Sinar matahari berlahan menerobos cela jendela, Hana yang sejak pagi sudah bersiap dengan seragam salah satu restoran ternama di kotanya. Sita yang sejak semalam menginap, kini tengah menikmati nasi goreng buatannya.
"Hana sarapan dulu, ingat menghadapi kenyataan butuh tenaga juga kan!" selorohnya garing. "Apa sih! Kamu makan aja yang banyak. Aku belum lapar." Sahutnya, memilih duduk di kursi teras. Ya, bener di katakan oleh Fadya semalam. Juragan Broto dan anak buahnya tidak menampakkan diri di hadapannya. "Ayok, berangkat! Jangan mikirin hal yang belum terjadi, berfikir yang indah aja ya. Semangat Hana!!" Sita merangkul pundak Hana, wanita berkerudung hitam segi empat itu menggelengkan kepala melihat tingkah random sahabatnya. Terbebas dari kejaran hutang jurangan Broto membuatnya tenang, namun ketenangan itu entah sampai kapan. Mengingat satu minggu waktu untuk bebas dirinya, setelah itu takdir apa yang akan menghampirinya nanti. Pengunjung restoran semakin ramai, membuat semua karyawan sibuk termasuk Hana. "Hana antar pesanan ini di meja nomer lima belas!" Dengan cekatan Hana mendorong troli berisi berbagai menu istimewa. Terlihat seorang pria tatapan dingin menelisik penampilannya, Hana tanpa mempedulikan siapa pengunjung di depannya. "Selamat menikmati makan siang tuan, permisi." Ucap Hana lirih, wajahnya tertunduk berlahan mundur melangkah meninggalkan meja. "Hana sebaiknya kamu makan siang dulu. Sejak semalam kamu belum makan, tidak perlu pikirkan masalah yang belum tentu terjadi," Sita menyodorkan makan siang pada Hana. Hana tersenyum getir, tidak menampik jika perutnya terasa lapar. Akan tetapi beban di atas pundaknya begitu berat, seakan semakin menghimpit nya. "Nanti aku makan, aku rapikan meja dulu." "Hana!" Sita berdecak, kesal sekaligus khawatir akan kondisi Hana. Tubuhnya semakin kurus wajahnya putihnya kini semakin pucat. "Hana, tunggu! Tolong bawakan just meja yang ujung." Hana mengangguk, mengerjakan semua tugas sampai tidak sadar jika jam pulang telah tiba. Sita yang malam ini pulang ke rumah mengingat sejak kemarin menginap di rumah Hana, merasa khawatir tentang keselamatan temannya. "Kamu tidak apa-apa, aku tinggal pulang?" ujar Sita, suaranya penuh kekhawatiran. Hana tersenyum lembut, mencoba meyakinkan Sita. "Ini rumahku, Sita. Semua akan aman, pulanglah salam untuk ibumu," katanya dengan nada yang tenang. Sita masih terlihat khawatir, tapi dia tahu bahwa Hana adalah orang yang kuat dan mandiri. "Ya sudah, aku pulang. Hubungi aku segera jika ada hal yang terjadi padamu," katanya sebelum memeluk Hana. Hana membalas pelukan Sita, merasa bersyukur memiliki teman seperti Sita. "Hum, Sita!" katanya sebelum Sita pergi meninggalkan Hana. Dua gadis berpisah, Hana melanjutkan langkahnya menuju rumahnya. Baru saja kakinya menapak pagar rumahnya, mobil hitam berhenti di belakangnya. Seorang pria berbadan tegap keluar dari mobil, mata tajamnya menatap Hana. "Nona Hana, tuan Arsa ingin bicara denganmu. Masuklah ke dalam mobil, jangan menunggu kekerasan dariku," ucapnya tegas, suaranya tidak meninggalkan ruang untuk diskusi. Hana merasa takut, matanya membulat ketika melihat pria itu. "T–tuan kamu?" tanyanya dengan suara yang gemetar, dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hana memilih masuk ke dalam mobil mewah itu, meskipun ada rasa takut dan ketidaknyamanan dalam dirinya. Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang menuju salah satu apartemen mewah di kota, membuat Hana semakin penasaran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Walau ia tahu setelah ini hidupnya tidak lagi bebas. Ketika mereka tiba di apartemen mewah itu, pria berkaca mata hitam keluar dari mobil dan memimpin Hana ke dalam apartemen yang luas dan elegan. Hana semakin tidak nyaman terlebih lingkungan yang begitu mewah dan asing. "Jadi kau yang mama ku pilih? Murahan!" ucap Arsa sinis, menatap Hana dengan mata yang tajam. "Kau tidak seperti yang mama ku gambarkan. Lebih seperti... perempuan desa yang tidak tahu diri," tambahnya, suaranya penuh dengan ejekan. Hana merasa tersinggung dengan kata Arsa, tapi dia mencoba untuk tidak menunjukkan perasaannya. "Saya tidak tahu apa yang Anda maksud, tuan," katanya dengan nada yang tenang, meskipun di dalam hatinya dia merasa marah dan sakit. Arsa menelisik penampilan Hana yang sederhana, kerudung hitam dan celana hitam. "Kau tidak seperti yang aku bayangkan," katanya, suaranya penuh dengan cemooh. "Tapi, mama ku sudah memilihmu, jadi aku harus menerima keputusan itu," tambahnya, matanya masih menatap Hana dengan sinis. Tanpa sepengetahuan ibunya, Arsa memberikan peraturan yang rumit untuk Hana dan surat perjanjian. "Kamu harus menandatangani surat perjanjian ini, dan kamu harus mematuhi semua peraturan yang aku buat. Jika kamu tidak mematuhi, maka perjanjian ini akan batal, dan kamu akan kehilangan semua yang aku tawarkan, tentu dengan uang yang mamaku janjikan," kata Arsa dengan nada yang dingin. Hana ragu-ragu sejenak, tapi dia tahu bahwa dia tidak memiliki pilihan lain. "Baiklah, saya akan menandatangani surat perjanjian ini," katanya dengan suara yang lembut. Arsa tersenyum mengejek. "Bagus, sekarang kamu harus mematuhi peraturan pertama: kamu tidak boleh mengakui anak itu, dan kamu tidak boleh mencoba untuk mengetahui apa pun tentangnya kelak. Kamu hanya fokus pada tugasmu, tidak ada kontak fisik atau apapun itu mengenai aku. Ingat aku tidak pernah menganggap kamu sebagai istriku. Paham? Dua milyar akan masuk ke rekening kamu, begitu anak itu lahir." Katanya dengan nada yang tegas. Hana mengangguk, tapi dia tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran tentang wanita yang menjadi istri pertama pria di depannya. Begitu beruntungnya wanita itu yang di cintai segitu dalam oleh suami. Kesadarannya kembali, siapapun itu tidak ada hubungan dengannya. Tugasnya hanya satu dan itu tidak terbantahkan. "Siapa istri pertama Anda?" Hana memejamkan mata, kecerobohan dirinya yang bertanya. Arsa tersenyum dingin. "Itu tidak penting. Yang penting adalah kamu fokus pada tugasmu, dan jangan mencoba untuk mengetahui apa pun tentang istri pertama. Jika kamu melanggar peraturan ini, maka perjanjian ini akan batal," katanya dengan nada yang mengancam. "Pergilah. Jangan lupa bersihkan tempatmu duduk, aku tidak ingin kuman di tubuhmu tertinggal di sana!" Arsa berdiri, meninggalkan Hana yang berdiri terpaku. Tak lama terdengar suara pintu di banting, Hana menghela napas kesabarannya semakin terkikis. Hari pertama bertemu pria yang akan menjadi suami membayangkan tinggal satu atas membuat Hana bergidik nyeri. __ Hana merasa seperti dihantam badai ketika mendengar kata-kata Fadya. "Mulai hari ini kamu tinggal di sini, pernikahanmu tinggal berapa jam lagi, bersiaplah Hana," kata Fadya dengan nada yang tegas, tanpa memberikan kesempatan bagi Hana untuk membantah. "Tapi nyonya ..." Hana mencoba untuk berbicara, tapi Fadya langsung memotongnya. "Tidak ada kata tapi, Hana. Kamu lupa surat perjanjian itu? Di sini aku yang menentukan. Kamu sudah sepakat, tidak ada kata untuk mundur Hana." Kata Fadya dengan mata yang tajam, menatap Hana dengan sinis. "Kamu sudah setuju untuk menikah dengan anakku, dan sekarang saatnya untuk memenuhi perjanjian itu." Hana merasa seperti terjebak, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. "Tapi... bagaimana dengan putra Anda, nyonya? Saya juga tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya begitu saja," kata Hana, mencoba untuk mencari jalan keluar. "Masalah pekerjaan kamu jangan khawatir, orangku yang akan mengurusnya," kata Fadya dengan senyum yang dingin. "Kamu tidak perlu memikirkan hal-hal yang tidak penting, kamu hanya perlu fokus pada pernikahan."Arsa mendorong tubuh pria itu dengan kasar. Tatapannya menyala penuh amarah.“Lepaskan Hana! Dia bukan milikmu!”Juragan Broto tersenyum miring, wajah tuanya tampak keji. “Kau masih tidak paham, Arsa. Sebelum menikah denganmu, gadis ini sudah menjadi incaranku. Hutang orang tuanya belum lunas sampai sekarang. Dengan menjadi istriku, Hana bisa menebus semuanya.”Hana menggigil, wajahnya pucat. “Hutang? Hutan apa lagi? Aku sudah melunasinya, bagaimana hutang itu masih ada. Jika masih kenapa diam saja hah? Bukankah ini tipuan anda juragan Broto? Berapa kali aku katakan. Aku tidak akan pernah jadi istrimu! Lebih baik aku mati daripada masuk dalam kehidupanmu, juragan Broto!”Broto tertawa terbahak, suaranya memecah malam. “Mulutmu masih tajam seperti dulu, Hana. Kau pikir Arsa bisa melindungi mu selamanya? Aku punya cara untuk membuatmu bertekuk lutut. Aku bisa habisi namamu, bisnismu, bahkan anakmu.”Mendengar itu, Arsa tak bisa menahan diri lagi. Ia maju, meninju karangan bunga hingga h
Pesta meriah berganti dengan desas-desus tentang Hana. Semua di lakukan oleh Davina, hatinya memanas melihat perjuangan Arsa yang ingin mendekati Hana. Bukan hanya itu saja keluarga besarnya mendukung penuh keinginan Arsa. "Aku bersumpah akan menghancurkan hidupmu Hana. Kamu penyebab hancurnya rumah tangga ku, aku tidak akan terima kamu bahagia di atas penderitaan aku." Gumam Davina. Melihat kepergian keluarga besar Prasaja, keluarga Devan mengenal keluarga Prasaja meski hati Dania begitu kesal.Keluarganya tidak habis pikir bagaimana mungkin keluarga terhormat seperti keluarga Prasaja bisa melakukan hal serendah itu. Terlebih Davina adalah sahabat keponakannya dan sangat mengenal Devan. Sejak awal ia mengagumi sikap dan kerja keras Hana, wanita muda dengan segudang prestasi bukan hanya dalam pendidikan yang bisa di rampungkan dalam waktu singkat. Tetapi kegigihannya dalam mengola bisnis menjadi sebesar sekarang semua berkat tangan dan kerja usahanya. Sayang di balik itu semua tersi
Hana terperanjat, tubuhnya kaku seakan tak sanggup bergerak. Suara itu begitu familiar, suara yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Saat menoleh, matanya membesar, Arsa. Lelaki itu berlari menghampiri, napasnya memburu, sorot matanya penuh kerinduan bercampur penyesalan."Ma-mas Arsa..," Gumam Hana, tidak percaya jika akan bertemu dengan Arsa di pesta itu."Ya, ini aku. Apa kabar bundanya Elvan?" Ujar Arsa, mendekati wanita yang terlihat bingung."Mas, tadi kamu panggil..," Hana menatap wajah Arsa dan Elvan bergantian. Gemuruh di dalam dadanya semakin kuat. Terlebih anak itu begitu tampan dan wajah anak itu bak pinang di belah dua.Arsa tersenyum, langkahnya semakin dekat. Begitu dekat sampai Hana menahan nafasnya.“Hana, dia Elvano. Anak kita,” ucap Arsa dengan suara bergetar, memeluk erat bocah kecil yang duduk di pangkuan Hana.Dunia Hana seakan berhenti berputar. Kata-kata itu menampar hatinya. Anak yang ia lahirkan, yang dulu direbut dari pelukannya, kini ada di depannya. Anak y
Empat tahun berlalu sejak Hana meninggalkan rumah besar keluarga Prasaja. Waktu yang panjang itu mengubahnya menjadi sosok yang jauh lebih kuat dan berwibawa.Hidup sederhana di rumah peninggalan orang tuanya menjadi titik balik. Hana berhasil menyelesaikan kuliah yang sempat tertunda, meraih gelar sarjana dengan predikat membanggakan. Semua perjuangan itu ia jalani sambil membangun kembali usahanya, daycare yang dulu sempat runtuh karena ancaman.Kini, tempat itu telah berkembang pesat. Dari sebuah rumah sederhana, Hana berhasil membuka cabang baru di ibu kota. Ruangannya lebih modern, guru-guru terlatih mengajar dengan penuh dedikasi, dan banyak orang tua mempercayakan anak-anak mereka pada tangan Hana.Di balik pencapaiannya, Hana tetaplah sosok lembut yang sederhana. Setiap kali menutup mata, bayangan Elvano masih hadir. Putra kecilnya yang tak bisa ia peluk setiap hari menjadi alasan terbesarnya untuk tidak menyerah.Di depan cabang barunya, Hana berdiri dengan senyum hangat, men
Alexi duduk di ruang tamu dengan wajah kusut, memijat keningnya yang berdenyut. Hidupnya yang dulu dipenuhi pesta dan kemewahan kini terasa sempit. Perceraian Davina dengan Arsa membuat segalanya berubah, sumber keuangan yang selama ini menopang gaya hidup mereka seakan lenyap begitu saja.“Davina,” ucap Alexi tajam, menatap putrinya. “Kamu harus cari cara agar bisa kembali ke Arsa. Jangan biarkan dia lepas begitu saja. Tanpa Arsa, kita, kita tak ada apa-apanya.”Davina terdiam, matanya berkaca-kaca. “Mama, Arsa tidak akan mau lagi. Dia sudah tahu semuanya, apa yang kita harapkan dari Arsa, dia ..,"“Menurut kamu?” potong Alexi cepat. “Kalau begitu, gunakan cara lain. Jangan biarkan semua ini sia-sia.”Namun, bukannya mendekati Arsa, Davina justru mencari pelarian pada Andres. Mereka bertemu sembunyi-sembunyi di sebuah kafe kecil jauh dari pusat kota. Andres menatap Davina dengan tatapan penuh rindu, menggenggam tangannya. “Kita bisa bersama, Davina. Lupakan Arsa. Aku akan menjagamu.”
Hana berjalan tanpa arah, langkahnya gontai meninggalkan rumah penuh kenangan itu. Setiap langkah terasa berat, seolah kaki enggan meninggalkan tanah yang pernah menjadi saksi kebahagiaannya bersama orang tua. Malam itu udara dingin menusuk, tapi hati Hana jauh lebih dingin, hampa. Hana memilih penginapan sederhana, bukan karena tak memiliki uang namun Hana tak ingin menghabiskan mengeluarkan tabungannya hanya untuk sesaat."Ini kamarnya mbak, semoga betah. Jangan khawatir di sini aman," hana mengangguk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Memejamkan matanya sejenak, hatinya terasa sesak mengingat putranya. Sedangkan apa sekarang?Sementara itu, pagi harinya Devan datang berkunjung. Matanya membelalak begitu melihat rumah Hana sebagian hancur, kaca pecah, pintu tercongkel, dan sisa kayu terbakar di halaman. “Astaga, siapa yang tega begini?” gumamnya, suaranya tercekat.Salah satu warga yang diam-diam mendekat berbisik lirih, “Mas, mas temannya Hana?" Devan menoleh sebab suara wa