Share

Bab 6

last update Последнее обновление: 2023-03-08 20:21:04

“Hai! Kamu dengar tidak apa yang saya ucapkan?” Lamunanku terhenti, setelah bentakan terdengar.

“Maaf, Bu.” Aku tersenyum paksa, menyembunyikan rasa sakit di hati.

“Jangan panggil, Bu. Panggil Bik Inah saja. Kita sama-sama pekerja di sini.” Perempuan itu tersenyum, kemudian menatap foto keluarga yang ada di depanku. “Ini keluarga Tuan Amar Prawira. Itu istrinya, Nyonya Jovita. Di sebelahnya Clarisa, putri mereka. Lalu yang laki-laki bernama Kevin.”

Aku mengangguk paham. Hatiku berdenyut mendengar penjelasan Bik Inah. Pupus sudah harapanku, ketika menyaksikan ini semua. Tak mungkin aku tiba-tiba meminta pengakuan, apalagi mengajaknya pulang ke desa, sedangkan dia telah hidup bahagia dengan keluarga yang sempurna.

“Sekarang, kamu diperiksa dulu, ya.”

Diperiksa? Rasanya agak aneh. Aku tidak membawa senjata tajam atau benda berharga lainnya. Namun, Bik Inah bilang ini adalah aturan yang tak boleh dilanggar, maka aku harus mengikuti.

“Buka bajunya.”

“Apa?” Aku tersentak kaget. Biasanya orang akan memeriksa barang bawaan, tetapi ini ….

“Untuk memastikan kalau kamu tidak memiliki penyakit kulit atau penyakit menular lainnya. Nyonya itu sangat bersih, jadi ia tak ingin debu, penyakit, atau virus apa pun ada di rumah ini.”

Dengan ragu, aku menurut, karena hanya kami berdua di kamar ini. Bik Inah mulai memeriksa tubuhku, mulai dari rambut untuk memastikan tak ada kutu di sana, kulit, kuku, telinga, dan bagian lain.

“Bersih, dan … cantik.” Perempuan itu tersenyum kagum menatapku lekat.

Aku kembali memakai pakaian, hingga suara Bik Inah kembali terdengar, “Kalau diperhatikan, kamu sekilas mirip Tuan Amar.”

Deg!

Wajahku memucat, dan jantung berdegup kencang. Jika Bik Inah saja bisa berpikir demikian, pasti ayah kandungku akan sangat mudah mengenali.

“Tapi di dunia ini, kan memang banyak orang yang mirip,” ucapnya kembali.

Aku tak peduli, kalimat pertama yang terucap di bibirnya lebih aku percaya daripada yang terakhir terucap.

***

Bik Inah memperkenalkanku pada pekerja lain. Ada Pak Manto, sopir keluarga. Bik Sari yang bertugas mengurus taman, mencuci, dan menyetrika pakaian. Sedangkan aku membantu Bik Inah membersihkan rumah, dan menyiapkan makanan. Aku diminta mandi, kemudian berganti pakaian. Dengan bimbingan Bik Inah, aku mulai melaksanakan tugas menjadi pembantu di rumah ini.

Sore hari, pekerjaan usai. Aku tak mengalami kesulitan, karena sudah terbiasa bekerja di rumah Paman. Kadang terlintas dalam pikiran, sebelum lahir, aku sudah bekerja bersama Ibu menjadi pembantu dan sekarang ketika beranjak dewasa masih menjadi pembantu.

Ya Allah, kapan nasib ini bisa berubah status menjadi tuan rumah? Jangan pembantu lagi, doaku dalam hati. Bagaimanapun juga, aku ingin seperti orang-orang yang bisa menikmati hidup dengan enak. Namun jika terus begini, nasibku tak akan berubah. Lulusan SMA rasanya sulit untuk sukses, jika masih berjibaku dengan dapur orang, kecuali punya suami kaya. Namun, siapa pula yang mau denganku yang seorang pembantu?

Pukul 15.00 sore, sebuah mobil terdengar berhenti di depan teras. Bik Inah memintaku mengikutinya untuk memperkenalkan pada siapa yang datang. Seorang perempuan remaja masuk. Wajahnya cantik, putih, bersih, dan terawat. Ia mengempaskan tubuh di sofa empuk ruang tamu.

“Non Clarisa sudah pulang,” sapa Bik Inah sopan.

Perempuan itu hanya menaikkan alis, sepertinya ia enggan untuk menjawab.

“Mau minum, Non?” tanyanya kembali.

Perempuan itu menggeleng, dan sibuk dengan handphone di tangannya. Tak lama, ia menoleh, setelah menyadari keberadaanku. “Siapa, Bik?”

“Ini Wulan, pekerja baru di sini.”

Aku tersenyum hormat.

“Oh.” Ia memandang sekilas, kemudian kembali fokus pada benda pipih itu. Tak lama, perempuan itu bangkit dan berjalan ke lantai dua. Sepertinya kamar ia berada di sana. Rumah ini besar, bahkan aku belum sempat mengunjungi semua bagian dari hunian mewah ini.

Bik Inah menceritakan tentang putri sulung Tuan Amar. Ia tak suka diganggu. Jika temannya datang, layani dengan baik serta jangan masuk ke kamarnya kalau tidak diminta.

Tak berselang lama, terdengar lagi suara mobil memasuki garasi. Ternyata Nyonya Jovita dan seorang laki-laki remaja. Bik Inah menyapa dengan sopan, kemudian memperkenalkanku. “Ini, Nya, pembantu yang baru.”

Ia menatapku sekilas. “Sudah lolos pemeriksaan, kan?” tanyanya. Ia seperti tak ingat bahwa kami pernah bertemu. Mungkin, karena aku bukan orang penting.

“Sudah, Nya. Bersih.” Bik Inah mendekati laki-laki muda itu, walaupun usianya sekitar 13 tahun, tetapi tingginya sudah melebihi Bik Inah. “Den Kevin, ini Mbak Wulan. Nanti bisa mengajak Mbak Wulan main, ya.”

Aku berusaha menyodorkan tangan guna memperkenalkan diri, tetapi anak itu cuek dan tak mau berjabat tangan. Aku lupa jika aku ini pembantu, tak semestinya juga sok akrab.

Mereka pergi ke kamar masing-masing. Tak ada kehangatan yang aku rasakan. Semua dingin, seperti enggan untuk bersahabat.

Sudah tiga anggota keluarga yang aku temui, kecuali satu orang yang kutunggu. Sebenarnya tak sabar ingin bertanya pada Bik Inah, tetapi kutahan. Aku yakin, kepala keluarga ini pasti akan pulang.

***

Waktu yang ditunggu tiba. Kata Bik Inah, Tuan Amar hari ini akan kembali dari luar kota, jadi ia akan datang setelah magrib. Aku membersihkan diri, memakai pakaian terbaik pemberian Ibu. Bik Inah bilang, karena bagian dari pekerja di rumah, maka aku akan dikenalkan dengan Tuan Amar.

Tanganku sudah berkeringat dingin, dan jantung bertalu-talu ketika mendengar suara mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Nyonya Jovita langsung berdiri menyambut suaminya, sementara itu putri mereka tampak asyik dengan handphone, sedangkan Kevin tak henti menatap layar datar yang terpajang di dinding.

Aku berdiri di sebelah Bik Inah. Tubuhku gemetaran, ketika derap langkah semakin nyaring terdengar. Aku memejamkan mata dan berdoa, benarkah dia ayahku? Jika benar, semoga ia bisa mengenaliku.

Samar terdengar suara percakapan, tetapi tak bisa tertangkap apa yang mereka bicarakan. Nyonya Jovita dan Tuan Amar masuk. Aku menoleh. Mataku berkaca-kaca, dan ingin ambruk seketika melihat wajah itu mirip sekali dengan foto Ayah. Bedanya, laki-laki ini sangat rapi dengan memakai dasi dan jas mahal. Ia putih, dan ganteng. Jauh beda dari foto lusuh yang Ibu berikan kemarin. Namun dari raut mukanya, jelas ia masih orang yang sama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Комментарии (2)
goodnovel comment avatar
boy Apriadi
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Sukemi
Bagus jalan ceritanya....sayang harus berbayar kirain bisa dengan kouta...???
ПРОСМОТР ВСЕХ КОММЕНТАРИЕВ

Latest chapter

  • RAHASIA IBU   Bab 90

    Salma memperhatikan Sri yang tampak tenang dan tak terusik dengan ucapannya kemarin. Salma masih ingat bagaimana wajah wanita itu berubah ketika mendengar pengakuannya. Kini, sikap tenang istri mantan suaminya itu membuatnya heran. Puas melihat dari kejauhan, Salma mendekati Sri yang sedang sibuk di dapur.“Kamu masak banyak sekali seperti ada pesta? Mas Arya akan pulang sore hari, makanan itu akan dingin sebelum dia datang?” ungkap Salma tiba-tiba. “Dari mana kamu tau?” tanya Sri. Wanita itu tersenyum, niat buruknya kembali muncul untuk memanas-manasi istri Arya itu. “Aku ini mantan istrinya, jadi aku hafal jam kerja Mas Arya. Hari ini adalah jadwalnya praktek di klinik sampai pukul enam sore, jika ada kasus yang harus ia tangani, bisa saja ia akan pulang malam.”Sri menoleh menatap perempuan yang merasa menang itu. “Itu dulu, saat bersamamu. Setelah menikah denganku, Mas Arya mengurangi aktivitasnya. Hari ini tak ada jadwal praktek. Ia akan pulang setelah zuhur.”Salma mengalihka

  • RAHASIA IBU   Bab 89

    “Kenapa?”“Mas Arya sangat benci perselingkuhan. Jika Sri dan mantan suaminya berselingkuh maka ia akan menceraikan wanita itu. Kesempatan ini akan aku ambil untuk kembali dalam pelukannya.”Jovita tersenyum sinis, Salma enak, ia bisa kembali pada Arya, bagaimana dengannya yang tetap sendiri.“Aku enggak mau.”“Hei, ayolah, kalau Mas Arya berpisah dari Sri, kan kamu juga bisa kembali pada Amar. Lagi pula wanita itu takkan mau kembali setelah ia dicampakkan oleh lelaki itu kecuali hanya sekedar Pelepas rindu.” Dengan bujukan Salma, Jovita menyanggupi untuk ikut andil membuat pasangan suami itu meski hati kecilnya tak yakin akan bisa menjalankan misi mereka dengan sukses. ***SPW***Setelah mendapatkan informasi tentang keluarga mantan suaminya. Salma kembali ke rumah itu dengan hati panas. Bagaimana tidak, niat hati ingin kembali pada mantan suami malah mendapati bahwa lelaki itu sudah move on darinya dan kini sedang berbahagia memiliki keluarga sempurna dilengkapi seorang buah cinta

  • RAHASIA IBU   Bab 88

    Salma berjalan mengelilingi rumah yang dulu pernah menjadi tempatnya bernaung. Hampir 100 persen dekorasinya dirubah total oleh Arya. Tak hanya itu, ia juga membuat hunian ini menjadi asri bahkan, Salma hampir tak mengenalinya. Dahi perempuan itu mengkerut ketika melihat pagar pembatas dengan rumah sebelah tak lagi terpasang. Dulu, ia sangat yakin jika rumah itu ditempati oleh seorang lelaki keturunan asing. Kenapa sekarang rumah ini menyatu dengan rumah Arya? Mungkinkah lelaki itu membelinya. “Sri, kenapa pagar pembatas di robohkan dan bangunan ini menyatu dengan rumah sebelah?” tanya Salma heran. “Itu rumah putri saya, agar kami bisa dekat dan saling menjaga ketika suaminya tak ada, jadinya sekatnya di buka.”“Rumahnya Wulan?”Sri mengangguk.Wanita itu tersenyum miring. “Mas Arya yang membelikan?” “Bukan.”“Menantumu?” Wanita itu tertawa mengejek. Pemuda kayakah menantunya? Rasanya tak mungkin. Lelaki lajang dan kaya itu langka dan sulit di dapat. Jikapun mereka kaya pasti has

  • RAHASIA IBU   Bab 87

    “Tante ngapain di situ?” Pertanyaan Wulan mengagetkan Salma yang berdiri di depan pintu kamar. Sudah dari tadi Wulan melihatnya berdiri di depan pintu kamar mamanya. Apa yang dilakukan Salma? Kalau bukan menguping atau mencari sesuatu.“Oh … ti …tidak, tadi aku ingin mengambil minum lalu terhenti di sini karena mendengar suara aneh,” jawab Salma asal. Wulan tersenyum, “Mereka memang begitu tante, kadang aktivitas mereka terdengar sampai keluar kamar hingga suamiku pun ikut-ikutan. Dan ini akibatnya, aku hamil,” ujar Wulan memanasi. “Maklum tante, Ayah Arya lima belas tahun menduda dan mamaku Sembilan belas tahun hidup sendiri, jadi wajar jika mereka berdua bergairah melebihi pasangan perawan dan jejaka.”Salma menatap Wulan tak suka, ia tau jika perempuan hamil itu tengah memancing dirinya. “Sebaiknya tante tidur dari pada nanti tante mendengar suara-suara mereka yang akan membuat tante tak bisa tidur.”Salma menghela napas kasar, ia menatap Wulan benci lalu berlalu ke kamarnya den

  • RAHASIA IBU   Bab 86

    Salma duduk di kursi jati yang terletak di samping rumah. Ia begitu kagum melihat pemandangan di depan mata. Tanah kosong yang dulu hanya ditanami rumput, kini telah berubah menjadi taman bunga yang indah. Aneka mawar dan warna warni anggrek tampak cantik mengelilingi kolam ikan. Suara gemircik air mancur yang terpancar dari dinding batu alam terdengar begitu merdu. Siapapun akan betah duduk berlama-lama di sini menikmati indahnya taman yang begitu terawat.Lamunan Salma terhenti ketika derit suara kursi terdengar di geser. Ia menoleh ke samping, senyum wanita itu mengembang mendapati sang lelaki pujaan duduk tak jauh darinya. Bahkan hembusan angin malam memanjakan hidung Salma yang telah lama tak merasakan aroma lelaki itu.“Ada apa kamu ke sini?” suara itu terdengar dingin melebihi udara malam yang membelai kulitnya. Salma menoleh ke dalam ruangan, dari kejauhan ia bisa melihat istri lelaki itu sedang duduk memangku sang anak. Suara gelak tawa Wulan yang menghibur Arkan terdengar d

  • RAHASIA IBU   Bab 85

    Tak menyaia-nyiakan kesempatan, aku menerima tawaran Farah untuk ikut bergabung dengan mereka meski Mas Amar terlihat tak nyaman. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya aku kembali duduk di mobil yang dikendari lelaki itu. Mas Amar menyetir dalam diam, sementara aku dan Farah duduk di jok belakang. Sesekali aku bertanya pada perempuan itu. Ia tampak luwes dan mudah akrab. Sikapnya ini membuatku takut. Rasanya takkan butuh waktu lama bagi Farah untuk menaklukkan Mas Amar.Mobil berhenti di depan sebuah restoran sunda yang belum pernah aku kunjungi. Kami duduk di meja yang tak jauh dari tempat bermain. Suasana restoran yang asri di tambah air mancur buatan membuat tempat ini sangat cocok untuk bersantai, apalagi suara percikan air terdengar bak alunan musik menemati makan siang kami. Satu persatu pelayan datang menghidangkan makanan. Dengan cekatan, Farah mengambil piring kemudian menyendokkan nasi lalu memberikannya pada Mas Amar. Lelaki itu membalas dengan senyuman. “Ini cumi b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status