Share

Bab 6

“Hai! Kamu dengar tidak apa yang saya ucapkan?” Lamunanku terhenti, setelah bentakan terdengar.

“Maaf, Bu.” Aku tersenyum paksa, menyembunyikan rasa sakit di hati.

“Jangan panggil, Bu. Panggil Bik Inah saja. Kita sama-sama pekerja di sini.” Perempuan itu tersenyum, kemudian menatap foto keluarga yang ada di depanku. “Ini keluarga Tuan Amar Prawira. Itu istrinya, Nyonya Jovita. Di sebelahnya Clarisa, putri mereka. Lalu yang laki-laki bernama Kevin.”

Aku mengangguk paham. Hatiku berdenyut mendengar penjelasan Bik Inah. Pupus sudah harapanku, ketika menyaksikan ini semua. Tak mungkin aku tiba-tiba meminta pengakuan, apalagi mengajaknya pulang ke desa, sedangkan dia telah hidup bahagia dengan keluarga yang sempurna.

“Sekarang, kamu diperiksa dulu, ya.”

Diperiksa? Rasanya agak aneh. Aku tidak membawa senjata tajam atau benda berharga lainnya. Namun, Bik Inah bilang ini adalah aturan yang tak boleh dilanggar, maka aku harus mengikuti.

“Buka bajunya.”

“Apa?” Aku tersentak kaget. Biasanya orang akan memeriksa barang bawaan, tetapi ini ….

“Untuk memastikan kalau kamu tidak memiliki penyakit kulit atau penyakit menular lainnya. Nyonya itu sangat bersih, jadi ia tak ingin debu, penyakit, atau virus apa pun ada di rumah ini.”

Dengan ragu, aku menurut, karena hanya kami berdua di kamar ini. Bik Inah mulai memeriksa tubuhku, mulai dari rambut untuk memastikan tak ada kutu di sana, kulit, kuku, telinga, dan bagian lain.

“Bersih, dan … cantik.” Perempuan itu tersenyum kagum menatapku lekat.

Aku kembali memakai pakaian, hingga suara Bik Inah kembali terdengar, “Kalau diperhatikan, kamu sekilas mirip Tuan Amar.”

Deg!

Wajahku memucat, dan jantung berdegup kencang. Jika Bik Inah saja bisa berpikir demikian, pasti ayah kandungku akan sangat mudah mengenali.

“Tapi di dunia ini, kan memang banyak orang yang mirip,” ucapnya kembali.

Aku tak peduli, kalimat pertama yang terucap di bibirnya lebih aku percaya daripada yang terakhir terucap.

***

Bik Inah memperkenalkanku pada pekerja lain. Ada Pak Manto, sopir keluarga. Bik Sari yang bertugas mengurus taman, mencuci, dan menyetrika pakaian. Sedangkan aku membantu Bik Inah membersihkan rumah, dan menyiapkan makanan. Aku diminta mandi, kemudian berganti pakaian. Dengan bimbingan Bik Inah, aku mulai melaksanakan tugas menjadi pembantu di rumah ini.

Sore hari, pekerjaan usai. Aku tak mengalami kesulitan, karena sudah terbiasa bekerja di rumah Paman. Kadang terlintas dalam pikiran, sebelum lahir, aku sudah bekerja bersama Ibu menjadi pembantu dan sekarang ketika beranjak dewasa masih menjadi pembantu.

Ya Allah, kapan nasib ini bisa berubah status menjadi tuan rumah? Jangan pembantu lagi, doaku dalam hati. Bagaimanapun juga, aku ingin seperti orang-orang yang bisa menikmati hidup dengan enak. Namun jika terus begini, nasibku tak akan berubah. Lulusan SMA rasanya sulit untuk sukses, jika masih berjibaku dengan dapur orang, kecuali punya suami kaya. Namun, siapa pula yang mau denganku yang seorang pembantu?

Pukul 15.00 sore, sebuah mobil terdengar berhenti di depan teras. Bik Inah memintaku mengikutinya untuk memperkenalkan pada siapa yang datang. Seorang perempuan remaja masuk. Wajahnya cantik, putih, bersih, dan terawat. Ia mengempaskan tubuh di sofa empuk ruang tamu.

“Non Clarisa sudah pulang,” sapa Bik Inah sopan.

Perempuan itu hanya menaikkan alis, sepertinya ia enggan untuk menjawab.

“Mau minum, Non?” tanyanya kembali.

Perempuan itu menggeleng, dan sibuk dengan handphone di tangannya. Tak lama, ia menoleh, setelah menyadari keberadaanku. “Siapa, Bik?”

“Ini Wulan, pekerja baru di sini.”

Aku tersenyum hormat.

“Oh.” Ia memandang sekilas, kemudian kembali fokus pada benda pipih itu. Tak lama, perempuan itu bangkit dan berjalan ke lantai dua. Sepertinya kamar ia berada di sana. Rumah ini besar, bahkan aku belum sempat mengunjungi semua bagian dari hunian mewah ini.

Bik Inah menceritakan tentang putri sulung Tuan Amar. Ia tak suka diganggu. Jika temannya datang, layani dengan baik serta jangan masuk ke kamarnya kalau tidak diminta.

Tak berselang lama, terdengar lagi suara mobil memasuki garasi. Ternyata Nyonya Jovita dan seorang laki-laki remaja. Bik Inah menyapa dengan sopan, kemudian memperkenalkanku. “Ini, Nya, pembantu yang baru.”

Ia menatapku sekilas. “Sudah lolos pemeriksaan, kan?” tanyanya. Ia seperti tak ingat bahwa kami pernah bertemu. Mungkin, karena aku bukan orang penting.

“Sudah, Nya. Bersih.” Bik Inah mendekati laki-laki muda itu, walaupun usianya sekitar 13 tahun, tetapi tingginya sudah melebihi Bik Inah. “Den Kevin, ini Mbak Wulan. Nanti bisa mengajak Mbak Wulan main, ya.”

Aku berusaha menyodorkan tangan guna memperkenalkan diri, tetapi anak itu cuek dan tak mau berjabat tangan. Aku lupa jika aku ini pembantu, tak semestinya juga sok akrab.

Mereka pergi ke kamar masing-masing. Tak ada kehangatan yang aku rasakan. Semua dingin, seperti enggan untuk bersahabat.

Sudah tiga anggota keluarga yang aku temui, kecuali satu orang yang kutunggu. Sebenarnya tak sabar ingin bertanya pada Bik Inah, tetapi kutahan. Aku yakin, kepala keluarga ini pasti akan pulang.

***

Waktu yang ditunggu tiba. Kata Bik Inah, Tuan Amar hari ini akan kembali dari luar kota, jadi ia akan datang setelah magrib. Aku membersihkan diri, memakai pakaian terbaik pemberian Ibu. Bik Inah bilang, karena bagian dari pekerja di rumah, maka aku akan dikenalkan dengan Tuan Amar.

Tanganku sudah berkeringat dingin, dan jantung bertalu-talu ketika mendengar suara mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Nyonya Jovita langsung berdiri menyambut suaminya, sementara itu putri mereka tampak asyik dengan handphone, sedangkan Kevin tak henti menatap layar datar yang terpajang di dinding.

Aku berdiri di sebelah Bik Inah. Tubuhku gemetaran, ketika derap langkah semakin nyaring terdengar. Aku memejamkan mata dan berdoa, benarkah dia ayahku? Jika benar, semoga ia bisa mengenaliku.

Samar terdengar suara percakapan, tetapi tak bisa tertangkap apa yang mereka bicarakan. Nyonya Jovita dan Tuan Amar masuk. Aku menoleh. Mataku berkaca-kaca, dan ingin ambruk seketika melihat wajah itu mirip sekali dengan foto Ayah. Bedanya, laki-laki ini sangat rapi dengan memakai dasi dan jas mahal. Ia putih, dan ganteng. Jauh beda dari foto lusuh yang Ibu berikan kemarin. Namun dari raut mukanya, jelas ia masih orang yang sama.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sukemi
Bagus jalan ceritanya....sayang harus berbayar kirain bisa dengan kouta...???
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status