Direktur? Apakah mungkin ayahku seorang direktur? Bisa saja orang lain yang namanya mirip dengan nama Ayah. Sedikit demi sedikit, informasi tentang Amar Prawira semakin terkuak. Aku harus bertemu dengan direktur perusahaan ini, memastikan bahwa dia adalah ayahku.
Aku mengucapkan terima kasih pada Pak Budi, kemudian bergegas kembali ke ruangan. Ternyata Dewi belum juga selesai. Aku kembali duduk di sofa sambil memperhatikan perempuan berkacamata itu, hingga terbesit suatu ide untuk bertanya padanya. Aku yakin, ia lebih tahu tentang direktur perusahaan ini.“Maaf, Mbak, apa teman saya sudah selesai?” tanyaku berbasa-basi.“Belum,” jawabnya tanpa menoleh.Melihatnya yang tak acuh, aku menjadi ragu untuk bertanya. Seandainya ia bersahabat seperti Pak Budi, ingin rasanya aku mendekati dan bertanya lebih dalam. Suara detak high heels terdengar nyaring beradu lantai, perempuan itu menoleh, kemudian berdiri dengan penuh hormat.“Sudah kamu dapatkan, Mira?” tanya perempuan cantik dengan tampilan anggun, rambut sepunggungnya tergerai indah, dan sebuah tas mahal bertengger di lengannya.“Iya, Bu. Nanti saya akan hubungi agennya lagi.”“Jangan lama, ya. Kasihan Bik Inah, kerja sendiri di rumah.” Perempuan itu pun berlalu tanpa menoleh sama sekali, sementara beberapa karyawan terlihat menyapa dengan penuh hormat.“Mbak, ibu cantik itu siapa?” Aku bertanya.“Bu Jovita. Ia istri dari direktur perusahaan ini,” jawabnya cuek.Seketika aku kecewa, berarti ia adalah istri dari Amar Prawira, ayahku. Hatiku terasa nyeri. Jika benar, aku harus bilang apa pada Ibu?“Kamu butuh kerjaan?” tanyanya lagi.“Iya.”“Bu Jovita sedang butuh pembantu di rumahnya. Jika kamu mau, bisa bekerja di sana. Jadi, saya tak perlu lagi mencari di agen.”Aku mengangguk setuju. Dengan demikian, aku bisa mengetahui kebenarannya. Semoga saja, direktur ini bukan Amar Prawira, ayahku, karena aku masih berharap ayahku sama seperti Ibu, setia.“Bu Jovita itu perfeksionis dan keras, karena itu banyak pembantu yang tak cocok dengannya. Ia juga tidak suka urusannya dicampuri. Satu hal lagi, ia cemburuan. Jadi, jangan coba-coba untuk merayu suaminya.” Kembali aku mengangguk.“Besok, kamu ke sini pukul 09.00 pagi. Saya akan telepon Ibu Jovita, dan mengatakan sudah dapat pembantu baru. Biar sopirnya akan jemput kamu, sekalian bawa semua pakaianmu.”“Iya, Mbak.”“Tetapi ingat, kamu belum tentu diterima, karena di sana akan dites dulu, apakah layak atau tidak. Untuk masalah gaji jangan khawatir, upah yang kamu terima sama dengan karyawan di sini, dan juga dapat penghasilan tambahan seperti THR dan lainnya.”“Baik, Mbak.”Setelah menyepakatinya, aku gemetaran. Jantung semakin berdegup kencang, karena sebentar lagi bisa bertemu dengan Amar Prawira. Aku tak bisa bayangkan, jika benar ia ayahku. Apakah mungkin ia mengenaliku? Namun, pesan Ibu selalu terngiang.Ikatan batin anak dengan orang tua itu kuat. Jika benar ayahmu, ia pasti mengenalimu.***“Beneran, Lan?” tanya Dewi antusias. Ia sangat bahagia, ketika mendengar aku sudah mendapatkan pekerjaan.Aku mengangguk.“Alhamdulillah. Tadinya aku tidak enak sama kamu, tetapi sekarang aku bersyukur kita berdua sama-sama mendapat pekerjaan,” ucap Dewi, ketika kami sedang menikmati makan siang di sebuah warteg yang tak jauh dari area pabrik. Kebanyakan pembelinya adalah para karyawan. Besok Dewi sudah bisa masuk, begitu pun denganku.Aku membantu Dewi mencari indekos. Tak sulit mencari tempat tinggal, karena di sini banyak sekali rumah yang dijadikan indekos, apalagi indekos perempuan sangat mudah dijumpai.Sore hari, paman Dewi datang. Ia juga yang membantu bernegosiasi dengan pemilik indekos. Tak lupa menitipkan Dewi pada pemilik rumah. Aku ikut membantu membersihkan kamar itu. Menyusun beberapa perlengkapan seperti tempat tidur, lemari, peralatan masak, dan kebutuhan lainnya yang baru dibeli. Dengan mengucapkan bismillah, kami berharap secara perlahan impian mengubah nasib dikabulkan Allah.Semua berjalan lancar, karena bantuan paman Dewi. Jika tak ada dirinya, mungkin kami sudah terlunta-lunta di sini, atau menjadi sasaran tindakan kejahatan.***Hari yang ditunggu tiba. Pagi ini, Dewi sudah mulai bekerja, ia terlihat bersemangat menggunakan kemeja dipadukan celana panjang berwarna biru muda, seragamnya berbeda dengan karyawan pabrik, mungkin untuk membedakan tugas mereka.Aku duduk di sofa dekat resepsionis, menunggu jemputan. Mbak Mira memberikan beberapa wejangan sebelum berangkat. Kerja yang baik, jangan buat kesalahan, serta jangan pernah menggoda suami Bu Jovita. Satu lagi, aku harus memanggilnya Nyonya dan suaminya Tuan.Tak lama, mobil jemputan datang. Seorang laki-laki paruh baya menghampiri, lalu membantu membawakan tasku. Mobil minibus yang ia kendarai berjalan menjauh, meninggalkan area pabrik menuju kompleks perumahan mewah. Beberapa penjaga tampak memperhatikan setiap kendaraan yang masuk. Deretan rumah besar serta mewah tampak rapi dengan berbagai tanaman hias memanjakan mata. Aku terpesona. Seumur hidup, belum pernah melihat keindahan dunia secantik dan modern ini. Tak terbayang berapa kekayaan yang dimiliki mereka yang tinggal di kawasan elite ini.Mobil pun berhenti di depan bangunan mewah dua lantai. Halamannya luas, dan terawat. Beberapa mobil mengilat terparkir di garasi. Belum puas aku memandang sekeliling, seorang perempuan paruh baya datang menghampiri. “Ayo, masuk!”Aku menurut, mengikuti langkahnya. Rumah mewah ini sangat sejuk, wangi, dan bersih. Sofa tamu terlihat empuk, lampu kristal indah menggantung, dan beberapa perabotan tampak tersusun rapi. Pandanganku berserobok dengan sebuah foto keluarga yang terpajang di dinding. Bibirku bergetar serta mata mulai berkaca-kaca. Laki-laki dewasa yang ada di sana sangat mirip dengan ayahku. Ia tersenyum bahagia merangkul seorang perempuan cantik yang tak lain adalah Nyonya Jovita. Mereka diapit oleh seorang anak perempuan seusia denganku, dan seorang anak laki-laki. Tampak sempurna, dan … keluarga bahagia.“Hai! Kamu dengar tidak apa yang saya ucapkan?” Lamunanku terhenti, setelah bentakan terdengar.“Maaf, Bu.” Aku tersenyum paksa, menyembunyikan rasa sakit di hati.“Jangan panggil, Bu. Panggil Bik Inah saja. Kita sama-sama pekerja di sini.” Perempuan itu tersenyum, kemudian menatap foto keluarga yang ada di depanku. “Ini keluarga Tuan Amar Prawira. Itu istrinya, Nyonya Jovita. Di sebelahnya Clarisa, putri mereka. Lalu yang laki-laki bernama Kevin.” Aku mengangguk paham. Hatiku berdenyut mendengar penjelasan Bik Inah. Pupus sudah harapanku, ketika menyaksikan ini semua. Tak mungkin aku tiba-tiba meminta pengakuan, apalagi mengajaknya pulang ke desa, sedangkan dia telah hidup bahagia dengan keluarga yang sempurna. “Sekarang, kamu diperiksa dulu, ya.”Diperiksa? Rasanya agak aneh. Aku tidak membawa senjata tajam atau benda berharga lainnya. Namun, Bik Inah bilang ini adalah aturan yang tak boleh dilanggar, maka aku harus mengikuti.“Buka bajunya.”“Apa?” Aku tersentak kaget. Biasanya
Jantung ini tak berhenti berdetak, seolah memberitahu bahwa ia benar ayahku. Walaupun sekali bertemu, aku tak ragu sedikit pun. Mungkin karena darahnya mengalir dalam tubuhku. Tak terasa mata berkaca-kaca, dan sepertinya air mata akan luruh tiba-tiba. “Pi, ini pembantu kita yang baru. Namanya Wulan,” ucap Nyonya Jovita memperkenalkanku. Laki-laki itu berjalan mendekat. Aku menatapnya lekat, sampai lupa caranya berkedip. Dada terasa sesak. Ingin kurangkul tubuh tegap itu, dan mengatakan bahwa aku adalah Wulan, putri kandungnya.“Oh,” jawabnya melirikku sekilas, kemudian menjauh bersama perempuan yang merangkulnya mesra.Aku kecewa. Harapan tak sesuai kenyataan. Ya Allah, kenapa hatiku sehancur ini? Rasanya seperti orang yang sedang patah hati, karena cinta tak terbalas. Bagaimana jika Ibu tahu, kalau laki-laki yang ia tunggu 18 tahun dan disebut namanya dalam setiap doa, ternyata telah hidup bahagia serta memiliki keluarga baru? Hati Ibu akan hancur, bahkan lebih hancur dariku.“Wul
Selesai salat Subuh, aku bergegas mengerjakan pekerjaan rumah; menyapu, dan mengepel lantai. Pantas saja Bik Inah kewalahan, rumah ini sangat besar. Belum lagi perabotannya yang banyak, dan mahal. Harus hati-hati saat membersihkannya, agar tak ada yang rusak dan pecah. Jika itu terjadi, maka siap-siap saja gaji dipotong.Sepasang suami istri itu turun, ketika matahari mulai meninggi. Aku tak tahu pukul berapa mereka bangun. Apa mungkin karena sekarang hari Minggu, jadi mereka sengaja bangun kesiangan, atau ... sudah bangun dari tadi? Keduanya segera ke meja makan, kemudian disusul Kevin dan Clarisa. Aku dan Bik Inah kembali ke dapur, memberikan waktu untuk keluarga itu bercengkerama. Berkali-kali aku mencuri pandang pada Tuan Amar, menatap parasnya yang ganteng dengan tubuh yang proporsional. Pantas rasanya jika Ibu jatuh cinta pada Ayah. Aku beralih memandang Nyonya Jovita. Ia cantik, putih, dan mulus. Jika dibandingkan dengan Ibu, tentu Ibu kalah saing. Jika Ayah disuruh memilih,
Sore hari, aku menemani Kevin bersepeda. Ia mengeluarkan dua sepeda dari garasi. Semula aku menolak, tetapi Kevin tetap memaksa. “Ini buat Mbak.” Kevin menunjuk sebuah sepeda lipat. Dengan cekatan, ia membuka lipatan, kemudian memberikan padaku. Kevin memindai penampilanku dari atas sampai bawah. “Ganti bajunya, Mbak. Kita, kan mau olahraga. Kalau pakai rok, bagaimana akan bersepeda?”Benar juga. Aku mengikuti saran Kevin, mengganti pakaian dengan baju kaos dan celana kulot, serta memakai kerudung bergo berwarna senada dengan baju. Ketika kembali ke garasi, Kevin sudah berdiri dan menyerahkan sebuah topi.“Ini buat Mbak Wulan, biar tidak kepanasan.”Masyaallah, baiknya kamu, Dik. Aku terharu. Andai kamu mengetahui hubungan kita, apakah kamu akan semakin baik, atau malah membenciku? tanyaku dalam hati dengan penuh haru.“Ayo, Mbak Wulan.”Aku mengikuti Kevin dari belakang. Ia mengendarai sepeda dengan lincah. Kami berdua beriringan melewati deretan rumah mewah yang indah. Tampak beber
Aku kaget. Dari tadi kami bicara, tak pernah sekali pun ia menyebutkan profesinya yang mulia itu. “Alhamdulillah.” Pak Arya membopong Kevin, dan didudukkan di depan teras rumahnya yang tak jauh dari lokasi kejadian. Ia masuk ke dalam, lalu keluar membawa kotak P3K. Dengan hati-hati, Pak Arya membersihkan luka, dan mulai mengobatinya. Ia sangat terampil, bahkan beberapa kali laki-laki itu mengajak Kevin bercanda guna mengalihkan perhatian agar tak sakit. “Sudah. Lain kali hati-hati, ya, Kevin.”Kevin tersenyum. “Terima kasih, Dokter … eh, Pak,” ucapku.Pak Arya terkekeh pelan. Kevin sudah diobati, tetapi aku masih cemas. Salah atau tidaknya aku, Nyonya Jovita pasti akan sangat marah. “Jangan takut, nanti saya akan hubungi Pak Amar,” ungkap Pak Arya, seperti tahu kegelisahanku. Aku pun meminjam kertas dan bolpoin pada Pak Arya. “Untuk apa?” tanyanya, ketika menyerahkan benda itu.“Pemilik mobil yang ditabrak Kevin tak ada di tempat, Pak. Wulan akan menulis surat di kertas kecil i
Semenjak kejadian itu, aku lebih banyak diam dan mengerjakan pekerjaan seperlunya. Sikap Nyonya Jovita dan suaminya tampak biasa saja, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Saat akan sarapan pagi, Kevin menatap ke arahku. Sorot matanya memancarkan rasa bersalah. Aku tersenyum, mengisyaratkan seolah semua baik-baik saja. Dia membalas dengan senyuman, kemudian mulai mengambil makanan. Seperti biasa, kami duduk di dapur, menunggu keluarga itu selesai makan. “Hanya orang yang berhati baja bisa bekerja dengan Nyonya Jovita,” ungkap Bik Inah tiba-tiba.Aku menatap perempuan tua itu sekilas. “Saya ingin keluar, Bik.” Ini sudah aku pertimbangkan tadi malam. Bekerja dengan keluarga ini hanya akan menyiksa batin. Sebelum terlambat, lebih baik mundur.Bik Inah menatapku, kemudian kembali memandang keluarga bahagia itu yang sedang menikmati sarapan pagi. “Jangan keluar dulu. Tunggulah sebulan.”“Lama-lama Wulan tidak kuat, Bik.”“Nyonya Jovita itu akan bersikap kasar, jika kita melakukan kesalaha
Mataku jadi berkaca-kaca; takut, dan sedih. Beberapa kali aku berpikir, bagaimana cara mengumpulkan uang sebanyak itu. Jika mengandalkan gaji sebagai pembantu, akan butuh waktu berbulan-bulan. Padahal, aku ingin keluar bulan depan dari rumah itu. Alternatif lain dengan mengatakan yang sejujurnya pada Nyonya Jovita, tetapi ... apakah ia akan percaya? Kemarin saja tanpa basa-basi ia langsung menjambak kerudungku.“Jangan menangis. Saya tidak suka perempuan cengeng.”“Wulan benar-benar tidak punya uang. Wulan hanya seorang …,” ucapanku terhenti, ketika telepon genggam laki-laki itu berdering. Ia tak banyak bicara, tetapi begitu serius mendengarkan si penelepon.“Baiklah, saya akan ke sana.” Laki-laki itu menutup panggilan, kemudian bangkit dari tempat duduk. “Di mana kamu tinggal?”“Di blok F nomor 4. Kenapa?”“Nanti saya akan ke sana!” Ia melangkah pergi, meninggalkanku begitu saja. Orang kaya yang suka seenaknya!“Tuan! Jangan datang!” seruku sambil mengejarnya.Langkah laki-laki itu y
Rasanya tak tega menolak ajakannya. Kami pun bersiap. Sebelum berangkat, Kevin minta izin pada kedua orang tuanya.“Sudah selesai PR-nya, Sayang?” Tuan Amar bertanya. Kata-kata mesra yang diucapkan dengan nada lembut ini sangat menenteramkan hati, tetapi sayang bukan untukku.“Sudah, Pi. Tadi dibantu Mbak Wulan.” Terangnya menetap ke arahku. “Mbak Wulan pintar matematika, Pi. Ia bisa mengajari aku sampai bisa. Nanti aku lesnya sama Mbak Wulan saja.”Nyonya Jovita menatap ke arahku. Ia seperti tak percaya. “Tidak usah, tetap di tempat les. Guru di sana lebih profesional dan teruji.”“Tapi, kan—”“Tidak ada tapi-tapi,” potongnya cepat, sementara Tuan Amar tak menanggapi permintaan Kevin. Dengan wajah cemberut, Kevin izin pamit. Aku hanya tersenyum, menatap Kevin yang berusaha memperjuangkanku itu. Keluar dari garasi, kami bersepeda menuju taman. Seperti biasa, Kevin berbaur dengan teman sebayanya, sementara aku duduk di bangku memperhatikan setiap gerak-geriknya.“Tidak bersepeda?” T