Davina dan Angel terus membahas rencana mereka, mencari celah kelemahan Arsa dan ibunya yang bisa mereka manfaatkan. "Aku punya ide, Vin," kata Angel, suaranya penuh dengan semangat. "Bagaimana jika kita mencari bukti tentang kebohongan Arsa dan ibunya? Jika kita bisa membuktikan bahwa mereka berbohong, maka kita bisa menggunakan itu sebagai senjata untuk melawan mereka."
Davina tersenyum, dia suka dengan ide Angel. "Aku suka idemu, Angel," kata Davina, suaranya penuh dengan antusiasme. "Tapi kita harus berhati-hati, Arsa dan ibunya tidak akan menyerah begitu saja. Mereka akan melakukan apa saja untuk menyembunyikan kebenaran." Angel mengangguk, dia tahu bahwa Davina benar. "Aku tahu, Vin," kata Angel, suaranya penuh dengan kesabaran. "Tapi kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan." Davina tersenyum lagi, dia tahu bahwa Angel adalah sahabat yang setia. "Aku percaya padamu, Angel," kata Davina, suaranya penuh dengan keyakinan. "Kita akan berhasil, aku yakin." Dengan itu, Davina dan Angel pun mulai mencari bukti tentang kebohongan Arsa dan ibunya. Mereka tahu bahwa ini tidak akan mudah, tapi mereka siap untuk menghadapi apa pun yang terjadi. "Kamu sudah siap, Vin? Kamu cinta kan sama Arsa? Setidaknya kamu akan tetap menjadi nyonya Prasaja tanpa harus menjatuhkan keringat hanya untuk mencari sesuap nasi. Maaf tapi, aku rasa ada cara lain." Tiba-tiba keraguan menyelinap dalam hati Angel, mereka adalah sahabat sejak sekolah dulu. "Seperti rencana kita, aku percaya semua akan berjalan lancar. Aku berharap kamu tetap pada pendirian mu, kamu tahu siapa aku dan keluarga suamiku, Angel. Aku menggenggam rahasia terbesar mereka," ujar Davina yakin. Menghabiskan waktu bersama Angel, membuat rasa penat hilang seketika. Lelah dan sakit seakan menghilang begitu saja. Walau setelah ia kembali ke dalam istana suaminya kecemburuan kembali menyentuhnya. Tanpa di sadari ibu mertuanya, wanita paruh baya itu begitu perhatian pada Hana. Davina kembali duduk mengirup aroma parfum yang baru saja di belinya. Davina tersenyum. "Aku percaya padamu, Angel," kata Davina, suaranya penuh dengan keyakinan. "Kita akan berhasil, aku yakin." Angel mengangguk, dia tahu bahwa Davina benar. "Aku juga yakin, Vin," kata Angel, suaranya penuh dengan semangat. "Kita akan membuat Arsa dan ibunya menyesali keputusan mereka." Davina tersenyum lagi, dia tahu bahwa Angel adalah sahabat yang tangguh. Mengikuti apapun yang di katakan. "Aku tidak sabar untuk melihat hasilnya," kata Davina, suaranya penuh dengan antisipasi. Segelintir rasa tidak yakin, mengumpulkan bukti? Menjatuhkan nama baik suami dan keluarga besarnya apakah mampu? Sementara itu, di dalam istana, Hana semakin merasa tidak nyaman. Dia tahu bahwa ibu mertuanya memperhatikan dirinya, tapi dia tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh wanita paruh baya itu. "Mama, apa yang mama inginkan dari Hana?" tanya Arsa, dia merasa curiga dengan perhatian ibunya terhadap Hana. Sejak kehadiran Hana, Ibunya kerap kali di rumah, menghabiskan waktu di taman atau pun di ruang khusus. Fadya tersenyum, dia tahu bahwa Arsa curiga. "Aku hanya ingin memastikan bahwa Hana nyaman di sini," kata Fadya, suaranya penuh dengan penuh arti. "Aku ingin dia menjadi bagian dari keluarga ini. Sampai anak kalian lahir, bukankah Hana tidak boleh stres? Mama takut akan memengaruhi proses kehamilannya nanti. Arsa, mama minta temui Hana bukan cuma sekali buat berapa kali biar cepat hamil." Arsa menggeleng, dia tidak yakin dengan jawaban ibunya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena dia tahu bahwa ibunya memiliki rencana tersendiri. "Sudah cukup mam, ini yang mama mau. Jangan lagi menghancurkan hati Davina, aku tidak suka. Mengenai kehamilan itu di luar kuasa ku, mam. Aku tidak akan mendatangi kamarnya lagi, hanya satu kali dan itu sudah." Tegas Arsa, menolak keinginannya ibunya. Mana mungkin Arsa menyakiti hati Davina, mendatangi istri keduanya untuk kedua kali. "Cinta memang buta, membutakan seorang Arsa kelulusan universitas ternama luar negeri. Apa selama ini ada pelajaran yang ..." Ucapan Fadya terhenti. Derap langkah memasuki rumah. "Davina dari mana kamu? Lupa punya suami?" tanya Fadya, menelisik penampilan menantunya. "Jika mama lupa, hari ini adalah jadwal ke dokter. Sedang apa mama di sini?" Davina melanjutkan langkahnya menaiki tangga, baru berapa langkahnya terhenti. "Mama menginginkan menantu yang mengerti suami dan ibu mertua. Tapi mama lupa jika anak mama selalu berada di jalur yang mama siapkan. Mas Arsa tahu hari ini jadwalku ke dokter." Lanjutnya meninggalkan Fadya. Fadya terkejut dengan jawaban Davina, dia tidak menyangka bahwa menantunya akan membalas dengan begitu tajam. "Davina, kamu sebaiknya ingat tempatmu," kata Fadya, suaranya mulai meninggi. Davina tersenyum sinis, dia tahu bahwa ibu mertuanya tidak suka dirinya berbicara seperti itu. Tubuhnya berbalik, di tengah tangga Davina menatap ibu mertuanya dan berucap. "Mama tidak perlu mengingatkan tempatku, karena aku tahu apa yang aku lakukan," kata Davina, suaranya tetap tenang. Fadya semakin marah, dia tidak suka dengan sikap Davina yang semakin berani. "Kamu sebaiknya ingat bahwa kamu adalah menantu keluarga Prasaja, dan kamu harus menghormati aku sebagai ibu mertuamu," kata Fadya, suaranya penuh dengan ancaman. "Aku tahu apa yang kamu sembunyikan Davina. Sampai waktunya tiba maka semua akan kembali sesuai tempat dan porsinya." Davina tersenyum lagi, dia tahu bahwa ibu mertuanya hanya ingin menguasai dirinya. "Mama tidak perlu mengingatkanku tentang itu, karena aku sudah tahu apa yang aku harus lakukan," kata Davina, sebelum melanjutkan langkahnya meninggalkan Fadya. Sementara itu, Arsa yang mendengar percakapan antara Davina dan ibunya merasa tidak nyaman. Dia tahu bahwa ibunya tidak suka dengan sikap Davina yang semakin berani, tapi dia juga tahu bahwa Davina memiliki alasan untuk bersikap seperti itu. Arsa memutuskan untuk tidak campur tangan, dan membiarkan Davina dan ibunya menyelesaikan masalah mereka sendiri. Arsa terusik kata yang terucap dari ibunya. Rahasia? Apa ada yang tidak di ketahui tentang istrinya? Arsa menepis praduganya. Davina, istrinya wanita yang lembut meski hatinya terluka olehnya. Wanita yang berjuang dengan segala obat yang di berikan dokter padanya. "Arsa, kamu pulang cepat? Mama akan pergi, Mama minta kamu melakukan yang seharusnya di lakukan. Keluarga Prasaja butuh penerus!" Tekan Fadya. Arsa mengangguk, "aku tahu mama. Biarkan aku istirahat. Kapan mama pulang?" "Lusa, mama harap kamu adil pada mereka berdua. Hana wanita yang akan melahirkan penerus, Davina istrimu. Jaga keduanya jika tidak ingin kehilangan jabatan mu." Ancam Fadya. Arsa berbalik, menatap seseorang yang berada di balik tembok pembatas. "Keluarlah. Selain murahan, kau juga merangkap menjadi mata-mata? Ingat, kau hanya singgah di sini. Bersikap sesuai kesepakatan."Pesta meriah berganti dengan desas-desus tentang Hana. Semua di lakukan oleh Davina, hatinya memanas melihat perjuangan Arsa yang ingin mendekati Hana. Bukan hanya itu saja keluarga besarnya mendukung penuh keinginan Arsa. "Aku bersumpah akan menghancurkan hidupmu Hana. Kamu penyebab hancurnya rumah tangga ku, aku tidak akan terima kamu bahagia di atas penderitaan aku." Gumam Davina. Melihat kepergian keluarga besar Prasaja, keluarga Devan mengenal keluarga Prasaja meski hati Dania begitu kesal.Keluarganya tidak habis pikir bagaimana mungkin keluarga terhormat seperti keluarga Prasaja bisa melakukan hal serendah itu. Terlebih Davina adalah sahabat keponakannya dan sangat mengenal Devan. Sejak awal ia mengagumi sikap dan kerja keras Hana, wanita muda dengan segudang prestasi bukan hanya dalam pendidikan yang bisa di rampungkan dalam waktu singkat. Tetapi kegigihannya dalam mengola bisnis menjadi sebesar sekarang semua berkat tangan dan kerja usahanya. Sayang di balik itu semua tersi
Hana terperanjat, tubuhnya kaku seakan tak sanggup bergerak. Suara itu begitu familiar, suara yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Saat menoleh, matanya membesar, Arsa. Lelaki itu berlari menghampiri, napasnya memburu, sorot matanya penuh kerinduan bercampur penyesalan."Ma-mas Arsa..," Gumam Hana, tidak percaya jika akan bertemu dengan Arsa di pesta itu."Ya, ini aku. Apa kabar bundanya Elvan?" Ujar Arsa, mendekati wanita yang terlihat bingung."Mas, tadi kamu panggil..," Hana menatap wajah Arsa dan Elvan bergantian. Gemuruh di dalam dadanya semakin kuat. Terlebih anak itu begitu tampan dan wajah anak itu bak pinang di belah dua.Arsa tersenyum, langkahnya semakin dekat. Begitu dekat sampai Hana menahan nafasnya.“Hana, dia Elvano. Anak kita,” ucap Arsa dengan suara bergetar, memeluk erat bocah kecil yang duduk di pangkuan Hana.Dunia Hana seakan berhenti berputar. Kata-kata itu menampar hatinya. Anak yang ia lahirkan, yang dulu direbut dari pelukannya, kini ada di depannya. Anak y
Empat tahun berlalu sejak Hana meninggalkan rumah besar keluarga Prasaja. Waktu yang panjang itu mengubahnya menjadi sosok yang jauh lebih kuat dan berwibawa.Hidup sederhana di rumah peninggalan orang tuanya menjadi titik balik. Hana berhasil menyelesaikan kuliah yang sempat tertunda, meraih gelar sarjana dengan predikat membanggakan. Semua perjuangan itu ia jalani sambil membangun kembali usahanya, daycare yang dulu sempat runtuh karena ancaman.Kini, tempat itu telah berkembang pesat. Dari sebuah rumah sederhana, Hana berhasil membuka cabang baru di ibu kota. Ruangannya lebih modern, guru-guru terlatih mengajar dengan penuh dedikasi, dan banyak orang tua mempercayakan anak-anak mereka pada tangan Hana.Di balik pencapaiannya, Hana tetaplah sosok lembut yang sederhana. Setiap kali menutup mata, bayangan Elvano masih hadir. Putra kecilnya yang tak bisa ia peluk setiap hari menjadi alasan terbesarnya untuk tidak menyerah.Di depan cabang barunya, Hana berdiri dengan senyum hangat, men
Alexi duduk di ruang tamu dengan wajah kusut, memijat keningnya yang berdenyut. Hidupnya yang dulu dipenuhi pesta dan kemewahan kini terasa sempit. Perceraian Davina dengan Arsa membuat segalanya berubah, sumber keuangan yang selama ini menopang gaya hidup mereka seakan lenyap begitu saja.“Davina,” ucap Alexi tajam, menatap putrinya. “Kamu harus cari cara agar bisa kembali ke Arsa. Jangan biarkan dia lepas begitu saja. Tanpa Arsa, kita, kita tak ada apa-apanya.”Davina terdiam, matanya berkaca-kaca. “Mama, Arsa tidak akan mau lagi. Dia sudah tahu semuanya, apa yang kita harapkan dari Arsa, dia ..,"“Menurut kamu?” potong Alexi cepat. “Kalau begitu, gunakan cara lain. Jangan biarkan semua ini sia-sia.”Namun, bukannya mendekati Arsa, Davina justru mencari pelarian pada Andres. Mereka bertemu sembunyi-sembunyi di sebuah kafe kecil jauh dari pusat kota. Andres menatap Davina dengan tatapan penuh rindu, menggenggam tangannya. “Kita bisa bersama, Davina. Lupakan Arsa. Aku akan menjagamu.”
Hana berjalan tanpa arah, langkahnya gontai meninggalkan rumah penuh kenangan itu. Setiap langkah terasa berat, seolah kaki enggan meninggalkan tanah yang pernah menjadi saksi kebahagiaannya bersama orang tua. Malam itu udara dingin menusuk, tapi hati Hana jauh lebih dingin, hampa. Hana memilih penginapan sederhana, bukan karena tak memiliki uang namun Hana tak ingin menghabiskan mengeluarkan tabungannya hanya untuk sesaat."Ini kamarnya mbak, semoga betah. Jangan khawatir di sini aman," hana mengangguk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Memejamkan matanya sejenak, hatinya terasa sesak mengingat putranya. Sedangkan apa sekarang?Sementara itu, pagi harinya Devan datang berkunjung. Matanya membelalak begitu melihat rumah Hana sebagian hancur, kaca pecah, pintu tercongkel, dan sisa kayu terbakar di halaman. “Astaga, siapa yang tega begini?” gumamnya, suaranya tercekat.Salah satu warga yang diam-diam mendekat berbisik lirih, “Mas, mas temannya Hana?" Devan menoleh sebab suara wa
Hari-hari Hana di rumah peninggalan orang tuanya berjalan dalam sunyi. Ia mencoba mengisi waktunya dengan membereskan rumah, menata sudut-sudut yang kini terasa baru dan luas, sambil sesekali mengusap foto Elvano di ponselnya. Senyumnya rapuh, lebih sering diwarnai air mata ketimbang bahagia.Sore itu setelah kepergian Sita, sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Dari dalam turun seorang pria dengan wajah tampan yang tak asing, Devan. Ya, dialah Devan. Pria yang akhir-akhir ini sekolah ada untuknya, saat Arsa tidak peduli padanya, di saat Davina ingin mencelakai anak yang ada dalam kandungannya. Pria yang mampu menjadi sahabat sekaligus orang pertama' yang tidak menghakimi dirinya yang memilih menjadi ibu pengganti. Devan, pria yang datang dengan pesonanya. Menawarkan cinta untuknya, setelah pernikahannya dengan Arsa berakhir. Apakah ini sudah waktunya? Haruskah Hana menerima cinta Devan?"Hai, Hana,” suara Devan berat, namun penuh rindu yang terpendam. “Hana, apa kedatanganku meng