Davina tersenyum manis, tapi di balik senyum itu, dia menyembunyikan sakit hati yang mendalam. Sakit hati? Tentu, siapa yang rela suaminya memiliki wanita lain. Tetapi semua demi masa depan, Davina rela dimadu. Dia tahu bahwa pernikahan Arsa dengan Hana adalah keputusan ibunya, dan dia tidak bisa berbuat apa-apa."Vin, aku denger keluarga suamimu mengadakan acara? Tidak biasanya acara di rumah, secara keluarga suamimu orang terkaya di sini. Kenapa kamu di sini?" Anggel mengambil minuman soda dari lemari pendingin."Tidak ada acara, hanya makan siang, kebetulan sepupu suamiku berkunjung dari luar negeri. Kenapa aku ada di sini, kamu tahu alasannya kan?" kata Davina, dia mencoba untuk terlihat santai. Angel, sahabatnya, memberikan minuman dingin padanya, dan Davina menerima dengan seulas senyum.Angel menatap Davina dengan mata yang tajam, dia tahu bahwa Davina menyembunyikan sesuatu. "Bagaimana ibu mertuamu? Apa mereka tahu jika kamu..." Angel menjeda ucapannya, menelisik sahabatnya ya
Arsa merasa seperti dihantam badai ketika ibunya, Fadya, memberitahu bahwa pernikahan dengan Hana akan dipercepat. "Mama, kenapa acaranya dipercepat? Bukankah mama bilang empat hari lagi?" Arsa menolak tegas permintaan Fadya, suaranya penuh dengan kemarahan dan kekecewaan.Fadya tersenyum manis, tapi mata Arsa melihat ada sesuatu yang dingin di balik senyum itu. "Mama tidak perlu memberitahu kamu, Arsa," kata Fadya dengan nada yang tegas. "Setiap keputusan tentang kamu akan mama ambil, katakan pada istrimu jangan membuat ulah."Arsa menggelengkan kepala, tidak percaya bahwa ibunya lagi-lagi mengambil keputusan sendiri tanpa mempertimbangkan perasaannya. "Aku seperti boneka mu, mama," kata Arsa dengan suara yang lirih. "Aku tidak ada harganya, terlebih istriku, Davina."Fadya menatap Arsa dengan mata yang tajam, seolah-olah dia tidak suka dengan kata-kata Arsa. "Boneka? Kamu berfikir mama menjadikan kamu boneka?" kata Fadya dengan nada yang mengejek. "Tidak salah kamu, Arsa? Justru kam
Sinar matahari berlahan menerobos cela jendela, Hana yang sejak pagi sudah bersiap dengan seragam salah satu restoran ternama di kotanya. Sita yang sejak semalam menginap, kini tengah menikmati nasi goreng buatannya."Hana sarapan dulu, ingat menghadapi kenyataan butuh tenaga juga kan!" selorohnya garing. "Apa sih! Kamu makan aja yang banyak. Aku belum lapar." Sahutnya, memilih duduk di kursi teras. Ya, bener di katakan oleh Fadya semalam. Juragan Broto dan anak buahnya tidak menampakkan diri di hadapannya. "Ayok, berangkat! Jangan mikirin hal yang belum terjadi, berfikir yang indah aja ya. Semangat Hana!!" Sita merangkul pundak Hana, wanita berkerudung hitam segi empat itu menggelengkan kepala melihat tingkah random sahabatnya.Terbebas dari kejaran hutang jurangan Broto membuatnya tenang, namun ketenangan itu entah sampai kapan. Mengingat satu minggu waktu untuk bebas dirinya, setelah itu takdir apa yang akan menghampirinya nanti.Pengunjung restoran semakin ramai, membuat semua k
"Kenapa diam? Ini tawaran yang datang hanya sekali. Kenapa aku memilih kamu, itu karena aku ingin cucuku terlahir dari wanita bersih. Dan kamu wanita yang beruntung itu. Aku memilih kamu untuk menikah dengan anakku! Ingat waktu kamu tidak banyak. Jadi jangan banyak berfikir." Ucap wanita itu, penuh penekanan."Nyonya, bagaimana dengan istri pertama putra anda? Apakah ...""Kamu jangan pikirkan yang lain. Tugas kamu cuma satu, menikah dan mengandung penerus keluarga Prasaja, kamu tidak lupa kan juragan Broto akan datang besok pagi dan kamu akan menjadi istri keempat tua bangka itu.""T-tapi, nyonya ...""Kamu sudah membuang waktuku. Persiapkan dirimu, besok aku akan menjemputmu! Sebelum itu kamu hubungi nomer ini, pastikan jawabannya sesuai keinginan ku."Suara sepatu high heels beradu dengan lantai yang semakin menjauh dari Hana, tubuh yang sejak tadi menunduk kini luruh ke lantai. Air mata mengalir deras tanpa bisa di bendung lagi. Tangis Hana pecah, lelah dan sesak mengingat kejadi
"Hana! Cepat kamu bayar hutang kamu, kalau tidak bersiaplah menjadi istri ke empat ku." Ucap Broto, seorang rentenir yang kejam."P–pak, Broto. Aku akan bayar semua hutang orang tuaku, tapi aku mohon berikan waktu makam ayahku masih basah, mana mungkin ..." Ucapan Hana terhenti, suara lantang dan sorot mata tajam itu kembali terdengar."Kamu pikir uang ku itu uang ibumu, hah! Cepat bayar hutang kamu, aku kasih waktu satu minggu kalau tidak, gaun pengantin dan penghulu yang akan ke sini. Paham kamu!" Tegas Broto.Pria berbadan tambun itu, menyeringai melihat wajah cantik alami Hana. Ya, Broto pria yang terkenal dengan kekejian, seorang rentenir sekaligus juragan tanah. Sifatnya yang semena-mena terhadap orang di sekitarnya, terlebih mereka yang memiliki utang piutang dengan Broto. "Tolong, berikan aku waktu lagi pak. Aku janji akan melunasinya," Hana memohon dengan suara yang bergetar. Entah cara apa ia mampu melunasi hutang orang tuanya, mengingat jumlah yang tidak sedikit sedangkan