Share

7

Penulis: Ria Abdullah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-09 05:47:34

Kedengar suara pintu terbuka, aku yang sedang berada di mushallah mini rumah kami langsung bergegas untuk melihat siapa yang datang. Ternyata gadis itu yang datang, kulirik jam dinding telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, dan entah mengapa ia selalu telat pulang, setiap kali pulang wajahnya selalu terlihat amat lelah dan lesu.

Tadinya aku akan berniat untuk seketika mengusirnya tanpa membuang lebih banyak waktu. Namun tiba-tiba muncul sebuah ide di kepalaku untuk memberi mereka pelajaran yang amat besar sehingga mereka akan mengingatnya seumur hidup.

"Kamu dari mana aja, kok baru pulang jam segini?

"Ada rapat BEM kak," jawabnya.

"Emang kamu anggota BEM."

"Iya ... I-iya aku anggota juga," jawabnya gugup.

"Bisa kamu beri jawaban jujur Adila, kamu dari mana saja?" Tanyaku sambil bersedekap dan memicingkan mata.

"Kok Mbak jadi curigaan gitu sih, kayak polisi aja, kalo Mbak terus memata-matai aku lebih baik aku pindah aja," ancamnya.

"Sebenarnya aku tak keberatan, tapi sayangnya Ibu dan bapak pasti keberatan, dan aku tak mau membuat bapak cemas."

"Kenapa Mbak bersikap aneh, selalu bertanya dan curiga, please deh Mbak, beri aku ruang." Ia terlihat marah.

"Aku sudah banyak memberimu ruang, bahkan sangat banyak, lebih dari yang aku perkirakan, Adila!" Mendengar itu Adila terlihat menelan ludahnya, roman mukanya pucat pasi seolah-olah mengisyaratkan bahwa saat ini dia sedang takut.

"Katakan kamu dari mana!"

"Aku dari perpus sama teman-temanku," jawabnya mencicit takut sambil memeluk buku catatan besar miliknya.

"Sama siapa?!"

"S-sa-sama Luna, Nisa, Rudi, dan Weni," ucapnya terbata-bata.

"Berikan nomornya aku akan menelepon mereka!" perintahku.

"Aku gak simpan nomor mereka," jawabnya cepat.

"Jangan bohong!" Sentakku yang membuatnya terperanjat.

"Ti-tidak, demi Tuhan," ucapnya sambil menunduk.

"Baik kalo begitu, silakan naik ke kamarmu," suruhku sambil memalingkan muka..

Gadis itu tak menjawab, namun segera naik ke lantai dua dengan cepat.

Aku tahu, ia menyembunyikan hubungannya rapat-rapat dengan Mas Adam, begitu pun suamiku yang munafik itu, dia sok suci dengan banyak memberi ceramah dan fatwa tentang menjadi kakak dan istri yang baik, nyatanya ia lebih busuk dari apa yang kuduga.

Sepanjang beberpaa jam tadi, seusai mendengar penuturan Rain, aku memang menangis, aku tak menyangka perbuatan mereka seperti itu. Yang lebih membuat hatiku koyak adalah adegan demi adegan perselingkuhan panas mereka telah terlihat oleh anakku.

Entah apa yang bagaimana bergolaknya batin anakku menyaksikan semua itu, pasti ada syok, kaget, terluka dan berdebar-debar menyaksikan adegan dewasa yag bahkan belum pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ya Allah ....

Suara deru mesin mobil Mas adam terdengar dari garasi, sesaat kemudian mesinnya mati dan kudengar pintunya ditutup keras.

Suara derap sepatu mendekat dan bunyi anak kunci yang ia masukkan ke lubang pintu terdengar bergesekan, berputar lalu pintunya terbuka.

Pria yag oaling kucintai itu masuk dan menutup kembali daun pintu. Ketika membalikkan badan ia terkejut mendapatimu masih terduduk di sofa menatapnya nanar.

"Kau masih belum tidur, Sa-Sayang?"

Sayang? Sejak kapan ia memberiku panggilan semacam itu?

"Aku menunggumu," jawabku singkat.

"Tumben? Biasanya juga sudah tertidur, kamu gak usah khawatir aku akan baik-baik saja dan tetap pulang kok," jawabnya sambil tertawa kecil.

"Masihkan kau menganggap aku dan tempat ini rumah untuk kau pulang, Mas?"

"Astaga apa yang kamu katakan, Sayang?" ujarnya sambil mendekat dan membingkai wajahku dengan kedua tangannya.

Sikap dan kata kata mesra yang terlihat dibuat- buat itu semakin membuktikan bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu.

"Aku bertanya Mas," jawabku sambil menurunkan tangannya.

"Tentu saja, Sayang ....'

"Baru pertama kali kau memanggilku sayang, biasanya Bunda atau Aisyah," sanggahku.

"A-anu a-aku hanya ingin mengubah suasana," jawabnya gugup.

"Bukankah suasana sudah kau ubah sendiri?"

"Sebaiknya kau tidur dari pada melantur," jawabnya sambik berusaha membangunkan dan menuntunku menuju kamar.

**

.

"Berbaringlah ya, Bunda, aku akan mandi dulu," bisiknya sambik mendekatkan bibirnya ke cuping telingaku dengan tujuan membuatku terangsang untuk memadu asmara, namun sayang aku muak padanya.

Di momen yang bersamaan aku mencium baru mawar dan strawberry blossom, wangi khas parfum adikku menempel di kemeja miliknya, namun aku diam saja.

"Pergilah mandi," suruhku sambil mendorong dadanya, ia tersenyum lalu mencium pucuk kepalaku.

Ia masuk ke kamar mandi sambil bersiul dan bernyanyi riang, di saat bersamaan aku segera meraih kemeja yang baru ia masukkan ke keranjang cucian.

"Aku yakin ada jejak menempel di sana," gumamku.

Ada seikit noda lipstik di bagian kerah namun tak beraturan, aku berharap menemukan rambut Adila namun sepertinya tak tertinggal di sana.

Ah, ponselnya ... Aku segera berlari ke nakas, berlomba dengan waktu mandi Mas Adam. Kubuka layar ponsel yang kebetulan tidak terkunci itu. Aku menelusuri galeri dan log panggilan namun lognya kosong, galerinya hany ada photoku dan anak-anakku.

"Ah, tidak ada bukti di sini,' batinku sementara di kamar mandi sana suara keran air sudah di matikan.

Kubuka secepat mungkin pesan wa miliknya dan benar saja ada beberapa chat mencurigakan di sana.

[Aku tunggu di Nusa transit hotel, Babe ] tulis akun tanpa nama yang sepertinya adalah nomor baru Adila.

[Oke, aku meluncur ya ]

Tring ...

Pesan baru masuk dan ketika kubuka ternyata dari nomor itu lagi. Kali ini sebuah pesan yang cukup membuatku kaget.

[Yang tadi sore nikmaaaat ... Mas, rasanya aku mau lagi.]

"Astaghfirullahaladzim ...." Ponsel nyaris terlepas dari tanganku sedang suara di kamar mandi susah senyap, dengan tangan gemetar dan dada bergemuruh serta jantung yang berdetak makin kencang aku segera membuka laci dan menyalin nomor tersebut di lenganku.

Di saat bersamaan aku menulis angka terakhir, pintu terdengar dibuka, kutekan tombol matikan latar dan segera membalikkan badan, sialnya pulpen yang kupegang terjatuh dan meluncur ke lantai. Sesaat badanku kaku dan lidahku kelu untuk mengatakan sesuatu karena Mas Adam telah menatapku dengan kecurigaan.

"Lagi apa kamu?" tanyanya sambil menatapku dan pulpen itu bergantian.

Apa yang harus aku lakukan, aku gugup sementara suami menatapku tajam.

Tolong ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wikka Pusparini
......... kak author, aku tunggu kelanjutannya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    23

    Hingga jenazah ibu akan diberangkatkan pulang kampung, Mas Adam belum datang atau memberi kabar sama sekali. Ia bahkan tak menjawab telepon Adila yang berharap ia segera datang."Ya, ampun mana Mas Adam, di saat seperti ini ia harusnya ada di sisiku," ratap gadis itu.Aku hanya tersenyum sambil menggeleng kecil mendengar ratapannya, tanpa malu ia menggumamkan nama pria yang dia rebut dari kakaknya sendiri. Kesal sekali aku padanya.Tepat dan saat mobil ambulans akan berangkat tiba-tiba calon mantanku hadir, Adila langsung menghambur dan meraung di pelukan kekasihnya dengan manja sedang aku hanya meringis menahan apa yang sedang merasa tak nyaman di dalam dada.Perlahan kuseret langkah menjauh, berniat kembali ke rumahku dan menemui anak-anakku, namun ayah menahan langkah dan memintaku untuk ikut."Maaf, ayah, aku gak bisa, Rain dan Clara tidak ada yang mengurus, maaf ya ayah," ujarnya sambil menangkupkan tangan.Ayahpun naik mendampingi jenazah Ibu dan ketika pintu ambulans di tutup t

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    22

    Perlahan kubayar pengacara untuk mengurusi perkara pembagian harta dan berusaha agar aku memenangkan pembagian tersebut karena bagaimana pun aku punya dua anak yang seharusnya memenangkan aset ayahnya.Pintu rumah di ketuk dan ketika kubuka wajah yang kubenci itu muncul lagi, ia mengenakan kerudung dan matanya nampak sembab oleh air mata.Drama apa lagi ini?"Boleh aku masuk?""Untuk apa? Maaf kebetulan aku mau pergi antar pesanan kue kering dan pakaian.""Sebentar saja, Mba," ujarya memelas."Baik," jawabku sambil mendengkus kesal.Dia mengambil tempat duduk di depanku kali mulai berbicara pelan,"Mbak, aku ingin kamu bicara pada Mas Adam, tadinya aku akan membiarkan dia memilih apa yang dia inginkan, tapi sesuatu terjadi," gumamnya sambil mengusap air mata."Apa?""Aku ha-hamil, Mbak," jawabnya pelan."Aku tidak terkejut karena kalian memang berzina, dan anak hasil berzina itu adalah ....""Tolong jangan dilanjutkan Mbak, aku sakit, aku merasa gak berharga setelah ini," ucapnya."K

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    21

    Iya, bisa mati berdiri jika begini,. Adila panik dan hendak membantu ibu berdiri namun wanita itu lemas dan tatapan matanya kosong. "Dengar, Bu. Seumur hidup aku tak pernah menyusahkan Ibu. Sekali ini tolong jangan susahkan aku, jika ibu sangat menjaga kehormatan Adila maka dari awal jangan biarkan dia merayu suamiku." Wanita itu tak menjawab, seolah kehilangan kata-katanya. Sedang anaknya menangkap sinyal bahwa sebentar lagi Ibu akan pingsan. "Panggilkan ambulance untuk Ibu, dan bawa dia ke rumah sakit," ujarku sambil berlalu. "Setidaknya Mbak menghargai kalo ibu pernah membesarkan Mbak," teriak Adila yang berusaha mencegahku masuk. "Aku menghargai ... karenanya aku tak sampai berbuat kasar. Setelah hari ini jangan ganggu aku lagi." Tiba-tiba tubuh ini tersungkur dan Adila makin panik, menjerit dan memanggil manggil nama ibu. "Ambil saja Mas Adam, tapi tolong selamatkan Ibu ...." "Maaf aku tidak mengambil barang rongsokan. Jika kau kehilangan minat terhadap pria itu m

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    20

    "Tolong ... tolong ...." Sayup-sayup kudengar di antara gemuruh hujan yang semakin deras.Karena merasa ingin sekali tahu, perlahan kuseret langkah menuju halaman, menggeser gerbang lalu mencoba mengintip dengan napas tertahan.Di tengah jalan yang masih lengang, kulihat Adila tengah memeluk tubuh yang tergolek.lemah.Ia menangis dan meraung kencang dan di detik kesekian aku sadar bahwa pria yang sedang dia peluk adalah suamiku. Mobil-mobil menepi dan penumpangnya turun, mengerumuni dan berusaha memberi bantuan sedang aku mematung di depan pintu pagar tanpa tahu apa yang harus aku lakukan. "Tolong ... tolong bawa dia ke rumah sakit, dia ditabrak mobil dan mobilnya kabur," jerit Adila dengan panik.Ia terlihat ketakutan dan panik berlari ke ana kemari dan memohon pada orang orang agar segera menghitung Mas Adam dengan cepat."Mbak Aisyah ... Mbak, tolong aku," ucapnya dengan air mata berderai dan ia berusaha menggapai bahuku.Aku membisu dan tak tahu harus bilang apa, tatapanku na

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    19

    Ya, aku marah luar biasa, aku kesal pada ketidak tegasannya sebagai pria. Aku ingin sekali mencabik cabik wajahnya hingga ia minta ampun. Apakah mulutnya sudah benar benar terkunci melihat ketidak adilan yang terjadi pada kami? Ia bungkam ketika ibu mencercaku, ia bahkan tak berusaha melerai mereka."Gini ya, aku akan buktikan," kata ibu dengan emosi menjadi jadi. "Coba Nak adam, mendekat sini," panggilnya."Ada apa Bu?" tanya suamiku dengan ekpspresi terpaksa."Katakan pada Aisyah, kau lebih memilih siapa? Adila atau dia? Ibu mau tahu," desak ibu sambil mendelik ke arahku dengan sinis."Anu .. Bu, izinkan saya ... Maksud saya, saya butuh waktu, saya dan Aisyah juga belum bercerai," balas suamiku"Jadi kau memutuskan untuk membela Aisyah?" tanya ibu dengan nada meninggi."Tidak juga Bu, begini ....""Ehm, sebaiknya kita pergi, Bu, malu sama tetangganya Aisyah, kita gak mau ngerusuh di kampung orang," ujar ayah sambil merangkul pundak Ibu."Ayah, katakan sesuatu, kenapa sejak kemarin

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    18

    Aku tak akan membuang waktu lagi, dengan menjual emas dan mengumpulkan sisa keuntungan dari bisnis online, aku segera pergi ke kantor pengacara untuk meminta bantuannya."Pak, saya datang kemari dengan harapan besar atas bantuan Bapak, saya berencana akan menggugat cerai suami saya, saya ingin mendapatkan hak asuh serta memenangkan rumah.""Kenapa mengajukan cerai?""Karena dia telah berzina dengan adik kandung saya sendiri," jawabku."Mengapa tidak dilaporkan ke kantor polisi?""Karena saya berat pada orang tua, mereka telah membesarkan saya."Pria itu terlihat berfikir keras lalu berkata."Anda sungguh yakin dengan keputusan anda, Bu?""Insya Allah Pak, lagi pula saya lelah memberi mereka kesempatan untuk sadar dan berubah, tapi tampaknya sia-sia, suami telah saya usir dan diapun tidak punya itikad untuk mmeimta maaf atau mengunjungi anak-anaknya.""Apakah ini sudah lama?""Perselingkuhannya sudah lama, namun kami berpisah ranjang baru satu bulan lebih," jawabku."Ibu yakin suami

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    17

    Seharusnya tidak begini lemahnya, aku sebagai istri sah, terkungkung dalam kesedihan yang panjang dan harapan bahwa Mas adam akan kembali, omong kosong!.Mana mungkin dia kembali jika sebentar lagi dia akan menikahi adila. Memangnya kenapa kalau mereka menikah dan hidup bahagia? pantaskah karena itu aku akan meringkuk memeluk sedih dan tidak mampu berdiri dan menata hidup mandiri? Aku tidak mau sekonyol itu, orang-orang akan menertawakanku sebagai budak cinta yang menyia-nyiakan hidup sendiri dan aku tidak akan menunjukkan kebodohan semacam itu.Jika ditelaah lebih jauh, sikap orang tuaku juga tidak adil kepadaku mereka memperlakukanku seolah anak tiri yang tidak patut untuk diperjuangkan haknya, tidakkah ayah dan ibu berpikir bahwa Mas Adam jelas-jelas suamiku dan Adila adalah benalu yang telah merusak rumah tangga kami, namun jauh harapan dari kenyataan, mereka malah membela anak bungsunya dan aku tidak berdaya untuk mengomentari lebih jauh.Lalu apa yang harus aku lakukan saat ini

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    16

    Aku tak percaya juga jika akupun bisa marah seperti itu, mungkin ssudah demikian kenal ditambah akumulasi rasa sakit dan dendam sehingga membuatku kehilangan kendali.Ah, lagipula pelajaran itu terlalu ringan untuknya, karena mereka sudah memutuskan untuk selalu menggangguku maka, aku putuskan juga untuk mengacaukan hidup mereka. Sepadan? iya, kurasa iya.Aku kembali ke rumah menaiki motor milikku bersama Clara sedang dua manusia laknat itu menatap kepergianku dengan sorot heran sekaligus ngeri di mata mereka. Tentang reaksi sekitar? jangan tanya lagi, mereka dibully habis-habisan.*Siang hari, aku dan kedua anakku di meja makan."Bunda ... bagaimana jualan Bunda, lancar?"Tumben sekali ia menanyakan itu, apalagi dia hanya bocah kelas lima SD."Memangnya kenapa sayang?""Ehm, kalo lancar aku boleh minta uang kebuh ya, Bund, ada praktek yang mengharuskan kita beli alat di toko buku," jawabnya sambil tersenyum."Oh, tentu sayang," balasku setengah terharu atas pengertiannya sebagai se

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    15

    Aku tidak harus selalu sedih memikirkan tentang mereka setiap kali aku teringat atau membayangkan apa yang sedang mereka lakukan air mata ini tumpah begitu saja tanpa Alasan.Aku tidak mampu menepiskan kesedihan yang besar dan kekecewaanku juga kepada Mas Adam. Teganya dia menghancurkan mahligai pernikahan kami, teganya dia meninggalkan Rain dan Clara demi kekasih baru yang telah merebut hatinya, Adila adikku sendiri"Biarkan mereka menikah dan menjalani, bahtera rumah tangga yang mereka inginkan, biarkan Adila merasakan menjadi istri dari Suamiku itu."Mereka saat ini pasti bahagia tinggal di sebuah apartemen dengan flat yang sama, aku yakin kebahagiaan itu bertambah ketika tidak seorangpun berdiri untuk menghalangi mereka saling memeluk dan berbagi kehangatan.Tiap waktu aku memikirkan tentang itu, membuatku tidak fokus, seringnya aku berdiri terpaku atau duduk dalam keadaan termenung membuat aku sendiri merasa salah, nggak usah bawa hidup ini tidak akan berjalan sesuai dengan kei

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status