Kinan keluar dari kamar setelah menidurkan Rafif. Batita itu tampaknya kelelahan setelah bermain dengan banyak robot mainan baru dari Dinda.
Membuka tudung saji yang ada di atas meja makan, Kinan menemukan dua potong ikan bawal masih tersisa di mangkuk. Kinan memasukkan mangkuk berisi potongan bawal lempah kuning nanas itu ke dalam kulkas. Sayang, mubazir jika dibuang. Dia memilih tak makan malam karena masih kenyang setelah menikmati beberapa potong empek-empek sebelum kedatangan Dinda tadi sore. Tampak Ardi duduk di depan televisi sambil memainkan gawainya. Tak jelas aktivitasnya saat ini. Acara televisi ataukah gawainya yang menjadi pilihan. Kinan menyiapkan beberapa perlengkapan untuk mengajarnya besok pagi."Mukamu sembab, Dek. Kamu habis menangis?" tanya Ardi sembari tetap menggerakkan jemarinya di layar pipih miliknya itu.Kinan tak menyadari jika bekas tangisannya tadi sore masih meninggalkan jejak di wajah putihnya. "Dek ... Abang bicara padamu. Kenapa kamu diam saja?"Kinan memejamkan mata, mencoba sekuat tenaga menghalau sakit yang masih terasa."Lantas kalau aku berbicara, apa ada gunanya?"Kinan menghentikan gerakan tangannya, memalingkan wajahnya ke arah Ardi. Laki-laki itu tampak sedang menatap ke arahnya."Ya ... jelas ada! Abang bisa tahu apa yang terjadi padamu!""Sejak kapan Abang peduli?"Kinan menatap tajam Ardi. Netra mereka saling beradu."Apa maksudmu, Dek? Mengapa kamu berbicara seperti itu? Kalau ada masalah itu, dibicarakan baik-baik. Tak perlu kamu marah-marah seperti ini."Ardi mencoba menurunkan nada kalimatnya. Laki-laki itu sungguh tak mengerti apa yang telah terjadi pada wanita yang telah dihalalkannya lima tahun tahun yang lalu itu."Masalah kita di rumah ini cuma satu, Bang. Ketimpangan. Hanya itu masalahnya."Ardi mengernyitkan dahinya. Lagi-lagi Ardi merasa bingung dengan maksud perkataan Kinan."Ketimpangan apa maksudmu, Dek? Kita baik-baik saja kan? Abang rasa kita tak ada masalah. Lantas apa yang membuatmu sampai berpikir kita ada ketimpangan?"Kinan jadi bingung sendiri. Bagaimana lagi harus menjelaskan permasalahan rumah tangga yang sedang mereka alami ini kepada sang kepala keluarga? Bahasa apalagi yang harus ia gunakan, agar Ardi benar-benar mengerti inti permasalahan rumah tangga mereka?"Abang jujur sekarang! Niat Abang kemarin untuk pergi bersama Rahmat ke kebun sawit bukan cuma untuk melihat-lihat kan?"Kinan mencoba mengungkapkan uneg-uneg yang dirasakannya. Bagaimanapun, Ardi harus disadarkan dengan pola pikirnya yang tak karuan selama ini."Abang berniat membeli kebun sawit itu. Jujur padaku, Bang!"Ardi terlihat menggaruk-garukkan kepalanya. Kinan yakin, bukan karena gatal. Tapi lebih pada rasa bingung menjawab pertanyaan yang diajukannya."Siapa yang ngomong ke kamu kalau Abang mau membeli kebun sawit itu, Dek? Kamu itu harusnya tak perlu mempercayai omongan orang. Lebih baik percaya ke Abang."Kinan menarik napas dalam-dalam. Dadanya sesak."Bagaimana bisa Abang bicara kalau aku harus mempercayaimu, Bang ... sedangkan kamu sendiri tak pernah percaya kepadaku?" Kinan beranjak dari tempatnya berdiri. Berjalan ke arah kursi yang ada di hadapan Ardi. Posisi mereka sekarang saling berhadapan."Bagaimana bisa kamu berpikir Abang tak percaya padamu? Abang pernah menuduhmu? Tak pernah kan?"Kinan merasa emosinya sedang diuji saat ini. Jika salah sedikit saja, tekanan darahnya akan naik lagi. Menghadapi manusia dengan tipikal seperti Ardi sepertinya menuntutnya harus mempunyai kesabaran yang lebih. Suaminya memang tipikal lelaki langka. Mungkin tak akan ada duanya di dunia ini."Kalau Abang percaya kepadaku, mengapa sampai saat ini aku tak pernah mengetahui berapa besar gajimu, Bang? Abang takut kalau aku akan menghabiskan uangmu dengan berfoya-foya? Abang selalu tak terbuka kepadaku tentang keuangan keluarga kita. Lantas apa maknanya rumah tangga kita ini mata Abang? " Akhirnya kata-kata itu meluncur dari bibir Kinan. Ucapan tak bernada namun sarat makna. Tangannya mengepal, menahan emosi yang menyeruak di dada. Bahkan rasanya air mata telah kering karena ulah lelaki yang bergelar suaminya ini."Kenapa harus kembali ke masalah itu lagi, Dek? Bukankah dari awal Abang sudah sampaikan ... jika Abang akan menabung untuk kebutuhan masa depan kita. Abang bukan tipikal lelaki yang suka berfoya-foya. Kamu tahu sifat Abang bukan?"Lagi-lagi Ardi berkelit. Mengelak dari tanggung jawab dengan berbagai dalih. Kinan bahkan tak percaya mengapa dirinya dapat terjerat cinta lelaki ini.Ardi tak mengerti mengapa lagi-lagi Kinan harus membalas masalah gaji. Kehidupan rumah tangga mereka selama ini adem ayem saja, dengan mengelola gaji masing-masing. Ardi tak pernah menghabiskan uangnya untuk berfoya-foya ataupun nongkrong bersama teman-temannya. Keluar rumah pun hanya seperlunya saja. Apa ada yang salah dengan isi kepala Kinan sehingga harus mengungkit masalah itu lagi?"Berarti Abang ada tabungan. Dan tabungan itu untuk membeli kebun sawit?""Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar