Kinan tak habis pikir mengapa dirinya dapat melabuhkan hati pada laki-laki seperti Ardi. Dari segi fisik saja, dirinya lebih menarik dibandingkan suaminya yang tergolong biasa saja. Dari segi pendidikan apalagi, gelar sarjana yang dimilikinya tentu membuatnya punya nilai lebih daripada laki-laki itu. Namun lika-liku perjalanan rumah tangga yang sedang dijalaninya sungguh di luar nalar kebanyakan orang yang mengenal dirinya. Seiring perjalanan rumah tangganya, banyak hal yang membuat Kinan bertanya-tanya pada banyak hal yang sepertinya ditutupi Ardi, suaminya. Berbagai dugaan muncul, satu per satu fakta terkuak. Banyak hal yang ternyata ditutupi suaminya dan itu ternyata terkait dengan masa lalu lelaki itu sebelum menikah dengannya. Kinan merasa bingung bagaimana harus bersikap. Mempertahankan rumah tangga dengan menahan banyak pilu dan luka atau memilih melepaskan diri dengan ancaman dari lelaki itu. Apakah rahasia yang ditutupi Ardi dari Kinan itu? Bagaimana upaya Kinan untuk mengungkap semua rahasia itu? Bagaimana kisah sendu bahtera rumah tangga yang sebenarnya harus dijalani Kinan?
View More"Bang, bangun dulu!"
Tak ada jawaban. Ardi tetap bergeming, tak bergerak. Kinan meradang. Laki-laki itu memang tak tahu diri. Sedari pagi, Kinan sudah bangun menyiapkan masakan untuk hari ini. Belum lagi membersihkan rumah dan menyiapkan kebutuhan Rafif, putera mereka yang sudah mulai pandai mengucapkan beberapa patah kata."Abang masih punya telinga atau tidak sebenarnya sih?! Aku ini lagi bicara denganmu, Bang!"Kinan tak mampu lagi menahan amarahnya. Emosi jelas sedang menguasai dirinya melihat ulah laki-laki yang sebenarnya entah pantas atau tidak dipanggilnya suami itu."Abang dengar, Dek! Nggak perlu teriak-teriak seperti itu. Malu sama tetangga pagi-pagi seperti ini sudah ribut saja."Ardi mengucek matanya. Tapi tubuhnya masih tetap terbungkus dengan selimut. Tak ada niat melepaskan penutup tubuh yang pasti memberikan kehangatan padanya itu."Kalau Abang dengar, kenapa Abang tak bangun juga? Kalau Abang malu, mengapa Abang sepertinya sengaja memancing emosi?"Kinan tak dapat lagi menahan rasa kesalnya. Lima tahun menikah, laki-laki itu tak juga berubah perangainya. Tak peduli. Tak peka. Tak pernah memikirkan perasaan istrinya."Abang tolong jaga Rafif hari ini ya! Yuk Ana sakit hari ini, kasihan kalau Rafif kita antarkan ke rumahnya. Abang kan libur hari ini."Ardi mendadak membuka matanya dengan cepat. Selimut yang membungkus tubuhnya juga disibakkan dengan segera."Dek, kamu nggak salah menyuruh Abang menjaga Rafif hari ini?"Kinan menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskan udara dengan kapasitas maksimal telah didapatkannya tadi."Telinga Abang selama ini nggak ada masalah kan? Abang tentu dapat mendengar jelas setiap kata yang kueja tadi kan?"Ardi menggaruk kepalanya yang Kinan tahu pasti sebenarnya tak gatal. Kinan bertekad harus dapat membuat Ardi menjalankan salah satu kewajiban yang selama ini selalu diabaikannya."Abang nggak bisa, Dek! Nanti kalau Rafif cerewet, mau minum susu, atau mau buang air kecil bagaimana? Abang kan nggak paham, Dek. Tolong ... jangan suruh Abang menjaga Rafif! Abang pasti tak akan mampu."Jujur, Kinan sebenarnya ingin tertawa mendengar ungkapan hati terdalam yang disampaikan suaminya itu. Dasar suami tak peka. Bahkan untuk kebiasaan anak sendiri, Ardi tak tahu. Wajar saja. Di usia buah hati mereka yang menginjak dua tahun itu tak pernah Ardi turun tangan langsung untuk menjaganya. Semua urusan Rafif diserahkan bulat-bulat kepada Kinan."Abang harus bisa! Sebelum mencoba, jangan pernah menganggap diri kita tak mampu. Bukankah seperti itu yang selalu Abang katakan selama ini?"Kinan meraih tas hitam yang tergantung di dekat lemari pakaian. "Rafif tak mungkin aku bawa ke sekolah. Aku pasti tak bisa fokus mengajar nantinya. Lagi pula ini hari libur Abang. Sekali-kali menikmati hari libur dengan putera semata wayang kurasa tak ada salahnya."Kinan memasukkan dompet ke dalam tas hitam yang sehari-hari menemaninya beraktivitas sebagai pendidik itu. Membereskan beberapa perlengkapan mengajar yang memang dari semalam telah disiapkannya."Abang ada janji dengan Rahmat hari ini. Mau melihat-lihat kebun sawit saudaranya. Kata Rahmat, mau dijual." Tegas kalimat itu diucapkan Ardi seraya mengangkat tubuhnya dengan sempurna dari tempat tidur yang menjadi saksi perjalanan kisah mereka lima tahun ini.Kinan yang sedang berhadapan dengan cermin merapikan kerudung marunnya itu seketika membalikkan badannya. Posisi tubuh mereka langsung berhadapan."Abang mau beli kebun sawit? Abang punya uang?"Jelas sekali nada keterkejutan dari kalimat yang dilontarkan Kinan itu."Kan cuma melihat-lihat saja. Abang mana ada uang, Dek. Hutang bank kita saja belum lunas kan?"Kinan terdiam sesaat. Rumah yang mereka tempati saat ini sebenarnya adalah milik orang tua Ardi. Semenjak kedua orang tuanya meninggal, Ardi tinggal di rumah itu sendirian. Kedua kakak perempuannya tinggal bersama suami dan anak-anak mereka di luar daerah.Kinan menikah dengan Ardi setahun setelah laki-laki itu menjadi yatim piatu. Tak ayal, setelah pernikahan mereka, Ardi langsung memboyong Kinan tinggal di rumah itu. Tak lama setelahnya, kedua kakak Ardi meminta mereka berdua membeli rumah tersebut. Agar jelas tak menimbulkan sengketa di belakang harinya. Menurut Kinan itu hanya alasan agar dua wanita itu dapat uang mendadak. Tak punya pilihan, Kinan dan Ardi mau tak mau menjatuhkan pilihan pada bank tempat Ardi bekerja sebagai tempat untuk mendapatkan uang banyak guna membeli rumah warisan penuh kenangan itu. Sebagai pasangan yang baru menikah, tabungan mereka berdua terkuras untuk segala urusan mulai dari akad nikah sampai resepsi. Keduanya sepakat tak membebankan pada orang tua Kinan yang memang bukan golongan berada itu."Hubungi saja Rahmat nanti! Perginya sore saja! Aku kan kerjanya juga cuma sampai jam dua belas, Bang."Lagi-lagi Ardi menggarukkan kepalanya berulang kali. Tak mampu lagi memberikan alasan untuk menolak permintaan Kinan. Walaupun sebenarnya bagi Ardi bukan lagi permintaan, tapi suruhan."Tak bisakah meminta tolong siapa gitu buat menjaga Rafif setengah hari ini, Dek? Abang takut kalau nanti kenapa-kenapa pas Rafif dijaga Abang. Nanti Abang lagi yang kamu salahkan!"Kinan tak menjawab. Wanita itu lebih memilih melipat selimut dan merapikan tempat tidur yang acak-acakan. Menarik sisi-sisi seprai yang bermotifkan daun hijau itu agar kembali kencang. Merapikan bantal dan guling yang letaknya berhamburan."Apa susahnya berkorban sehari, Bang? Aku memintamu menjaga Rafif itu hanya untuk setengah hari. Setengah hari, Bang! Bukan berhari-hari. Lagi pula, Rafif itu bukan hanya anakku, Bang! Dia juga anakmu. Jadi bukan cuma aku yang harus bertanggung jawab untuk mengasuhnya, mendidiknya. Bahkan sampai di usianya hampir dua tahun ini belum pernah tanganmu memandikannya bukan? Masih layakkah dirimu menyebut ayah untuknya?"Kinan menata suasana hatinya agar tak larut dalam emosi menghadapi laki-laki yang sungguh luar biasa ini. Selama ini dia diam. Ternyata diam itu bukanlah emas baginya."Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments