“Hai! Kamu dengar tidak apa yang saya ucapkan?” Lamunanku terhenti, setelah bentakan terdengar.
“Maaf, Bu.” Aku tersenyum paksa, menyembunyikan rasa sakit di hati.“Jangan panggil, Bu. Panggil Bik Inah saja. Kita sama-sama pekerja di sini.” Perempuan itu tersenyum, kemudian menatap foto keluarga yang ada di depanku. “Ini keluarga Tuan Amar Prawira. Itu istrinya, Nyonya Jovita. Di sebelahnya Clarisa, putri mereka. Lalu yang laki-laki bernama Kevin.”Aku mengangguk paham. Hatiku berdenyut mendengar penjelasan Bik Inah. Pupus sudah harapanku, ketika menyaksikan ini semua. Tak mungkin aku tiba-tiba meminta pengakuan, apalagi mengajaknya pulang ke desa, sedangkan dia telah hidup bahagia dengan keluarga yang sempurna.“Sekarang, kamu diperiksa dulu, ya.”Diperiksa? Rasanya agak aneh. Aku tidak membawa senjata tajam atau benda berharga lainnya. Namun, Bik Inah bilang ini adalah aturan yang tak boleh dilanggar, maka aku harus mengikuti.“Buka bajunya.”“Apa?” Aku tersentak kaget. Biasanya orang akan memeriksa barang bawaan, tetapi ini ….“Untuk memastikan kalau kamu tidak memiliki penyakit kulit atau penyakit menular lainnya. Nyonya itu sangat bersih, jadi ia tak ingin debu, penyakit, atau virus apa pun ada di rumah ini.”Dengan ragu, aku menurut, karena hanya kami berdua di kamar ini. Bik Inah mulai memeriksa tubuhku, mulai dari rambut untuk memastikan tak ada kutu di sana, kulit, kuku, telinga, dan bagian lain.“Bersih, dan … cantik.” Perempuan itu tersenyum kagum menatapku lekat.Aku kembali memakai pakaian, hingga suara Bik Inah kembali terdengar, “Kalau diperhatikan, kamu sekilas mirip Tuan Amar.”Deg!Wajahku memucat, dan jantung berdegup kencang. Jika Bik Inah saja bisa berpikir demikian, pasti ayah kandungku akan sangat mudah mengenali.“Tapi di dunia ini, kan memang banyak orang yang mirip,” ucapnya kembali.Aku tak peduli, kalimat pertama yang terucap di bibirnya lebih aku percaya daripada yang terakhir terucap.***Bik Inah memperkenalkanku pada pekerja lain. Ada Pak Manto, sopir keluarga. Bik Sari yang bertugas mengurus taman, mencuci, dan menyetrika pakaian. Sedangkan aku membantu Bik Inah membersihkan rumah, dan menyiapkan makanan. Aku diminta mandi, kemudian berganti pakaian. Dengan bimbingan Bik Inah, aku mulai melaksanakan tugas menjadi pembantu di rumah ini.Sore hari, pekerjaan usai. Aku tak mengalami kesulitan, karena sudah terbiasa bekerja di rumah Paman. Kadang terlintas dalam pikiran, sebelum lahir, aku sudah bekerja bersama Ibu menjadi pembantu dan sekarang ketika beranjak dewasa masih menjadi pembantu.Ya Allah, kapan nasib ini bisa berubah status menjadi tuan rumah? Jangan pembantu lagi, doaku dalam hati. Bagaimanapun juga, aku ingin seperti orang-orang yang bisa menikmati hidup dengan enak. Namun jika terus begini, nasibku tak akan berubah. Lulusan SMA rasanya sulit untuk sukses, jika masih berjibaku dengan dapur orang, kecuali punya suami kaya. Namun, siapa pula yang mau denganku yang seorang pembantu?Pukul 15.00 sore, sebuah mobil terdengar berhenti di depan teras. Bik Inah memintaku mengikutinya untuk memperkenalkan pada siapa yang datang. Seorang perempuan remaja masuk. Wajahnya cantik, putih, bersih, dan terawat. Ia mengempaskan tubuh di sofa empuk ruang tamu.“Non Clarisa sudah pulang,” sapa Bik Inah sopan.Perempuan itu hanya menaikkan alis, sepertinya ia enggan untuk menjawab.“Mau minum, Non?” tanyanya kembali.Perempuan itu menggeleng, dan sibuk dengan handphone di tangannya. Tak lama, ia menoleh, setelah menyadari keberadaanku. “Siapa, Bik?”“Ini Wulan, pekerja baru di sini.”Aku tersenyum hormat.“Oh.” Ia memandang sekilas, kemudian kembali fokus pada benda pipih itu. Tak lama, perempuan itu bangkit dan berjalan ke lantai dua. Sepertinya kamar ia berada di sana. Rumah ini besar, bahkan aku belum sempat mengunjungi semua bagian dari hunian mewah ini.Bik Inah menceritakan tentang putri sulung Tuan Amar. Ia tak suka diganggu. Jika temannya datang, layani dengan baik serta jangan masuk ke kamarnya kalau tidak diminta.Tak berselang lama, terdengar lagi suara mobil memasuki garasi. Ternyata Nyonya Jovita dan seorang laki-laki remaja. Bik Inah menyapa dengan sopan, kemudian memperkenalkanku. “Ini, Nya, pembantu yang baru.”Ia menatapku sekilas. “Sudah lolos pemeriksaan, kan?” tanyanya. Ia seperti tak ingat bahwa kami pernah bertemu. Mungkin, karena aku bukan orang penting.“Sudah, Nya. Bersih.” Bik Inah mendekati laki-laki muda itu, walaupun usianya sekitar 13 tahun, tetapi tingginya sudah melebihi Bik Inah. “Den Kevin, ini Mbak Wulan. Nanti bisa mengajak Mbak Wulan main, ya.”Aku berusaha menyodorkan tangan guna memperkenalkan diri, tetapi anak itu cuek dan tak mau berjabat tangan. Aku lupa jika aku ini pembantu, tak semestinya juga sok akrab.Mereka pergi ke kamar masing-masing. Tak ada kehangatan yang aku rasakan. Semua dingin, seperti enggan untuk bersahabat.Sudah tiga anggota keluarga yang aku temui, kecuali satu orang yang kutunggu. Sebenarnya tak sabar ingin bertanya pada Bik Inah, tetapi kutahan. Aku yakin, kepala keluarga ini pasti akan pulang.***Waktu yang ditunggu tiba. Kata Bik Inah, Tuan Amar hari ini akan kembali dari luar kota, jadi ia akan datang setelah magrib. Aku membersihkan diri, memakai pakaian terbaik pemberian Ibu. Bik Inah bilang, karena bagian dari pekerja di rumah, maka aku akan dikenalkan dengan Tuan Amar.Tanganku sudah berkeringat dingin, dan jantung bertalu-talu ketika mendengar suara mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Nyonya Jovita langsung berdiri menyambut suaminya, sementara itu putri mereka tampak asyik dengan handphone, sedangkan Kevin tak henti menatap layar datar yang terpajang di dinding.Aku berdiri di sebelah Bik Inah. Tubuhku gemetaran, ketika derap langkah semakin nyaring terdengar. Aku memejamkan mata dan berdoa, benarkah dia ayahku? Jika benar, semoga ia bisa mengenaliku.Samar terdengar suara percakapan, tetapi tak bisa tertangkap apa yang mereka bicarakan. Nyonya Jovita dan Tuan Amar masuk. Aku menoleh. Mataku berkaca-kaca, dan ingin ambruk seketika melihat wajah itu mirip sekali dengan foto Ayah. Bedanya, laki-laki ini sangat rapi dengan memakai dasi dan jas mahal. Ia putih, dan ganteng. Jauh beda dari foto lusuh yang Ibu berikan kemarin. Namun dari raut mukanya, jelas ia masih orang yang sama.Jantung ini tak berhenti berdetak, seolah memberitahu bahwa ia benar ayahku. Walaupun sekali bertemu, aku tak ragu sedikit pun. Mungkin karena darahnya mengalir dalam tubuhku. Tak terasa mata berkaca-kaca, dan sepertinya air mata akan luruh tiba-tiba. “Pi, ini pembantu kita yang baru. Namanya Wulan,” ucap Nyonya Jovita memperkenalkanku. Laki-laki itu berjalan mendekat. Aku menatapnya lekat, sampai lupa caranya berkedip. Dada terasa sesak. Ingin kurangkul tubuh tegap itu, dan mengatakan bahwa aku adalah Wulan, putri kandungnya.“Oh,” jawabnya melirikku sekilas, kemudian menjauh bersama perempuan yang merangkulnya mesra.Aku kecewa. Harapan tak sesuai kenyataan. Ya Allah, kenapa hatiku sehancur ini? Rasanya seperti orang yang sedang patah hati, karena cinta tak terbalas. Bagaimana jika Ibu tahu, kalau laki-laki yang ia tunggu 18 tahun dan disebut namanya dalam setiap doa, ternyata telah hidup bahagia serta memiliki keluarga baru? Hati Ibu akan hancur, bahkan lebih hancur dariku.“Wul
Selesai salat Subuh, aku bergegas mengerjakan pekerjaan rumah; menyapu, dan mengepel lantai. Pantas saja Bik Inah kewalahan, rumah ini sangat besar. Belum lagi perabotannya yang banyak, dan mahal. Harus hati-hati saat membersihkannya, agar tak ada yang rusak dan pecah. Jika itu terjadi, maka siap-siap saja gaji dipotong.Sepasang suami istri itu turun, ketika matahari mulai meninggi. Aku tak tahu pukul berapa mereka bangun. Apa mungkin karena sekarang hari Minggu, jadi mereka sengaja bangun kesiangan, atau ... sudah bangun dari tadi? Keduanya segera ke meja makan, kemudian disusul Kevin dan Clarisa. Aku dan Bik Inah kembali ke dapur, memberikan waktu untuk keluarga itu bercengkerama. Berkali-kali aku mencuri pandang pada Tuan Amar, menatap parasnya yang ganteng dengan tubuh yang proporsional. Pantas rasanya jika Ibu jatuh cinta pada Ayah. Aku beralih memandang Nyonya Jovita. Ia cantik, putih, dan mulus. Jika dibandingkan dengan Ibu, tentu Ibu kalah saing. Jika Ayah disuruh memilih,
Sore hari, aku menemani Kevin bersepeda. Ia mengeluarkan dua sepeda dari garasi. Semula aku menolak, tetapi Kevin tetap memaksa. “Ini buat Mbak.” Kevin menunjuk sebuah sepeda lipat. Dengan cekatan, ia membuka lipatan, kemudian memberikan padaku. Kevin memindai penampilanku dari atas sampai bawah. “Ganti bajunya, Mbak. Kita, kan mau olahraga. Kalau pakai rok, bagaimana akan bersepeda?”Benar juga. Aku mengikuti saran Kevin, mengganti pakaian dengan baju kaos dan celana kulot, serta memakai kerudung bergo berwarna senada dengan baju. Ketika kembali ke garasi, Kevin sudah berdiri dan menyerahkan sebuah topi.“Ini buat Mbak Wulan, biar tidak kepanasan.”Masyaallah, baiknya kamu, Dik. Aku terharu. Andai kamu mengetahui hubungan kita, apakah kamu akan semakin baik, atau malah membenciku? tanyaku dalam hati dengan penuh haru.“Ayo, Mbak Wulan.”Aku mengikuti Kevin dari belakang. Ia mengendarai sepeda dengan lincah. Kami berdua beriringan melewati deretan rumah mewah yang indah. Tampak beber
Aku kaget. Dari tadi kami bicara, tak pernah sekali pun ia menyebutkan profesinya yang mulia itu. “Alhamdulillah.” Pak Arya membopong Kevin, dan didudukkan di depan teras rumahnya yang tak jauh dari lokasi kejadian. Ia masuk ke dalam, lalu keluar membawa kotak P3K. Dengan hati-hati, Pak Arya membersihkan luka, dan mulai mengobatinya. Ia sangat terampil, bahkan beberapa kali laki-laki itu mengajak Kevin bercanda guna mengalihkan perhatian agar tak sakit. “Sudah. Lain kali hati-hati, ya, Kevin.”Kevin tersenyum. “Terima kasih, Dokter … eh, Pak,” ucapku.Pak Arya terkekeh pelan. Kevin sudah diobati, tetapi aku masih cemas. Salah atau tidaknya aku, Nyonya Jovita pasti akan sangat marah. “Jangan takut, nanti saya akan hubungi Pak Amar,” ungkap Pak Arya, seperti tahu kegelisahanku. Aku pun meminjam kertas dan bolpoin pada Pak Arya. “Untuk apa?” tanyanya, ketika menyerahkan benda itu.“Pemilik mobil yang ditabrak Kevin tak ada di tempat, Pak. Wulan akan menulis surat di kertas kecil i
Semenjak kejadian itu, aku lebih banyak diam dan mengerjakan pekerjaan seperlunya. Sikap Nyonya Jovita dan suaminya tampak biasa saja, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Saat akan sarapan pagi, Kevin menatap ke arahku. Sorot matanya memancarkan rasa bersalah. Aku tersenyum, mengisyaratkan seolah semua baik-baik saja. Dia membalas dengan senyuman, kemudian mulai mengambil makanan. Seperti biasa, kami duduk di dapur, menunggu keluarga itu selesai makan. “Hanya orang yang berhati baja bisa bekerja dengan Nyonya Jovita,” ungkap Bik Inah tiba-tiba.Aku menatap perempuan tua itu sekilas. “Saya ingin keluar, Bik.” Ini sudah aku pertimbangkan tadi malam. Bekerja dengan keluarga ini hanya akan menyiksa batin. Sebelum terlambat, lebih baik mundur.Bik Inah menatapku, kemudian kembali memandang keluarga bahagia itu yang sedang menikmati sarapan pagi. “Jangan keluar dulu. Tunggulah sebulan.”“Lama-lama Wulan tidak kuat, Bik.”“Nyonya Jovita itu akan bersikap kasar, jika kita melakukan kesalaha
Mataku jadi berkaca-kaca; takut, dan sedih. Beberapa kali aku berpikir, bagaimana cara mengumpulkan uang sebanyak itu. Jika mengandalkan gaji sebagai pembantu, akan butuh waktu berbulan-bulan. Padahal, aku ingin keluar bulan depan dari rumah itu. Alternatif lain dengan mengatakan yang sejujurnya pada Nyonya Jovita, tetapi ... apakah ia akan percaya? Kemarin saja tanpa basa-basi ia langsung menjambak kerudungku.“Jangan menangis. Saya tidak suka perempuan cengeng.”“Wulan benar-benar tidak punya uang. Wulan hanya seorang …,” ucapanku terhenti, ketika telepon genggam laki-laki itu berdering. Ia tak banyak bicara, tetapi begitu serius mendengarkan si penelepon.“Baiklah, saya akan ke sana.” Laki-laki itu menutup panggilan, kemudian bangkit dari tempat duduk. “Di mana kamu tinggal?”“Di blok F nomor 4. Kenapa?”“Nanti saya akan ke sana!” Ia melangkah pergi, meninggalkanku begitu saja. Orang kaya yang suka seenaknya!“Tuan! Jangan datang!” seruku sambil mengejarnya.Langkah laki-laki itu y
Rasanya tak tega menolak ajakannya. Kami pun bersiap. Sebelum berangkat, Kevin minta izin pada kedua orang tuanya.“Sudah selesai PR-nya, Sayang?” Tuan Amar bertanya. Kata-kata mesra yang diucapkan dengan nada lembut ini sangat menenteramkan hati, tetapi sayang bukan untukku.“Sudah, Pi. Tadi dibantu Mbak Wulan.” Terangnya menetap ke arahku. “Mbak Wulan pintar matematika, Pi. Ia bisa mengajari aku sampai bisa. Nanti aku lesnya sama Mbak Wulan saja.”Nyonya Jovita menatap ke arahku. Ia seperti tak percaya. “Tidak usah, tetap di tempat les. Guru di sana lebih profesional dan teruji.”“Tapi, kan—”“Tidak ada tapi-tapi,” potongnya cepat, sementara Tuan Amar tak menanggapi permintaan Kevin. Dengan wajah cemberut, Kevin izin pamit. Aku hanya tersenyum, menatap Kevin yang berusaha memperjuangkanku itu. Keluar dari garasi, kami bersepeda menuju taman. Seperti biasa, Kevin berbaur dengan teman sebayanya, sementara aku duduk di bangku memperhatikan setiap gerak-geriknya.“Tidak bersepeda?” T
Aku menghitung mundur hari-hari di rumah ini. Bik Inah bilang, jika aku keluar setelah satu bulan bekerja, maka Nyonya Jovita akan memberikanku gaji. Namun jika belum cukup sebulan, maka ia tak akan memberi apa-apa. Setidaknya dengan penghasilan yang kudapatkan nanti, bisa menjadi modal untuk hidup dikemudian hari.“Wulan, tolong antarkan minuman ini ke Tuan Amar yang duduk di sana.” Tunjuk Bik Inah pada ruang keluarga. Dengan tangan gemetar, aku berjalan membawa nampan. Ayah duduk di sofa, pandangannya fokus pada benda pipih yang ia pegang. Aku berjongkok, dan dengan hati-hati meletakkan minuman di atas meja. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat wajah Ayah dari dekat. Sekilas, kami memang mirip. “Ini minumannya, Tuan.”“Hm,” jawabnya tanpa beralih dari benda pipih itu.“Kalau sudah meletakkan minuman, pergi ke dapur. Jangan di situ terus!” seru Nyonya Jovita mengagetkanku. Perempuan itu menatap tajam, kemudian duduk di samping suaminya.Aku bangkit, dan mengangguk. “Iya, Nya.”