Share

Hari ke dua

Aris masih memandangi Nisa yang tetap berada di atas sajadahnya. Sampai beberapa menit kemudian. Tubuh mungil itu semakin menunduk, hingga membuatnya terbaring merosot, membuat dirinya terkesiap dan bangkit, seraya melongokkan kepalanya, melihat ke bawah. 

 Merasa tak ada pergerakan di tubuh Nisa. Perlahan Aris turun dari ranjang, lantas mendekati Nisa yang ternyata sudah tertidur dengan kedua tangannya yang terlipat sebagai bantal. 

Aris terdiam sejenak, ia semakin mendekatkan pandangannya, menatap wajah istri polosnya lamat-lamat dengan hati yang kian berdesir entah kenapa. 

Setelah puas dirinya menikmati wajah manis Nisa. Aris kemudian mendaratkan kecupan lembut di keningnya. Setelahnya ia berdiri, mengambil dua bantal beserta selimut untuknya dan Nisa. 

Aris mengangkat kepala Nisa dengan hati-hati, kemudian meletakkan bantal di bawahnya. Detik kemudian, ia berbaring dan masuk ke selimut yang sama.

Annisa mengerjap-ngerjapkan matanya tatkala adzan subuh tengah berkumandang. Ia bergegas bangun, melihat sekeliling ruangan, memegangi kepalanya yang terasa berat karena tidurnya yang hanya sebentar. Sampai sesuatu ia sadari. Suaminya tidur dibawah bersamanya, hanya beralaskan karpet. Sedang dirinya beralaskan sajadah, lengkap dengan mukena yang masih melekat di tubuhnya. 

Nisa memandangi wajah suaminya, tampan. Hidungnya mancung, alisnya tebal dengan kulitnya yang bersih. Kontras dengan bulu-bulu halus di dagunya. Membuat hatinya sedikit berdesir. Sadar dengan fikirannya, gadis itu mengucap Istrighfar, meraup wajahnya kasar. Nisa tak tau perasaan apa itu. Dirinya memang tak pernah jatuh cinta. Desiran yang baru saja ia rasakan, terasa begitu asing di hatinya.

 Setelahnya, Nisa menggerakkan tubuhnya dengan sangat hati-hati, ia singkap selimut yang menutupi setengah tubuhnya, kemudian berwudhu dan melaksanakan sholat subuh.

Nisa melipat mukenanya sembari terus memandangi Aris. Ingin rasanya ia membangunkan suaminya, namun dirinya merasa ragu. Karna sedari Aris dan Sarah menginjakkan kakinya disini, tak pernah sekalipun ia dapati mereka melakukan kewajibannya sebagai muslim dan muslimah.

" Mas," ucap Nisa menggoyang lembut bahu Suaminya.

"Mas!" ulangnya lagi, kali ini Nisa sedikit meninggikan suaranya. Membuat Aris menggeliat membuka mata.

"Nisa sudah buatkan sarapan untuk Mas. Mas cepat mandi, mungkin Mas mau berangkat kerja," ucapnya, kemudian  langsung meninggalkan kamar tanpa menunggu jawaban Aris.

Aris keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya. Membuat Nisa yang saat itu sedang membersihkan kamar mereka terkejut, spontan membalikkan badannya salah tingkah. Sedang Aris, tersenyum simpul melihat ekspresi Nisa. Aris menyadari, mungkin ini adalah hal pertama bagi Nisa. Namun tidak untukknya, keluar bebas dengan pakaiannya saat ini tak lagi membuatnya malu, karna dia juga sudah terbiasa dengan keberadaan seorang Istri meskipun dengan orang yang berbeda.

"Ma-maaf, gak sengaja. Tadi Nisa coba nyiapin pakaian kerja Mas. Tapi gak ketemu, cuma ada pakaian santai. Itu, Nisa taruh di atas ranjang," ucap Nisa gelagapan, sembari menunjuk pakaian yang telah ia siapkan.

 Setelah itu, Nisa keluar kamar dengan langkah besarnya. Membuat Aris semakin tersenyum lebar, seraya menggeleng- gelengkan kepalanya.

Setelah berpakaian, Aris keluar kamar. Ia memandangi sekeliling ruangan yang sudah bersih dan tertata rapi. Kemudian, dirinya melangkahkan kaki ke ruang makan. Dilihatnya Nisa sedang duduk sembari terdiam.

"Ehem! " dehemnya membuat Nisa sedikit tersentak.

"Kenapa gak makan duluan?" tanya Aris.

"Sengaja nungguin, karena aku fikir, Mas sudah terbiasa makan bersama Mbak Sarah."

Aris hanya manggut-manggut menanggapi, sebelum akhirnya menarik kursi dan duduk bergabung dengan Nisa.

"Bahan-bahan di kulkas sudah habis, jadi Nisa cuma buatin Nasi goreng, karena cuma beras yang ada. Ada sih, roti di kulkas. Nisa ambilin kalo Mas mau," ucap Nisa disela-sela makannya.

Aris tersenyum menanggapi.

"Gak usah, ini saja sudah enak!" ucapnya mengacungkan jempol, membuat Nisa sedikit tersipu.

"Ini apa?" tanya Aris sembari menunjuk empat gelas berisi minuman yang berbeda.

"Oh, Itu karena Nisa gak tahu, Mas sukanya teh, kopi, susu putih, atau susu cokelat!" jelas Nisa, membuat Aris tergelak.

"Ternyata kamu lucu juga, ya!" timpal Aris sembari menarik serta menggoyang goyangkan hidung Nisa hingga terlihat memerah.

"Aw!" pekik Nisa memegangi hidungnya yang sebenarnya tidak sakit.

"Maaf!" pinta Aris masih dengan gelaknya.

"Kamu siap-siap. Setelah ini kita pergi belanja," imbuhnya

"Mas gak kerja?" tanya Nisa memastikan. 

"Aku kan Bosnya!" balasnya, yang hanya di balas anggukan kikuk dari Nisa.

***

Aris mengemudikan mobilnya pelan. Sesekali matanya mencuri-curi pandang pada gadis belia di sampingnya. Baru satu malam lebih beberapa jam bersama Nisa, Aris tak bisa membohongi dirinya. Hatinya begitu nyaman dan tentram ketika bersama Nisa. Banyak hal yang di inginkannya ada pada diri Nisa, yang tak satu pun ia temukan pada Sarah.

Meskipun fikirannya menolak. Mau tak mau, Aris tetap membanding- bandingkan antara Sarah dan juga Nisa.

Sarah. Diakuinya memang cantik. Terlihat sempurna, dengan segala kemewahan barang branded yang melekat pada tubuhnya yang sexi, tinggi semampai.  Namun Sarah sama sekali tak bisa memuaskan dirinya lahir, maupun batin. Sarah tak bisa menjadi sosok Istri yang sesungguhnya di usianya yang sudah terbilang matang.

Sedang Nisa. Gadis manis dengan segala kesederhanaanya. Mampu memikat hatinya dalam sekejap, ia tahu cara memperlakukan seorang suami di usianya yang masih belia. Sikapnya yang polos malu-malu. Membuat Aris merasa gemas ingin memiliki seutuhnya.

Aris tak tahu apa yang selama ini dirasakan hatinya saat lima tahun membina rumah tangga bersama Sarah. Pertemuannya dengan Sarah dulu bukanlah pertemuan yang baik. 

Aris mengingat-ingat kejadian saat ia terpaksa menikahi Sarah karena dirinya harus tanggung jawab. Entah kenapa dulu ia bisa berakhir di kamar hotel bersama Sarah. Yang jelas, saat dirinya terbangun, ia sudah mendapati Sarah yang sudah menangis meringkuk tanpa busana ditepi ranjang. Sama seperti dirinya. 

Tiga minggu setelah kejadian itu, Sarah mengatakan jika dirinya hamil benihnya, dan hari itu, dirinya baru tahu, jika Sarah adalah salah satu karyawan di kantornya. Akhirnya, dengan terpaksa Aris kemudian menikahi Sarah, berharap ada benih-benih cinta yang tumbuh setelah pernikahannya. Namun prilaku Sarah yang jauh tak sesuai dengan apa yang diinginkannya, membuat Aris sampai saat ini masih tak bisa mengartikan perasaannya terhadap Sarah, yang dapat Aris lakukan hanyalah berusaha tetap setia terhadapnya.

Satu bulan kemudian, saat usia kandungan Sarah masih menginjak delapan minggu. Sarah memberinya kabar saat ia berada di kantor, jika dirinya keguguran. Jangan ditanya bagaimana hancurnya perasaan Aris saat itu. Sedikit banyak hatinya tetap menyalahkan Sarah, tapi sebisa mungkin ia tak meluapkan kekecewaannya. Aris sudah berkali-kali mengingatkan Sarah untuk berdiam diri dirumah, menjaga kandungannya yang masih terbilang rentan. Tetapi sedikitpun Sarah tak pernah mengindahkan perkataannya. Sarah seakan tak peduli dengan anak yang di kandungnya.

.

.

.

.

"Mas?" ucap Nisa membuyarkan lamunan Aris.

"Ya, kenapa?" jawabnya sedikit tersentak.

"Mas mikirin apa?" tanyanya, sembari menlihat wajah Suaminya.

"Bukan apa apa," kilahnya dengan senyum yang di paksakan.

 Setelahnya mereka sama-sama terdiam. Sampai akhirnya, mobil mereka berbelok pada sebuah gedung. Pusat berbelanjaan terbesar di kota ini.

Setelah memarkirkan mobilnya, Aris lantas membukakan pintu untuk Nisa.

"Terimakasih," ucap Nisa tersenyum. Dirinya merasa di anggap. Baru kali ini ia di perlakukan istimewa.

"Ayo ..." Aris mengulurkan tangannya, ingin menggendeng Nisa.

"Tapi, Mas," ucapnya ragu.

"Kenapa?" 

"Nanti kalo mbak Sarah tahu gimana? terlebih orang-orang yang kenal denganmu akan berfikir buruk tentang Mas. Karena katanya, Mas adalah orang besar," ucap Nisa takut.

Aris sedikit tergelak. Meskipun apa yang di ucapkan Nisa adalah benar. Namun dirinya seperti tak peduli akan hal itu.

 "Nisa, dengar. Aku adalah suamimu. Meskipun kita hanya menikah siri, aku tak pernah berfikir membedakanmu dengan Sarah. Bagaimanapun juga, kamu juga Istriku yang sah."

Nisa terdiam menatap. Ucapan Aris seperti peluru yang menembus hatinya. Dirinya seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar.

Meski masih merasa ragu, Nisa tetap menyambut uluran tangan Aris yang sedari tadi masih mengambang di udara. Keduanya seperti tersengat listrik saat mereka menyatukan tangannya. Membuat Aris bingung, kenapa ia tak pernah merasakan ini ketika bersama Sarah?

 Mereka saling bersitatap sebentar, seraya mengulum senyum bersamaan. Detik kemudian, keduanya melangkah, memasuki gedung itu. 

Sepanjang mereka berjalan, banyak pasang mata yang menatap mereka. Namun tak ada yang berani sekedar menyapa ataupun menanyakan siapa wanita disampingnya.

Aris membawa Nisa pada pusat kebutuhan wanita. 

"Kamu silahkan ambil apapun yang kamu mau," ucap Aris mempersilahkan.

"Nisa gak butuh apa apa Mas," balasnya bingung. Karena memang dirinya tak membutuhkan apapun saat ini.

"Emm ... kita belanja bahan dapur aja Mas," imbuhnya kemudian.

"Ini perintah, Nisa," titah Aris agar Nisa mau mengambil sesuatu, barang sepasang sandal atau baju. 

Merasa tak enak, namun akhirnya Nisa menganggukkan kepalanya dengan terpaksa.

Nisa berjalan menyusuri rak sepatu wanita yang terbuat dari kaca. Langkahnya terhenti saat melihat sepatu berwarna peach dengan manik putih yang melekat anggun di tengah bunga mungil yang semakin mempercantiknya. Ia mulai mengambil dan mencobanya. Begitu pas di kakinya yang kecil.

"Cantik!" ucap Aris tiba-tiba, membuat Nisa kaget. Karena sebelumnya, Suaminya itu hanya melihat dirinya di ujung rak.

 Nisa lantas melihat banderol yang melekat pada sepatu yang ia pilih. Matanya langsung terbelalak melihat harga yang tertera. Sembilan ratus sembilan puluh ribu? angka yang menurutnya begitu fantastis untuk harga sebuah alas kaki. 

"Kenapa di letakkan lagi?" tanya Aris, kala melihat Nisa mengembalikan barang ke tempat semula.

"Kita beli di toko biasa aja Mas, disini mahal!" ucapnya setengah bersisik, membuat Aris tak mampu menahan gelaknya.

"Mbak!" panggil Aris pada salah seorang pelayan, yang langsung membuat pelayan itu berjalan menghampirinya dengan senyuman.

"Tolong bawa ke kasir ya!" pintanya sembari menyodorkan sepatu padanya.

"Tuan? saya fikir tadi siapa. Soalnya tidak biasanya Tuan kesini memakai pakaian seperti itu," ucap pelayan itu. Sampai kemudian, pandangannya beralih menatap Nisa. Melihatnya dari ujung kepala, hingga kaki dengan tatapan merendahkan.

"Ehem!" Aris berdehem, menatap sinis pelayan di depannya.

"Maaf Tuan!" ucapnya menunduk sembari berlalu menuju kasir.

Sedang Nisa terlihat berfikir. Sedari tadi banyak pasang mata yang seperti mengintimidasinya. Dan pelayan itu mengenal Aris?

"Mas sering belanja disini ya sama Mbak Sarah?" tanyanya.

"Tidak," jawabnya jujur. Karena semenjak menikah dengan Sarah, hanya sekali Sarah mengajak dirinya pergi berbelanja, itu pun, tidak di tempat ini. Selebihnya, Sarah hanya meminta uang darinya. Kemudian pergi entah kemana. Terlebih kenapa pelayan itu mengenalnya, Karena tempat ini memang miliknya. Ia sering keluar masuk. Mengecek langsung para karyawannya. Mungkin sebagian dari mereka tidak menyadari kedatangan dirinya yang tak mencolok seperti biasa, dengan setelan jas yang mahal, beserta kaca mata hitam yang bertengger di matanya. Mingkin mereka hanya menyadari seperti pernah melihat dirinya saja.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status