Aris masih memandangi Nisa yang tetap berada di atas sajadahnya. Sampai beberapa menit kemudian. Tubuh mungil itu semakin menunduk, hingga membuatnya terbaring merosot, membuat dirinya terkesiap dan bangkit, seraya melongokkan kepalanya, melihat ke bawah.
Merasa tak ada pergerakan di tubuh Nisa. Perlahan Aris turun dari ranjang, lantas mendekati Nisa yang ternyata sudah tertidur dengan kedua tangannya yang terlipat sebagai bantal. Aris terdiam sejenak, ia semakin mendekatkan pandangannya, menatap wajah istri polosnya lamat-lamat dengan hati yang kian berdesir entah kenapa. Setelah puas dirinya menikmati wajah manis Nisa. Aris kemudian mendaratkan kecupan lembut di keningnya. Setelahnya ia berdiri, mengambil dua bantal beserta selimut untuknya dan Nisa. Aris mengangkat kepala Nisa dengan hati-hati, kemudian meletakkan bantal di bawahnya. Detik kemudian, ia berbaring dan masuk ke selimut yang sama.Annisa mengerjap-ngerjapkan matanya tatkala adzan subuh tengah berkumandang. Ia bergegas bangun, melihat sekeliling ruangan, memegangi kepalanya yang terasa berat karena tidurnya yang hanya sebentar. Sampai sesuatu ia sadari. Suaminya tidur dibawah bersamanya, hanya beralaskan karpet. Sedang dirinya beralaskan sajadah, lengkap dengan mukena yang masih melekat di tubuhnya. Nisa memandangi wajah suaminya, tampan. Hidungnya mancung, alisnya tebal dengan kulitnya yang bersih. Kontras dengan bulu-bulu halus di dagunya. Membuat hatinya sedikit berdesir. Sadar dengan fikirannya, gadis itu mengucap Istrighfar, meraup wajahnya kasar. Nisa tak tau perasaan apa itu. Dirinya memang tak pernah jatuh cinta. Desiran yang baru saja ia rasakan, terasa begitu asing di hatinya. Setelahnya, Nisa menggerakkan tubuhnya dengan sangat hati-hati, ia singkap selimut yang menutupi setengah tubuhnya, kemudian berwudhu dan melaksanakan sholat subuh.Nisa melipat mukenanya sembari terus memandangi Aris. Ingin rasanya ia membangunkan suaminya, namun dirinya merasa ragu. Karna sedari Aris dan Sarah menginjakkan kakinya disini, tak pernah sekalipun ia dapati mereka melakukan kewajibannya sebagai muslim dan muslimah." Mas," ucap Nisa menggoyang lembut bahu Suaminya."Mas!" ulangnya lagi, kali ini Nisa sedikit meninggikan suaranya. Membuat Aris menggeliat membuka mata."Nisa sudah buatkan sarapan untuk Mas. Mas cepat mandi, mungkin Mas mau berangkat kerja," ucapnya, kemudian langsung meninggalkan kamar tanpa menunggu jawaban Aris.Aris keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya. Membuat Nisa yang saat itu sedang membersihkan kamar mereka terkejut, spontan membalikkan badannya salah tingkah. Sedang Aris, tersenyum simpul melihat ekspresi Nisa. Aris menyadari, mungkin ini adalah hal pertama bagi Nisa. Namun tidak untukknya, keluar bebas dengan pakaiannya saat ini tak lagi membuatnya malu, karna dia juga sudah terbiasa dengan keberadaan seorang Istri meskipun dengan orang yang berbeda."Ma-maaf, gak sengaja. Tadi Nisa coba nyiapin pakaian kerja Mas. Tapi gak ketemu, cuma ada pakaian santai. Itu, Nisa taruh di atas ranjang," ucap Nisa gelagapan, sembari menunjuk pakaian yang telah ia siapkan. Setelah itu, Nisa keluar kamar dengan langkah besarnya. Membuat Aris semakin tersenyum lebar, seraya menggeleng- gelengkan kepalanya.Setelah berpakaian, Aris keluar kamar. Ia memandangi sekeliling ruangan yang sudah bersih dan tertata rapi. Kemudian, dirinya melangkahkan kaki ke ruang makan. Dilihatnya Nisa sedang duduk sembari terdiam."Ehem! " dehemnya membuat Nisa sedikit tersentak."Kenapa gak makan duluan?" tanya Aris."Sengaja nungguin, karena aku fikir, Mas sudah terbiasa makan bersama Mbak Sarah."Aris hanya manggut-manggut menanggapi, sebelum akhirnya menarik kursi dan duduk bergabung dengan Nisa."Bahan-bahan di kulkas sudah habis, jadi Nisa cuma buatin Nasi goreng, karena cuma beras yang ada. Ada sih, roti di kulkas. Nisa ambilin kalo Mas mau," ucap Nisa disela-sela makannya.Aris tersenyum menanggapi."Gak usah, ini saja sudah enak!" ucapnya mengacungkan jempol, membuat Nisa sedikit tersipu."Ini apa?" tanya Aris sembari menunjuk empat gelas berisi minuman yang berbeda."Oh, Itu karena Nisa gak tahu, Mas sukanya teh, kopi, susu putih, atau susu cokelat!" jelas Nisa, membuat Aris tergelak."Ternyata kamu lucu juga, ya!" timpal Aris sembari menarik serta menggoyang goyangkan hidung Nisa hingga terlihat memerah."Aw!" pekik Nisa memegangi hidungnya yang sebenarnya tidak sakit."Maaf!" pinta Aris masih dengan gelaknya."Kamu siap-siap. Setelah ini kita pergi belanja," imbuhnya"Mas gak kerja?" tanya Nisa memastikan. "Aku kan Bosnya!" balasnya, yang hanya di balas anggukan kikuk dari Nisa.***Aris mengemudikan mobilnya pelan. Sesekali matanya mencuri-curi pandang pada gadis belia di sampingnya. Baru satu malam lebih beberapa jam bersama Nisa, Aris tak bisa membohongi dirinya. Hatinya begitu nyaman dan tentram ketika bersama Nisa. Banyak hal yang di inginkannya ada pada diri Nisa, yang tak satu pun ia temukan pada Sarah.Meskipun fikirannya menolak. Mau tak mau, Aris tetap membanding- bandingkan antara Sarah dan juga Nisa.Sarah. Diakuinya memang cantik. Terlihat sempurna, dengan segala kemewahan barang branded yang melekat pada tubuhnya yang sexi, tinggi semampai. Namun Sarah sama sekali tak bisa memuaskan dirinya lahir, maupun batin. Sarah tak bisa menjadi sosok Istri yang sesungguhnya di usianya yang sudah terbilang matang.Sedang Nisa. Gadis manis dengan segala kesederhanaanya. Mampu memikat hatinya dalam sekejap, ia tahu cara memperlakukan seorang suami di usianya yang masih belia. Sikapnya yang polos malu-malu. Membuat Aris merasa gemas ingin memiliki seutuhnya.Aris tak tahu apa yang selama ini dirasakan hatinya saat lima tahun membina rumah tangga bersama Sarah. Pertemuannya dengan Sarah dulu bukanlah pertemuan yang baik. Aris mengingat-ingat kejadian saat ia terpaksa menikahi Sarah karena dirinya harus tanggung jawab. Entah kenapa dulu ia bisa berakhir di kamar hotel bersama Sarah. Yang jelas, saat dirinya terbangun, ia sudah mendapati Sarah yang sudah menangis meringkuk tanpa busana ditepi ranjang. Sama seperti dirinya. Tiga minggu setelah kejadian itu, Sarah mengatakan jika dirinya hamil benihnya, dan hari itu, dirinya baru tahu, jika Sarah adalah salah satu karyawan di kantornya. Akhirnya, dengan terpaksa Aris kemudian menikahi Sarah, berharap ada benih-benih cinta yang tumbuh setelah pernikahannya. Namun prilaku Sarah yang jauh tak sesuai dengan apa yang diinginkannya, membuat Aris sampai saat ini masih tak bisa mengartikan perasaannya terhadap Sarah, yang dapat Aris lakukan hanyalah berusaha tetap setia terhadapnya.Satu bulan kemudian, saat usia kandungan Sarah masih menginjak delapan minggu. Sarah memberinya kabar saat ia berada di kantor, jika dirinya keguguran. Jangan ditanya bagaimana hancurnya perasaan Aris saat itu. Sedikit banyak hatinya tetap menyalahkan Sarah, tapi sebisa mungkin ia tak meluapkan kekecewaannya. Aris sudah berkali-kali mengingatkan Sarah untuk berdiam diri dirumah, menjaga kandungannya yang masih terbilang rentan. Tetapi sedikitpun Sarah tak pernah mengindahkan perkataannya. Sarah seakan tak peduli dengan anak yang di kandungnya....."Mas?" ucap Nisa membuyarkan lamunan Aris."Ya, kenapa?" jawabnya sedikit tersentak."Mas mikirin apa?" tanyanya, sembari menlihat wajah Suaminya."Bukan apa apa," kilahnya dengan senyum yang di paksakan. Setelahnya mereka sama-sama terdiam. Sampai akhirnya, mobil mereka berbelok pada sebuah gedung. Pusat berbelanjaan terbesar di kota ini.Setelah memarkirkan mobilnya, Aris lantas membukakan pintu untuk Nisa."Terimakasih," ucap Nisa tersenyum. Dirinya merasa di anggap. Baru kali ini ia di perlakukan istimewa."Ayo ..." Aris mengulurkan tangannya, ingin menggendeng Nisa."Tapi, Mas," ucapnya ragu."Kenapa?" "Nanti kalo mbak Sarah tahu gimana? terlebih orang-orang yang kenal denganmu akan berfikir buruk tentang Mas. Karena katanya, Mas adalah orang besar," ucap Nisa takut.Aris sedikit tergelak. Meskipun apa yang di ucapkan Nisa adalah benar. Namun dirinya seperti tak peduli akan hal itu. "Nisa, dengar. Aku adalah suamimu. Meskipun kita hanya menikah siri, aku tak pernah berfikir membedakanmu dengan Sarah. Bagaimanapun juga, kamu juga Istriku yang sah."Nisa terdiam menatap. Ucapan Aris seperti peluru yang menembus hatinya. Dirinya seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar.Meski masih merasa ragu, Nisa tetap menyambut uluran tangan Aris yang sedari tadi masih mengambang di udara. Keduanya seperti tersengat listrik saat mereka menyatukan tangannya. Membuat Aris bingung, kenapa ia tak pernah merasakan ini ketika bersama Sarah? Mereka saling bersitatap sebentar, seraya mengulum senyum bersamaan. Detik kemudian, keduanya melangkah, memasuki gedung itu. Sepanjang mereka berjalan, banyak pasang mata yang menatap mereka. Namun tak ada yang berani sekedar menyapa ataupun menanyakan siapa wanita disampingnya.Aris membawa Nisa pada pusat kebutuhan wanita. "Kamu silahkan ambil apapun yang kamu mau," ucap Aris mempersilahkan."Nisa gak butuh apa apa Mas," balasnya bingung. Karena memang dirinya tak membutuhkan apapun saat ini."Emm ... kita belanja bahan dapur aja Mas," imbuhnya kemudian."Ini perintah, Nisa," titah Aris agar Nisa mau mengambil sesuatu, barang sepasang sandal atau baju. Merasa tak enak, namun akhirnya Nisa menganggukkan kepalanya dengan terpaksa.Nisa berjalan menyusuri rak sepatu wanita yang terbuat dari kaca. Langkahnya terhenti saat melihat sepatu berwarna peach dengan manik putih yang melekat anggun di tengah bunga mungil yang semakin mempercantiknya. Ia mulai mengambil dan mencobanya. Begitu pas di kakinya yang kecil."Cantik!" ucap Aris tiba-tiba, membuat Nisa kaget. Karena sebelumnya, Suaminya itu hanya melihat dirinya di ujung rak. Nisa lantas melihat banderol yang melekat pada sepatu yang ia pilih. Matanya langsung terbelalak melihat harga yang tertera. Sembilan ratus sembilan puluh ribu? angka yang menurutnya begitu fantastis untuk harga sebuah alas kaki. "Kenapa di letakkan lagi?" tanya Aris, kala melihat Nisa mengembalikan barang ke tempat semula."Kita beli di toko biasa aja Mas, disini mahal!" ucapnya setengah bersisik, membuat Aris tak mampu menahan gelaknya."Mbak!" panggil Aris pada salah seorang pelayan, yang langsung membuat pelayan itu berjalan menghampirinya dengan senyuman."Tolong bawa ke kasir ya!" pintanya sembari menyodorkan sepatu padanya."Tuan? saya fikir tadi siapa. Soalnya tidak biasanya Tuan kesini memakai pakaian seperti itu," ucap pelayan itu. Sampai kemudian, pandangannya beralih menatap Nisa. Melihatnya dari ujung kepala, hingga kaki dengan tatapan merendahkan."Ehem!" Aris berdehem, menatap sinis pelayan di depannya."Maaf Tuan!" ucapnya menunduk sembari berlalu menuju kasir.Sedang Nisa terlihat berfikir. Sedari tadi banyak pasang mata yang seperti mengintimidasinya. Dan pelayan itu mengenal Aris?"Mas sering belanja disini ya sama Mbak Sarah?" tanyanya."Tidak," jawabnya jujur. Karena semenjak menikah dengan Sarah, hanya sekali Sarah mengajak dirinya pergi berbelanja, itu pun, tidak di tempat ini. Selebihnya, Sarah hanya meminta uang darinya. Kemudian pergi entah kemana. Terlebih kenapa pelayan itu mengenalnya, Karena tempat ini memang miliknya. Ia sering keluar masuk. Mengecek langsung para karyawannya. Mungkin sebagian dari mereka tidak menyadari kedatangan dirinya yang tak mencolok seperti biasa, dengan setelan jas yang mahal, beserta kaca mata hitam yang bertengger di matanya. Mingkin mereka hanya menyadari seperti pernah melihat dirinya saja.Sarah meninggalkan Apartemen dengan langkah berat. Sesekali ia menoleh ke belakang dengan gelisah. Ingin rasanya ia kembali. Namun, hatinya tak cukup kuat untuk melihat suaminya bersama Nisa. Ia tak mau mendengar sesuatu yang akan membuatnya menggagalkan malam panas mereka. Karena bagaimanapun juga, dirinya adalah seorang Istri, yang tak akan rela jika suaminya berbagi ranjang dengan wanita lain.Sarah menghembuskan napas kasar, sebelum akhirnya memasuki mobil dan melaju di tengah keramaian jalan kota. Fikirannya kalut, beserta dadanya yang terasa sesak membayangkan Suaminya menyentuh wanita selain dirinya.Sebuah penyesalan tiba-tiba menyusup merasuki hatinya. Kenapa juga dia menikahkan suaminya?"Semua karena rahim kosong si*lan ini!" ucapnya dalam hati, sembari memukul setir dengan kasar. Dirinya semakin frustasi mengingat masalalunya yang kelam.Fikiran Sarah seakan buntu, ia tak mungkin pulang ke rumah dengan keadaan emosinya yang seperti ini. Ia tak mau melampiaskan amarahnya, d
Sarah keluar dari gedung hotel dengan langkah kasar. Membawa amarah yang masih sepenuhnya menguasai hatinya. Kenapa lelaki brengsek itu muncul lagi di hidupnya yang sudah tenang? sepanjang langkahnya, tak hentinya Sarah mengutuk Danar.Sarah menghentikan langkahnya. Pandangannya menyusuri mobil yang berjejer rapi. Dirinya belum menyadari dengan siapa ia datang kesini."Sial" umpatnya dalam hati ketika dirinya mulai sadar. Ia lantas memesan taxi online.Beberapa menit kemudian, Sarah menaiki taxi pesanannya."Diskotik Ex*****s," ucap Sarah pada supir.Kemudian Mobil itu berjalan, hingga sampai ditempat yang dituju.Sarah berlari kecil setelah membayar tumpangannya. Menghampiri mobil merahnya yang terlihat mencolok dari kejauhan. Dirinya lantas membuka tas mungil brandednya, mencari sesuatu di sana. Sampai ia menumpahkan semua isinya di atas mobil, namun ia tetap dapat menemukan kunci mobilnya.Sarah terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. Namun percuma, karena setelah meminum bir sem
Sarah tak menyangka dengan perlakuan suaminya yang lebih membela Nisa ketimbang dirinya. Ingin rasanya ia melempar semua barang-barang dikamar ini. Meluapkan semua amarahnya. Namun ancaman suaminya membuat dirinya terpaksa meredamnya sebisa mungkin.Bagaimana jika benar Suaminya tak akan melakukan rencananya itu? Sia-sia ia mencarikan wanita untuk menggantikan rahimnya. Sementara waktunya tiga bulan lagi, jika sampai detik itu Suaminya tak juga menyentuh dan membuat wanita itu hamil. Dirinya tidak akan bisa bersandiwara atas kehamilan palsunya, dan mertuanya pasti benar-benar akan menikahkan suaminya lagi. Bayangan posisinya akan tergeser dari keluarga Sanjaya jika sampai hal itu terjadi membuatnya bergidik.Sarah mengatur nafasnya dalam- dalam. Mengeluarkannya secara perlahan. Ia harus berfikir jernih agar rencananya berjalan mulus. Menghadapi Suaminya harus dengan cara yang cantik.Yang harus dilakukannya saat ini adalah merayu dan meminta maaf atas perlakuannya beberapa menit yang
Flashback OnKematian kedua orang tua Nisa. Membuat Sarina terpaksa menampung Annisa yang saat itu usianya belum genap tujuh tahun. Karena hanya dirinyalah satu- satunya keluarga yang dimiliki. Jika saja orang tua Nisa tidak kaya, dirinya tak akan mau merawat Nisa. Mungkin Sarina lebih memilih menaruhnya di panti.Sampai akhirnya, Sarina bisa menguasai harta warisan Nisa. Menjual rumah, beserta aset-asetnya, menghabiskannya hingga tak tersisa, dengan dalih dirinyalah yang merawatnya. Sejak saat itu, awal perlakuan manis Sarina terhadap Nisa mulai memudar, seiring dengan menipisnya harta warisan yang ia gerogoti.Sarina sangat membenci Nisa, karena suaminya selalu memuji prestasinya. Membanding-badingkannya dengan Desi, seolah-olah Desi bukan anak kandungnya.Sampai Sarina menghasut Desi, meracuni fikirannya untuk membenci Nisa. Desi yang awalnya berlaku baik terhadap Nisa, perlahan terhasut ucapan ibunya. Hingga akhirnya, kebencian itu telah tertanam sempurna di hati Desi. Ia tak lagi
Sarah sengaja membanting pintu dengan keras. Berharap Aris akan mengejarnya. Ia berjalan mondar-mandir, menunggu suaminya di dalam kamar. Namun sampai menit setelahnya, tak ada tanda-tanda jika Aris menyusulnya.Kemudian Sarah mendekati jendela, menyingkap sedikit tirainya. Dilihatnya Aris masih berada dalam mobil, tengah menjentus-jentuskan kepalanya di setir.Sarah semakin cemas. Dirinya sungguh takut, jika suaminya telah menaruh rasa pada gadis itu. Baru sehari Nisa menjadi madunya, namun sudah membuat dirinya bertengkar hebat dengan Aris. Sarah sungguh tak mengerti dengan suaminya. Kenapa dia segitunya membela gadis itu?"Jika aku tak bisa mencegah Mas Aris untuk berbuat adil, maka aku yang akan membuat Nisa menolaknya!" ucapnya dalam hati, dengan seringai yang menakutkan.Setelah mengucapkan kalimat itu, Sarah menghempaskan tubuhnya di ranjang. Ia menggeliat, melenturkan persendiannya yang terasa pegal.Dering suara ponsel yang berada di atas nakas, membuat Sarah yang hampir terp
Nisa memutuskan merebahkan tubuhnya setelah kepergian Aris dan Sarah, berharap bisa memejamkan mata walau sekejap. Ia membolak-balikkan badannya, mencari posisi ternyaman. Namun tetap tak ditemukannya. Merasa bosan menunggu rasa kantuk yang tak kunjung mendera, Nisa memutuskan bangkit, keluar kamar. Lantas melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Dipandanginya kaca besar yang menembus pemandangan didepannya. Memperlihatkan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi berjejer tak beraturan. Asing. Itu yang ia rasakan. Dirinya lantas duduk di sofa, tangannya meraih remot tv yang berada didepannya. Ia tekan tombol itu, detik kemudian, layar kaca yang berukuran besar itu menyala. Sampai setengah jam setelahnya, TV itu berhasil membuat dirinya memejamkan mata.Nisa terbangun saat langit mulai berubah warna menjadi jingga kemerah- merahan. Dirinya lantas bangkit, membersihkan diri. Kemudian melaksanakan sholatnya.Setelahnya, Nisa menyiapkan bahan masakan untuk makan nanti malam.
"Kakek sama Nenek udah lama jualan disini?" tanya Nisa, pada kedua pasangan yang sedang sibuk membuat nasi goreng pesanannya."Masih Baru Cu, sekitar dua mingguan, jelas sang Nenek."Anak-anak Nenek kemana?" tanya Nisa ingin tahu. Bagaimana tidak, seharusnya diusia mereka, sudah saatnya mereka beristirahat. Menikmati masa tuanya."Nenek gak punya anak Cu," jelasnya. Terlihat jelas gurat kesedihan di wajahnya. Membuat Nisa merasa bersalah telah meelontarkan pertanyaan itu."Maaf, ya Nek," ucap Nisa, kemudian berdiri. Menghampiri sang kakek yang sedang berjalan tertatih mengantarkan Nasi gorengnya."Biar saya saja Kek!" ujar Nisa sembari mengambil dua porsi Nasi goreng dari tangannya."Terimakasih Cu," Balas Kakek.Setelahnya, Nisa membawa Nasi goreng ditangannya, kemudian meletakkannya di meja."Mas, kok nggak dimakan? enak lo," ucap Nisa sembari menyuapkan makanan ke mulutnya.Aris menelan ludahnya berat. Ragu, ia menyendok hidangan di hadapannya.Nisa melihat gelagat Aris, dan dengan
"Bulek?" Nisa meraih tangan Sarina yang masih bengong memandangi dirinya dan suaminya secara bergantian. Kemudian ia cium tangan itu takzim.Walaupun Sarina tak pernah berlaku baik padanya. Namun tak ada rasa benci sedikitpun di hati Nisa."Gimana kabar Bulek? Mana Desi?" tanya Nisa melongok, melihat ke dalam."Udah tidur!" balasnya ketusNisa merasa kikuk, karena Sarina sama sekali tak mempersilahkannya masuk."Bulek, sebenarnya Nisa kesini mau mengambil sesuatu," ucapnya dan Sarina menatap tajam."Barang-barangmu udah gak ada disini!" ucapnya kemudian.Aris yang melihat perlakuan Sarina terhadap Nisa merasa geram, tangannya terkepal tanpa ia sadari."Boleh kami masuk?" tanya Aris menekan. Napasnya terasa naik turun menahan emosi."Oh, silahkan!" jawab Sarina tak suka.Setelahnya, Nisa dan Aris masuk. Mengekori langkah Sarina."Saya membawa Nisa kesini, hanya untuk mengambil Ijazah, beserta surat- surat pribadinya," jelas Aris, setelah mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu.Sarina m