Share

PART 6

"Jadi kamu pengen tinggal sendiri setelah kita nikah nanti?" 

 

Mas Alvin memandangku dengan tatapan serius setelah mendengarkan keinginanku seperti yang disarankan ibu. Dan aku hanya mengangguk menanggapinya.

 

"Apa benar alasannya hanya agar kita bisa belajar mandiri, Dek? Nggak ada alasan yang lainnya?" Mas Alvin semakin serius menatapku. Kali ini aku menggeleng ragu. 

 

"Maaf kalau pertanyaan mas sedikit memaksa. Soalnya ini sudah keluar dari kesepakatan kita waktu itu kan? Dulu kita sudah berencana tinggal di rumah orangtuaku barang satu atau dua tahun dulu sampai kita punya cukup uang untuk membeli rumah. Kan kamu sendiri yang bilang nggak waktu itu kan, Dek?"

 

"Iya, mas. Tapi sekarang aku berubah pikiran. Aku mau kita tinggal sendiri saja. Sekalian mau latihan mandiri," ucapku beralasan.

 

"Dan itu artinya kita harus mengeluarkan biaya untuk kontrak rumah dan membeli perabotan baru lho, Dek," kata mas Alvin mengingatkan.

 

"Iya mas, nggak masalah," jawabku enteng.

 

"Kalau tinggal di rumah bapak, kita nggak perlu bayar sewa. Uangnya bisa kita tabung untuk rencana membeli rumah nanti. Lagipula tidak perlu juga membeli perabotan macem-macem soalnya di sana kan semua udah ada, tinggal pakai. Rumah bapak juga besar, Dek. Kamarku juga cukup besar untuk kita berdua. Tidak mungkin akan terganggu sama yang lain. Elman sama anak istrinya selama ini kelihatannya nyaman-nyaman saja kok tinggal sama kami. Apa tidak bisa dipikirkan lagi rencana buat tinggal sendiri ini?"

 

"Enggak, mas. Aku maunya tinggal sendiri aja." Qku tetepa kekeh dengan pendirianku. 

 

"Bener tapi nggak ada alasan lain selain karena pengen mandiri kan?" Lagi-lagi mas Alvin bertanya, seolah dia taidak yakin alasanku tinggal sendiri adalah karena ingin mandiri.

 

"Ya sementara sih nggak ada, Mas."

 

"Kok sementara sih jawabnya? Berarti kemungkinan ada alasan lain kan?"

 

"Enggak mas. Maksudku, sementara alasannya itu aja. Aku pengen belajar mandiri. Udah, titik."

 

Tak ada yang bisa kukatakan lagi untuk menjelaskan Alasanku selain mengakhiri pembicaraan ini. 

 

Mas Alvin nampak terdiam sejenak.

 

"Baiklah kalau gitu, nanti mas akan ngomong sama bapak dan ibu kalau kita nggak jadi tinggal bareng mereka. Besok mas juga akan cari info masalah rumah kontrakan. Atau besok kita cari sama-sama saja? Gimana?" 

 

"Boleh," sahutku dengan senyum lega. 

.

.

.

Malam harinya aku sedikit kaget saat tiba-tiba ada pesan dari ipar mas Alvin di whatsappku. Vita, istri dari adik mas Alvin itu tanpa basa-basi menanyakan soal keinginanku untuk tinggal sendiri.

 

[Malam mbak Nana, lagi apa? Memangnya bener ya mbak Nana sama mas Alvin mau tinggal sendiri setelah nikah nanti?]

 

Membaca pesan itu, aku menduga mas Alvin sudah membicarakan rencana kami pada orang-orang di rumahnya.

 

[Iya dek Vita, rencananya begitu.]

 

[Memangnya kenapa, Mbak? Ada masalah ya sama ibu?]

 

Ibu yang dia maksud pastilah ibu mertuanya alias ibunya mas Alvin. 

 

[Enggak kok, Dek. Nggak ada hubungannya sama ibu.]

 

[Dahlah mbak, jujur aja sama aku. Aku tau kok ibu itu orangnya gimana. Aku udah tinggal bertahun-tahun sama dia, aku tau banget sifat ibu, Mbak. Apa ibu utang duit sama mbak Nana?] 

 

Duh, aku harus jawab apa ini? Aku belum terlalu kenal dekat dengan Vita. Aku juga belum tahu bagaimana sifat dia. Apa dia bisa dipercaya atau tidak.

 

[Eh Dek Vita maaf ya, ada tamu. Nanti kita lanjut lagi.] 

 

Kemudian kualihkan pembicaraan itu dengan berpamitan, berpura-pura sedang kedatangan tamu. 

 

Aku akan berbohong padanya jika bilang bahwa ibunya mas Alvin tidak berhutang padaku. Tapi untuk jujur, aku juga belum sepenuhnya percaya dengan iparku itu. 

 

[Sudahlah mbak. Sama aku nggak usah bohong.  Aku yang paling tahu gimana watak ibu. Bahkan aku lebih tau dari anak-anak kandungnya sendiri. Kalau mbak Nana mau tahu, nanti aku ceritakan. Tapi mbak Nana harus jujur dulu sama aku.]

 

Awalnya aku berharap alasanku untuk menemui tamu tadi tidak akan mendapatkan balasan lagi darinya. Atau setidaknya dia cukup membalas dengan kata "iya" saja. Namun ternyata pesan terakhirnya justru membuatku membelalakkan mata. 

 

Apa sih maksudnya Vita bicara seperti itu padaku? Sedangkan memgetahui sifat ibu yang belum apa-apa sudah berani berhutang pada calon menantunya saja sudah membuatku ilfil. Ini malah ditambah lagi calon iparku seolah mengetahui banyak tentang keburukan calon ibu mertuaku. 

 

Padahal setahuku, selama tiga kali datang ke rumah mas Alvin, aku selalu melihat Vita dan ibu nampak sangat akrab. Bahkan mereka seperti ibu dan anak kandung saja, bukan menantu. Tapi kenapa sekarang Vita seolah ingin menjelekkan ibu mertuanya? Ada apa sebenarnya dengan keluarga itu? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status