Mukhayyam Hafiz menatap langit pagi yang berwarna jingga, berdiri di tepi sebuah tebing kecil di Gunung Cindua. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tak bergeming. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, dan langkah-langkah berikutnya akan jauh lebih berat daripada apa yang sudah ia lewati. Kenangan percakapannya dengan pria berjubah putih malam sebelumnya masih segar dalam ingatan. Kata-kata pria itu tidak seperti nasihat biasa—itu adalah pesan yang dalam, seolah berasal dari dimensi lain.
Namun, pagi itu tidak berjalan biasa. Suara langkah kaki perlahan terdengar di belakangnya, disertai suara daun-daun kering yang terinjak. Mukhayyam berbalik, menemukan seorang pria tua yang tampak asing, tetapi auranya tidak kalah kuat dibandingkan pria berjubah putih tadi malam. Pria tua itu membawa tongkat kayu yang berukir rumit dan sebuah tas kecil di pundaknya.
“Selamat pagi, anak muda,” sapa pria itu dengan suara serak namun bersahabat.
“Selamat pagi,” jawab Mukhayyam hati-hati. Ia belum pernah melihat orang ini sebelumnya di sekitar desa atau dalam perjalanannya sejauh ini. “Siapa Anda, Tuan? Dan apa yang Anda lakukan di sini?”
Pria itu tersenyum kecil. “Namaku Nizar. Aku seorang penjaga gunung ini, atau setidaknya, itulah sebutanku bagi mereka yang percaya pada legenda Gunung Cindua.”
Mukhayyam menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Penjaga gunung? Maksud Anda, ada sesuatu yang harus dijaga di sini?”
“Lebih dari yang bisa kau bayangkan, anak muda.” Nizar mengangguk kecil. “Kau sedang dalam perjalanan besar, bukan? Apa yang kau cari di gunung ini?”
Mukhayyam ragu sejenak sebelum menjawab, “Aku mencari kekuatan dan ilmu yang bisa membantuku menegakkan keadilan di dunia. Aku merasa ada sesuatu di gunung ini yang bisa membantuku mencapai tujuan itu.”
Nizar mengusap janggut putihnya, tampak berpikir. “Keinginanmu mulia, tetapi Gunung Cindua tidak memberikan hadiah kepada siapa saja. Ada rahasia di dalamnya yang hanya akan terungkap kepada mereka yang benar-benar siap.”
“Rahasia apa?” desak Mukhayyam, matanya berbinar penuh semangat.
Alih-alih menjawab langsung, Nizar mendekat dan duduk di atas sebuah batu besar. Ia mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tanah, seolah memanggil ingatan yang sudah lama terkubur. “Gunung Cindua adalah tempat yang istimewa. Di dalamnya terkubur banyak rahasia kuno, pengetahuan yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu melewati ujian berat. Namun, rahasia itu juga membawa tanggung jawab besar.”
Mukhayyam mendekat, duduk di sebelah Nizar. “Tanggung jawab seperti apa?”
Nizar menatap lurus ke depan, ke arah puncak gunung yang tertutup kabut. “Tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dunia. Kekuasaan yang ada di dalam gunung ini bukan untuk dipakai sembarangan. Banyak yang telah mencoba mencarinya, tetapi hanya sedikit yang berhasil, dan bahkan mereka yang berhasil sering kali dihancurkan oleh ambisi mereka sendiri.”
“Aku tidak mencari kekuasaan untuk diriku sendiri,” ujar Mukhayyam dengan suara tegas. “Aku hanya ingin melindungi orang-orang yang tidak bisa melindungi diri mereka sendiri. Dunia ini penuh dengan ketidakadilan, dan aku ingin mengubahnya.”
Nizar memalingkan wajahnya ke arah Mukhayyam, mata tuanya menatap dalam-dalam. “Keyakinanmu itu indah, anak muda. Tetapi apakah kau siap untuk menghadapi ujian yang akan menguji batas keyakinanmu?”
Mukhayyam mengangguk tanpa ragu. “Aku siap.”
Nizar tersenyum samar, lalu bangkit dari duduknya. “Kalau begitu, ikutlah denganku. Aku akan menunjukkan jalan menuju rahasia Gunung Cindua. Tetapi ingat, perjalanan ini tidak hanya akan menguji tubuhmu, tetapi juga hatimu dan jiwamu.”
Mukhayyam mengikuti Nizar menyusuri jalan setapak yang hampir tidak terlihat, tersembunyi di antara semak belukar. Perjalanan itu tidak mudah—tanahnya licin, dan banyak batu tajam yang membuat langkah mereka penuh kehati-hatian. Namun, Nizar berjalan dengan tenang, seolah ia sudah mengenal setiap sudut gunung itu.
Selama perjalanan, mereka terus berbicara. Nizar menceritakan legenda tentang para pencari kekuatan yang pernah datang ke Gunung Cindua. “Ada seorang panglima perang dari timur yang pernah mencoba menguasai rahasia gunung ini,” kisahnya. “Ia memiliki kekuatan yang luar biasa, tetapi hatinya dipenuhi dengan ambisi. Pada akhirnya, ia hancur karena rahasia gunung ini bukan untuk mereka yang memiliki niat buruk.”
“Bagaimana cara gunung ini menghancurkannya?” tanya Mukhayyam penasaran.
“Gunung ini bukan makhluk hidup, tetapi ia memiliki cara untuk mengungkapkan kebenaran,” jawab Nizar dengan misterius. “Setiap orang yang datang akan diuji. Ujiannya tidak selalu sama, tetapi intinya adalah mengukur keikhlasan dan niat mereka. Jika mereka gagal, maka gunung ini tidak akan memberikan apa-apa, bahkan bisa mengembalikan mereka dalam kehancuran.”
Mukhayyam terdiam, merenungkan kata-kata Nizar. Ia tidak tahu apa yang akan ia hadapi, tetapi ia merasa semakin yakin bahwa perjalanan ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan.
Setelah berjam-jam berjalan, mereka akhirnya tiba di sebuah gua besar yang tersembunyi di balik air terjun kecil. Nizar berhenti di depan pintu masuk gua dan menoleh ke arah Mukhayyam.
“Ini adalah pintu masuk ke rahasia Gunung Cindua,” katanya. “Tetapi di sinilah perjalananku berakhir. Aku hanya penjaga, bukan pembimbing. Apa yang ada di dalam sana adalah milikmu untuk ditemui dan dihadapi.”
Mukhayyam mengangguk, berterima kasih kepada Nizar atas bantuannya. Namun sebelum ia masuk, Nizar memberikan satu nasihat terakhir. “Ingatlah, kekuatan sejati bukanlah tentang apa yang bisa kau lakukan kepada orang lain, tetapi tentang bagaimana kau menguasai dirimu sendiri. Tetaplah jujur pada hatimu, dan kau akan menemukan jalanmu.”
Dengan hati-hati, Mukhayyam melangkah masuk ke dalam gua. Di dalamnya, suasana berubah drastis—udara menjadi lebih dingin, dan hanya ada sedikit cahaya yang berasal dari celah-celah kecil di langit-langit gua. Ia berjalan perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan.
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar, menggema di seluruh gua. “Mukhayyam Hafiz,” suara itu berkata, penuh wibawa. “Kau telah datang untuk mencari kekuatan dan kebenaran. Tetapi apakah kau siap untuk menghadapi dirimu sendiri?”
Mukhayyam terdiam, bingung dengan pertanyaan itu. “Apa maksudmu?”
Suara itu tidak menjawab, tetapi tiba-tiba, bayangan-bayangan mulai muncul di sekelilingnya. Ia melihat dirinya sendiri, tetapi dalam berbagai bentuk—dirinya yang dipenuhi amarah, ketakutan, ambisi, dan keraguan. Setiap bayangan itu tampak hidup, berbicara dengan suara yang sama seperti miliknya.
“Kau tidak bisa melawan kami,” kata bayangan amarahnya. “Kami adalah bagian dari dirimu.”
Mukhayyam merasa tubuhnya gemetar. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi bayangan-bayangan ini, tetapi ia tahu bahwa ini adalah ujian pertama. Ia harus menghadapi sisi gelap dalam dirinya sendiri sebelum ia bisa melangkah lebih jauh.
“Jika kalian adalah bagian dari diriku,” kata Mukhayyam dengan suara tegas, “maka aku tidak akan melawan kalian. Aku akan menerima kalian, tetapi aku tidak akan membiarkan kalian menguasai diriku.”
Dengan setiap kata yang ia ucapkan, bayangan-bayangan itu mulai memudar, satu per satu. Ketika semuanya hilang, suasana gua menjadi lebih terang, dan sebuah jalan baru terbuka di hadapannya.
Mukhayyam menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit lega. Ia tahu bahwa ini baru awal dari ujiannya, tetapi ia merasa lebih siap dari sebelumnya. Dengan keyakinan yang semakin kuat, ia melangkah ke dalam kegelapan, menuju rahasia berikutnya yang menantinya di Gunung Cindua.
~~~~~~~~~~~~~~
Langkah Mukhayyam Hafiz di dalam gua semakin dalam, semakin sunyi. Setiap suara langkahnya menggema, memperkuat suasana misterius di tempat itu. Udara di sekitarnya semakin dingin, seolah ada sesuatu yang menyerap panas. Batu-batu dinding gua memantulkan cahaya samar dari celah di langit-langit, tetapi semakin jauh ia melangkah, semakin gelap jalan di depannya.
Setelah beberapa meter berjalan, ia tiba di persimpangan. Ada tiga lorong di depannya, masing-masing diterangi oleh obor kecil di dinding batu. Ia berhenti, mencoba merenung. Ketiga lorong itu tampak identik, tetapi ia tahu, pilihan yang salah bisa membawanya pada bahaya yang tidak ia ketahui.
Tiba-tiba, suara yang sebelumnya menggema di dalam gua kembali terdengar.
"Mukhayyam Hafiz," suara itu berbicara, penuh wibawa. "Di depanmu ada tiga jalan, tetapi hanya satu yang benar. Pilihanmu akan menentukan nasibmu."
Mukhayyam mencoba berpikir rasional. Ia mengamati lorong-lorong itu, tetapi tidak ada tanda yang jelas. Ia mencoba mengingat perkataan Nizar sebelum ia masuk ke dalam gua: Tetaplah jujur pada hatimu. Kata-kata itu terus terngiang di pikirannya.
"Jika ini tentang kejujuran pada hati," gumamnya pelan, "maka aku harus percaya pada intuisiku."
Dengan keyakinan penuh, ia memilih lorong di tengah. Langkahnya semakin mantap meskipun rasa ragu sempat muncul di hatinya.
---
Setelah beberapa saat berjalan, lorong itu membawanya ke sebuah ruangan besar yang diterangi oleh cahaya biru terang. Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu yang dipenuhi ukiran kuno. Di atas altar, ada sebuah buku tebal dengan sampul emas, tampak tua namun penuh aura misterius.
Namun, sebelum Mukhayyam bisa mendekat, ia dikejutkan oleh kemunculan sosok hitam besar. Sosok itu berdiri tegak, berbentuk seperti manusia tetapi dengan mata merah menyala dan tubuh yang tampak terbuat dari bayangan pekat.
"Beraninya kau datang ke tempat ini!" Suara sosok itu bergema seperti gemuruh.
Mukhayyam tidak mundur, meskipun ia merasa tubuhnya gemetar. "Aku datang untuk mencari kebenaran dan kekuatan. Aku tidak berniat mencuri atau merusak apa pun di sini."
Sosok itu tertawa dingin. "Semua yang datang ke sini berkata demikian. Namun, tidak semua memiliki hati yang cukup kuat untuk membuktikannya."
Tiba-tiba, sosok itu mengayunkan tangannya ke arah Mukhayyam. Angin kencang muncul, mendorong Mukhayyam mundur hingga hampir jatuh. Namun, ia bertahan, memantapkan kakinya di lantai batu.
"Jika kau ingin melangkah lebih jauh," lanjut sosok itu, "kau harus mengalahkan aku. Tetapi kau tidak bisa melawanku dengan kekuatan fisik. Ini adalah pertarungan hati dan pikiran."
---
Ruangan itu tiba-tiba berubah. Mukhayyam kini berada di sebuah padang luas yang tandus. Di depannya, sosok hitam itu tampak jauh lebih besar daripada sebelumnya. Ia bisa merasakan tekanan luar biasa hanya dari kehadiran makhluk itu.
"Pertarungan hati dan pikiran," ulang Mukhayyam dalam hati. Ia mencoba mengingat ajaran orang tuanya, terutama nasihat dari ayahnya, Rasyid Ghazali, tentang pentingnya ketenangan dan keberanian dalam menghadapi ujian berat.
Sosok hitam itu mulai menyerang dengan bayangan-bayangan besar yang bergerak cepat ke arah Mukhayyam. Ia hampir saja terjatuh ketika salah satu bayangan menyentuhnya, meninggalkan rasa sakit seperti terbakar.
"Rasa takutmu adalah kelemahanmu!" teriak sosok itu.
Mukhayyam memejamkan matanya, mencoba fokus. Ia mengingat kembali tujuannya, mengapa ia memulai perjalanan ini. Ia memikirkan semua ketidakadilan yang telah ia lihat di desanya, mimpi-mimpi orang yang tidak bisa ia bantu.
"Jika aku takut, maka aku gagal," gumamnya. "Aku harus menghadapi ini."
Ketika ia membuka matanya, ia melihat sesuatu yang berbeda. Bayangan-bayangan yang menyerangnya tadi kini tampak melambat, seolah kehilangan kekuatan. Mukhayyam mulai melangkah maju dengan keyakinan, meskipun tubuhnya masih merasakan sakit dari serangan sebelumnya.
"Ketika aku menguasai diriku sendiri," kata Mukhayyam dengan suara lantang, "tidak ada yang bisa menghentikanku."
Bayangan-bayangan itu akhirnya memudar, dan sosok hitam besar itu mengecil hingga menjadi seukuran manusia biasa. Sosok itu menatap Mukhayyam dengan mata merahnya yang kini tampak lebih redup.
"Kau telah melewati ujian pertama," kata sosok itu. "Tetapi perjalananmu belum selesai. Jika kau ingin kebenaran, kau harus berani menghadapi rasa sakit yang lebih dalam."
Sebelum Mukhayyam bisa menjawab, ruangan kembali ke bentuk aslinya. Sosok hitam itu menghilang, meninggalkan altar batu dan buku kuno di depannya.
---
Mukhayyam mendekati altar itu dengan hati-hati. Ia merasa bahwa buku itu adalah kunci dari rahasia Gunung Cindua. Namun, ketika ia mencoba menyentuhnya, ia merasakan aliran energi kuat yang membuat tangannya bergetar.
"Tidak semudah itu, anak muda." Suara baru terdengar, kali ini jauh lebih lembut namun penuh wibawa. Dari belakang altar, seorang pria muncul, mengenakan jubah putih dengan simbol aneh di dadanya.
"Siapa Anda?" tanya Mukhayyam, sedikit terkejut.
"Aku adalah penjaga rahasia gunung ini," jawab pria itu. "Namaku Azhraf. Tugasmu belum selesai. Buku ini hanya bisa kau buka jika hatimu benar-benar siap."
"Apa lagi yang harus aku lakukan?"
Azhraf tersenyum tipis. "Kau harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga bagimu. Itu adalah syarat terakhir."
Mukhayyam terdiam. Ia tidak tahu apa yang paling berharga baginya. Orang tuanya, desanya, atau bahkan mimpinya? Semua itu penting baginya.
"Bagaimana aku tahu apa yang harus aku korbankan?" tanya Mukhayyam.
"Itu adalah sesuatu yang hanya bisa kau jawab sendiri," jawab Azhraf sambil menghilang ke dalam bayangan.
---
Mukhayyam duduk di depan altar itu, memikirkan syarat terakhir. Ia mengingat semua pelajaran dari ayah dan ibunya, Rasyid Ghazali dan Syarifah Azurah. Ia mengingat bagaimana mereka selalu mengajarinya tentang pentingnya keberanian dan pengorbanan untuk kebaikan yang lebih besar.
"Aku tidak bisa memilih," bisiknya pelan. "Semuanya penting bagiku."
Namun, tiba-tiba, ia menyadari sesuatu. "Tetapi... jika aku tidak berani mengorbankan sesuatu, aku tidak akan pernah mencapai tujuanku."
Dengan tekad yang bulat, Mukhayyam berdiri dan menatap buku itu. Ia meletakkan tangannya di atasnya, siap menerima apa pun yang akan terjadi.
---
Cahaya terang tiba-tiba memenuhi ruangan, menyilaukan matanya. Ketika ia membuka matanya, ia berada di tempat yang berbeda—sebuah padang hijau luas dengan pohon besar di tengahnya. Di bawah pohon itu, seorang pria tua duduk sambil membaca buku yang mirip dengan buku yang ia temukan di altar.
"Selamat datang, Mukhayyam Hafiz," sapa pria itu tanpa melihat ke arahnya.
"Siapa Anda?" tanya Mukhayyam.
"Aku adalah bagian dari dirimu sendiri," jawab pria itu sambil menutup bukunya. "Aku adalah manifestasi dari apa yang kau cari. Tetapi sebelum kita melangkah lebih jauh, aku ingin bertanya: apa tujuanmu sebenarnya?"
Mukhayyam berpikir sejenak sebelum menjawab. "Tujuanku adalah menggunakan kekuatan ini untuk melindungi orang-orang yang tidak bisa melindungi diri mereka sendiri, untuk menegakkan keadilan."
Pria itu tersenyum tipis. "Jawabanmu benar, tetapi ingatlah, kekuatan ini bukan milikmu untuk disalahgunakan. Jika kau menyimpang dari jalanmu, kekuatan ini akan menghancurkanmu."
Cahaya terang kembali memenuhi pandangannya. Ketika ia sadar, ia kembali berada di gua, tetapi kali ini buku di atas altar telah terbuka, menampilkan halaman-halaman yang bercahaya. Mukhayyam tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan barunya, perjalanan yang akan membawanya pada takdir yang ia cari.
Dengan hati yang penuh keyakinan, ia mengambil buku itu dan melangkah keluar dari gua, siap menghadapi apa pun yang menunggunya di dunia luar.