Share

7. Hamil

Author: Rafli123
last update Huling Na-update: 2025-08-25 06:07:41

Di ruang makan, keluarga besar berkumpul. Hana memilih duduk menjauh dari Davina dan Arsa, namun sayang, kursi yang ia pilih justru berhadapan dengan pria berwajah dingin itu.

Fadya, sejak tadi tidak hentinya berbincang mengenai siapa Hani. "Ayah, ibu, Hana akan mengandung penerus keluarga kita," kata Fadya, memperkenalkan Hana. "Hana, perkenalkan ibu dan ayahku. Mereka baru bisa datang mengingat mereka tinggal cukup jauh dari sini, kapan-kapan mama akan mengajakmu ke sana."

Hana mengulas senyum, tangannya terulur pada dua orang yang duduk tidak jauh darinya. "Hana, Oma. Senang bertemu dengan anda," ucap Hana lembut. "Opa, salam kenal," sambung Hana, sikap tenang dan sopan adalah nilai plus untuknya.

Wanita itu hanya tersenyum, senyum yang sinis meski hatinya mengakui jika Hana wanita yang cantik dan santun. "Benar kamu subur? Setidaknya anakku dan cucuku tidak rugi membayar mu." Cetus Gayatri, menelisik penampilan Hana.

Senyum anggun terukir di bibir ranum Hana, tidak ada sakit hati, marah, atau ingin membalas ucapan yang menyakitkan. Baginya sudah kebal ucapan mereka hanyalah angin lalu untuknya. "Saya berharap Mama dan mas Arsa tidak rugi. Tapi, kembali lagi pada sang Haliq." Lirih dan tenang. "Bukankah, jodoh, rejeki dan maut itu sesuatu yang rahasia? Kita tidak tahu apa yang terjadi nanti."

Gayatri terkejut dengan jawaban Hana, dia tidak menyangka bahwa wanita muda itu akan menjawab dengan begitu bijak. "Kamu pintar berbicara, rupanya," kata Gayatri, suaranya penuh dengan sinisme.

Hana tersenyum lagi, dia tahu bahwa Gayatri hanya ingin menyinggungnya. "Saya hanya berbicara apa yang saya pikir, Oma, dan itu benar adanya," kata Hana, suaranya tetap tenang.

Gayatri menghela napas, dia tidak suka dengan sikap Hana yang terlalu tenang. "Kamu sebaiknya ingat tempatmu, Hana," kata Gayatri, suaranya penuh dengan peringatan.

Hana mengangguk, dia tahu bahwa Gayatri hanya ingin mengingatkannya. "Saya ingat, Oma," kata Hana, suaranya lembut. "Tapi saya juga ingin Oma tahu bahwa saya tidak akan pernah melupakan tujuan saya datang ke sini."

Gayatri terdiam, jawaban Hana mampu mengetuk hatinya, meski tidak menunjukkannya ia tidak menyangka bahwa wanita muda itu akan memiliki tujuan yang jelas dan sepertinya mampu di percaya. "Apa tujuanmu?" tanya Gayatri, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu walau ia yakin Hana wanita yang baik.

Hana tersenyum lagi, dia tahu bahwa Gayatri penasaran. "Saya ingin memiliki anak yang sehat dan bahagia, Oma," kata Hana, suaranya penuh dengan harapan. "Dan saya ingin membuat keluarga Prasaja bangga dengan anak yang saya lahirkan nanti."

Gayatri menghela napas, dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia hanya bisa memandang Hana dengan rasa penasaran dan sedikit kagum.

Menyadari situasi tidak memungkinkan, Fadya mengalihkan topik pembicaraan. "Yah, tetap di sini ya, setidaknya sampai cicit kalian lahir," ujar Fadya. "Aku yakin kok, sebentar lagi akan ada suara tangis Arsa junior,"

"Hamil saja belum, kamu menyuruhku tunggu di sini. Berapa lama? Satu tahun, dua tahun atau seumur hidup?" Tegas Bima.

"Mama, yang di katakan opa benar. Kita tidak tahu kapan Hana hamil, aku harap di perut maduku segera ada Arsa junior." Sahut Davina, sejak tadi memilih diam dan senyum penuh arti. Hana dengan jelas tidak di terima kelurga besar Prasaja. Kedudukannya akan tetap aman, dan terkendali. Tidak ada satu pun yang mampu menggesernya dari nyonya Arsa, menantu satu-satunya di keluarga Prasaja dengan segala kelembutan hatinya.

"Vina, pikirkan kesehatan kamu. Gimana lebih dari dua tahun kamu berobat di luar negeri, tidak ada perubahan sedikit pun." Senyum Davina lenyap berlahan, kata yang meluncur dari kepala keluarga membuatnya kesal.

"Sudah, kita makan dulu. Kamu jangan menghakimi Davina, dia cucu menantu kita. Jika di dalam negeri masih tetap seperti ini, kita akan cari rumah sakit yang lebih baik, kembali ke luar negeri asalkan cucu menantuku bisa sembuh,"

_

Makanan di piring hanya di lihat, entah kenapa perut Hana bergejolak. Steak di hadapannya seakan racun untuknya.

"Hana kenapa tidak di makan? Ah, aku lupa ini makanan pertama untukmu, aku maklumi itu. Maafkan aku ya, biar aku ganti makanan yang lain," Davina berdiri, namun di tahan oleh Arsa.

"Duduk aja sayang, biar pelayan yang menggantikan makanan Hana." Arsa menyadari sejak tadi, Hana menahan sesuatu. "Kamu sakit?" tanya Arsa, wajah Hana semakin pucat.

"A–aku, ke toilet sebentar," tanpa menunggu jawaban, Hana berlari. Telapak tangannya menutup mulut dan tak lama terdengar suara Hana yang mengeluarkan isi perutnya.

Seketika mereka terdiam, wajah tenang berganti senyum dan sorot mata berbinar. Arsa berlari mengejar Hana membantunya memijit pelan tengkuknya.

"Bu, ayah, aku akan menjadi nenek! Arsa kamu akan menjadi ayah!" Seru Fadya, bukan hanya Fadya, Bima dan Gayatri tidak kalah bahagia. Mereka tidak sadar jika Davina masih berada di sana.

"Apa itu tandanya hamil? Kita belum memeriksanya, siapa tau cuma sakit perut secara Hana itu cuma orang kampung yang tidak tahu makanan macam ini."

"Itu hamil, aku yakin itu. Berapa hari terakhir ini, Hana terlihat lemas," sergah Fadya, begitu yakin Hana hamil.

Ucapan Fadya, mengingatkan Davina tentang Arsa, suaminya mengalami hal yang sama akhir-akhir ini.

Diantara mereka, Arsa menarik sudut bibirnya. Begitu kecil dan singkat bahkan tidak ada satu pun yang menyadarinya.

"Hana, coba kamu cek dulu. Ini mama sudah siapkan tes pack," bukan hanya Fadya yang begitu antusias, mereka yang berada di ruang makan menunggu dengan suka cita.

Davina mengeratkan genggamannya, bahagia karena sebentar lagi Arsa akan menceraikan Hana, dan dirinya kembali hidup dengan tenang tanpa harus di tuntut untuk hamil.

Arsa yang melihat Davina berdiri di sana, merasa sedikit tidak nyaman. Dia tahu bahwa Davina pasti sudah mendengar percakapan mereka, tapi dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan situasi ini.

Fadya yang masih bersemangat, tidak menyadari bahwa Davina sedang merasa tidak nyaman. "Kita harus segera mempersiapkan semuanya untuk menyambut kelahiran cucu kita!" seru Fadya, dia sudah membayangkan bagaimana dia akan memanjakan cucunya nanti.

Bima dan Gayatri hanya tersenyum dan mengangguk, mereka juga merasa bahagia dengan berita ini. Tapi Davina hanya bisa berdiri di sana, cemburu juga senang.

Arsa yang melihat Davina, akhirnya memutuskan untuk mendekatinya. "Sayang, apa kamu baik-baik saja?" tanya Arsa, suaranya lembut.

Davina hanya bisa menatap Arsa, dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia merasa seperti sedang berada dalam dilema, antara marah dan sedih.

"Kamu bahagia? Sebentar lagi, ada suara tangis di rumah ini. Dan waktu akan kembali seperti semula."

"Kamu, yakin?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • RAHIM PENGGANTI (Antara Janji Dan Air Mata)   39. Pilihan

    Pesta meriah berganti dengan desas-desus tentang Hana. Semua di lakukan oleh Davina, hatinya memanas melihat perjuangan Arsa yang ingin mendekati Hana. Bukan hanya itu saja keluarga besarnya mendukung penuh keinginan Arsa. "Aku bersumpah akan menghancurkan hidupmu Hana. Kamu penyebab hancurnya rumah tangga ku, aku tidak akan terima kamu bahagia di atas penderitaan aku." Gumam Davina. Melihat kepergian keluarga besar Prasaja, keluarga Devan mengenal keluarga Prasaja meski hati Dania begitu kesal.Keluarganya tidak habis pikir bagaimana mungkin keluarga terhormat seperti keluarga Prasaja bisa melakukan hal serendah itu. Terlebih Davina adalah sahabat keponakannya dan sangat mengenal Devan. Sejak awal ia mengagumi sikap dan kerja keras Hana, wanita muda dengan segudang prestasi bukan hanya dalam pendidikan yang bisa di rampungkan dalam waktu singkat. Tetapi kegigihannya dalam mengola bisnis menjadi sebesar sekarang semua berkat tangan dan kerja usahanya. Sayang di balik itu semua tersi

  • RAHIM PENGGANTI (Antara Janji Dan Air Mata)   38. Anak Kita

    Hana terperanjat, tubuhnya kaku seakan tak sanggup bergerak. Suara itu begitu familiar, suara yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Saat menoleh, matanya membesar, Arsa. Lelaki itu berlari menghampiri, napasnya memburu, sorot matanya penuh kerinduan bercampur penyesalan."Ma-mas Arsa..," Gumam Hana, tidak percaya jika akan bertemu dengan Arsa di pesta itu."Ya, ini aku. Apa kabar bundanya Elvan?" Ujar Arsa, mendekati wanita yang terlihat bingung."Mas, tadi kamu panggil..," Hana menatap wajah Arsa dan Elvan bergantian. Gemuruh di dalam dadanya semakin kuat. Terlebih anak itu begitu tampan dan wajah anak itu bak pinang di belah dua.Arsa tersenyum, langkahnya semakin dekat. Begitu dekat sampai Hana menahan nafasnya.“Hana, dia Elvano. Anak kita,” ucap Arsa dengan suara bergetar, memeluk erat bocah kecil yang duduk di pangkuan Hana.Dunia Hana seakan berhenti berputar. Kata-kata itu menampar hatinya. Anak yang ia lahirkan, yang dulu direbut dari pelukannya, kini ada di depannya. Anak y

  • RAHIM PENGGANTI (Antara Janji Dan Air Mata)   37. Empat Tahun Kemudian

    Empat tahun berlalu sejak Hana meninggalkan rumah besar keluarga Prasaja. Waktu yang panjang itu mengubahnya menjadi sosok yang jauh lebih kuat dan berwibawa.Hidup sederhana di rumah peninggalan orang tuanya menjadi titik balik. Hana berhasil menyelesaikan kuliah yang sempat tertunda, meraih gelar sarjana dengan predikat membanggakan. Semua perjuangan itu ia jalani sambil membangun kembali usahanya, daycare yang dulu sempat runtuh karena ancaman.Kini, tempat itu telah berkembang pesat. Dari sebuah rumah sederhana, Hana berhasil membuka cabang baru di ibu kota. Ruangannya lebih modern, guru-guru terlatih mengajar dengan penuh dedikasi, dan banyak orang tua mempercayakan anak-anak mereka pada tangan Hana.Di balik pencapaiannya, Hana tetaplah sosok lembut yang sederhana. Setiap kali menutup mata, bayangan Elvano masih hadir. Putra kecilnya yang tak bisa ia peluk setiap hari menjadi alasan terbesarnya untuk tidak menyerah.Di depan cabang barunya, Hana berdiri dengan senyum hangat, men

  • RAHIM PENGGANTI (Antara Janji Dan Air Mata)   36. Kecewa

    Alexi duduk di ruang tamu dengan wajah kusut, memijat keningnya yang berdenyut. Hidupnya yang dulu dipenuhi pesta dan kemewahan kini terasa sempit. Perceraian Davina dengan Arsa membuat segalanya berubah, sumber keuangan yang selama ini menopang gaya hidup mereka seakan lenyap begitu saja.“Davina,” ucap Alexi tajam, menatap putrinya. “Kamu harus cari cara agar bisa kembali ke Arsa. Jangan biarkan dia lepas begitu saja. Tanpa Arsa, kita, kita tak ada apa-apanya.”Davina terdiam, matanya berkaca-kaca. “Mama, Arsa tidak akan mau lagi. Dia sudah tahu semuanya, apa yang kita harapkan dari Arsa, dia ..,"“Menurut kamu?” potong Alexi cepat. “Kalau begitu, gunakan cara lain. Jangan biarkan semua ini sia-sia.”Namun, bukannya mendekati Arsa, Davina justru mencari pelarian pada Andres. Mereka bertemu sembunyi-sembunyi di sebuah kafe kecil jauh dari pusat kota. Andres menatap Davina dengan tatapan penuh rindu, menggenggam tangannya. “Kita bisa bersama, Davina. Lupakan Arsa. Aku akan menjagamu.”

  • RAHIM PENGGANTI (Antara Janji Dan Air Mata)   35. Tawaran Devan

    Hana berjalan tanpa arah, langkahnya gontai meninggalkan rumah penuh kenangan itu. Setiap langkah terasa berat, seolah kaki enggan meninggalkan tanah yang pernah menjadi saksi kebahagiaannya bersama orang tua. Malam itu udara dingin menusuk, tapi hati Hana jauh lebih dingin, hampa. Hana memilih penginapan sederhana, bukan karena tak memiliki uang namun Hana tak ingin menghabiskan mengeluarkan tabungannya hanya untuk sesaat."Ini kamarnya mbak, semoga betah. Jangan khawatir di sini aman," hana mengangguk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Memejamkan matanya sejenak, hatinya terasa sesak mengingat putranya. Sedangkan apa sekarang?Sementara itu, pagi harinya Devan datang berkunjung. Matanya membelalak begitu melihat rumah Hana sebagian hancur, kaca pecah, pintu tercongkel, dan sisa kayu terbakar di halaman. “Astaga, siapa yang tega begini?” gumamnya, suaranya tercekat.Salah satu warga yang diam-diam mendekat berbisik lirih, “Mas, mas temannya Hana?" Devan menoleh sebab suara wa

  • RAHIM PENGGANTI (Antara Janji Dan Air Mata)   34. Perginya Hana

    Hari-hari Hana di rumah peninggalan orang tuanya berjalan dalam sunyi. Ia mencoba mengisi waktunya dengan membereskan rumah, menata sudut-sudut yang kini terasa baru dan luas, sambil sesekali mengusap foto Elvano di ponselnya. Senyumnya rapuh, lebih sering diwarnai air mata ketimbang bahagia.Sore itu setelah kepergian Sita, sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Dari dalam turun seorang pria dengan wajah tampan yang tak asing, Devan. Ya, dialah Devan. Pria yang akhir-akhir ini sekolah ada untuknya, saat Arsa tidak peduli padanya, di saat Davina ingin mencelakai anak yang ada dalam kandungannya. Pria yang mampu menjadi sahabat sekaligus orang pertama' yang tidak menghakimi dirinya yang memilih menjadi ibu pengganti. Devan, pria yang datang dengan pesonanya. Menawarkan cinta untuknya, setelah pernikahannya dengan Arsa berakhir. Apakah ini sudah waktunya? Haruskah Hana menerima cinta Devan?"Hai, Hana,” suara Devan berat, namun penuh rindu yang terpendam. “Hana, apa kedatanganku meng

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status