Makhluk besar itu menerjang dengan kecepatan yang tidak wajar. Arka nyaris tidak sempat mengangkat pedangnya untuk menangkis serangan. Tubuh bayangan itu terasa seperti angin pekat yang membawa dingin menusuk tulang. Meski tak terlihat nyata, setiap serangannya membawa kekuatan yang luar biasa.
Saat pedang Arka berbenturan dengan makhluk itu, energi biru dari pedang memancar terang, menciptakan percikan cahaya yang menyilaukan. Makhluk itu melolong kesakitan, mundur beberapa langkah, tetapi tidak sepenuhnya hancur. Arka terhuyung ke belakang, napasnya tersengal-sengal. "Kau lebih kuat dari yang kukira, Penjaga," desis makhluk itu dengan suara menggema yang menggetarkan seluruh ruangan. Arka menggenggam pedangnya erat, meskipun tangannya mulai gemetar. "Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan dari buku ini?" Makhluk itu tidak langsung menjawab. Matanya yang merah menyala menatap Arka tajam, penuh kebencian. "Aku adalah salah satu yang terkurung oleh segel leluhurmu. Selama berabad-abad, aku menunggu saat ini—saat segel itu melemah, dan kami dapat membalas dendam kepada manusia yang telah mengurung kami." Kata-kata itu membuat darah Arka berdesir. Ia ingat penjelasan Pak Gama tentang bagaimana leluhurnya menyegel dunia gaib. Tapi ia tidak menyangka bahwa segel itu tidak hanya menjaga keseimbangan, tetapi juga menjadikan makhluk-makhluk itu tahanan di dunia mereka sendiri. "Kalian dikurung karena kalian berbahaya," kata Arka dengan suara mantap. "Jika kalian bebas, dunia manusia akan hancur." Makhluk itu tertawa, suara tawanya menggema di seluruh ruangan seperti dentingan logam. "Hancur? Dunia manusia sudah rapuh. Kami hanya akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milik kami!" Sebelum Arka sempat merespons, makhluk itu kembali menyerang. Kali ini, ia bergerak lebih cepat, tubuh bayangannya melesat seperti angin badai. Arka berusaha mengikuti gerakannya, tetapi terlalu sulit. Sebuah cakar bayangan melesat ke arah Arka, menyambar bahunya. Meskipun tidak berdarah, rasa sakit yang tajam menyengat tubuhnya. Ia terhuyung, hampir terjatuh, tetapi dengan cepat ia memantapkan langkahnya. Pedang di tangannya bergetar, memancarkan cahaya yang semakin terang. "Gunakan cahaya pedang itu," suara Ki Jarang tiba-tiba terdengar, meskipun tubuhnya tidak tampak di mana pun. Arka menoleh dengan bingung. "Ki Jarang? Di mana kau?" "Aku ada di sini, di antara dimensi. Fokus, Arka! Pedang itu memiliki kekuatan lebih dari sekadar menebas. Biarkan energinya mengalir melalui dirimu. Percayalah pada dirimu sendiri!" Arka mencoba mengingat apa yang terjadi saat pertarungan sebelumnya. Ia menutup matanya, berusaha merasakan aliran energi pedang itu. Dalam sekejap, ia merasakan sesuatu, seperti aliran hangat yang mengalir dari gagang pedang ke tubuhnya. Ketika ia membuka matanya lagi, dunia di sekitarnya terlihat berbeda. Makhluk bayangan itu tidak lagi bergerak secepat kilat. Ia bisa melihat dengan jelas setiap gerakan, setiap celah dalam serangan makhluk itu. Arka tidak menunggu lebih lama. Dengan satu gerakan cepat, ia mengayunkan pedangnya, menciptakan gelombang energi biru yang melesat ke arah makhluk itu. Gelombang itu menghantam tubuh bayangan dengan kekuatan dahsyat, membuat makhluk itu melolong kesakitan sebelum pecah menjadi asap hitam yang perlahan-lahan menghilang. Ruangan kembali sunyi. Arka berdiri dengan napas tersengal-sengal, matanya masih terpaku pada tempat di mana makhluk itu lenyap. Ia tidak percaya bahwa ia berhasil mengalahkannya. "Bagus," suara Ki Jarang terdengar lagi. Kali ini, sosoknya muncul perlahan di sudut ruangan. "Kau mulai memahami kekuatanmu." Arka menoleh ke arahnya, masih terengah-engah. "Apa tadi itu? Kenapa makhluk seperti itu bisa muncul di sini?" Ki Jarang melangkah mendekat, wajahnya serius. "Seperti yang sudah kubilang, segel antara dunia manusia dan dunia gaib mulai melemah. Makhluk-makhluk seperti itu akan terus mencoba menyeberang, terutama karena buku itu sekarang ada di tanganmu. Buku itu adalah kunci untuk membuka atau menutup segel sepenuhnya." Arka mengernyit. "Jadi mereka menginginkan buku ini untuk menghancurkan segel?" "Benar," jawab Ki Jarang. "Dan kau adalah satu-satunya yang bisa mencegahnya. Tapi kau harus lebih kuat. Pertarungan ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar." Persiapan untuk Perjalanan Setelah pertarungan itu, Arka merasa tubuhnya lelah luar biasa. Ki Jarang memintanya untuk beristirahat, tetapi Arka tahu ia tidak bisa terus bersembunyi. Ia harus mulai mencari cara untuk memperkuat dirinya dan memahami lebih banyak tentang dunia gaib. Keesokan harinya, setelah memastikan ibunya baik-baik saja, Arka memutuskan untuk berbicara dengan Ki Jarang lagi. Mereka duduk di bawah pohon besar di belakang rumah, di mana Ki Jarang mulai menjelaskan lebih banyak tentang dunia yang harus dihadapi Arka. "Dunia gaib tidak hanya dihuni oleh makhluk jahat," kata Ki Jarang. "Ada juga makhluk-makhluk yang netral, bahkan beberapa yang bersahabat dengan manusia. Mereka mungkin bisa membantumu, tetapi kau harus hati-hati. Tidak semua makhluk bisa dipercaya." Arka mengangguk, meskipun ia masih merasa gugup. "Bagaimana aku tahu siapa yang bisa dipercaya?" Ki Jarang tersenyum tipis. "Itu sesuatu yang harus kau pelajari sendiri. Instingmu akan menjadi panduan terbaikmu. Tapi sebelum itu, kau harus melatih dirimu. Pedangmu adalah senjata yang sangat kuat, tetapi kekuatan itu akan sia-sia jika kau tidak bisa mengendalikannya." Arka memandang pedang di tangannya. Cahaya biru itu masih memancar samar, seperti bernapas bersama dirinya. Ia merasa ada hubungan yang aneh antara dirinya dan pedang itu, seolah-olah mereka saling terhubung. "Aku akan membantumu melatih dasar-dasarnya," lanjut Ki Jarang. "Tapi perjalananmu ke dunia gaib harus kau lakukan sendiri. Hanya dengan begitu kau bisa memahami kekuatan sejati pedang itu dan dirimu sendiri." Bayangan di Langit Latihan pertama Arka dimulai hari itu juga. Ki Jarang mengajarinya cara memusatkan energi ke pedang, cara membaca gerakan lawan, dan yang paling penting, cara menjaga ketenangan di tengah pertempuran. Hari-hari berlalu dengan cepat. Arka merasa tubuhnya semakin kuat, tetapi ia tahu bahwa latihan ini hanyalah awal dari perjalanan panjang. Suatu malam, ketika Arka sedang duduk di beranda rumah, ia melihat sesuatu yang aneh di langit. Awan gelap berkumpul di atas desa, meskipun tidak ada tanda-tanda hujan. Di tengah awan itu, muncul kilatan cahaya merah yang menyilaukan. "Ki Jarang!" panggil Arka dengan panik. Sosok Ki Jarang muncul di sampingnya, wajahnya tampak tegang. "Ini buruk. Mereka bergerak lebih cepat dari yang kukira." "Apa maksudmu?" "Makhluk-makhluk itu sedang mencoba membuka portal besar di atas desa ini," jawab Ki Jarang. "Jika mereka berhasil, dunia manusia akan diserbu oleh makhluk dari dimensi gaib. Kita harus menghentikan mereka." Arka menggenggam pedangnya erat-erat. Meskipun ia masih merasa takut, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Ini adalah takdirnya, dan ia harus menerimanya. "Baik," katanya dengan suara mantap. "Apa yang harus kita lakukan?" Ki Jarang menatapnya dengan mata penuh kebanggaan. "Kita akan masuk ke inti badai itu. Bersiaplah, Arka. Pertarungan yang sebenarnya baru saja dimulai."Arka dan Loran melangkah keluar dari Hutan Bayangan Abadi dengan hati yang terasa lebih ringan. Mereka telah berhasil mengalahkan kegelapan di tempat itu, tetapi peta yang diberikan Lyra masih menunjukkan banyak wilayah lain yang perlu dipulihkan. Langkah mereka menuju dunia yang lebih baik baru saja dimulai.Di ufuk timur, matahari mulai terbit, memancarkan warna keemasan yang menghangatkan tubuh mereka setelah perjalanan panjang di hutan yang dingin. Namun, di depan mereka terbentang dataran yang rusak, dengan pepohonan mati dan sungai-sungai kering yang menggambarkan penderitaan dunia.“Semua ini akibat kegelapan,” gumam Loran sambil memandangi lanskap yang muram.Arka mengangguk. “Tapi kita akan memperbaikinya, selangkah demi selangkah.”---Pertemuan dengan Penduduk DesaPerjalanan mereka membawa mereka ke sebuah desa kecil di kaki bukit. Desa itu tampak hancur; rumah-rumahnya reyot, dan penduduknya tampak letih, seperti telah kehilangan harapan. Ketika Arka dan Loran memasuki de
Arka dan Loran melangkah keluar dari istana megah dengan hati penuh harapan. Dunia yang sebelumnya terasa suram kini mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru. Langit yang kelabu perlahan berubah menjadi biru cerah, dan udara di sekitar mereka dipenuhi aroma segar, seperti musim semi yang baru lahir.Namun, mereka tahu bahwa tugas mereka belum selesai. Meskipun kekuatan besar kini ada dalam genggaman mereka, tantangan sebenarnya adalah bagaimana mereka menggunakannya untuk membawa perubahan bagi dunia yang telah lama dirundung kehancuran.---Panggilan BaruSaat mereka berjalan menuruni tangga istana, sebuah suara menggema di udara, memanggil mereka dengan lembut.“Arka, Loran…”Mereka berhenti, saling bertukar pandang sebelum menatap ke arah sumber suara. Dari balik kabut tipis, sosok seorang wanita muncul. Dia mengenakan jubah putih bercahaya dengan aura damai yang menyelimuti dirinya.“Siapa kau?” tanya Loran dengan hati-hati.Wanita itu tersenyum. “Namaku Lyra. Aku adalah penja
Ketika Arka dan Loran melangkah melalui portal emas, mereka disambut oleh keheningan yang luar biasa. Tidak ada suara, tidak ada angin, hanya kekosongan. Mereka berdiri di atas lantai yang memantulkan tubuh mereka seperti cermin, dan di hadapan mereka berdiri sebuah istana megah dengan gerbang yang menjulang tinggi, dihiasi ukiran rumit yang memancarkan cahaya.Istana itu tampak seperti tak tersentuh oleh waktu, penuh dengan keagungan, namun mengandung kesan dingin yang tak ramah."Apakah ini tujuan akhir kita?" tanya Arka, suaranya nyaris berbisik.Loran mengamati gerbang besar di depannya. "Sepertinya begitu. Tapi aku merasakan sesuatu... sesuatu yang aneh. Ada kekuatan yang jauh lebih besar di sini."Saat mereka melangkah mendekat, gerbang istana perlahan terbuka, memancarkan cahaya keemasan yang begitu terang hingga mereka harus menutupi mata mereka sejenak.---Pertemuan dengan Sang PenguasaDi dalam istana, mereka menemukan sebuah aula besar. Lantainya terbuat dari marmer putih
Arka dan Loran berdiri di tengah ruang penuh cermin, dikelilingi oleh refleksi yang tidak hanya menampilkan diri mereka, tetapi juga kenangan, rasa bersalah, dan ketakutan terdalam. Bayangan dalam cermin tampak hidup, bergerak dengan cara yang tidak selaras dengan gerakan mereka."Arka," suara Loran terdengar pelan, menggetarkan keheningan. "Apa menurutmu ini hanya ilusi?"Arka memandang pantulan dirinya, seorang anak kecil yang tampak rapuh, berdiri di samping makam ibunya. Suara tangisannya menggema di dalam ruang cermin, membawa kembali kenangan yang selama ini ia pendam. "Mungkin," jawabnya. "Tapi aku rasa ini lebih dari itu. Pilar ini memaksa kita menghadapi sesuatu yang selama ini kita hindari."---Kenangan yang Mengungkap Luka LamaLoran mendekati salah satu cermin. Di sana, ia melihat bayangan dirinya memeluk seorang prajurit muda yang tubuhnya dipenuhi luka. Tangannya berlumuran darah, dan air mata mengalir deras di wajahnya."Ini kesalahanku," bisik Loran, hampir tak terden
Melangkah keluar dari portal, Arka dan Loran menemukan diri mereka di sebuah tempat yang sama sekali berbeda dari apa yang mereka bayangkan. Bukannya dataran keras atau hutan lebat seperti sebelumnya, mereka kini berada di sebuah hamparan padang bunga. Ribuan bunga berwarna biru pucat melambai lembut di bawah angin sejuk, menciptakan pemandangan yang hampir menenangkan.Namun, mereka tahu lebih baik daripada merasa terlalu nyaman. Setelah tiga Pilar yang penuh tantangan, mereka menyadari bahwa keindahan ini mungkin hanya menutupi sesuatu yang lebih berbahaya."Ini terlalu tenang," gumam Loran sambil memegang erat tombak barunya, yang ia peroleh setelah mengorbankan senjata lamanya.Arka mengangguk, matanya menyisir horizon. "Ya, ini seperti jebakan. Tapi kita harus terus maju. Pilar Keempat pasti ada di sini."---Suara dari Bawah TanahKetika mereka mulai berjalan, Arka merasakan sesuatu yang aneh. Setiap langkah mereka di atas padang bunga itu terasa seperti menapaki sesuatu yang hi
Arka dan Loran berdiri di hadapan penjaga Pilar Kedua, dikelilingi oleh medan energi yang berkilauan. Suasana sunyi, seolah-olah dunia di luar tempat itu tidak lagi ada. Penjaga, dengan tubuh bercahaya biru yang memancar seperti bintang, menatap mereka dengan tajam."Ujian kalian adalah memahami apa arti kekuatan sejati," suara penjaga menggema, mengguncang tanah di bawah kaki mereka. "Kekuatan bukan hanya tentang tubuh yang kuat atau senjata yang tajam. Ini tentang hati yang kokoh dan pikiran yang tidak tergoyahkan."Arka mengangguk, merasakan makna mendalam dari kata-kata itu. Ia memegang kunci emas yang berdenyut lembut di tangannya. "Kami siap menghadapi ujian ini," katanya dengan tegas.Penjaga mengangkat tangannya, dan tiba-tiba medan energi di sekitar mereka berubah. Tanah di bawah mereka bergetar, dan sebuah lingkaran besar bercahaya muncul di sekitar mereka. Di dalam lingkaran itu, muncul dua sosok.---Bayangan DiriArka dan Loran terkejut ketika melihat sosok-sosok yang mun