Share

PART 4

Hari minggu itu rumah bapak dan ibu terlihat ramai. Dua kakak perempuanku dan keluarganya datang untuk membahas kembali acara pesta pernikahanku dan mas Alvin. 

 

Usai berbincang serius selama kurang lebih dua jam bersama bapak dan ibu, kami pun para wanita bergegas ke dapur membantu ibu yang sudah dari beberapa menit yang lalu meninggalkan kami untuk menyiapkan makan siang. Aku langsung menuju ke meja makan untuk menata peralatan untuk makan siang.

 

"Alvin nggak ke sini, Dek?" tanya mbak Dewi, kakak sulungku, sembari mengambil lap untuk membantuku di meja makan. 

 

"Nggak tau, Mbak. Nanti mungkin," jawabku asal-asalan. 

 

"Lah ini calon pengantin kenapa sih kok males-malesan gini? Udah mau nikah masih main ngambek-ngambekan juga sama calon suaminya?" tebak mbak Dewi melihatku tak bersemangat

 

"Adikmu lagi galau, Wi'? Sudah, biarkan saja. Biasa kan begitu kalau lagi mau nikah ua gitu itu. Tanya tuh mbak Dewi, Na, dulu kayak gitu juga nggak?"

 

Tiba-tiba ibu ikutan menyahut dari arah belakang kami. 

 

"Galau kenapa, Dek?" Mbak Dewi justru jadi penasaran dengan kata-kata ibu. 

 

Mbak Rida, kakak keduaku, yang ikut mendengar itu pun langsung ikutan nimbrung bersama kami di meja makan. 

 

"Ada apa sih? Cerita dong, Dek? Jangan dipendem sendiri. Nanti bisulan lho," ucapnya sambil terkekeh.

 

"Betul itu!" sahut mbak Dewi ikutan terkekeh. 

 

Ibu yang ternyata sudah selesai dengan masakannya mendadak ikut-ikutan duduk di meja makan. Wajahnya sedikit serius sambil agak mendekatkan wajahnya ke anak-anak perempuannya. 

 

"Adikmu ini lagi galau. Calon mertuanya belum apa-apa udah pinjem uang sama dia lima juta. Tadinya malah pengen ngebatalin pernikahan. Gimana ceritanya coba undangan udah kesebar, eh dia main batalin aja. Bayangin bapak kalian ngamuk, ngeri kan?" kata ibu dengan bisik-bisik. Sementara dua kakakku langsung melotot tak percaya. 

 

"Masa sih gitu, serius Dek?" Mbak Dewi yang terlihat antusias dengan berita itu. Aku hanya mengangguk lemas menanggapi itu. 

 

"Wah, gawat ini. Memang mau buat apa uang itu katanya? Banyak lho itu lima juta. Ntar dibalikin nggak tuh? Jangan-jangan kayak ibunya mas Ridwan." 

 

Aku langsung menoleh Ke arah mbak Dewi mendengar itu. 

 

"Memangnya mertua mbak Dewi juga sering minjem uang?" tanyaku penasaran.

 

"Sssst! Jangan kenceng-kenceng ngomongnya! Nanti kedengeran mas Ridwan, nggak enak." Mbak Dewi langsung membekap mulutku hingga aku sedikit sesak nafas.

 

"Kamu bilang katanya sudah nggak pernah lagi, Wi? Memang sekarang masih suka minjem duit sama kamu?" tanya ibu mengerutkan dahi. 

 

"Enggak sih. Karena nggak pernah aku pinjemin lagi. Capek lah Bu, masa' duit cuma dihambur-hamburin buat beli barang-barang nggak penting. Cuma nurutin gaya hidup teman-temannya yang kaya itu. Ya nggak bisa lah."

 

"Mbak Dewi berani memangnya nolak pas mertua mbak pinjem?" Aku makin penasaran.

 

"Dulu sih nggak berani pas awal awal, Na. Aku juga nggak berani cerita sama ibu. Tapi makin ke sini dipinjemin, makin keterusan aja. Tiap dipinjemin belum balik, eh pinjem lagi. Itu sih namanya mintak bukan pinjem. Akhirnya mbak berani lah ngelawan. Enak aja mau dzolimin menantu baik kayak gini," ujarnya bangga.

 

"Kok berani sih mbak? Caranya gimana?" Kukerutkan dahi juga ke arah kakakku itu.

 

"Ya berani lah Na kalau mbak nggak salah. Sekarang bayangin aja ya. Tiap bulan gaji mas Ridwan selalu disisihkan buat ibunya yang single parent itu. Bukankah itu sebenernya sudah cukup buat hidup dia? Dia aja yang nggak pernah bisa bersyukur. Nurutin gaya hidup orang-orang kaya. Mana bisa? Dia aja nggak kerja. Trus mau seenaknya aja morotin duit menantunya. Ya harus berani lah Na kalau kayak begitu."

 

"Tuh Na, dengerin mbak Dewi. Kamu nanti boleh menolak kalau memang ibu mertuamu kayak gitu. Tapi kan kita belum tau ini maksudnya ibunya Alvin pinjem sama mau buat apa. Siapa tau memang lagi butuh beneran, Na," kata ibu masih saja berpikir positif.  

 

"Walaupun butuh beneran kalau aku sih juga nggak bakalan bu pinjem sama menantu. Eh ini lagi. Masih calon menantu lho, belum menantu. Feelingku sih mengatakan dia bakal sebelas dua belas kayak ibunya mas Ridwan. Yakin deh," ucap mbak Dewi, membuatku bergidik ngeri. 

 

"Wiii, jangan racunin adikmu begitu ah, dia nanti jadi makin takut," ujar ibu lagi.

 

"Nggak lah, Dek. Nggak perlu takut. Yang penting kamu jangan tinggal di sana. Minta Alvin nyari rumah sendiri. Ngontrak lebih baik dibanding harus tinggal sama mertua. Apalagi kalau model mertuanya udah ada tanda-tanda begitu. Dan satu hal lagi, Dek. Suamimu juga harus di kasih pengertian. Apapun itu, jangan sampai kamu sembunyikan dari dia. Ibu mertuamu nyuruh kamu nggak bilang sama Alvin kan soal dia utang ini?"

 

"Kok mbak tau?" Dahiku makin berkerut.

 

"Wah persis ini, Bu. Dah deh, nggak salah lagi. Something wrong. Ada yang nggak beres."

 

"Kamu tu ngomong opo sih, Wi? Makin nggak bener ini kakak ngajarin adiknya," gerutu ibu.

 

"Bukan ngajarin nggak bener, Ibuuu. Ini kenyataan. Jangan sampai nanti Nana cuma dimanfaatin sama ibu mertuanya. Makanya harus ditatar dari sekarang. Ya kan, Na? Na! Wooi! Lah ni anak malah ngelamun!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status