Mag-log inDi ruang makan, keluarga besar berkumpul. Hana memilih duduk menjauh dari Davina dan Arsa, namun sayang, kursi yang ia pilih justru berhadapan dengan pria berwajah dingin itu.
Fadya, sejak tadi tidak hentinya berbincang mengenai siapa Hani. "Ayah, ibu, Hana akan mengandung penerus keluarga kita," kata Fadya, memperkenalkan Hana. "Hana, perkenalkan ibu dan ayahku. Mereka baru bisa datang mengingat mereka tinggal cukup jauh dari sini, kapan-kapan mama akan mengajakmu ke sana." Hana mengulas senyum, tangannya terulur pada dua orang yang duduk tidak jauh darinya. "Hana, Oma. Senang bertemu dengan anda," ucap Hana lembut. "Opa, salam kenal," sambung Hana, sikap tenang dan sopan adalah nilai plus untuknya. Wanita itu hanya tersenyum, senyum yang sinis meski hatinya mengakui jika Hana wanita yang cantik dan santun. "Benar kamu subur? Setidaknya anakku dan cucuku tidak rugi membayar mu." Cetus Gayatri, menelisik penampilan Hana. Senyum anggun terukir di bibir ranum Hana, tidak ada sakit hati, marah, atau ingin membalas ucapan yang menyakitkan. Baginya sudah kebal ucapan mereka hanyalah angin lalu untuknya. "Saya berharap Mama dan mas Arsa tidak rugi. Tapi, kembali lagi pada sang Haliq." Lirih dan tenang. "Bukankah, jodoh, rejeki dan maut itu sesuatu yang rahasia? Kita tidak tahu apa yang terjadi nanti." Gayatri terkejut dengan jawaban Hana, dia tidak menyangka bahwa wanita muda itu akan menjawab dengan begitu bijak. "Kamu pintar berbicara, rupanya," kata Gayatri, suaranya penuh dengan sinisme. Hana tersenyum lagi, dia tahu bahwa Gayatri hanya ingin menyinggungnya. "Saya hanya berbicara apa yang saya pikir, Oma, dan itu benar adanya," kata Hana, suaranya tetap tenang. Gayatri menghela napas, dia tidak suka dengan sikap Hana yang terlalu tenang. "Kamu sebaiknya ingat tempatmu, Hana," kata Gayatri, suaranya penuh dengan peringatan. Hana mengangguk, dia tahu bahwa Gayatri hanya ingin mengingatkannya. "Saya ingat, Oma," kata Hana, suaranya lembut. "Tapi saya juga ingin Oma tahu bahwa saya tidak akan pernah melupakan tujuan saya datang ke sini." Gayatri terdiam, jawaban Hana mampu mengetuk hatinya, meski tidak menunjukkannya ia tidak menyangka bahwa wanita muda itu akan memiliki tujuan yang jelas dan sepertinya mampu di percaya. "Apa tujuanmu?" tanya Gayatri, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu walau ia yakin Hana wanita yang baik. Hana tersenyum lagi, dia tahu bahwa Gayatri penasaran. "Saya ingin memiliki anak yang sehat dan bahagia, Oma," kata Hana, suaranya penuh dengan harapan. "Dan saya ingin membuat keluarga Prasaja bangga dengan anak yang saya lahirkan nanti." Gayatri menghela napas, dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia hanya bisa memandang Hana dengan rasa penasaran dan sedikit kagum. Menyadari situasi tidak memungkinkan, Fadya mengalihkan topik pembicaraan. "Yah, tetap di sini ya, setidaknya sampai cicit kalian lahir," ujar Fadya. "Aku yakin kok, sebentar lagi akan ada suara tangis Arsa junior," "Hamil saja belum, kamu menyuruhku tunggu di sini. Berapa lama? Satu tahun, dua tahun atau seumur hidup?" Tegas Bima. "Mama, yang di katakan opa benar. Kita tidak tahu kapan Hana hamil, aku harap di perut maduku segera ada Arsa junior." Sahut Davina, sejak tadi memilih diam dan senyum penuh arti. Hana dengan jelas tidak di terima kelurga besar Prasaja. Kedudukannya akan tetap aman, dan terkendali. Tidak ada satu pun yang mampu menggesernya dari nyonya Arsa, menantu satu-satunya di keluarga Prasaja dengan segala kelembutan hatinya. "Vina, pikirkan kesehatan kamu. Gimana lebih dari dua tahun kamu berobat di luar negeri, tidak ada perubahan sedikit pun." Senyum Davina lenyap berlahan, kata yang meluncur dari kepala keluarga membuatnya kesal. "Sudah, kita makan dulu. Kamu jangan menghakimi Davina, dia cucu menantu kita. Jika di dalam negeri masih tetap seperti ini, kita akan cari rumah sakit yang lebih baik, kembali ke luar negeri asalkan cucu menantuku bisa sembuh," _ Makanan di piring hanya di lihat, entah kenapa perut Hana bergejolak. Steak di hadapannya seakan racun untuknya. "Hana kenapa tidak di makan? Ah, aku lupa ini makanan pertama untukmu, aku maklumi itu. Maafkan aku ya, biar aku ganti makanan yang lain," Davina berdiri, namun di tahan oleh Arsa. "Duduk aja sayang, biar pelayan yang menggantikan makanan Hana." Arsa menyadari sejak tadi, Hana menahan sesuatu. "Kamu sakit?" tanya Arsa, wajah Hana semakin pucat. "A–aku, ke toilet sebentar," tanpa menunggu jawaban, Hana berlari. Telapak tangannya menutup mulut dan tak lama terdengar suara Hana yang mengeluarkan isi perutnya. Seketika mereka terdiam, wajah tenang berganti senyum dan sorot mata berbinar. Arsa berlari mengejar Hana membantunya memijit pelan tengkuknya. "Bu, ayah, aku akan menjadi nenek! Arsa kamu akan menjadi ayah!" Seru Fadya, bukan hanya Fadya, Bima dan Gayatri tidak kalah bahagia. Mereka tidak sadar jika Davina masih berada di sana. "Apa itu tandanya hamil? Kita belum memeriksanya, siapa tau cuma sakit perut secara Hana itu cuma orang kampung yang tidak tahu makanan macam ini." "Itu hamil, aku yakin itu. Berapa hari terakhir ini, Hana terlihat lemas," sergah Fadya, begitu yakin Hana hamil. Ucapan Fadya, mengingatkan Davina tentang Arsa, suaminya mengalami hal yang sama akhir-akhir ini. Diantara mereka, Arsa menarik sudut bibirnya. Begitu kecil dan singkat bahkan tidak ada satu pun yang menyadarinya. "Hana, coba kamu cek dulu. Ini mama sudah siapkan tes pack," bukan hanya Fadya yang begitu antusias, mereka yang berada di ruang makan menunggu dengan suka cita. Davina mengeratkan genggamannya, bahagia karena sebentar lagi Arsa akan menceraikan Hana, dan dirinya kembali hidup dengan tenang tanpa harus di tuntut untuk hamil. Arsa yang melihat Davina berdiri di sana, merasa sedikit tidak nyaman. Dia tahu bahwa Davina pasti sudah mendengar percakapan mereka, tapi dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan situasi ini. Fadya yang masih bersemangat, tidak menyadari bahwa Davina sedang merasa tidak nyaman. "Kita harus segera mempersiapkan semuanya untuk menyambut kelahiran cucu kita!" seru Fadya, dia sudah membayangkan bagaimana dia akan memanjakan cucunya nanti. Bima dan Gayatri hanya tersenyum dan mengangguk, mereka juga merasa bahagia dengan berita ini. Tapi Davina hanya bisa berdiri di sana, cemburu juga senang. Arsa yang melihat Davina, akhirnya memutuskan untuk mendekatinya. "Sayang, apa kamu baik-baik saja?" tanya Arsa, suaranya lembut. Davina hanya bisa menatap Arsa, dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia merasa seperti sedang berada dalam dilema, antara marah dan sedih. "Kamu bahagia? Sebentar lagi, ada suara tangis di rumah ini. Dan waktu akan kembali seperti semula." "Kamu, yakin?"Devan ingin buru-buru mendekat, tapi langkahnya tertahan oleh suara ibunya Sita.“Jangan membuatnya terluka lebih dari ini. Jika itu terjadi, aku bersumpah akan membuat hidupmu menderita seumur hidup. Kamu tahu kan sumpah wanita teraniaya tidak akan pernah melesat?"Devan menahan napas. Matanya hanya fokus pada Sita yang memalingkan wajah, enggan untuk menatapnya.“Sita, maafkan aku. Maaf sudah membuatmu seperti ini. Aku tahu aku salah, izinkan aku..,Dan saat itu, wajah Sita semakin pucat dan keringat dingin membasahi pelipis dan tubuhnya.Perawat yang lewat spontan masuk ke dalam ruang perawatan begitu Devan keluar dari ruang perawatan.“Tolong keluar dulu! Kondisi ibu dan janinnya turun naik! Cepat panggil dokter Erna!" Devan membeku, melihat keadaan Sita yang semakin memperihatinkan. Pintu ditutup tepat di depan wajah Devan oleh perawat.Ia berdiri di koridor, napas tersengal, seluruh jiwanya remuk. Begitu jahat dirinya yang meminta Sita minum obat pencegah kehamilan, bahkan tid
Berbekal alamat yang bahkan tidak bisa disebut secara detail oleh Arsa. Alamat hanya nama kota kecil di Jawa Tengah, Devan tetap memaksakan diri berangkat. Tidak ada petunjuk rumah, tidak ada nomor, tidak ada siapa pun yang bisa ia hubungi. Hanya sebuah kota, dan penyesalan yang menyesakkannya setiap detik.Di dalam mobil, tangan Devan terus menggenggam ponselnya erat. Berkali-kali ia membuka kembali pesan singkat dari Arsa, padahal isinya sama. “Kotanya di sana. Sisanya kamu cari sendiri.”Meski samar, tekadnya tidak gentar. Wanita yang bersedia menjadi pelampiasan tanpa menuntut apapun. Bahkan, lebih kejam lagi ia tega memberikan obat pencegah kehamilan. "Maafkan aku Sita, maafkan." Gumamnya lirih. Tatapannya nanar keluar jendela, sang sopir pribadi hanya bisa melihatnya tanpa berani menganggu. “Aku harus ketemu dia,” gumamnya lirih, nyaris seperti janji pada diri sendiri.Perjalanan panjang membuat kepalanya berdenyut. Mual itu datang lagi, gejala yang seharusnya tidak ia rasakan,
Sepulangnya Hana dari kota kecil yang kini menjadi tempat tinggal Sita. Hana mencoba untuk memahami keadaan sang sahabat meski banyak pertanyaan yang tidak ada satu pun ada jawabannya. Hana berkali-kali melamun, gelisah, dan mudah tersentak. Arsa memperhatikan semua tanpa perlu ditanya, ia tahu Hana sedang memikul sesuatu yang berat.Malam itu, Hana duduk termenung di ruang tengah, memegang cangkir teh yang sudah dingin. Arsa datang mendekat, meraih cangkir itu dan meletakkannya di meja.“Kamu nggak bisa begini terus, sayang." ucap Arsa pelan. “Kamu kepikiran Sita, kan?”Hana mengangguk kecil, matanya berkaca-kaca. “Dia sendirian, Mas. Hamil, nggak ada suami, kamu tahu kan mas, ibunya sakit. Aku nggak ngerti gimana dia bisa sekuat ini."Arsa menghela napas panjang. Ada sesuatu yang menggeram di dalam dirinya, campuran marah, iba, dan rasa tanggung jawab sebagai seseorang yang suaminya alam melindungi seorang istri yang tengah hamil.“Kamu tunggu di rumah,” katanya akhirnya. “Biar aku
Dania membeku. Kata-kata Devan bergema di kepalanya, menusuk jauh lebih dalam daripada yang sanggup ia bayangkan.“A-apa yang kamu bilang?” suaranya serak, nyaris tak keluar. “Kamu merusak anak gadis orang, Dev?”Devan menunduk, bahunya bergetar kecil. “Aku nggak sengaja, Ma. Aku mabuk, aku nggak sadar melakukannya, tapi..,” ia menelan ludah, wajahnya pucat. “Kemungkinan dia hamil itu besar. Karena tubuhku juga bereaksi aneh. Mual, muntah dokter bilang bisa jadi aku kena Sindrom Couvade. Karena dalam pemeriksaan tidak di temukan penyakit apapun,"Dania menutup mulutnya, napasnya tercekat. “Astaga, Devan!"Ia menatap putranya antara marah, takut, dan panik memenuhi dadanya.“Siapa gadis itu?” Dania memaksa. “Kamu harus bilang sama Mama. Kamu kira ini permainan? Kamu kira Mama bisa diam saja kalau ada anak perempuan yang kamu hancurkan masa depannya?”Devan menggigit bibir, jelas tidak ingin mengucapkannya. Namun dorongan rasa bersalah dan desakan Dania membuatnya berfikir ulang.“Siapa
“Han!” panggilnya begitu gerbang terbuka, napasnya memburu.Hana yang sedang menyiram tanaman menoleh kaget. “Devan? Ada apa? Kok wajahmu, pucat sekali?”“Di mana Sita?” tanya Devan langsung, tanpa basa-basi. Suaranya tegang, hampir putus.Hana mengerutkan kening. “Loh, bukannya Sita sudah pulang ke kampung? Dia pamit sama aku, Dev.”“Pulang?” Devan mendekat, matanya membesar. “Ke kampung mana, Han?”“Tentu saja ke kampung orang tuanya, di Jawa.”Hana tampak bingung. “Dev, kamu kenapa? Sita beneran pamit. Keluarganya nolak bantuanku juga. Katanya pengin hidup tenang dan nggak mau merepotkan.”Devan menelan ludah. “Kamu, benar-benar nggak tahu alamat pastinya?”Hana menggeleng perlahan. “Nggak, Dev. Dia cuma bilang mau jauh sebentar. Ada apa sebenarnya?”Devan memalingkan wajahnya. Napasnya terasa berat, sesak, seperti ada batu besar yang menekan dadanya.“Dev…?” panggil Hana hati-hati.Tenggorokan Devan bergeser. “Aku, aku cuma..,"Kata itu keluar lirih, namun Hana bisa merasakan geta
Mereka kembali terdiam, begitu Sita menceritakan tujuannya menemui sahabat sekaligus pemilik daycare tempatnya bekerja.“Kamu yakin hanya itu? Kamu nggak ada bohong sama aku kan?” Hana menatap sahabatnya lekat-lekat. Nada suaranya lembut, tapi penuh kecurigaan. Sita menghindari tatapan itu terlalu sulit baginya.“Aku, beneran, Han. Orang tua mau balik kampung. Mereka butuh aku. Kamu tahu kan, aku punya tanggung jawab besar itu."Sita mencoba tersenyum, namun suaranya bergetar.Hana mengangguk pelan, meski jelas ia tidak sepenuhnya percaya. “Kalau memang itu alasannya, aku nggak bisa tahan kamu. Tapi, kamu yakin keputusan ini nggak mendadak banget?”Sita menelan ludah. “Aku sudah mikir lama.”Hana menggenggam tangannya tiba-tiba. “Sita, kamu sahabat aku. Kalau ada apa–apa, kamu bisa cerita. Aku nggak akan nge-judge.”Dada Sita sesak. Bohong itu menekan seperti batu besar di tenggorokan. Tapi mengatakan yang sebenarnya, itu artinya kepalanya akan pecah, hidupnya berubah total. Apa yang







