Share

Malam pertama

Kruk ... krucuk kruk ...

Mendengar suara khas perut yang kelaparan, Aris membalikkan tubuhnya menghadap Nisa yang berbaring membelakanginya.

"Kau belum tidur?" tanyanya yang tak mendapat jawaban dari Nisa.

Kruk ... kruk ...

"Kau jangan membohongiku, Nisa," ucapnya lagi, lantas menarik selimut yang menutupi kepala istrinya.

Sedang Nisa terus merutuki perutnya yang tidak bisa diajak kompromi, "benar-benar memalukan!" batinnya.

Kemudian Nisa tersenyum, tatkala selimut yang menutup tubuhnya rapat rapat ditarik paksa oleh Aris.

"Aku juga lapar, buatkan aku makanan!" pinta Aris, kemudian beranjak dari tempat tidur. Melangkahkan kakinya menuju dapur.

Mau tidak mau, Nisa terpaksa bangkit, mengekori langkah Suaminya dengan ragu.

"Aku tidak bisa masak," ucap Nisa menundukkan kepalanya.

Aris mengernyitkan dahinya, ia lantas mendekati Nisa yang berdiri disamping meja makan dekat kursi yang ia duduki.

"Benarkah? lalu siapa yang memasak waktu pertama kali kau menginap disini? apakah meja itu bisa penuh dengan sendirinya?" tanya Aris dengan senyum menyelidik. Ya, Aris sudah merasakan masakan Nisa, saat ia kelaparan kemarin malam. Malam itu, Aris akan memasak Mie Instant. Tetapi urung, kala dirinya mencium aroma makanan saat kakinya menginjak lantai dapur. Tanpa basa-basi, Aris membuka tudung saji dengan kasar. Matanya langsung berbinar saat melihat bnyaknya makanan yang menggugah selera. Aris mulai mencicipi satu persatu makanan itu. "Sepertinya masih baru," batinnya kala itu.

Setelahnya Aris bergegas mengambil piring. Memasukkan nasi beserta lauknya dengan cekatan. Ia ingin segera mengisi perutnya yang sudah meronta-ronta.

Disela sela makannya, dirinya berfikir, tak mungkin Sarah yang menyiapkan semua ini. Sedangkan selama pernikahannya, tak pernah sekalipun ia lihat Sarah berada di dapur meski sekedar membuatkannya teh, kopi, ataupun makanan kesukaannya. Padahal hal itu sangat diinginkan oleh Aris. Pernah sekali ia mengungkapkan keinginan kecilnya itu, tetapi hanya dibalas dengan jawaban sepele yang keluar tanpa pertimbangan dari bibir merah Delima milik istri pertamanya. "Kan sudah ada pembantu Mas." Balasnya kala itu. Tak ingin kecewa lagi, Aris tak pernah kembali mengungkapkan keinginannya.

"Itu ..." jawab Nisa menggantung, diakhiri dengan helaan nafas panjang untuk mengusir rasa gugupnya.

"Baiklah, akan kubuatkan Mas, makanan!" ucapnya berlalu mendekati kulkas. Kemudian berkutat dengan bahan- bahan yang ada.

Aris terdiam, ia masih duduk di posisinya. Dipandanginya punggung mungil Nisa yang dengan lincahnya meramu bahan-bahan mentah itu tanpa ragu, seolah gadis itu sudah hafal dengan semuanya. Tak bisa di pungkiri, ada rasa takjub dengan apa yang dilihatnya.

Andai Sarah seperti ini, mungkin pernikahannya tetap sempurna, meski tak kunjung  memiliki momongan. Keinginan Aris begitu sederhana. Sarah bisa melayaninya setiap hari, menyambutnya saat ia pulang kerja. Atau sekedar menyiapkan air hangat saat dirinya mandi. Meminum teh, dan bercengkrama dengan bahunya sebagai sandaran kepala Sarah. Ia ingin Sarah menyiapkan pakaian kerja, beserta sarapan buatan tangannya. Tetapi itu semua hanya mimpi. Sarah selalu pulang larut malam saat Aris sudah tak tahan dengan kantuknya. Bahkan sering kebutuhan biologisnya tak tersalurkan karna menunggu Sarah yang tak kunjung datang. Sarah selalu sibuk hang out, arisan sana-sini bersama teman-teman sosialitanya. Andaikan Aris mau, dengan mudahnya ia dapat mendepak Sarah dari hidupnya, ataupun bermain belakang dengan wanita lain. Namun dirinya tak sebejat itu.

"Mas?" ucapan Nisa membuyarkan lamunan Aris. Sudah sedari tadi, semangkuk sup dengan isian lengkap beserta kepulan asap yang kian berkurang, berada tepat di hadapannya tanpa ia sadari.

"Eh, ya?" jawab Aris bingung.

"Keburu dingin," titahnya datar. Nisa lantas menarik kursi yang berhadapan dengan Suaminya sebelum akhirnya ia mendudukkan tubuhnya.

Setelah membaca doa dalam hati, Nisa mulai memakan Mie goreng pedas dengan sayur lengkap, beserta potongan sosis yang baru saja ia pindahkan ke piring keramik mewah itu.

Aris melihat Nisa sudah memakan masakan miliknya dengan lahap. Sadar ada yang berbeda, Aris melongokkan kepalanya, mengamati piring milik Nisa.

"Itu apa?" tanya Aris basa-basi.

"Mie," jawab Nisa singkat, sembari menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Kok punyaku beda? aku juga mau Mie sepertimu!" pintanya sembari menjauhkan mangkuk sup dihadapannya.

"Ini pedas, Mas gak akan kuat!" balasnya acuh.

"Kamu ngremehin aku? sini!" tantangnya. Aris menarik piring milik Nisa, kemudian langsung melahap mie pedas itu.

Sedang Nisa melongo, menatap makanan kesukaanya diambil paksa.

Aris terdiam sejenak begitu Mie itu masuk kemulutnya. Makanan itu begitu pas di lidahnya. Seumur-umur dirinya memakan mie, mie masakan Nisa adalah yang paling enak.

"Kamu makan yang ini saja ya, cewek gak bagus makan makanan pedas, nanti jerawatan!" ucap Aris sembari menyodorkan sup miliknya yang samasekali belum tersentuh.

"Tapi, itu makanan bekasku. Apa Mas gk jijik? kalo Mas mau, Nisa bakal buatin yang sama. Aku fikir tadi Mas gk suka pedas, makanya aku sengaja buatin yang beda," jelasnya.

Aris tergelak mendengar jawaban istrinya. Dia mau membuatkannya lagi? sungguh jauh beda dengan Sarah. Jangankan memasak, menyiapkan saja tidak pernah.

"Kita kan udah Suami Istri, ngapain jijik? lagian ini bukan makanan kotor yang jatuh," ucapnya.

Nisa hanya membalas dengan senyuman dan anggukan kecil. Kemudian mereka melanjutkan makannya.

.

.

.

Waktu menujukkan pukul dua dini hari, namun Nisa tak kunjung bisa memejamkan matanya. Ia membalikkan badan, melihat Suaminya yang seperti sudah tertidur. Setelahnya Nisa beranjak dari pembaringan, berniat untuk sholat malam.

Setelah membersihkan diri, Nisa menggelar sajadahnya, kemudian melaksanakan sholat di kamar. Nisa bersyukur, meskipun ia hanya sebagai penebus hutang pamannya, menjadi rahim pengganti untuk wanita lain, dan meskipun buleknya dan Sarah tega terhadapnya. Setidaknya, suaminya adalah orang baik. Saat ini mungkin dirinya tak akan tertekan dengan pernikahannya, tapi tetap saja, ia masih tak bisa membayangkan, jika suatu saat nanti ia melahirkan dan harus berpisah dari bayinya.

.

.

.

Sama halnya dengan Nisa, Aris juga tak bisa benar-benar memejamkan matanya. Ia pandangi tubuh mungil istri kecilnya yang berbaring membelakanginya. Bayang- bayang kerumitan rumah tangganya begitu membuatnya pusing. Apakah ia harus menuruti rencana Sarah? melanjutkan drama yang pasti akan sangat menyakiti pihak ketiga-Annisa.

Meskipun Dirinya ingin. Aris tak tega memaksakan kehendak  untuk melayaninya demi segera hadirnya sang buah hati. Aris mengakui pesona gadis disampingnya. Pun jika Nisa dengan sukarela menawarkan dirinya, mungkin Aris akan berfikir dua kali untuk melakukan hubungan itu. Masa depan Annisa yang masih panjang, adalah hal yang paling memberatkannya.

Eentah berapa lama Aris berlayar dalam lautan fikirannya. Laksana kapal tanpa awak yang terbawa ombak. Seperti perahu yang kehilangan dayung, terombang-ambing. Mengikuti kemana angin akan membawanya berlabuh di antara dua hati. Karna jujur, Aris tak bisa menjamin jika dirinya tak akan jatuh cinta pada Nisa. Jika pun nanti Aris benar-benar mencintai Nisa, itu tak sepenuhnya salah dirinya bukan? pernikahan kedua ini tak pernah sekalipun terbesit difikirannya.

Aris pun menyadari, dirinya sebagai lelaki. Sebagai Suami. Sebagai Imam, dan kepala rumah tangga. Sama sekali tak bisa tegas terhadap istrinya-Sarah. Air mata Sarah meluluhkan amarahnya yang sudah di ujung tanduk, saat kali pertama ia mengungkapkan rencananya ingin menikahkannya dengan Nisa sore itu.

Mata Aris masih terpejam, fikirannya masih penuh dengan bayang-bayang yang terus berputar di kepalanya. Memikirkan keputusan selanjutnya yang akan ia ambil.

Sampai ia sadari, Nisa juga belum tertidur seperti dirinya. Meskipun matanya tertutup, Aris bisa merasakan jika Nisa menoleh dan melihat dirinya sekilas. Membuat Aris membuka sedikit matanya. Dilihatnya Nisa mulai beranjak dari tempat tidur dengan sangat hati-hati, kemudian melangkah perlahan, sampai kaki mungil itu menghilang dibalik pintu kamar mandi.

Aris masih dengan pura-pura tidurnya. Menunggu apa yang akan dilakukan gadis itu. Tak lama kemudian, Nisa keluar dari balik pintu. Tak ada hijab yang menutupi rambut indahnya. Begitu sempurna, dengan air yang masih membasahi wajahnya. Lengan bajunya yang digulung sampai atas siku, memperlihatkan kulit putih bersih itu melangkah sampai dekat dengan dirinya.

Dilihatnya Nisa mulai mengenakan mukena, setelahnya menjalankan Sholat. Aris merasa malu, betapa selama ini ia telah begitu lalai. Ia bahkan sudah lupa akan bacaan-bacaan dalam gerakannya.

Aris kembali merasa tersayat saat  melihat Nisa menengadahkan tangannya, dirinya seperti merasakan apa yang dirasakan Nisa.

"Nisa, kenapa kau menerima semua ini. Seharusnya kau masih belajar, bersenang-senang bersama teman-temanmu dan menikmati masa mudamu. Bahkan kau bisa memilih, berhak menolak dan menerima mana laki-laki yang pantas menjadi Suamimu. Bukan malah masuk ke lorong hitam seperti ini. Kenapa Nisa? apa kau tak punya pilihan? atau kau terpaksa?" ucapnya dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status