LOGINDi balik awan menggumpal tersembunyi rasa kebencian yang membara di hati Sagara. Sagara keluar dari ruang penyidik dengan wajah datar. Di tangannya ada surat penolakan permintaan pembukaan kembali kasus delapan tahun lalu.Delapan tahun dia menunggu kesempatan untuk membersihkan namanya. Dan hari ini semuanya ditutup tanpa alasan jelas hanya karena seseorang mengubah kesaksian."Tidak ada alasan untuk membuka kembali kasus ini, Dokter Sagara,” ujar penyidik tadi dengan wajah datar seolah keadilan hanyalah kata kosong di kertas laporan."Lagipula jika anda bersikeras membuka kembali kasus ini, akan ada orang yang menuntut anda atas pencemaran nama baik. Anda tidak ingin karir anda sebagai dokter terancam, bukan?"Sagara pulang membawa kekecewaan. Langkah kakinya terasa berat menuju area parkir. Dia berhenti di depan tangga kantor polisi menatap kosong ke papan nama besar Keadilan Yang Merata.Sagara tertawa mengejek. Benar-benar tak menyangka membawa Dinara ke jeruji sel menemui jalan
["Nona, dokter Diego memberitahu jika ibu anda meminta bertemu lagi dengan tuan Genta."]Danastri menerima pesan dari salah satu pesuruhnya yang ada di Milan. Danastrilah yang telah meminta pada Widipa untuk mencarikan rumah sakit dengan penjagaan ketat dan tak sembarang pengunjung bisa bertemu.Ya katakanlah Danastri kejam jika sebenarnya tindakannya itu agar Genta tidak dikejar mafia dari Macau yang menginginkan nyawa Genta sekaligus mengatasi ketergantungan pada obat terlarang.["Katakan pada dokter Diego jangan menerima tamu siapapun untuk bertemu Genta. Tunggu intruksi dariku selanjutnya."]["Baik, Nona."]"Untuk sementara tinggallah di sana, Mas. Mereka masih mencari keberadaanmu," kata Danastri sembari menaruh kembali ponselnya.Danastri berdiri sejenak melihat lampu jalanan dari luar jendela yang memantul di permukaan meja kerjanya yang penuh dengan berkas desain, sketsa gaun dan potongan kain sutra serta secangkir kopi yang sudah dingin.Lusa hari penentuan kontes desain dan
Suara langkah pengacara Rudi yang meninggalkan ruangan perlahan menghilang dengan meninggalkan keheningan menyesakkan di ruang tamu besar kediaman Wirajaya.Kertas surat wasiat masih tergeletak di meja bersama cangkir-cangkir teh yang sudah dingin.Di sana Bagas duduk kaku di kursi dengan tatapan kosong. Vero menyalakan rokok dan asapnya membentuk lingkaran-lingkaran tipis di udara. Sementara itu Dinara berdiri di tengah ruangan."Ayah ... ibu apa kalian tidak bisa mencari jalan keluarnya untukku?""Aku tidak bisa menerima dan tidak akan membiarkan ini terjadi!” suaranya menggema seperti memecah kesunyian sedari tadi di ruangan.“Aku tidak akan membiarkan Widipa menikah dengan perempuan itu! Tidak akan, selama aku masih hidup!” Napas Dinara menderu sambil berlipat tangan.“Dinara, tolonglah tenanglah! Jangan banyak bicara. Ini cuma permainan surat. Kita bisa cari cara untuk membatalkannya secara hukum," jawab Bagas menghela napas berat."Membatalkan secara hukum?" Dinara memandangnya
Ruang tamu utama kediaman keluarga Bagas terasa begitu dingin. Cuaca terlihat terang di luar seolah matahari enggan pulang. Di atas meja marmer panjang terdapat berkas-berkas tebal tersusun rapi.Rudi pengacara keluarga yang sudah lama dipercaya mendiang Daru Wirajaya berdiri di tengah-tengah. Di sisi kanan Danastri duduk bersebelahan dengan Widipa. Wajahnya menunjukkan ketegangan sekaligus rasa penasaran.Sedangkan di sisi kiri Bagas dan Dinara menunggu tak sabar. Beda dengan Vero tampak tenang. Wanita itu hanya duduk diam dan hanya memerhatikan pertunjukan drama di keluarganya. Rudi menatap semua yang hadir lalu membuka map hitam di hadapannya."Jadi apa yang ingin anda katakan pada kami semua?" tanya Bagas tak sabar."Terima kasih semuanya sudah hadir memenuhi undangan saya. Seperti yang kalian tahu ini adalah pembacaan surat warisan kedua dari almarhum Tuan Daru Wirajaya.”"Kedua? Bukannya semua aset sudah dibagikan beberapa bulan lalu? Untuk apa lagi dipanggil ke sini?” Bagas me
Dinara sedang menikmati paginya di Paris. Untuk saat ini dia memilih untuk sarapan sebelum mengawasi Danastri dan Widipa yang tinggal di lantai atas hotel tempat mereka menginap. Dinara sengaja memilih hotel yang sama agar bisa terus memerhatikan.Pagi ini Dinara ingin berjalan-jalan di sekitar kawasan hotel. Tentunya tanpa ditemani Julius yang masih tertidur karena pekerjaannya sebagai programer di tengah malam. Dinara pergi sendiri memasuki kafe yang dipenuhi pengunjung.Dinara membuka pintu kafe, di dalam ruangan tampak rame dan pelayan kafe menyarankannya untuk di duduk di bagian depan karena di sana masih ada meja kosong. Dinara menyetujui hingga sesampainya di sana, matanya tak sengaja menangkap sosok sang ayah tampak tertawa bahagia bersama seorang wanita.“Ayah?” Dinara terkejut sekaligus kecewa.Bagas menoleh kaget. Dinara berdiri di pinggir jalan masih mengenakan mantel panjang dengan rambutnya ditiup angin. Wajahnya tegang dan suaranya bergetar di antara terkejut dan marah.
Di bandara Soekarno-Hatta tak pernah sepi oleh orang-orang yang hendak terbang atau baru saja turun dari pesawat. Terdengar suara pengumuman bersahutan disertai dengan derap langkah banyaknya pengunjung.Di tengah keramaian itu Danastri berdiri dengan koper besar dan map berisi undangan resmi.["Selamat kepada pemenang Lunara Danastri Wirajaya. Kami mengundang saudari untuk menerima penghargaan di Fashion Show Paris."]Danastri masih sulit percaya bahwa namanya tertulis di sana sebagai pemenang desain terbaik dari ratusan peserta seluruh dunia. Awalnya dia ragu mengirim hasil karyanya, tetapi Widipa dan Arumi terus mendukungnya.Di sebelahnya ada Widipa ikut mengantarnya ke bandara, dia berdiri dengan tangan di saku jaket dengan wajah yang tenang seperti biasa, tapi matanya menatap Danastri lebih lama dari yang dia sadari."Kemampuanmu memang patut diperhitungkan," kata Widipa suaranya terdengar datar, tapi ada kelembutan."Akhirnya dunia menyambutmu sebagai pemenang."Danastri tersen







