Share

INGIN BERCINTA?

"Sayang, apa yang terjadi?"

Laura tentu dibuat bingung saat mendapati suaminya tiba-tiba pulang dengan tampang tak bersahabat. Lagi pula bukankah pria itu mengatakan akan pulang sedikit terlambat karena harus menyelesaikan permasalahan tentang calon anak mereka nantinya? Kenapa pria itu pulang bahkan sebelum matahari digantikan oleh bulan?

"Sayang ...."

Laura kini terlihat membuntuti Manu yang lantas pergi ke dapur setelah berhasil masuk ke dalam Mansion mereka. Manu terlihat masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab, hanya suara langkah yang terdengar begitu berat saja yang ada.

"Sayang, apa aku melakukan kesalahan?" Laura mendekat dan menghapus jarak di antara mereka saat melihat Manu baru saja selesai menegak habis gelas berisikan air putih itu. "Kenapa kau tiba-tiba mengabaikanku seperti ini?" lanjut Laura.

Laura menangkup kedua pipi Manu, dengan satu tangan di antaranya beralih mengelus lembut rahang tegas yang nampak mengetat itu. Manu hanya menatap datar Laura meskipun satu tangan perempuan itu telah bermain-main di lehernya. Sesaat kemudian pria itu lantas menghela nafas panjang sembari memejamkan mata.

Hal itu tentu tak luput dari pandangan Laura. Perempuan itu lantas dibuat tak bisa menahan senyumnya saat Manu perlahan menarik pinggangnya untuk mendekat dengan satu tangan. Sementara tanyanya yang lain perlahan menyentuh puncak kepalanya lembut.

"Aku sedang merasa kesal, tolong jangan berbicara kepadaku terlebih dahulu," ucap Manu pelan yang lantas disambut dengan guratan kecil di dahi Laura. "Aku tak ingin kelepasan dan malah menjadikanmu pelampiasan."

Manu kemudian lantas pergi meninggalkan Laura begitu saja bahkan sebelum istrinya itu mengeluarkan sepatah kata apa pun. Wajahnya memang tidak sedatar sebelumnya tapi dari auranya yang terlihat lebih dingin dan tak tersentuh berlipat-lipat dari biasanya sudah mampu menjelaskan segalanya.

Laura menatap nanar punggung tegap Manu yang perlahan menghilang dari pandangannya. Sedetik kemudian, ia menghela napas dan memilih untuk diam di sana, memberi waktu Manu untuk menenangkan pikirannya terlebih dahulu.

Di sisi lain, Manu baru saja masuk ke dalam kamar dan kini ia terlihat hampir memegang gagang pintu kamar mandi sepenuhnya. Namun, tangan kekar itu nampak berhenti melayang di udara, sebelum akhirnya kembali ia tarik dengan cepat. Manu beralih untuk mendudukkan dirinya di atas sofa berwarna gold yang terletak di pinggir ruangan.

Manu menjatuhkan kepalanya di sandaran sofa dengan mata terpejam. Kejadian tadi sepertinya berhasil membuat Manu begitu dibuat uring-uringan. Pikirannya melayang ke kejadian di mana dokter spesialis obgyn yang memeriksa Bella memberitahukan hasil pemeriksaannya.

"Selamat, pilihan pertamamu sesuai dengan apa yang kau harapkan," ujar dokter itu setelah memberikan map cokelat berisikan hasil pemeriksaannya terkait Bella pada Manu.

"Kenapa kau tidak mendampingi pemeriksaannya tadi?" sambung dokter itu lagi dengan tatapan bertanya-tanya. Kedua tangannya bertaut di atas meja, menandakan bahwa ia sedang ingin berbicara serius pada Manu. "Kau seharusnya meluangkan sedikit waktumu, terlebih perempuan itu nantinya akan mengandung keturunanmu."

Kala itu Manu terlihat berdecak sebal karena dokter yang tiada lain adalah sepupu jauhnya itu terus saja berbicara saat matanya saat ini tengah berusaha mencermati kata demi kata yang tertuang pada lembaran kertas yang baru saja ia keluarkan dari map coklat tersebut.

"Tolong jangan terlalu kasar padanya," lanjut dokter itu lagi. "Aku tahu jika kau akan merasa begitu kesulitan untuk memperlakukan orang lain dengan baik selain istrimu, tapi tolong cobalah untuk terus ingat bahwa ketika seorang perempuan hamil, hormonnya akan begitu sensitif dan biasanya apa yang dirasakan oleh ibunya akan dirasakan juga oleh janin."

"Stella." Manu beralih menatap dokter yang duduk di depannya itu, berusaha memperingati sepupu jauhnya itu. Stella sendiri terlihat menanti kata demi kata yang hendak keluar dari bibir Manu, tapi yang ia dapatkan malah tatapan dingin khas milik Manu. Bahkan, hanya suara pendingin ruangan saja yang memenuhi telinganya selama beberapa saat karena Manu tak kunjung membuka mulut. Ironisnya lagi, pria itu malah kembali membaca hasil pemeriksaan dan mengabaikannya.

Stella menggeram sebal. Jika saja Manu tidak lebih tua dari umurnya, Stella bersumpah ingin sekali rasanya memukul wajah datar bagaikan triplek itu menggunakan kursi yang tengah ia duduki.

"Ouh, ya, aku sarankan agar kau--" suara notif pesan yang masuk ke benda pipih canggih milik Manu menghentikan ucapan Stella kala itu. Di saat yang bersamaan, saat ini Manu mendapatkan panggilan masuk dari Stella di ponselnya yang membuat pria itu lantas menegakkan tubuhnya setelah kesadarannya kembali ditarik ke permukaan.

Pria itu terlihat mendekatkan benda pipih miliknya itu ke daun telinganya yang otomatis membuat panggilan tersambung.

'SIALAN KENAPA KAU TIDAK DATANG KE RUMAH SAKIT LAGI?!' Suara cempreng Stella terdengar memekakan telinga membuat Manu lantas menjauhkan ponselnya dari telinganya selama berapa saat.

Manu baru ingat bahwa ia melupakan janjinya untuk segera kembali ke rumah sakit pada Stella tadi. Pria itu pergi karena setelah mendapatkan kabar bahwa Bella datang menemui rentenir itu secara diam-diam tanpa sepengetahuannya.

"Jangan menelponku jika tak ada hal penting yang ingin kau katakan," sahut Manu malas.

'Kau kira aku juga akan Sudi untuk membuang-buang waktuku yang berharga hanya untuk menelponmu?!' suara Stella tetap melengking membuat Manu menghela napas kasar.

''Ada apa?''

Suara helaan napas panjang Stella juga terdengar di sebelah sana. 'Sekarang kau berada di mana? Kau bersama Bella?"

'tidak.'

'Baguslah. Aku kira kau berniat untuk segera membuat perempuan itu mengandung keturunanmu seperti apa yang kau katakan sebelumnya.'

Kening Manu mengernyit, tapi pria itu tak berniat untuk menanyakan kejelasan dari apa yang Stella katakan.

'Aku harap kau menunggu dengan sabar sekitar mungkin 2-3 mingguan lagi karena Bella sepertinya akan segera mengalami masa menstruasinya.'

Manu nampak menghela nafas gusar kemudian lantas mematikan sambungan sepihak. Rasanya ia ingin sekali mendatangi Stella dan memaki perempuan itu secara langsung habis-habisan. Ia tahu jika ini termasuk kesalahannya juga karena tidak mau mendengarkan ucapan Stella terlebih dahulu sebelum pergi tadi.

Namun, jika Stella tak membuang-buang waktunya dengan memberi ceramah yang tidak perlu seperti saat itu, bukankah seharusnya perempuan itu tidak akan kekurangan waktu untuk memberinya informasi penting seperti ini?

Manu memijat pangkal hidungnya. mengingat kejadian tadi benar-benar merusak moodnya.

CEKLEK!

Manu mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Sosok Laura terlihat baru saja masuk ke dalam kamar mereka.

"Apa kau masih tidak ingin berbicara denganku?" tanya Laura hati-hati. Raut wajahnya menjelaskan bahwa perempuan itu sedikit tidak berani untuk membahas masalah tersebut lebih jauh.

Manu menatap Laura lamat. Perlahan-lahan, Ia merasa bersalah, ia tidak seharusnya mengabaikan Laura seperti ini. Terlebih, perempuan itu tidak tahu menahu dan tidak bersalah mengenai apa yang terjadi.

"Sayang. Apa aku lebih baik keluar saja dulu dari sini?" tanya Laura lagi yang lantas disambut gelengan pelan oleh Manu.

Seakan baru saja memenangkan suatu penghargaan, senyum Laura nampak berseri-seri. Perempuan cantik dengan balutan dress setinggi setengah paha itu lantas segera duduk di samping Manu.

"Maaf," ucap Manu penuh penyesalan dengan tangan perlahan menarik tubuh Laura ke dalam pelukannya.

Laura terlihat menggelengkan kepalanya pelan, tidak setuju dengan apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya. "Aku yang salah karena memaksa mengajakmu berbicara di waktu yang tidak tepat."

Senyum tipis terukir di wajah Manu. Laura mungkin tidak sempurna, tapi perempuan itu selalu berhasil membuatnya kagum dengan sikap pengertiannya itu. Manu tidak yakin jika akan ada perempuan lain yang mau mengerti temperamental Manu sebaik Laura.

"Sayang ...." lirih Laura pelan dengan tangan perlahan membentuk ukiran abstrak di perut Manu dibalik kameja yang dikenakan pria itu.

Manu menunduk hingga tatapannya bertabrakan dengan tatapan Laura yang nampak terlihat--sedikit sayu?

"Kenapa, hmm?" tanya manu lembut sembari mengusap rambut Laura penuh kasih sayang.

"Ingin bercinta?" tanya Laura blak-blakan untuk pertama kalinya yang lantas disambut dengan senyuman manis oleh Manu, senyuman yang jarang dilihat oleh khalayak ramai.

"Bagaimana jika aku menolak?" goda Manu bercanda.

Laura nampak menunduk yang membuat Manu merasa gemas.

"Baiklah, sepertinya aku leb-MPHH!"

Tak membiarkan Laura hanyut dengan sudut pandangnya yang salah, Manu menarik ke atas dagu Laura tanpa aba-aba kemudian lantas menyambar bibir pink menggoda milik Laura saat itu juga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status