa terkejut.
Reksa tak menyangka Papa bisa berbuat seperti itu. Siapa sangka, dibalik sosoknya yang santun dan bijaksana, beliau malah tergelincir masalah penggelapan uang.
“Sekarang Papa dimana, Ma?”
“Di kantor Polisi. Proses kasus perdatanya akan segera berjalan,” lirih Mama. Sepertinya wanita paruh baya itu tak sanggup menahan beban berat ini.
Reksa lantas memeluk mamanya, menghibur beliau, padahal dia sendiri juga perlu dihibur.
“Apa semua milik kita akan disita, Ma?” tanya Reksa setelah melepaskan rangkulannya.
Mama mengangguk. Sepertinya beliau sudah pasrah dengan apa yang telah terjadi. “Rumah beserta isinya dan juga kendaraan. Tabungan dan deposito papamu juga akan segera di telusuri pihak KPK.”
Dan sejak saat itu Reksa merasa dunia berhenti berputar.
Setelah itu keluarga mereka, terutama Papa, menjadi bulan-bulanan media lokal. Diberitakan habis-habisan dengan berbagai macam fakta dan sedikit bumbu. Ada saja berita-berita dan fakta terbaru yang diungkap ke permukaan. Entah darimana para kuli tinta itu mendapatkan semuanya. Berita yang tersaji membuat Reksa bergidik ngeri. Streotype, tajam dan memojokkan.
Walau tak pernah bersinggungan langsung dengan para wartawan, tapi Reksa tahu kalau di lingkungannya, dia dan keluarganya sedang menjadi sorotan. Menjadi buah bibir yang sayang untuk di lewatkan begitu saja, baik di kompleks perumahan mereka maupun di radio tempatnya bekerja.
Beberapa teman dan rekan kerjanya ada yang terang-terangan bertanya tentang kebenaran berita itu dan ada pula yang memilih bertanya pada tembok yang diragukan kebenarannya, menjadi penggunjing-penggunjing yang aktiv di belakang Reksa. Reksa tak bisa memberikan jawaban pada mereka karena dia sama sekali tak tahu ulah papanya di kantor.
Lama-lama Reksa gerah. Dia mulai tak nyaman dengan keadaan yang semakin sempit. Semakin hari dunia seperti tak bersahabat padanya. Begitu juga Mama dan Rifka. Karena kasus korupsi yang menimpa Papa, Mama perlahan dijauhi ibu-ibu kompleks yang dulu sangat menaruh hormat padanya.
Di depan Mama mereka memang masih menyisakan sikap santun. Tapi di belakang mereka bak kaleng rombeng yang setiap saat bisa bernyanyi hingga tak hanya memekakkan telinga tapi juga mengoyak perasaan.
Mama sadar. Tak ada orang yang menaruh simpati kepada isteri seorang koruptor, tak juga ibu-ibu pengajian yang saban minggu berkumpul untuk mengumandangkan ayat-ayat suci yang indah. Tak ada tempat bagi koruptor di dunia ini, juga keluarganya yang sebenarnya tak tahu menahu dengan perilaku sang koruptor itu sendiri.
***
Di sekolahnya Rifka mendapat perlakuan yang sama. Tak hanya teman-temannya, bahkan guru yang dianggap pengayom yang bijaksana bisa berbuat sebelah mata, dengan beranggapan kesalahan ayahnya adalah tanggung jawab Rifka juga. Gadis enam belas tahun itu bingung. Dia merasa di dakwa atas kesalahan yang tak pernah diperbuatnya. Sering Reksa melihat Rifka pulang dari sekolah dengan wajah yang kusut dan mata yang merah. Walau tak pernah bertanya tapi Reksa tahu apa yang sedang dialami adik semata wayangnya itu. Rifka juga jadi gadis yang pendiam dan sering melamun. Kalau boleh memilih, Reksa mau menanggung aib papanya sendiri saja tanpa melibatkan mama dan adiknya. Puncak dari kejadian itu saat Reksa di panggil Pak Anto, Manajer Radio Galaxy FM, tempat di mana dia bekerja selama tiga tahun terakhir. &ldq
BAB 04 : Kita Harus Bicara, Reksa Ratu Matalatta termenung di dalam kamarnya yang luas dengan interior dinding dan pernak-pernik bernuansa pastel. Gadis cantik itu tercenung sejenak, ia sedang memikirkan berita yang lagi hangat dibicarakan orang-orang sekarang, headline news yang menjadi bulan-bulanan pers dan netizen akhir-akhir ini, tentang perkara yang menimpa keluarga Darman Achmad, papa Reksa. Berita yang dianggapnya belum tentu benar walau bukti-bukti sudah mengarah ke sana. Sebenarnya bukan urusan Ratu kalau sampai ia memikirkan hal itu, apalagi sampai membuat mood-nya turun ke titik nadir. Namun ini semua menyangkut keberadaan Reksa, kekasihnya. Bukankah seorang kekasih selalu berbagi persoalan kepada kekasihnya? Memberi dukungan sekaligus saling menguatkan? Dan hal itu yang selalu mereka aplikasikan kedalam hubungan yang mereka jalin selama ini. Namun kini sepertinya ada yang b
Seakan tak mau menyia-nyiakan waktu, sepulang dari Galaxy FM hari itu juga Ratu meluncur ke Mempawah. Dengan mobilnya cewek itu nyetir sendiri kesana. Tak ada tujuan lain selain menjumpai Reksa. Ratu harus tahu semuanya dari mulut cowok terkasih itu, bukan dari orang lain. Setelah menempuh perjalanan selama satu setengah jam, Ratu pun tiba di Mempawah, kota kecil yang bersih dan asri itu tak banyak mengalami perubahan suasana dari tahun ke tahun. Suasananya terlihat lengang. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas di jalanan. Setelah melewati gerbang Selamat Datang, Ratu lantas memasang headset, menelepon Reksa. Untunglah di nada dering ketiga teleponnya diangkat. Tak sadar Ratu mendesah lega. Reaksi Reksa yang mengangkat teleponnya membuat Ratu seakan mendapat durian runtuh. “Reksa, aku ada di Mempawah, nih. Kamu di mana?”
Sore itu juga Ratu memutuskan untuk secepatnya pulang ke Pontianak. Tak ada gunanya lagi ia berlama-lama disini. Hanya melahirkan kemarahan dan kekecewaan baru pada Reksa. Dia kecewa sekali dengan sikap Reksa. Tadinya dia berharap cowok itu mau berkompromi dengan keadaan dan memperbaiki hubungan mereka yang telah lama sunyi. Ratu rindu saat-saat dulu. Rindu tawa ramah dan kehangatan Reksa. Tapi bagaimana bisa dia merubahnya? Sedangkan Reksa sendiri tak yakin akan keadaan dirinya dan selalu skeptis memandang hari esok. Reksa sudah berubah menjadi laki-laki pengecut! Ratu paham. Paham sekali dengan kondisi psikologis yang sedang melanda kehidupan keluarga Reksa. Anak mana yang tak terbebani mendapati ayahnya menjadi tersangka sebuah kasus korupsi besar dan lantas dicap sebagai koruptor? Anak mana yang tak merasa bingung dengan perubahan keadaan yang terjadi secara tiba-tiba, dari seorang pangera
Jam tujuh malam Reksa siaran di Gantara AM. Sebenarnya dia kurang bersemangat untuk cuap-cuap di udara malam ini. Apalagi tadi mixernya bermasalah. Baru saja mau menaikkan chanel mikropon, tiba-tiba mixernya keluar asap, seperti ada yang bikin api unggun di dalam ruang siarnya, bersaing dengan asap rokok yang mengepul dari mulut Reksa. Ya, tak seperti di Galaxy FM dengan peraturan dan etika siar yang cukup ketat, disini Reksa sedikit bebas, bisa merokok walaupun sedang on-air dan AC ruangan dalam keadaan menyala. Bebas sebebas-bebasnya. Melihat pemandangan yang tak biasa itu Reksa panik dan langsung menelepon Saeful untuk segera datang ke studio. Tuh anak, walau suaranya kalau lagi siaran kalah merdu dengan suara kucing dalam karung, tapi kalau soal membenarkan alat-alat yang rusak di studio, masih bisa diandalkan. Walaupun lebih sering dibuat semakin rusak. Begitu informasi sementara yang Reksa d
Kecelakaan mobil yang dialami Ratu sangat parah. Tak hanya luka yang dideritanya namun juga patah tulang di beberapa bagian di tubuh gadis malang itu. Kalau melihat kondisi body mobilnya yang ringsek, tak ada yang yakin kalau pengemudianya masih bisa bertahan hidup. Semuanya semata hanya karena mukjizat dari Tuhan yang membuat Ratu masih bisa menghirup udara dunia hingga hari ini, walau untuk itu ia mesti melaluinya dengan cara yang sangat sulit untuk dibayangkan. Karena insiden itu Ratu koma selama dua hari di RSU Antonius Pontianak. Semua mengkhawatirkan keselamatan jiwanya, terlebih keluarga dan kedua orangtuanya. Saat pertama kali siuman, Ratu langsung histeris melihat kondisi dirinya dan beberapa kali pingsan kembali. Kedua orangtuanya semakin sedih melihat fisik dan psikis yang dialami oleh Ratu. Seminggu di rumah sakit keadaan Ratu semakin memburuk. B
Luka fisik Ratu memang sembuh tapi tidak dengan luka psikisnya. Pasca kakinya diamputasi, Ratu selalu termenung di kamarnya. Ragam pikirannya bercampur aduk sekarang. Kadang Ratu tak bisa membedakan mana alam nyata dengan alam khayalnya. Seribu satu penyesalan ia hujamkan kedalam diri sendiri. Mengapa ia nekad menemui Reksa? Mengapa ia kalap menyetir mobil di kala hujan mendera? Apakah ia puas setelah ini? Apa yang ia dapatkan setelah apa yang ia perjuangkan tak dapat menghasilkan kemenangan? Tanpa sadar airmata sudah membasahi wajahnya. Tak cukup sampai disitu. Gadis itu juga menolak keluar kamar kalau ada tamu, sanak famili atau keluarga jauh yang datang berkunjung ingin menjenguknya. Kenalan dan teman-teman semasa kuliah yang ingin menemuinya juga tak pernah digubris. Semua kecewa dengan sikap yang diambil Ratu. Namun mereka juga sadar dan memaklumi keadaan. Bagaimana perasaan mereka jika posisi Ratu adala
Begitulah sekarang keadaan Ratu. Pasca operasi amputasi kakinya, kondisi psikis gadis itu kian memburuk. Kehilangan sebelah kaki seakan melenyapkan seluruh harapan hidupnya. Jika boleh memilih, ia ingin mati saja daripada hidup dengan fisik yang tak lagi sempurna. Semua mencemaskannya. Semua sedih melihat kondisinya. Kedua orangtua dan juga adik kembarnya tak henti-hentinya menyemangati, namun sepertinya sia-sia. Harapan dan asa tak lagi milik Ratu. Semua telah padam seiring satu kakinya yang terbuang. “Kak… Kakak harus semangat lagi. Jangan buat kita ikutan sedih melihat Kakak seperti ini,” pujuk Raka dengan harapan yang tak pernah padam. Namun Ratu, diatas kursi rodanya, hanya tersenyum sumbang. “Kami tahu apa yang Kakak rasakan. Ini memang sulit untuk Kakak. Tapi, jika Kakak bersikap seperti ini terus,