Kinan melanjutkan pertanyaannya. Berharap rasa penasarannya akan terjawab. Mungkin sekarang ini saatnya untuk meluapkan emosi yang selama ini terlah bergumul di dadanya.
"Iya ... Kalau cukup uangnya, Abang berencana ingin berkebun sawit. Lumayanlah pengisi hari Sabtu dan Minggu. Lagi pula itu bentuk investasi keluarga kita. Abang selalu berpikir untuk jangka panjang. Bukan hanya sekarang saja."Ardi merasa tak ada yang salah dengan rencananya. Dia bertanggung jawab pada masa depan keluarganya. Bahkan sejak saat ini, semua itu telah dipersiapkannya. Toh dia juga menggunakan uang tabungannya sendiri, tak meminta pada Kinan. Hasil biji sawit yang terjual nanti dapat ditabung kembali untuk masa depan mereka. Dimana letak salahnya?"Abang hebat ya! Abang punya tabungan, tapi aku sebagai istri menghabiskan seluruh uang yang kudapat untuk kebutuhan rumah tangga kita. Aku ini tulang rusuk, Bang. Bukan tulang punggung. Bukan kepala keluarga yang harus menafkahi keluarga kita. Menanggung semua beban dan kebutuhan rumah tangga kita."Akhirnya isakan tangis itu tak dapat lagi ditahan Kinan. Hatinya merasa terluka dengan kejujuran yang diungkapkan Ardi, suaminya. Laki-laki ini sungguh luar biasa."Tabungan Abang kan buat keluarga kita juga, Dek. Kamu tahu sendiri, Abang tak pernah nongkrong bareng teman-teman. Apa yang Abang lakukan, pasti untuk masa depan kita. Kamu harus percaya itu!"Kinan tak mengerti pola pikir suaminya itu. Menganggap urusan memenuhi kebutuhan rumah tangga sebagai bagian kewajiban istri tentunya bukan cara berpikir yang benar. Cara berpikir yang teramat sangat salah bagi Kinan. Sungguh bertolak belakang dengannya."Lantas apakah memenuhi segala kebutuhan rumah tangga adalah tanggung jawabku, Bang?"Lirih pertanyaan itu Kinan utarakan. Bahkan seluruh sendinya terasa lunglai, tak mampu lagi digerakkan."Bukan masalah tanggung jawab, Dek! Kita hanya berbagi urusan. Gajimu untuk kebutuhan hidup dan gaji Abang untuk kebutuhan masa depan. Bukankah pembelian rumah ini adalah salah satu contohnya? Abang tak pernah mengungkit-ungkit tentang pinjaman yang harus Abang tanggung karena membeli rumah ini kan? Maksud Abang, kamu juga seperti itu, Dek."Ardi menyampaikan cara berpikirnya dengan tenang, tak ada beban. Kinan yang justru merasa emosinya sedang berkumpul di ubun-ubun. Berusaha tak marah, tapi tak bisa. Bagaimana bisa seorang suami dengan santainya berkata seperti itu? Ardi sepertinya harus dirukyah. Ada yang salah dengan susunan sel-sel sarafnya. "Jadi Abang berpikir seorang istri juga harus bertanggung jawab dengan segala kebutuhan rumah tangga?"Kalimat itu terucap dengan nada tinggi. Kinan tak mampu lagi mengendalikan emosinya. Semoga Rafif tak terbangun karena mendengar lengkingan suaranya."Ya iyalah, Dek! Menikah itu ibadah yang dilakukan bersama. Maka segala tanggung jawab rumah tangga itu dipikul bersama. Karena itu, Abang tak pernah melarangmu bekerja. Kenapa? Karena Abang tahu hasil yang kamu peroleh juga untuk membantu kebutuhan rumah tangga kita. Kamu juga kan tahu, Dek ... Abang yang membantu kamu agar dapat pekerjaan yang sekarang? Belum tentu kamu diterima di sekolah itu kalau bukan karena rekomendasi Paman Imam kan?"Kinan meringis dalam hati. Semudah itu Ardi mengungkit jasanya, walau itu sebenarnya tak pernah ada. "Jadi Abang sengaja menyuruhku bekerja agar uangnya dapat untuk belanja kebutuhan rumah tangga?"Kinan tak peduli lagi jika suaranya harus terdengar tetangga sebelah rumah. "Asal Abang tahu, aku diterima di sekolah itu karena aku memang layak untuk lulus. Bukan karena rekomendasi. Camkan itu, Bang!"Ardi tersentak saat mendengar ucapan Kinan. "Siapa bilang? Kamu tahu sendiri, banyak orang yang mengajukan lamaran. Tapi hanya sedikit saja yang diterima kan? Kenapa? Karena gaji di sana lebih besar dibandingkan sekolah lain. Karena itu orang akan berebut dengan lowongan yang ada di sana. Jika tak ada rekomendasi paman, kamu tak akan pernah diterima di sana."Kinan mengepalkan telapak kanannya. Jika tak ingat dosa, rasanya ingin menampar wajah laki-laki yang sungguh tak waras otaknya ini."Pihak yayasan tak pernah menerima orang bekerja di sana karena sebuah rekomendasi, Bang! Camkan itu! Jadi, jika aku bekerja di sana, itu karena kemampuanku yang memang layak untuk diterima. Ingat itu, Bang! Jangan selalu merendahkanku! Berhenti membuatku selalu seperti merasa berhutang budi dengan keluarga Abang!"Kinan menatap tajam pada Ardi. Tak sedikit pun matanya mengedip saat melepaskan perkataan yang pedas kepada suaminya itu."Satu lagi, Bang! Abang harus banyak belajar lagi tentang makna sebuah pernikahan! Tentang tanggung jawab suami kepada istrinya! Jangan jadikan aku sebagai tulang rusukmu, Bang ... jika harus kamu patahkan seperti ini!'Tangisan menutup ungkapan hati Kinan. Wanita itu memilih pergi, beranjak dari hadapan suaminya yang masih tak mengerti dengan kesalahan yang diperbuatnya.Seminggu berlalu sejak Kinan mulai mencoba mengungkapkan isi hatinya pada sang suami. Tak ada perubahan yang dirasakan Kinan atas diri Ardi. Belanja kebutuhan sehari-hari tetap Kinan lakukan walau kadang dengan perasaan dongkol. Tapi jika tak belanja, dirinya dan Rafif harus makan apa?Percuma berharap kepada manusia yang hatinya bagaikan batu seperti Ardi. Hanya melelahkan saja untuk berbicara banyak hal terkait tanggung jawab padanya, tak ada gunanya. Yang ada ubun-ubun akan dipenuhi emosi saja nantinya.Kinan memasuki rumah yang tampak sepi. Jam mungil di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul empat sore. Rasa lelah benar-benar mendera tubuhnya. Hari Minggu yang harusnya digunakan untuk beristirahat dihabiskan Kinan untuk manggung di hajatan nikah. Bernyanyi, menyalurkan bakat sekaligus menyalurkan emosi agar tak memicu stres. Dan yang paling penting juga, ada beberapa lembar helaian biru yang akan Kinan terima setelah itu. Lumayan untuk belanja satu ming
Kinan bersuara sembari menatap wajah Yuk Diana. Memastikan jika ucapan wanita itu tak salah."Ayuk bukannya tak tahu, bagaimana Ardi memperlakukanmu selama ini. Ayuk mengenal Ardi sudah sejak lama. Bukan baru sekarang seperti dirimu."Kinan mulai mengerti arah pembicaraan wanita yang ada di hadapannya. Tapi rasanya, tak elok membuka aib suami sendiri kepada orang lain. Sekecewa apa pun dirinya pada Ardi, Kinan harus tetap menghargai laki-laki yang bergelar suaminya itu. Aib rumah tangga tentunya akan menjadi rahasia suami dan istri saja. Tak patut rasanya diumbar kepada siapa pun tentunya. Sesakit dan sekecewa apa pun dirinya pada sikap dan perlakuan lelaki itu, tetap saja status itu masih disandangnya sampai sekarang. Masih kewajibannya untuk menjaga keburukan lelaki itu."Ardi baik pada Kinan, Yuk. Mengapa Ayuk sampai berpikir Ardi memperlakukan Kinan dengan buruk?" Kinan mencoba berkelit. Aktivitas makan rujak tetap dilanjutkannya, seolah tak ada beban
Sejak perbincangannya dengan Yuk Diana sore itu, batin Kinan semakin tak tenang. Hatinya selalu menduga-duga, apakah yang dikatakan Yuk Diana itu benar adanya? Apakah Ardi benar-benar telah melakukan perbuatan itu hanya untuk mendapatkan dirinya?Bukan hanya sekali atau dua kali, berkali-kali Kinan mendapatkan pertanyaan tentang pilihannya untuk melabuhkan hati pada Ardi. Bukan hanya dari orang lain, bahkan dari kedua orang tuanya sendiri. Bahkan sejak awal dirinya memohon restu."Kamu yakin mau menikah dengan Ardi, Nan? Maaf ... bukan Bapak tak setuju dengan pilihanmu. Bapak juga bukan tipikal memilih-memilih menantu. Yang penting anak Bapak bahagia, itu yang utama."Tampak Bapak menarik napas dalam-dalam. Putri pertamanya sudah dewasa, sudah layak untuk berumah tangga. Namun entah mengapa, hati kecilnya merasa tak rela dengan pilihan hati gadisnya."Perkenalanmu dengan Ardi baru enam bulan, cukup singkat bagi Bapak dan Ibu. Kamu sarjana, Nan. Se
Kinan melanjutkan gerakan tangannya yang sempat terhenti. Diambilnya piring dari rak. Saat hendak mengisi piringnya dengan lauk, lagi-lagi Kinan terperanjat. Lauk yang sudah dimasaknya tadi pagi hampir tak bersisa. Ayam yang dimasaknya dengan pucuk daun kedondong hanya tersisa beberapa potongan kecil saja. Tanpa daging sama sekali. Perut yang sudah terasa lapar memaksa Kinan tak banyak bicara. Diambilnya seluruh potongan ayam yang tersisa. Untung saja, pucuk daun kedondong yang ditambahkan dalam masakan khas daerah mereka itu cukup banyak. Cukup menjadi penambah lauknya siang menjelang sore itu. Daripada hanya sekadar makan nasi putih saja.Tepat suapan terakhirnya, Kinan melihat Ardi keluar dari kamar tidur. Raut wajahnya tenang, tak ada rasa bersalah. Wajahnya segar, berbanding terbalik dengan wajah Kinan yang menahan lapar dan rasa kesal."Abang habiskan lempah kuning ayamnya ya?"Kinan tak sabar mendapatkan jawaban atas praduganya. Sebenarnya
Kinan meletakkan gawainya di atas kasur. Dua puluh menit Kinan menghabiskan waktu berbincang dengan ibunya. Tak bertatap muka secara langsung, namun cukup untuk mengobati rasa rindu di hati atas wanita yang telah melahirkannya itu. Jarak yang membentang di antara mereka. Meskipun di pulau yang sama namun tetap saja Kinan tak dapat sering-sering menemui orang tuanya. Ada tanggung jawab yang tak boleh diabaikannya.Saling bertukar kabar, Kinan tetap memilih menutup semua pedih dan rasa sakit hati atas perlakuan suaminya. Bagaimanapun, Ardi adalah pilihannya. Lelaki yang dipercayainya dengan sepenuh hati dan jiwa sebagai sandaran hidup untuk menua. Bukan hasil perjodohan orang tuanya. Apalagi ayahnya cukup merasa keberatan atas sosok laki-laki yang dipilihnya itu sejak awal. Restu itu terpaksa diberikan karena Kinan yang bersikeras.Kinan menghela napas panjang. Kabar yang disampaikan ibunya tadi cukup membuat otaknya berpikir keras. Bukan tentang kesehatan kedua oran
"Aku minta sekali ini saja kamu mampu menggunakan hati dan otakmu, Bang! Aku mau kita memberikan uang untuk membantu resepsi Sekar nantinya. Paling tidak ... kita menyumbang satu pondok makanan nanti. Aku malu jika tak memberikan apa-apa, Bang! Aku bekerja, kamu juga bekerja. Tak mungkin kita tak menyumbang apa-apa, Bang!"Akhirnya Kinan harus berkata cukup keras untuk menyampaikan niatnya. Semoga Ardi paham dengan maksud hatinya."Apa kamu tak malu jika kita tak ikut menyisihkan sedikit rezeki kita pada Sekar, Bang? Aku malu! Walaupun mungkin Abang sudah putus urat malu itu."Apa Abang melarangmu? Kan tidak, Dek. Abang sudah bilang, jika ada uang ... berikan semampumu. Abang tak melarang. Silahkan!"Kinan harus berkali-kali mengucapkan istighfar. Walaupim reaksi Ardi sudah diduganya, tetap saja rasa kesal dan emosi muncul saat berhadapan dengan laki-laki ini. Hati boleh sama bentuknya, namun tak semua orang ternyata memiliki nurani. Jik
Kinan menggantung mukena yang baru saja dipakainya untuk salat Asar di cantolan samping lemari. Tubuhnya sangat lelah hari ini. Hari Minggu, hari yang seharusnya dimanfaatkannya untuk beristirahat dan menyiapkan tenaga yang kuat untuk aktivitas seminggu ke depan nantinya.Namun itu tak berlaku bagi Kinan. Hari Minggu akan dihabiskannya untuk menambah pundi-pundi tabungannya. Bukan karena gila harta, tapi semua itu terpaksa harus dilakukannya untuk tetap kuat menjalani kenyataan hidup yang sesungguhnya sangat jauh berbeda dengan khayalan masa remajanya.Tadi saat hendak menjemput Rafif di rumah Yuk Diana, gawai Kinan berdering. Wanita yang hendak ditemuinya itu mengabarkan agar tak buru-buru menjemput Rafif. Batita itu sedang tidur pulas. Bahkan, Yuk Diana menyarankan agar Kinan beristirahat saja lebih dulu. Rafif akan diantarkannya jika nanti sudah bangun.Kinan meluruskan punggungnya yang terasa sangat penat. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar
"Kamu nggak keberatan kan Nan, kalau Kakak dan anak-anak menginap seminggu di sini?"Pertanyaan yang disampaikan Indah menyadarkan Kinan dari lamunannya. Karena keterkejutannya tadi, Kinan menjadi tak sadar diri jika ada orang lain di dekatnya."Tentu tidak, Kak. Kinan senang sekali malahan. Kami tak sempat mengunjungi Kakak ... Kakak yang mengunjungi kami. Maaf, Kak. Bukannya tak mau, hanya belum sempat membagi waktu saja."Kinan menyunggingkan senyum kecil di bibirnya, mencoba menghalau kebingungan yang sedang terjadi di balik ketidakjujuran Ardi, suaminya. Sambil melangkah menjinjing dua kardus di tangannya, Kinan menebak-nebak arah pikiran Ardi. Harusnya lelaki itu memberitahukannya tentang kedatangan dua wanita ini. Bohong rasanya jika Ardi sampai lupa dan tak ingat. Jika memang lupa, bukankah dapat mengabarkan Kinan dengan menelepon atau mengirimkan pesan? Bukan menjebak Kinan dengan cara seperti ini.Kinan akhirnya menemukan alasa