Di sekolahnya Rifka mendapat perlakuan yang sama. Tak hanya teman-temannya, bahkan guru yang dianggap pengayom yang bijaksana bisa berbuat sebelah mata, dengan beranggapan kesalahan ayahnya adalah tanggung jawab Rifka juga. Gadis enam belas tahun itu bingung. Dia merasa di dakwa atas kesalahan yang tak pernah diperbuatnya.
Sering Reksa melihat Rifka pulang dari sekolah dengan wajah yang kusut dan mata yang merah. Walau tak pernah bertanya tapi Reksa tahu apa yang sedang dialami adik semata wayangnya itu. Rifka juga jadi gadis yang pendiam dan sering melamun. Kalau boleh memilih, Reksa mau menanggung aib papanya sendiri saja tanpa melibatkan mama dan adiknya.
Puncak dari kejadian itu saat Reksa di panggil Pak Anto, Manajer Radio Galaxy FM, tempat di mana dia bekerja selama tiga tahun terakhir.
“Saya sudah dengar apa yang sedang menimpa keluarga kamu,” ujar Pak Anto dengan intonasi dan pemilihan kalimat yang sepertinya sudah dirancang.
Reksa diam. Perasaan tak enak perlahan menyelinap ke dalam hatinya.
“Saya sudah bicarakan hal ini dengan dewan direksi dan seluruh jajaran divisi radio ini, tentang tindak lanjut dari masalah yang kamu hadapi.”
“Maksud Bapak?” Walau sudah menangkap kemana arah pembicaraan Pak Anto tapi Reksa perlu kalimat yang lugas, tegas dan enggak bertele-tele. Mau kalimat semanis apapun, toh hasilnya akan tetap sama, kan?
“Begini, Reksa. Kamu adalah salah satu penyiar terbaik yang dipunya sama radio ini. Program-program yang kamu bawakan berhasil merangkul pendengar dari segala segmen. Acara kamu juga termasuk acara unggulan dan masuk dalam jajaran prime time. Tak heran kalau rating radio ini naik dan membuat klien berlomba-lomba memasang iklan.”
Dulu seringkali atasannya ini memuji prestasinya di radio Galaxy FM. Ada sejumput bangga tersemat di dada Reksa pada saat itu. Tapi, pujian itu kini malah membuat Reksa muak. Ada kalimat lanjutan yang dia yakin bakal mengubah warna hidupnya menjadi kelam.
“Namun sungguh sayang. Dampak dari berita ayahmu yang beredar akhir-akhir ini membuat rating acaramu merosot tajam. Membuat para pendengarmu berpaling ke channel lain. Saya tidak tahu persis apakah itu terjad karena dampak dari kasus yang menimpa keluargamu. Atau spirit siar kamu sudah menurun. Entahlah. Tetapi seperti itulah yang terjadi sekarang.”
Lirih suara Pak Anto namun sanggup membuat gendang telinga Reksa serasa terkoyak. Dada Reksa seperti dihantam balok es. Dingin sekaligus sakit.
“Jadi sekarang bagaimana, Pak?” Reksa pasrah.
Pak Anto terdiam sebelum meneruskan kalimatnya. “Kami terpaksa menon-aktifkan kamu dari radio ini…”
Setelah itu Reksa tak ingat apa-apa lagi yang dikatakan Pak Anto. Dunianya tak hanya mendadak kelam tapi juga sempit. Semua kalimat manis berbuah pahit itu tak mau di dengarnya lagi. Dunianya serasa terbalik. Mendadak hitam dan suram. Impiannya untuk terus bekerja di tempat yang sesuai dengan hobinya kini musnah. Masa tiga tahun yang menyenangkan kini musnah dalam sekejap. Saat-saat berada di ruang kaca kebanggannya itu kini hanya tinggal kenangan.
* Tuhan tak pernah membiarkan hambanya berjalan sendiri, bertanya-tanya dalam bisu kemana nasib akan membawanya pergi. Begitu juga pada Reksa. Di saat kegamangan pasca dipecat dari Radio Galaxy FM, dia bertemu Barudin. Barudin adalah sahabatnya semasa kuliah di Untan dulu, anak Mempawah. Reksa dekat dengan cowok kocak itu karena mereka sama-sama suka musik.Tapi pertemuan yang serba kebetulan itu sepertinya sudah diatur sama Yang di Atas. Sebuah skenario Tuhan yang sudah dipersiapkan untuk Reksa. Saat mau sholat dzuhur di masjid agung Mujahidin, Reksa melihat sosok pemuda hitam kurus yang dulu pernah di akrabinya di fakultas Ekonomi. Cowok itu sedang berjalan masuk ke ruang wudhu bersama jemaah lainnya. Melihatnya, Reksa langsung mempercepat langkah untuk menyusulnya.
“Din…!” sapa Reksa tanpa menyembunyikan nada senang di suaranya.
“Eh… Reksa!” Barudin juga tampak terkejut bertemu dengan sahabat lamanya. Ekspresinya seperti pengangguran yang menang togel satu milyar.
“Kemana aja kamu selepas kuliah? Nggak ada kabar sama sekali,” tanya Reksa setengah menggerutu.
“Abis kuliah aku sibuk mengurusi perusahaan ayahku,” jawab Barudin dengan nada setengah bercanda.
“Wah… Sudah jadi orang hebat kamu sekarang, ya? Lepas kuliah sudah punya perusahaan sendiri. Nggak sia-sia title Sarjana Ekonomi yang kamu sandang di belakang namamu,” puji Reksa tulus.
Barudin hanya tersenyum menanggapi.
“Kalau boleh tahu, perusahaan kamu bergerak di bidang apa? Kali-kali aja aku bisa menjadi salah satu pegawaimu,” canda Reksa bernada harapan.
“Di bidang jagal menjagal, Sa. Alias usaha pemotongan ayam. Hahaha…” jawab Barudin sambil tertawa.
Mendengar itu Reksa ikutan tertawa. “Dasar kamu!”
Dulu semasa kuliah Reksa cukup akrab dengan Barudin. Gayanya yang ramah, polos sekaligus kocak, membuat Reksa seketika tertarik menjalin pertemanan dengannya. Reksa memang selalu membuka diri pada siapa saja untuk bergaul. Walau mayoritas teman-temannya di kampus anak orang berada seperti dirinya, namun dia tak menutup diri untuk berteman dengan orang-orang menengah ke bawah seperti Barudin.
Setelah selesai sholat Dzhuhur, mereka ngobrol lagi sembari makan siang di sebuah warteg yang teduh. Dari sanalah curhat Reksa mengalir. Diantara kepulan asap rokok mereka Reksa bercerita, bagaimana keluarganya sekarang sedang mengalami musibah dan mereka kini seolah kehilangan pegangan.
Barudin mendengarkan cerita Reksa dengan seksama. Kelihatan dari rautnya dia sama sekali tak tahu menahu dengan masalah yang menimpa keluarga Reksa. Syukurlah! Reksa memaklumi hal itu. Mungkin saja Barudin baru kembali dari planet Pluto, jadi tak tahu kalau keluarga Reksa sedang mengalami musibah. Tapi Reksa tak ambil pusing soal itu. Dia sudah tahu siapa Barudin. Pemuda itu kan peka informasi.
Selan itu, Reksa juga bercerita tentang pemecatan dirinya di radio Galaxy FM karena kasus korupsi ayahnya itu. Impact dari kesalahan yang tak pernah diperbuatnya.
“Sebenarnya mereka ndak bisa memecat kau begitu saja. Masyak gara-gara orangtua, anak yang jadi ikutan kena getahnya,” protes Barudin dengan aksen melayu Mempawah yang kental.
“Tapi menurut mereka, sejak kabar itu beredar luas, acara yang aku bawakan ratingnya merosot tajam,” urai Reksa sambil mengisap rokoknya dalam.
“Ah, alasan gampang dicari, Bro,” tepis Barudin tak setuju.
Reksa diam, membenarkan perkataan Barudin.
“Sekarang apa rencana kau selanjutnya,” tanya Barudin.
Reksa menggeleng. “Entahlah…” Matanya terlihat kosong. Hampa.
“Kalau kau mau, kau bisa kok kembali bekerja di radio.”
“Maksudmu?” Reksa bingung kemana arah kalimat Barudin. Dia yakin, dengan reputasinya sebagai anak seorang koruptor sekarang, tak ada yang mau menerimanya bekerja, apalagi di stasiun radio.
“Di Mempawah ada sebuah radio yang sedang membutuhan penyiar.”
“Ah, yang bener kamu?” Reksa tampak antusias.
Barudin mengangguk serius. “Benar! Untuk apa aku bohong.”
“Aku bisa daftar nggak, ya?” harap Reksa.
“Kalau mau, kau bisa aku ajukan. Aku yakin kau bakal lolos.”
“Kok bisa? Emang enggak melalui tahap voice test dulu, gitu?”
Barudin menggeleng tegas. “Aku yakin kau bisa langsung diterima disana. Apalagi kalau mereka mendengar kau pernah bekerja di radio Galaxy FM.”
“Tapi kalau mereka tahu kenapa aku keluar dari Galaxy FM bagaimana?” Perasaan khawatir itu hadir kembali. Reksa trauma.
“Tak semua orang tahu berita yang beredar, Sa. Di sekitar mereka sekalipun. Lagipula kalian bukan dari kalangan keluarga selebritis, kan? Jadi kau jangan kege-eran kalau berita tentang ayah kau diketahui semua orang di Indonesia ini, hehehe…,” cetus Barudin sembari terkekeh.
“Hahaha… Sialan kamu!” Tak sadar Reksa ikutan tertawa mendengarnya.
“Tapi kalau jadi keterima di radio itu kau jangan terkejut!”
“Memangnya kenapa, Din?”
“Pokoknya kau jangan terkejut. Titik!” jawab Barudin sembari membanting puntung rokoknya ke tanah.
Dan apa yang dibilang Barudin itu memang benar. Reksa tak hanya terkejut tapi mau mati saking excited-nya.
***
Irsyad sendiri sebenarnya bukan tanpa tujuan mengajak Ratu dinner malam ini. Ada sesuatu yang penting yang akan ia sampaikan pada Ratu menyangkut masa depan mereka berdua yang arahnya belum menemukan tujuan. Awalnya Irsyad ragu bagaimana caranya untuk memulai dan mengungkapkan hal tersebut pada Ratu. Namun karena keinginan lebih besar dari keraguan, Irsyad pun memberanikan diri mengajak Ratu kencan dan sudah mempersiapkan segalanya mala mini, termasuk mental. “Ratu. Ada yang mau aku sampaikan sama kamu malam ini.” Wajah Irsyad tampak sedikit tegang. Ia coba mengatasi kegugupannya dengan menampilkan sebuah senyuman..“Mau ngomong apa, Bang?” tanya Ratu. Ia sedikit bingung. Tak seperti biasanya Irsyad meminta ijin sebelum ngomong. Ada apa?“Aku pikir, sudah saatnya kita memikirkan kelanjutan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius.” Akhirnya kalimat itu mengalir lancar dari bibir Irsyad.“Ma
Kadang sesuatu yang datang dan memberikan kenyamanan tak pernah benar-benar kita rasakan. Kadang sesuatu yang menghilang dan memberikan kenangan malah dapat menimbulkan kerinduan yang dalam. Yang tampak belum tentu dapat dirasa. Yang tak tampak selalu bisa dirasa walau hanya dalam bayangan. Begitulah cinta, siapapun tak kan sanggup mengukur kadarnya. Cinta hanya dapat dirasa, entah itu berasa manis atau berupa pahit belaka. Namun satu yang pasti, cinta tak pernah benar-benar pergi walau sekeras apapun hati ingin membenci. Malam ini Andi Irsyad mengajak Ratu dinner di sebuah kafe yang letaknya di tepi sungai yang bernuansa romantis. Dekor dan motif temboknya bercorak ‘awan berarak’ dengan kombinsi warna kuning dan hijau yang serasi. Lampu-lampu hias yang menempel di setiap lekuk bangunan membuatnya tampak begitu indah. Ditambah lagi dengan alunan musik dari streo set audio yang mengalun lembut, membuat pengunjung menjadi terhanyut dalam suasana yang tercipta.
“Kalau melihat dari data yang kamu tulis, semua pendapatan habis untuk biaya operasional dan mengganti alat-alat radio. Tapi disini tidak kamu rincikan apa maksud dari biaya operasional tersebut. Bukankah radio kita nggak pernah mengadakan acara off air? Saya juga perlu estimasi barang-barang apa saja yang telah dibeli dengan memakai uang iklan,” pinta Pak Imam. Sepertinya ia harus lebih berhati-hati dalam menghadapi Jodi.“Iya, Pak Imam. Saya…”“Datanya ada kamu bawa sekarang?” potong Pak Imam.“Be-belum saya buat, Pak. Tapi nanti akan saya segerakan.”Pak Imam menghela nafas kesal. “Vera tolong kamu simpan dulu data-data ini. Nanti diketik yang rapi, ya. Lalu fax ke alamat email kantor pusat,” perintah Pak Imam pada sekretarisnya. “Tapi sebaiknya jangan dikirim dulu, karena akan ada data tambahan dari Jodi nantinya.”“Baik, Pak,” jawab Vera sigap. Wanita tiga p
“Bagaimana Saeful, Salmah, Hartati? Apa kalian pernah mendengar ada selentingan pendengar yang menyudutkan acara yang dibawakan Reksa?” tanya Pak Imam pada ketiga penyiarnya. Beliau sepertinya harus menerapkan teori semua arah, dimana kebenaran atau keburukan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang tak hanya mendengar satu pihak. Salamah menggeleng. “Setahu saya, Reksa banyak fans-nya,” ujarnya sambil tersenyum malu-malu. Namun dibalik ketersipuan itu, kentara sekali jika Salmah bangga dengan pencapaian yang diraih Reksa.Hartati yang duduk di samping Salma ikut-ikutan tersenyum mengiyakan perkataan rekan sesama penyiarnya. Akan halnya Salmah yang pemalu, Tati juga terlalu sungkan dan canggung untuk berbicara pada atasannya. Ia hanya membuka suara apabila ditanya. Selebihnya hanya diam dan menyimak dengan khusyuk seperti yang lainnya.“Kalau kamu Tati? Bagaimana pendapatmu tentang Reksa? Maksud saya tentang
“Pak Imam datang? Mau mengadakan rapat?” protes Jodi saat Reksa meneleponnya.“Iya, Bang. Saya hanya menyampaikan,” sahut Reksa.“Selalu saja seperti itu. Setiap datang kesini seperti pencuri. Diam-diam dan membuat orang kaget,” gerutu Jodi lagi dengan bahasa yang membuat Reksa menggeleng-gelengkan kepalanya.“Saya tidak tahu juga sih, Bang. Terus terang saya juga kaget. Karena baru pertama kali ini bertemu beliau. Apalagi mendengar akan diadakan rapat dadakan.”“Nah, kamu sendiri tahu.”“Tapi kan kita bisa apa? Sebagai penyiar, sebaiknya kita ikuti saja apa yang diinginkan oleh pimpinan. Toh, beliau tak menyuruh kita kerja bakti membersihkan got, kan?” Reksa mencoba menetralisir dengan selorohan.Namun alih-alih merasa lucu, Jodi malah menyerang Reksa dengan berang. “Eh, Reksa! Kamu itu anak baru. Kamu nggak usah ceramah dan mengajari aku. ““Buka
“Well, my time is up, guys. Sekarang waktunya saya untuk pamit undur dari ruang dengar kalian semua. Terima kasih atas atensinya Gantara Listeners. Keep stay tune disini, di gelombang 817 Gantara AM, karena setelah ini bakal banyak acara keren yang akan menemani kalian hingga ke pukul 24 teng nanti. Tetap jaga semangat kamu hari ini bersama Gantara AM. Reksada Dirga sign out. Adios!”Setelah menutup acaranya, Reksa kemudian keluar dari ruang siar menuju ruang tengah. Ternyata ada Salmah di sana, salah satu penyiar perempuan di Gantara AM ini.“Sudah selesai, Ga?” sapa Salmah saat melihat kemunculan Reksa.“Iya, Sal. Setelah ini kamu, kan?” sahut Reksa, ramah.Salmah hanya mengangguk dan kemudian menuduk.Basa-basi diantara mereka sepertinya memang masih telihat kaku dan canggung. Walau sudah kenal selama beberapa bulan, dan bertemu walau hanya sekilas, di saat jam pergantian siar seperti saat ini, namun g