Selesai salat Subuh, aku bergegas mengerjakan pekerjaan rumah; menyapu, dan mengepel lantai. Pantas saja Bik Inah kewalahan, rumah ini sangat besar. Belum lagi perabotannya yang banyak, dan mahal. Harus hati-hati saat membersihkannya, agar tak ada yang rusak dan pecah. Jika itu terjadi, maka siap-siap saja gaji dipotong.Sepasang suami istri itu turun, ketika matahari mulai meninggi. Aku tak tahu pukul berapa mereka bangun. Apa mungkin karena sekarang hari Minggu, jadi mereka sengaja bangun kesiangan, atau ... sudah bangun dari tadi? Keduanya segera ke meja makan, kemudian disusul Kevin dan Clarisa. Aku dan Bik Inah kembali ke dapur, memberikan waktu untuk keluarga itu bercengkerama. Berkali-kali aku mencuri pandang pada Tuan Amar, menatap parasnya yang ganteng dengan tubuh yang proporsional. Pantas rasanya jika Ibu jatuh cinta pada Ayah. Aku beralih memandang Nyonya Jovita. Ia cantik, putih, dan mulus. Jika dibandingkan dengan Ibu, tentu Ibu kalah saing. Jika Ayah disuruh memilih,
Sore hari, aku menemani Kevin bersepeda. Ia mengeluarkan dua sepeda dari garasi. Semula aku menolak, tetapi Kevin tetap memaksa. “Ini buat Mbak.” Kevin menunjuk sebuah sepeda lipat. Dengan cekatan, ia membuka lipatan, kemudian memberikan padaku. Kevin memindai penampilanku dari atas sampai bawah. “Ganti bajunya, Mbak. Kita, kan mau olahraga. Kalau pakai rok, bagaimana akan bersepeda?”Benar juga. Aku mengikuti saran Kevin, mengganti pakaian dengan baju kaos dan celana kulot, serta memakai kerudung bergo berwarna senada dengan baju. Ketika kembali ke garasi, Kevin sudah berdiri dan menyerahkan sebuah topi.“Ini buat Mbak Wulan, biar tidak kepanasan.”Masyaallah, baiknya kamu, Dik. Aku terharu. Andai kamu mengetahui hubungan kita, apakah kamu akan semakin baik, atau malah membenciku? tanyaku dalam hati dengan penuh haru.“Ayo, Mbak Wulan.”Aku mengikuti Kevin dari belakang. Ia mengendarai sepeda dengan lincah. Kami berdua beriringan melewati deretan rumah mewah yang indah. Tampak beber
Aku kaget. Dari tadi kami bicara, tak pernah sekali pun ia menyebutkan profesinya yang mulia itu. “Alhamdulillah.” Pak Arya membopong Kevin, dan didudukkan di depan teras rumahnya yang tak jauh dari lokasi kejadian. Ia masuk ke dalam, lalu keluar membawa kotak P3K. Dengan hati-hati, Pak Arya membersihkan luka, dan mulai mengobatinya. Ia sangat terampil, bahkan beberapa kali laki-laki itu mengajak Kevin bercanda guna mengalihkan perhatian agar tak sakit. “Sudah. Lain kali hati-hati, ya, Kevin.”Kevin tersenyum. “Terima kasih, Dokter … eh, Pak,” ucapku.Pak Arya terkekeh pelan. Kevin sudah diobati, tetapi aku masih cemas. Salah atau tidaknya aku, Nyonya Jovita pasti akan sangat marah. “Jangan takut, nanti saya akan hubungi Pak Amar,” ungkap Pak Arya, seperti tahu kegelisahanku. Aku pun meminjam kertas dan bolpoin pada Pak Arya. “Untuk apa?” tanyanya, ketika menyerahkan benda itu.“Pemilik mobil yang ditabrak Kevin tak ada di tempat, Pak. Wulan akan menulis surat di kertas kecil i
Semenjak kejadian itu, aku lebih banyak diam dan mengerjakan pekerjaan seperlunya. Sikap Nyonya Jovita dan suaminya tampak biasa saja, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Saat akan sarapan pagi, Kevin menatap ke arahku. Sorot matanya memancarkan rasa bersalah. Aku tersenyum, mengisyaratkan seolah semua baik-baik saja. Dia membalas dengan senyuman, kemudian mulai mengambil makanan. Seperti biasa, kami duduk di dapur, menunggu keluarga itu selesai makan. “Hanya orang yang berhati baja bisa bekerja dengan Nyonya Jovita,” ungkap Bik Inah tiba-tiba.Aku menatap perempuan tua itu sekilas. “Saya ingin keluar, Bik.” Ini sudah aku pertimbangkan tadi malam. Bekerja dengan keluarga ini hanya akan menyiksa batin. Sebelum terlambat, lebih baik mundur.Bik Inah menatapku, kemudian kembali memandang keluarga bahagia itu yang sedang menikmati sarapan pagi. “Jangan keluar dulu. Tunggulah sebulan.”“Lama-lama Wulan tidak kuat, Bik.”“Nyonya Jovita itu akan bersikap kasar, jika kita melakukan kesalaha
Mataku jadi berkaca-kaca; takut, dan sedih. Beberapa kali aku berpikir, bagaimana cara mengumpulkan uang sebanyak itu. Jika mengandalkan gaji sebagai pembantu, akan butuh waktu berbulan-bulan. Padahal, aku ingin keluar bulan depan dari rumah itu. Alternatif lain dengan mengatakan yang sejujurnya pada Nyonya Jovita, tetapi ... apakah ia akan percaya? Kemarin saja tanpa basa-basi ia langsung menjambak kerudungku.“Jangan menangis. Saya tidak suka perempuan cengeng.”“Wulan benar-benar tidak punya uang. Wulan hanya seorang …,” ucapanku terhenti, ketika telepon genggam laki-laki itu berdering. Ia tak banyak bicara, tetapi begitu serius mendengarkan si penelepon.“Baiklah, saya akan ke sana.” Laki-laki itu menutup panggilan, kemudian bangkit dari tempat duduk. “Di mana kamu tinggal?”“Di blok F nomor 4. Kenapa?”“Nanti saya akan ke sana!” Ia melangkah pergi, meninggalkanku begitu saja. Orang kaya yang suka seenaknya!“Tuan! Jangan datang!” seruku sambil mengejarnya.Langkah laki-laki itu y
Rasanya tak tega menolak ajakannya. Kami pun bersiap. Sebelum berangkat, Kevin minta izin pada kedua orang tuanya.“Sudah selesai PR-nya, Sayang?” Tuan Amar bertanya. Kata-kata mesra yang diucapkan dengan nada lembut ini sangat menenteramkan hati, tetapi sayang bukan untukku.“Sudah, Pi. Tadi dibantu Mbak Wulan.” Terangnya menetap ke arahku. “Mbak Wulan pintar matematika, Pi. Ia bisa mengajari aku sampai bisa. Nanti aku lesnya sama Mbak Wulan saja.”Nyonya Jovita menatap ke arahku. Ia seperti tak percaya. “Tidak usah, tetap di tempat les. Guru di sana lebih profesional dan teruji.”“Tapi, kan—”“Tidak ada tapi-tapi,” potongnya cepat, sementara Tuan Amar tak menanggapi permintaan Kevin. Dengan wajah cemberut, Kevin izin pamit. Aku hanya tersenyum, menatap Kevin yang berusaha memperjuangkanku itu. Keluar dari garasi, kami bersepeda menuju taman. Seperti biasa, Kevin berbaur dengan teman sebayanya, sementara aku duduk di bangku memperhatikan setiap gerak-geriknya.“Tidak bersepeda?” T
Aku menghitung mundur hari-hari di rumah ini. Bik Inah bilang, jika aku keluar setelah satu bulan bekerja, maka Nyonya Jovita akan memberikanku gaji. Namun jika belum cukup sebulan, maka ia tak akan memberi apa-apa. Setidaknya dengan penghasilan yang kudapatkan nanti, bisa menjadi modal untuk hidup dikemudian hari.“Wulan, tolong antarkan minuman ini ke Tuan Amar yang duduk di sana.” Tunjuk Bik Inah pada ruang keluarga. Dengan tangan gemetar, aku berjalan membawa nampan. Ayah duduk di sofa, pandangannya fokus pada benda pipih yang ia pegang. Aku berjongkok, dan dengan hati-hati meletakkan minuman di atas meja. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat wajah Ayah dari dekat. Sekilas, kami memang mirip. “Ini minumannya, Tuan.”“Hm,” jawabnya tanpa beralih dari benda pipih itu.“Kalau sudah meletakkan minuman, pergi ke dapur. Jangan di situ terus!” seru Nyonya Jovita mengagetkanku. Perempuan itu menatap tajam, kemudian duduk di samping suaminya.Aku bangkit, dan mengangguk. “Iya, Nya.”
Perkataannya membuat jantungku berpacu kencang. Segara kuambil handphone dari saku rok, kemudian menghubungi laki-laki itu. Ia tak boleh cerita pada Tuan Amar dan Nyonya Jovita.“Maksud Pak David, apa?” tanya Ayah. “Mobil saya dirusak secara tidak sengaja oleh seorang gadis. Ia menyelipkan sebuah permintaan maaf di secarik kertas. Katanya, dia tinggal di sini. Karena itu, saya datang ke sini ingin bertemu dengannya,” aku laki-laki itu.Aku kembali pada handphone yang menyala. Panggilan terhubung. Aku mengintip, guna melihat reaksi si penerima. Benar saja, laki-laki itu merogoh saku celana. Masih bisa kulihat keningnya berkerut, saat melihat layar datar itu.Tanpa mengucapkan salam, aku langsung bicara ketika panggilan diangkat, “Tuan, tolong jangan bicara pada Nyonya dan Tuan Amar, apalagi meminta ganti rugi pada mereka. Wulan di sini hanya seorang pembantu. Wulan janji akan bayar, tetapi beri keringanan.”Hening, tak ada jawaban. “Tuan, Wulan mohon.” Aku bicara sepelan mungkin.