Jihan memejamkan kedua matanya. Tubuhnya masih bergetar.'Siapa perempuan itu? Siapa pula yang ia maksud dengan seseorang yang harus dikasihani itu?' tanyanya dalam hati yang semakin lama membuat dadanya semakin sesak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menggerogoti pikirannya sejak dirinya memutuskan untuk menerima panggilan dari nomor misterius yang ditujukan ke ponsel suaminya, Azlin. ‘Apakah ada perempuan lain dalam hidup Mas Azlin?’ batin Jihan lagi.Jihan telah berusaha mencari jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi ia merasa semuanya malah semakin rumit.Di tengah kebingungan dan kecurigaan yang semakin mendalam, terdengar pintu kamar mandi terbuka. Jihan melompat saking kagetnya. Dengan cepat, ia mematikan ponsel Azlin yang tengah ia periksa dan meletakkannya kembali ke tempat semula.“Loh, kamu kok bangun?” tanya Azlin yang kini sudah berada di dalam kamarnya.Wajah Jihan terlihat cemas, hatinya berdegup kencang. Perasaan cemas dan tidak nyaman kini terus me
Jihan yang masih terkejut sekaligus bingung, berusaha menarik dirinya dari posisi yang sangat memalukan itu. Bersamaan dengan hal itu, gelang karet yang menjadi penyebab insiden ini jatuh ke lantai.Azlin yang marah, bertanya dengan nada tak percaya. "Apa-apaan ini?" Sugiono menjawab dengan wajah sedih, "Tanyakan saja kepada istrimu, Zlin."Tanpa merasa bersalah, pria tua itu terus menggerakkan kursi rodanya dan meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya. Azlin memandang Jihan dengan tatapan yang penuh kecurigaan. Sementara Jihan masih diam dengan jantung yang masih berdebar kencang."Kenapa kamu melakukan sesuatu yang tak senonoh seperti itu pada bapak?" tanya Azlin.Mendapatkan pertanyaan yang tajam dari suaminya, membuat Jihan membelalakan kedua matanya.“Kok kamu nanya nya kayak gitu, Mas? Harusnya kamu jangan hanya melihat dari sudut pandang bapak saja, tapi dengarkan penjelasanku juga.” Jihan masih tak habis pikir dengan cara berpikir suaminya.“Lalu apa yang ingin kamu jelaskan
Jihan terperanjat saat dirinya mendengar suara mobil berhenti di depan rumah.Ia menghentikan kegiatannya, dan terburu-buru menghampiri pintu utama. Azlin dan Pak Sugiono tengah dari pekerjaannya.Dengan tubuh berdiri tegak, Jihan menanti kehadiran sang suami di depan mata, meski ia tahu bahwa Azlin akan datang di temani bapak tua itu juga."Mas!?" sapa Jihan saat Azlin memasuki ruang rumah serta dengan pak Sugiono.Alih-alih menjawab, Azlin nampak datar melenggang pergi melewati Jihan. Jihan tercengang dengan sikap Azlin yang nampak tak seperti biasanya.Jihan menarik nafasnya sesak dengan perlakuan suaminya.Sedangkan Azlin masih saja terngiang dengan cerita bapaknya tentang sikap Jihan kepada mertuanya. Setelah Azlin mengantar bapak Sugiono ke kamar, dia kembali papasan dengan Jihan, dan tak diragukan lagi, kalau Azlin sangat cuek.Jihan membiarkan perilaku suaminya berlalu begitu adanya, dia diam dan melihat punggung sang suami masuk ke dalam kamarnya.Tak beberapa menit masuk, t
Kecemasan Jihan terhenti saat dirinya mendengar ponselnya berdering di balik tas kecil. Dengan adanya jaringan suara itu, Jihan berharap ada kabar baik untuknya yang masih menunggu wanita tak jelas itu.Benar saja apa yang ia duga, telepon yang datang ke ponselnya, datang dari wanita yang inisial kan MI6. Jihan lantas bergeming dan terburu-buru mengangkat telepon itu."Halo, kamu di mana sih? Aku sudah ada di sini dari tadi. Cepetan datang ke sini! Atau jangan bilang, kalau kamu nggak jadi datang," Cirocos Jihan yang tak sabar akan pertemuan itu.Tak peduli cuaca yang sangat panas, dan matahari seolah ingin menelan Jihan di puncak ubun-ubunnya. Yang jelas Jihan ingin sekali bertemu dengan wanita misterius itu."Tau saja kalau aku nggak bisa datang," balas wanita di seberang ponsel itu dengan sangat santai. Jihan melenguk bingung mendengar balasan teleponnya.Wanita itu seolah tak peduli atas dirinya yang sudah menunggu lama."Apa maksudmu?" tanya Jihan menegang. Wajahnya mulai pucat
Jihan terkejut tegang. Dia tidak menyangka Kenapa Ibu Puri bisa datang bertepatan dengan posisi kakinya berada di atas tangan pak Sugiono."Tunggu. I-ini tidak seperti yang Ibu lihat, Bu," ucap Jihan gagu. Bola mata Puri seperti hendak meloncat kesal. Tangannya berkacak pinggang, dengan dada naik turun menahan emosinya yang akan pecah."Terus, apa? Kenapa kamu sampai tega menendang suamiku, hah?""Begini, Bu. Aku tidak berniat menendang bapak. Tapi, tadi- bapak beraba betis saya," urai Jihan dengan mata dan wajah yang memelas. Namun mata Puri nampak bertemu dengan sepasang bola mata Sugiono. Pria berkursi roda itu nampak menggelengkan kepalanya. Matanya bermain seperti memberi arti bahwa Jihan pembohongnya.Puri percaya suaminya hanya dengan satu kedipan dan beberapa gelengan kepala."Berani-beraninya kamu bicara seperti itu pada mertuamu? Sebenarnya kamu Ada masalah apa sih sama kita? Kenapa sekarang ini kamu suka sekali cari masalah?" Puri memberondong ketagihan dengan banyak per
Lima jari Jihan menari di atas meja. Ia mengetuk-ngetuk meja hanya untuk menghilangkan rasa cemasnya.Berulang kali Jihan melirik arlojinya. Namun orang yang di tunggu tak kunjung datang juga. Ia takut jika wanita asing itu kembali mengurungkan niatnya.'Apa dia tidak datang lagi?' Pikir Jihan dengan hati yang sangat was-was. Setidaknya Jihan tak ingin kalau dia pulang dengan tangan kosong lagi.Ia membutuhkan setitik saja informasi tentang masa lalu sang suami.Saat pengunjung restoran mulai surut, Jihan pun menjulurkan lehernya melirik ke seluruh arah, fokusnya bertepatan di depan pintu."Mana sih?" gumamnya lagi tak sabar. Beberapa menit kemudian, suara kecil datang dari belakang punggung Jihan, lalu menepuk pundaknya."Istri, Mas Azlin?" sapanya.Jihan tersentak dan menoleh. Sesaat dia terdiam dan dunianya seakan terhenti. Lalu, dia melirik wanita itu naik turun. Rambut pendek yang terpapas indah, dan lekuk wajah yang lancip membuat Jihan tak mengibaskan pandangannya.Body wanit
Sudah dua bulan berlalu sejak Diska menjadi istri Azlin. Ia belum sepenuhnya mengenal keluarga suaminya itu, terutama bapak mertuanya, Sugiono. Suatu hari, ketika hendak masuk ke dalam dapur, Diska terperanjat saat melihat Sugiono. Dia berkata dalam hati, ‘Bapak kok bisa berdiri secara? Terus dia lagi ngapain dan serbuk apa yang dimasukan ke jus jeruk itu?’Kejadian ini tentu sangat aneh bagi Diska, si wanita tanpa hijab, karena Sugiono biasanya berada dalam kursi roda. Namun, saat itu, ia berdiri tegak, seolah-olah tak pernah kehilangan kemampuan berdiri.Diska berusaha untuk tidak bersuara. Namun, sepertinya Sugiono bisa merasakan kehadirannya di ambang pintu dapur. Dia menoleh langsung melihat Diska yang terperangah.“Argh!”Diska menjerit, ketakutan setengah mati. Namun sebelum ia bisa kabur, Sugiono sudah mengejarnya dan membekap mulutnya dengan tangannya yang kuat."Kenapa kamu malah mengintip, Diska? Apa kamu gak tahu kalau mengintip adalah perilaku yang sangat lancang," bisik
Diska menggeleng setelah ia mengingat-ingat beberapa saat.Matanya terlihat kosong, membayangkan angka-angka masuk di kepalanya."Ach, aku lupa," ucap Diska menggenggam puncak kepalanya."Masa kamu lupa sih?" Jihan nampak menyayangkan jawaban Diska. Hanya Diska satu-satu kesempatan bagi Jihan untuk membongkar misteri di rumah mertuanya itu."Beneran. Aku tidak ingat password pintu itu. Soalnya, waktu itu aku ketakutan. Terus, sensor pintu yang cepat berubah membuat pintu itu cepat tertutup lagi."Jihan melenguk, ada rasa memengkal di hatinya, "Diska, coba ingat-ingat lagi password pintu itu lagi, mudah-mudahan kamu masih ingat. Ini bersangkutan dengan masa depan rumah tanggaku. Aku tidak mau jadi Korba selanjutnya," mohon Jihan hingga perlahan suaranya parau dan menghilang.Mata Diska berkedip cepat, melintas di bayangannya angka pertama yang pernah ia tekan. "Aku hanya mengingat dua angka pertama, password itu.""Berapa?" sambar Jihan tak bisa menunda kesabarannya. "Pokoknya dua ang