Share

PART 5

Dari sejak semalam setelah mentransfer uang yang dipinjem oleh ibunya mas Alvin, rasanya aku memang agak malas memegang ponselku lagi. Hingga sore itu saat mbak Dewi dan mbak Rida serta keluaraganya berpamitan, aku baru masuk kamar untuk melihat ponselku lagi. 

 

Ternyata sudah banyak sekali notifikasi di sana.  Teman-temanku yang tiba-tiba pada merasa kehilangan karena aku tak ikutan nimbrung di group chat, ucapan terima kasih dari calon mertuaku karena uang sudah kutransfer, mas Alvin yang menanyakan kabarku dan memberitahu bahwa dia sedang lembur masuk kerja hari ini, dan apa ini? Pesan dari adiknya mas Alvin? Dian bahkan ini padahal tak menyimpan nomer ponselku. Lalu Vita, adik ipar mas Alvin, yang tiba-tiba juga basa basi menanyakan aku sedang apa hari ini.

 

Rasanya agak aneh karena sebelumnya mereka tidak menyimpan nomerku dan tiba-tiba story mereka sudah ada di whatsappku hari ini. 

 

Mas Alvin memang dari awal sudah memintaku menyimpan nomer ponsel seluruh keluarganya. Dia bilang kalau nanti ada apa-apa aku akan gampang menghubungi siapa. Dan aku pun menurutinya sebagai bentuk penghargaanku karena sudah mendapat kepercayaan darinya. 

 

Saat sedang konsen membalas chat-chat itu, mendadak ada notifikasi dari sms-bankingku. Dana masuk sebesar 1 juta rupiah dari nomer rekening mas Alvin. Dahiku sontak berkerut. Lalu sejenak kemudian, pesan mas Alvin masuk.

 

[Kok baru online?]

[Dari mana aja, Dek?]

[Oya, mas udah transfer uang yang buat periksa bapak kemarin ya. Semoga gak kurang.]

 

Karena sudah terlanjut membaca pesan itu, akhirnya aku pun segera membalasnya.

 

[Maaf, Mas, hari ini sibuk banget di rumah. Mbak Dewi dan mbak Rida dateng.]

[Kenapa ditransfer sih, Mas? Kan aku udah bilang nggak usah.]

 

Lalu kuselipi emoticon sedih di bawahnya. Pesan itu terbaca tapi mas Alvin tak terlihat sedang mengetik. Danì seperti yang sudah kuduga, dia langsung menelponku.

 

"Capek ya?" tanyanya sebelum sempat membalas salamku. 

 

"Lumayan, Mas," jawabku sekenanya. 

 

"Nanti mas pulang kantor jam 5. Mas mampir ya? Mau dibawain apa?" tawarnya. 

 

"Enggak usah Mas, ngerepotin."

 

"Kamu kok masih itung-itungan gitu sih Dek sama calon suami?" protesnya.

 

"Mas sendiri juga masih itung-itungan gitu kok. Buktinya tadi ngapain pake transfer uang segala?" protesku balik. 

 

"Itu beda, Sayang. Uang buat periksa bapak kan bukan tanggung jawabmu, tapi tanggung jawabku. Lagipula kemarin aku sudah ngrepotin kamu minta tolong nganter bapak. Masa' iya minta dibayarin juga," katanya panjang lebar.

 

"Iya, tapi kebanyakan mas. Kemarin habisnya cuma 400 ribu kok."

 

"Ya sudah, sisanya anggap saja nafkah dari suami," kelakarnya.

 

"Hmm ... baru calon suami, belum jadi suami. Jadi belum wajib kasih nafkah," ucapku dengan nada meledek.

 

"Nah gitu dong, semangat ngobrolnya. Jangan males-malesan kayak kemarin." Mas Alvin pun terdengar terkekeh dari seberang.

 

Begitulah memang mas Alvin. Selalu tak membiarkanku dalam kesedihan. Ibu memang benar, lelaki ini memang baik. Tak seharusnya aku melukainya dengan membatalkan pernikahan kami. Kalau sampai iu terjadi, pasti tak akan adil buat dia. 

 

"Dah dulu ya, Dek. Aku selesaikan kerjaan. Habis ini aku mampir ke rumah," pamitnya kemudian. 

.

.

.

Hanya berselang satu setengah jam setelah panggilan teleponnya, mobil mas Alvin pun sudah terlihat memasuki rumah. 

 

Seperti biasa, bapak yang menyambutnya paling antusias. Bagi bapak, mas Alvin adalah pahlawan bagi putri bungsunya ini karena ternyata masih ada yang melamar di usianya ke 28 tahun. Dari dulu bapak yang sering khawatir bahwa aku takkan menikah dalam waktu dekat. Ternyata, calon suamiku justru yang yang fisiknya paling ganteng menurut bapak. Kerjaan mas Alvin juga paling mapan dibanding mas Ridwan dan mas Faris saat dulu melamar dua kakak perempuanku itu. Sebangga itu bapak sama mas Alvin. Apa aku akan sampai hati melukai perasaan bapak?

 

"Kamu itu beruntung, usia sudah tua, masih bisa dipersunting lelaki tampan dan mapan macam Alvin," ujar bapak berulang kali saat ingin mengingatkanku untuk selalu bersyukur. 

 

Usai menunaikan sholat maghrib berjamaah di masjid dekat rumah, terlihat keduanya nampak melanjutkan obrolan lagi di teras. Bapak baru meninggalkan mas Alvin untuk masuk rumah saat melihatku datang membawakan dua cangkir kopi untuk mereka. 

 

"Kopi bapak buat kamu aja, Na. Bapak dari tadi pagi udah kebanyakan kopi," katanya sambil melangkah perlahan memasuki rumah. 

 

"Kamu sehat kan ,Dek, hari ini?" tanyanya saat bapak sudah tak terlihat diantara kami.

 

"Sehat kok, Mas."

 

"Aku kira kamu lagi sakit. Soalnya dari kemarin ngomongnya irit banget," katanya sambil terkekeh.

 

"Nggak apa-apa kok. Itu mas, lagi ...." Aku ragu untuk melanjutkan kalimatku.

 

"Lagi apa? Dapet tamu bulanan?" tebaknya.

 

"Enggak. Bukan itu."

 

"Trus?" Mata mas Alvin memicing ke arahku.

 

"Itu Mas ... mmm ... aku mau ngomong agak serius sama Mas. Boleh?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status