"Bagaimana saksi, sah?"
Mungkin bagi sebagian wanita, kalimat itu bagaikan angin sejuk yang siap menyambut kebahagiaannya. Kebahagiaan membina rumah tangga bagi mereka yang saling mencintai. Tetapi lain halnya dengan Annisa, kalimat itu seperti mimpi buruk dalam hidupnya. Kebebasannya kini sudah tiada lagi. Detik berakhirnya kalimat itu, detik itu juga ia menyandang status Istri.Annisa mencium punggung tangan suaminya dengan takzim, air matanya meleleh membasahi punggung tangan itu. Bukan karna bahagia, tetapi karna mengingat dirinya hanya sebagai penebus hutang pamannya. Pernikahannya pun di gelar sangat sederhana, hanya mendatangkan Wali hakim, dan dua orang saksi beserta kehadiran Sarah-Istri pertama dari lelaki yang kini telah menjadi suaminya."Tanda tangani ini!" pinta Sarah, meletakkan kertas beserta pulpennya di meja ruang tamu dengan kasar. Saat ini mereka duduk bertiga setelah acara pernikahannya selesai. Merasa bingung, Nisa menatap Sarah dan Aris bergantian. Ia lantas mengambil kertas itu, dan mulai membacanya perlahan, baris demi baris. Tangannya gemetar saat membaca setiap kalimat di dalamnya. Air matanya lolos tanpa bisa ia cegah, betapa dunia begitu kejam mempermainkannya. Jadi ini tujuan dari pernikahannya? Sedang Aris, ia terkejut melihat ekspresi Istri belianya. Ia lantas berdiri, menyeret Sarah ke kamar utama, meminta penjelasan."Apa sih Mas, lepas!" pekik Sarah kesakitan, sembari memegangi pergelangan tangannya."Kenapa dia seperti itu?" tanyanya sembari menunjuk keluar ruangan."Jawab Sarah!" bentaknya. Aris memegang kedua bahu Sarah, memaksanya untuk bicara.Merasa geram, Aris menghirup udara sebanyak mungkin, kemudian menghembuskannya dengan kasar. "Apa isi kertas itu?" tanyanya lagi, namun tak cukup untuk Sarah membuka mulutnya."SARAH!""MAS!" sahut Sarah menghentikan ucapan suaminya. Telinganya terasa panas mendengar pertanyaan bertubi-tubi yang keluar dari mulut Aris."Mas tidak perlu banyak tanya! cukup turuti saja apa yang sudah aku rencanakan, demi rumah tangga kita!" balasnya ketus, kemudian melenggang pergi kembali keruang tamu. Meninggalkan Aris yang diam terpaku dengan tatapan tajam. Setelah beberapa menit mengatur emosinya, Aris menyusul Sarah ke ruang tamu. Dimana kedua istrinya tengah duduk tegang disana. Dilihatnya Sarah menatap tajam penuh penekanan pada Nisa, sedang Nisa terlihat masih syok dengan keringat yang mengucur dari pelipisnya. Membuat Aris menyesali keputusan yang Sarah buat. Bodohnya ia hanya menuruti, tanpa mencari tahu kebenarannya."Sa-saya tidak bisa menandatanganinya," ucap Nisa dengan bibir gemetar, maniknya terlihat kembung oleh air mata. Mendengar jawaban itu, membuat Sarah naik pitam, ia semakin membelalakkan matanya. "Kenapa? Apa kompensasi yang akan kamu dapatkan kurang? jika iya, aku akan memberikannya dua kali lipat!" tawarnya mantap. Dirinya begitu yakin, bahwa gadis di depannya tak akan bisa menolak dengan jumlah yang membuat siapa saja akan membelalakkan mata. Satu detik, dua detik. Tak ada ekspresi yang Sarah harapkan tergambar di wajah Nisa. Membuatnya semakin jengkel. Nafas Sarah mulai naik turun, susah payah ia menahan emosinya sejak tadi."Sarina sudah menyerahkanmu padaku. Itu artinya, kamu harus menuruti semua perintahku!" Nisa mendongak, kala mendengar nama buleknya itu di sebut. Hatinya berdenyut nyeri mendapati kenyataan yang ada. "Saya tidak bisa menyerahkan bayi saya begitu saja, dan saya tidak menginginkan uang itu!" jawab Nisa tegas, kini nadanya tak lemah seperti sebelumnya."Kau!" ancam Sarah, menunjuk wajah Nisa dengan tatapan nyalang. Sungguh, ia begitu tak menyangka dengan jawaban yang ia dengar. Sebisa mungkin Sarah mengatur nafasnya, agar ia tak lepas kendali. "Baiklah, apa maumu?"Nisa menghembuskan napas besar, kemudian melanjutkan ucapannya."Saya akan menandatanganinya, jika saya tetap bisa mengasuh anak saya," Jawabnya.Sarah terlihat berfikir, sebelum kemudian ia menyetujui permintaannya dengan syarat. "Baiklah, saya akan membiarkanmu mengurus bayi yang akan kau lahirkan nanti, jika kau berjanji menjaga rahasia ini," pintanya.Nisa mengangguk. Kemudian menandatangani kertas itu setelah poin terakhir dicoret, dan berubah dengan coretan tinta milik Sarah.****Aris terlihat frustasi, ia mengguyur tubuhnya dibawah shower. Dirinya tak menyangka akan serumit ini. Sarah, entah apa yang ada di fikirannya, kenapa ia begitu tega memperalat gadis yang bahkan usianya belum genap dua puluh tahun itu. Gadis itu, seharusnya ia masih menikmati masa remajanya, seharusnya ia masih dalam tahap belajar, menikmati kebebasannya. Aris terbayang-bayang apa yang ia lihat semalam, saat dirinya merasa lapar pada jam tiga dini hari, ketika ia melewati kamar yang ditempati Nisa kemarin malam. Ia melihat pemandangan yang begitu menyayat hatinya. Dirinya melihat Nisa menangis sesenggukan diatas sajadah dengan menengadahkan tangannya. Sungguh, ia teringat setiap isakan dan tetesan air mata Nisa yang entah kenapa membuat hatinya merasa sakit.Tok tok tok!"Mas?"Aris tersentak ketika seseorang mengetuk pintu kamar mandi."Ya ..." sahutnya dari dalam."Lama amat sih mandinya!" tegur Sarah manja."Sebentar!" Beberapa menit kemudian, Aris keluar dari kamar mandi. Sarah langsung menghambur memeluk erat suaminya."Malam ini aku membiarkanmu dengan gadis itu, aku tahu ini berat bagimu. Tapi ini semua demi rumah tangga kita, cepat selesaikan tugasmu, kemudian segera pulang kerumah," pintanya.Aris mematung dengan pandangan kosong, ia tak membalas pelukan Sarah."Apa isi perjanjian itu?" tanyanya.Pertanyaan Aris seketika membuat Sarah melonggarkan pelukannya. Kemudian menjawab pertanyaan suaminya dengan senyum mengembang."Kamu tidak perlu khawatir sayang, kamu hanya perlu menggaulinya sekali, kita lihat setelah ia tak mendapatkan datang bulannya. Kamu tidak perlu lagi bersamanya, kita hanya tinggal menunggu anak itu lahir, dan kamu tidak perlu menjadi suaminya yang sesungguhnya, kita akan hidup normal seperti biasa dirumah kita, hanya berdua."Jawaban Sarah bagai dentuman hebat yang melukai hati Aris. Ia ingin marah, tapi ini semua sudah terlanjur. Entah kenapa ia merasa tak mengenal istrinya lagi. Setelahnya, Sarah berpamitan pulang ke rumah mewah mereka, meninggalkan Aris dengan Nisa menyelesaikan tugasnya. Karena ia tahu, dirinya tidak akan tahan melihat suaminya bersama wanita lain, ia tak bisa membayangkan jika mendengar suara yang mungkin akan membuatnya menggagalkan malam mereka....Aris membuka pintu kamar pengantinnya dengan Nisa. Sangat jauh berbeda dengan kamar yang ia tempati pertama kali dengan Sarah. Tak ada hiasan, ataupun lilin yang membuat suasana menjadi romantis, dengan kelopak bunga mawar merah bertaburan yang menghiasi ranjangnya. Dilihatnya Nisa masih menggunakan mukena dengan mushaf ditangannya. Melihat Aris memasuki kamarnya, Nisa menutup kitab suci yang telah selesai ia baca, kemudian bergeser menganggukkan kepalanya. Perlahan Aris melangkahkan kakinya, mendekati ranjang dan menaikinya. Ia melihat Nisa menundukkan wajah sembari meremas kedua tangannya."Berapa usiamu?" tanyanya basa-basi membuka percakapan, ingin mencairkan ketegangan yang menyelimuti mereka."Se-sembilan belas tahun," jawabnya terbata. Membuat Aris menarik segaris senyum dari bingkainya."Baiklah, silahkan tidur. Sudah malam, tidak baik bagi gadis belia tidur terlalu larut," ucapnya, membuat Nisa seketika mengernyitkan kening."Ta-tapi tadi mbak Sarah-" ucapnya terpotong."Kenapa?" sahut Aris tersenyum nakal, membuat Nisa semakin gelagapan."Tidak! saya akan tidur sekarang!" jawab Nisa. Pipinya terasa panas, rasanya ia ingin tenggelam saja. Dirinya langsung berbaring membelakangi Aris, lantas menutup tubuhnya dengan selimut rapat- rapat. Sedang Aris, terlihat menahan tawa melihat tingkah Nisa yang begitu menggemaskan hatinya.Aris mencolek punggung Nisa, yang sudah mengeluarkan keringat dari dalam selimut itu."Kau yakin, akan tidur menggunakan mukena?" tanyanya meledek.Tersadar, Nisa membelalakkan matanya. Merutuki dirinya tiada henti. kenapa ia terlihat begitu bodoh?Dengan menahan malu, Nisa lantas bangkit dan melepas mukenanya, membuat rambut panjang lurusnya tergerai indah di depan mata Aris, hingga membuat lelaki itu tertegun tak berkedip. Menyadari sedang diperhatikan, Nisa segera memakai hijab instan yang tergeletak disampingnya. Kemudian ia kembali membaringkan tubuhnya seperti semula, disusul Aris yang terus tersenyum sembari membaringkan tubuhnya saling membelakangi.Sudah dua jam lebih mereka tak bisa memejamkan mata, larut dalam pikirannya masing masing. Aris takut jika ia benar- benar jatuh cinta dengan Istri belianya. Dirinya merasakan kenyamanan yang selama ini tak pernah ia rasakan ketika bersama Sarah. Sedang Annisa, ia tak pernah merasakan ini dalam hatinya, jantungnya berdegup kencang ketika melihat sekilas senyum lelaki yang telah menjadi suaminya itu. Awalnya ia berfikir, lelaki yang akan menjadi suaminya adalah lelaki kasar, yang akan menuntut ia untuk melayaninya dengan paksa demi rencana liciknya bersama istrinya. Namun, apa yang ia lihat dan rasakan sungguh diluar dugaan. Aris lelaki sabar dan berhati lembut, bahka ia bisa merasakan jika Aris tidak ikut andil dalam rencana Sarah. Terbukti, ketika pertama kali Sarah mempertemukannya, terlebih lagi saat Sarah meletakkan kertas perjanjian itu, suaminya terlihat bingung dan terkejut. Ketakutan yang ia rasakan perlahan menghilang, berganti dengan rasa malu akan tingkah konyolnya beberapa jam yang lalu.Kruk ... krucuk kruk ...Mendengar suara khas perut yang kelaparan, Aris membalikkan tubuhnya menghadap Nisa yang berbaring membelakanginya."Kau belum tidur?" tanyanya yang tak mendapat jawaban dari Nisa.Kruk ... kruk ..."Kau jangan membohongiku, Nisa," ucapnya lagi, lantas menarik selimut yang menutupi kepala istrinya.Sedang Nisa terus merutuki perutnya yang tidak bisa diajak kompromi, "benar-benar memalukan!" batinnya.Kemudian Nisa tersenyum, tatkala selimut yang menutup tubuhnya rapat rapat ditarik paksa oleh Aris."Aku juga lapar, buatkan aku makanan!" pinta Aris, kemudian beranjak dari tempat tidur. Melangkahkan kakinya menuju dapur.Mau tidak mau, Nisa terpaksa bangkit, mengekori langkah Suaminya dengan ragu."Aku tidak bisa masak," ucap Nisa menundukkan kepalanya.Aris mengernyitkan dahinya, ia lantas mendekati Nisa yang berdiri disamping meja makan dekat kursi yang ia duduki."Benarkah? lalu siapa yang memasak waktu pertama kali kau menginap disini? apakah meja itu bisa p
Aris masih memandangi Nisa yang tetap berada di atas sajadahnya. Sampai beberapa menit kemudian. Tubuh mungil itu semakin menunduk, hingga membuatnya terbaring merosot, membuat dirinya terkesiap dan bangkit, seraya melongokkan kepalanya, melihat ke bawah. Merasa tak ada pergerakan di tubuh Nisa. Perlahan Aris turun dari ranjang, lantas mendekati Nisa yang ternyata sudah tertidur dengan kedua tangannya yang terlipat sebagai bantal. Aris terdiam sejenak, ia semakin mendekatkan pandangannya, menatap wajah istri polosnya lamat-lamat dengan hati yang kian berdesir entah kenapa. Setelah puas dirinya menikmati wajah manis Nisa. Aris kemudian mendaratkan kecupan lembut di keningnya. Setelahnya ia berdiri, mengambil dua bantal beserta selimut untuknya dan Nisa. Aris mengangkat kepala Nisa dengan hati-hati, kemudian meletakkan bantal di bawahnya. Detik kemudian, ia berbaring dan masuk ke selimut yang sama.Annisa mengerjap-ngerjapkan matanya tatkala adzan subuh tengah berkumandang. Ia berg
Sarah meninggalkan Apartemen dengan langkah berat. Sesekali ia menoleh ke belakang dengan gelisah. Ingin rasanya ia kembali. Namun, hatinya tak cukup kuat untuk melihat suaminya bersama Nisa. Ia tak mau mendengar sesuatu yang akan membuatnya menggagalkan malam panas mereka. Karena bagaimanapun juga, dirinya adalah seorang Istri, yang tak akan rela jika suaminya berbagi ranjang dengan wanita lain.Sarah menghembuskan napas kasar, sebelum akhirnya memasuki mobil dan melaju di tengah keramaian jalan kota. Fikirannya kalut, beserta dadanya yang terasa sesak membayangkan Suaminya menyentuh wanita selain dirinya.Sebuah penyesalan tiba-tiba menyusup merasuki hatinya. Kenapa juga dia menikahkan suaminya?"Semua karena rahim kosong si*lan ini!" ucapnya dalam hati, sembari memukul setir dengan kasar. Dirinya semakin frustasi mengingat masalalunya yang kelam.Fikiran Sarah seakan buntu, ia tak mungkin pulang ke rumah dengan keadaan emosinya yang seperti ini. Ia tak mau melampiaskan amarahnya, d
Sarah keluar dari gedung hotel dengan langkah kasar. Membawa amarah yang masih sepenuhnya menguasai hatinya. Kenapa lelaki brengsek itu muncul lagi di hidupnya yang sudah tenang? sepanjang langkahnya, tak hentinya Sarah mengutuk Danar.Sarah menghentikan langkahnya. Pandangannya menyusuri mobil yang berjejer rapi. Dirinya belum menyadari dengan siapa ia datang kesini."Sial" umpatnya dalam hati ketika dirinya mulai sadar. Ia lantas memesan taxi online.Beberapa menit kemudian, Sarah menaiki taxi pesanannya."Diskotik Ex*****s," ucap Sarah pada supir.Kemudian Mobil itu berjalan, hingga sampai ditempat yang dituju.Sarah berlari kecil setelah membayar tumpangannya. Menghampiri mobil merahnya yang terlihat mencolok dari kejauhan. Dirinya lantas membuka tas mungil brandednya, mencari sesuatu di sana. Sampai ia menumpahkan semua isinya di atas mobil, namun ia tetap dapat menemukan kunci mobilnya.Sarah terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. Namun percuma, karena setelah meminum bir sem
Sarah tak menyangka dengan perlakuan suaminya yang lebih membela Nisa ketimbang dirinya. Ingin rasanya ia melempar semua barang-barang dikamar ini. Meluapkan semua amarahnya. Namun ancaman suaminya membuat dirinya terpaksa meredamnya sebisa mungkin.Bagaimana jika benar Suaminya tak akan melakukan rencananya itu? Sia-sia ia mencarikan wanita untuk menggantikan rahimnya. Sementara waktunya tiga bulan lagi, jika sampai detik itu Suaminya tak juga menyentuh dan membuat wanita itu hamil. Dirinya tidak akan bisa bersandiwara atas kehamilan palsunya, dan mertuanya pasti benar-benar akan menikahkan suaminya lagi. Bayangan posisinya akan tergeser dari keluarga Sanjaya jika sampai hal itu terjadi membuatnya bergidik.Sarah mengatur nafasnya dalam- dalam. Mengeluarkannya secara perlahan. Ia harus berfikir jernih agar rencananya berjalan mulus. Menghadapi Suaminya harus dengan cara yang cantik.Yang harus dilakukannya saat ini adalah merayu dan meminta maaf atas perlakuannya beberapa menit yang
Flashback OnKematian kedua orang tua Nisa. Membuat Sarina terpaksa menampung Annisa yang saat itu usianya belum genap tujuh tahun. Karena hanya dirinyalah satu- satunya keluarga yang dimiliki. Jika saja orang tua Nisa tidak kaya, dirinya tak akan mau merawat Nisa. Mungkin Sarina lebih memilih menaruhnya di panti.Sampai akhirnya, Sarina bisa menguasai harta warisan Nisa. Menjual rumah, beserta aset-asetnya, menghabiskannya hingga tak tersisa, dengan dalih dirinyalah yang merawatnya. Sejak saat itu, awal perlakuan manis Sarina terhadap Nisa mulai memudar, seiring dengan menipisnya harta warisan yang ia gerogoti.Sarina sangat membenci Nisa, karena suaminya selalu memuji prestasinya. Membanding-badingkannya dengan Desi, seolah-olah Desi bukan anak kandungnya.Sampai Sarina menghasut Desi, meracuni fikirannya untuk membenci Nisa. Desi yang awalnya berlaku baik terhadap Nisa, perlahan terhasut ucapan ibunya. Hingga akhirnya, kebencian itu telah tertanam sempurna di hati Desi. Ia tak lagi
Sarah sengaja membanting pintu dengan keras. Berharap Aris akan mengejarnya. Ia berjalan mondar-mandir, menunggu suaminya di dalam kamar. Namun sampai menit setelahnya, tak ada tanda-tanda jika Aris menyusulnya.Kemudian Sarah mendekati jendela, menyingkap sedikit tirainya. Dilihatnya Aris masih berada dalam mobil, tengah menjentus-jentuskan kepalanya di setir.Sarah semakin cemas. Dirinya sungguh takut, jika suaminya telah menaruh rasa pada gadis itu. Baru sehari Nisa menjadi madunya, namun sudah membuat dirinya bertengkar hebat dengan Aris. Sarah sungguh tak mengerti dengan suaminya. Kenapa dia segitunya membela gadis itu?"Jika aku tak bisa mencegah Mas Aris untuk berbuat adil, maka aku yang akan membuat Nisa menolaknya!" ucapnya dalam hati, dengan seringai yang menakutkan.Setelah mengucapkan kalimat itu, Sarah menghempaskan tubuhnya di ranjang. Ia menggeliat, melenturkan persendiannya yang terasa pegal.Dering suara ponsel yang berada di atas nakas, membuat Sarah yang hampir terp
Nisa memutuskan merebahkan tubuhnya setelah kepergian Aris dan Sarah, berharap bisa memejamkan mata walau sekejap. Ia membolak-balikkan badannya, mencari posisi ternyaman. Namun tetap tak ditemukannya. Merasa bosan menunggu rasa kantuk yang tak kunjung mendera, Nisa memutuskan bangkit, keluar kamar. Lantas melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Dipandanginya kaca besar yang menembus pemandangan didepannya. Memperlihatkan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi berjejer tak beraturan. Asing. Itu yang ia rasakan. Dirinya lantas duduk di sofa, tangannya meraih remot tv yang berada didepannya. Ia tekan tombol itu, detik kemudian, layar kaca yang berukuran besar itu menyala. Sampai setengah jam setelahnya, TV itu berhasil membuat dirinya memejamkan mata.Nisa terbangun saat langit mulai berubah warna menjadi jingga kemerah- merahan. Dirinya lantas bangkit, membersihkan diri. Kemudian melaksanakan sholatnya.Setelahnya, Nisa menyiapkan bahan masakan untuk makan nanti malam.