Akhir-akhir ini kedekatan mereka menjadi terhalang oleh sikapku yang saat ini menjadi tegas dan kerap memperhatikan mereka. Aku tak lagi membiarkan Mas Adam sarapan semeja dengan Adila, begitupun ketika pulang dari kampusnya Aku meminta adikku untuk menaiki taksi online saja.
Pernah dia meminta sekali agar Mas Adam bisa mengantarkannya ke suatu tempat di mana sebuah pesta sedang berlangsung yang tamunya adalah senior dan kakak angkatan Adila, namun aku dengan tegas menolak permintaan tersebut dan beralasan bahwa Mas Adam harus menjemput Rain dari tempat lesnya. "Mbak terlalu curiga kepadaku," keluhnya sambil menyandarkan diri di dinding setelah aku menolak permintaan terakhir kalinya agar Mas Adam mau menjemputnya sore nanti. "Aku tidak curiga,aku hanya menjaga segala sesuatu sesuai pada tempat dan batasannya." "Hubungan kami jadi kaku dan canggung gara-gara Mbak, padahal Mas Adam adalah pria dan kakak yang baik." "Aku ingin dia menjadi kakak yang baik sesuai pada tempatnya tidak berlebih-lebihan." "Aku menganggapnya kakak kandungku." Entah pura-pura lugu atau pura-pura bodoh aku ingin sekali mencakar wajah Adila atas ketidak mengertiannya pada penjelasanku. "Aku sedih harus kehilangan sosok Mas Adam yang baik dan sangat ramah," ucapnya sambil memberengut. "Kamu ... Merasa kehilangan suamiku?" "Ehem, maksudku, aku hanya ...." "Diam dan pergilah, ke kampusmu." Dia terperanjat mendengar ucapanku. "Lama aku gak tahan tinggal sama Mbak," sungutnya sambil menarik tas dengan kasar dari atas meja lalu keluar dari pintu utama sambil membanting pintu tersebut. "Hei tunggu! Tunggu!" Aku berteriak padanya namun dia sudah pergi, jika berlarut larut seperti ini aku tidak akan segan-segan untuk mengusirnya. * Kuambil ponsel dan segera menghubungi Mas Adam, setelah 2 menit sambungan akhirnya Suamiku itu mengangkat teleponnya. "Mas ada di mana?" "Di kantor." "Aku ingin segera pulang setelah urusan di kantor selesai." "Aneh, kamu tiba-tiba nyuruh aku segera pulang, aku ada rapat dengan klien di Brasserie cafe." "Kok di situ?" "Mereka yang menentukan." "Mas harus ke sana sekarang juga?" "Iya, Aisyah, maaf ya." * Pukul 4 sore hari putraku kembali dari sekolahnya setelah meletakkan tas dan membuka sepatu, dia segera menemuiku yang sedang berada di dapur dan langsung mencium tanganku. "Sore Bunda..." "Sore, Sayang." "Ayah udah di rumah belum?" "Belum," jawabku singkat. "Kok aku tadi sempat melihat ayah semobil dengan tante Adila?" Deg! Rasanya jantungku berhenti berdetak ketika Rain memberitahu jika ayahnya sedang bersama adikku lagi. Jelas jelas malam tadi aku telah melarang mereka berdua untuk berdua-duaan saja. "Terus mereka pergi ke arah mana?" "Nggak tahu Bun kayaknya arahnya berlawanan dari rumah kita, menuju jalan kapten Rivai," jawab Rain. Kepala dan telingaku terasa berasap mendengar penuturan anakku,yang Mas Adam dan Nadila rencanakan dengan pergi berdua saja menuju jalan yang disebutkan anakku tadi dimana di jalan tersebut aja hanya ada jejeran Mall dan salon salon mewah. "Bunda kenapa kok kelihatan gak senang, semalam tadi juga, aku sempat mendengar keributan di bawah, sebenarnya apa yang terjadi Bunda?" "Eh, gak apa kok sayang," jawabku. "Bunda gak senang, tante Adila bersikap mesra kepada ayah kan?" Aku terkejut mendengar ucapannya dari mana dia mengetahui kalimat-kalimat semacam itu. Kuhampiri ya lalu berjongkok di depannya sambil memegang kedua bahu anak lelakiku itu. "Mesra? Kenapa kamu sampai berpikir seperti itu Nak?" "Iya ... aku hanya merasa aneh saja Bun, soalnya Bunda nggak pernah bersikap seperti itu kepada ayah," jawannya. "Bersikap seperti apa maksudmu?" Tanyaku sambil menahan nafas dan berhati-hati. "Memeluk, membelai, menepuk, menatap lama ... Tapi entahlah ...." Mengendikkan bahunya tanda tidak mengerti. "Memangnya kamu pernah melihat mereka seperti itu?" Tanyaku dengan nafas memburu," sambil menguatkan pegangan tanganku di bahunya. "Uhmm ... anu ... aku ...." Anakku terlihat takut dan ragu. "Katakan saja jangan takut!" tegasku. "Ketika malam di mana Bunda naik untuk memanggil-manggil ayah dan dan tidak menemukannya di kamar tante Adila." "Emangnya posisi ayah saat itu ada di mana?" "Di balkon." Dadaku seolah ditimpakan batu yang besar mendengar ucapan Rain, napas jiwaku selah berhenti sampai di situ, aku terkejut dan syok, mengapa putraku bisa menyaksikan itu dan dia diam saja. "Kamu tahu, dan kenapa diam aja?" "Aku takut, aku takut salah ngomong Bund,. Aku kira itu hal biasa," jawabnya. "Tapi rain sudah besar kan? Untuk memahami bahwa hubungan kakak beradik ayah dan Tante Adila, bukan begitu, iya kan?" Desakku. "Iya, sih, tapi ... Aku takut bunda akan marah, dan memgusir semua orang dari rumah." Ah, aku hanya ternganga mendengar anakku, dia bingung manakala dia harus memberitahuku bahwa melihat ayahnya bermesraan dengan Adila, tapi si sisi lain dia takut akan resiko yang terjadi setelah aku mengetahui semuanyanya. Akan ada ledakan besar di rumah ini. "Ibu pasti marah kan, Tante Adila bergelayut seperti istri muda?" Tentu saja aku terperanjat mendengar ucapan anakku, aku tak percaya sampai-sampai sampai harus menutup mulut sendiri, aku tak percaya bahwa dia bisa mengatakan hal itu. "A-apa?" "Mereka pacaran kan? Kalo iya, kita harus usir Bunda." Pertanyaannya seolah memberiku sebuah penegasan. "Kamu yakin dengan apa yang kamu lihat? Jangan-jangan kita hanya salah paham," biskku pelan. " Mereka bermesraan seperti adegan di film film India Bunda," jawabnya sedikit gugup. "Kamu sering melihat itu?" "Tiap malam." "Ayah nggak tahu kalau kamu melihatnya?" "Mungkin Ayah bisa memukulku kalau Ayah tahu, bisa jadi aku akan diusir dari rumah ini, Bunda, aku takut." "Ya Allah ...," desahku sambil mengusap air mata. Entah kenapa dari sekian banyak rasa sakit yang pernah aku rasakan di hidupku, rasa sakit inilah yang paling menyakitkan dan jika bisa memilih tentu aku ingin lari saja dari semua ini. "Bunda kenapa?" ulangnya lagi. "Tidak ... Tidak ...." Aku memeluk anak lelaki yang baru kelas 6 SD itu sambil menangis tersedu-seduHingga jenazah ibu akan diberangkatkan pulang kampung, Mas Adam belum datang atau memberi kabar sama sekali. Ia bahkan tak menjawab telepon Adila yang berharap ia segera datang."Ya, ampun mana Mas Adam, di saat seperti ini ia harusnya ada di sisiku," ratap gadis itu.Aku hanya tersenyum sambil menggeleng kecil mendengar ratapannya, tanpa malu ia menggumamkan nama pria yang dia rebut dari kakaknya sendiri. Kesal sekali aku padanya.Tepat dan saat mobil ambulans akan berangkat tiba-tiba calon mantanku hadir, Adila langsung menghambur dan meraung di pelukan kekasihnya dengan manja sedang aku hanya meringis menahan apa yang sedang merasa tak nyaman di dalam dada.Perlahan kuseret langkah menjauh, berniat kembali ke rumahku dan menemui anak-anakku, namun ayah menahan langkah dan memintaku untuk ikut."Maaf, ayah, aku gak bisa, Rain dan Clara tidak ada yang mengurus, maaf ya ayah," ujarnya sambil menangkupkan tangan.Ayahpun naik mendampingi jenazah Ibu dan ketika pintu ambulans di tutup t
Perlahan kubayar pengacara untuk mengurusi perkara pembagian harta dan berusaha agar aku memenangkan pembagian tersebut karena bagaimana pun aku punya dua anak yang seharusnya memenangkan aset ayahnya.Pintu rumah di ketuk dan ketika kubuka wajah yang kubenci itu muncul lagi, ia mengenakan kerudung dan matanya nampak sembab oleh air mata.Drama apa lagi ini?"Boleh aku masuk?""Untuk apa? Maaf kebetulan aku mau pergi antar pesanan kue kering dan pakaian.""Sebentar saja, Mba," ujarya memelas."Baik," jawabku sambil mendengkus kesal.Dia mengambil tempat duduk di depanku kali mulai berbicara pelan,"Mbak, aku ingin kamu bicara pada Mas Adam, tadinya aku akan membiarkan dia memilih apa yang dia inginkan, tapi sesuatu terjadi," gumamnya sambil mengusap air mata."Apa?""Aku ha-hamil, Mbak," jawabnya pelan."Aku tidak terkejut karena kalian memang berzina, dan anak hasil berzina itu adalah ....""Tolong jangan dilanjutkan Mbak, aku sakit, aku merasa gak berharga setelah ini," ucapnya."K
Iya, bisa mati berdiri jika begini,. Adila panik dan hendak membantu ibu berdiri namun wanita itu lemas dan tatapan matanya kosong. "Dengar, Bu. Seumur hidup aku tak pernah menyusahkan Ibu. Sekali ini tolong jangan susahkan aku, jika ibu sangat menjaga kehormatan Adila maka dari awal jangan biarkan dia merayu suamiku." Wanita itu tak menjawab, seolah kehilangan kata-katanya. Sedang anaknya menangkap sinyal bahwa sebentar lagi Ibu akan pingsan. "Panggilkan ambulance untuk Ibu, dan bawa dia ke rumah sakit," ujarku sambil berlalu. "Setidaknya Mbak menghargai kalo ibu pernah membesarkan Mbak," teriak Adila yang berusaha mencegahku masuk. "Aku menghargai ... karenanya aku tak sampai berbuat kasar. Setelah hari ini jangan ganggu aku lagi." Tiba-tiba tubuh ini tersungkur dan Adila makin panik, menjerit dan memanggil manggil nama ibu. "Ambil saja Mas Adam, tapi tolong selamatkan Ibu ...." "Maaf aku tidak mengambil barang rongsokan. Jika kau kehilangan minat terhadap pria itu m
"Tolong ... tolong ...." Sayup-sayup kudengar di antara gemuruh hujan yang semakin deras.Karena merasa ingin sekali tahu, perlahan kuseret langkah menuju halaman, menggeser gerbang lalu mencoba mengintip dengan napas tertahan.Di tengah jalan yang masih lengang, kulihat Adila tengah memeluk tubuh yang tergolek.lemah.Ia menangis dan meraung kencang dan di detik kesekian aku sadar bahwa pria yang sedang dia peluk adalah suamiku. Mobil-mobil menepi dan penumpangnya turun, mengerumuni dan berusaha memberi bantuan sedang aku mematung di depan pintu pagar tanpa tahu apa yang harus aku lakukan. "Tolong ... tolong bawa dia ke rumah sakit, dia ditabrak mobil dan mobilnya kabur," jerit Adila dengan panik.Ia terlihat ketakutan dan panik berlari ke ana kemari dan memohon pada orang orang agar segera menghitung Mas Adam dengan cepat."Mbak Aisyah ... Mbak, tolong aku," ucapnya dengan air mata berderai dan ia berusaha menggapai bahuku.Aku membisu dan tak tahu harus bilang apa, tatapanku na
Ya, aku marah luar biasa, aku kesal pada ketidak tegasannya sebagai pria. Aku ingin sekali mencabik cabik wajahnya hingga ia minta ampun. Apakah mulutnya sudah benar benar terkunci melihat ketidak adilan yang terjadi pada kami? Ia bungkam ketika ibu mencercaku, ia bahkan tak berusaha melerai mereka."Gini ya, aku akan buktikan," kata ibu dengan emosi menjadi jadi. "Coba Nak adam, mendekat sini," panggilnya."Ada apa Bu?" tanya suamiku dengan ekpspresi terpaksa."Katakan pada Aisyah, kau lebih memilih siapa? Adila atau dia? Ibu mau tahu," desak ibu sambil mendelik ke arahku dengan sinis."Anu .. Bu, izinkan saya ... Maksud saya, saya butuh waktu, saya dan Aisyah juga belum bercerai," balas suamiku"Jadi kau memutuskan untuk membela Aisyah?" tanya ibu dengan nada meninggi."Tidak juga Bu, begini ....""Ehm, sebaiknya kita pergi, Bu, malu sama tetangganya Aisyah, kita gak mau ngerusuh di kampung orang," ujar ayah sambil merangkul pundak Ibu."Ayah, katakan sesuatu, kenapa sejak kemarin
Aku tak akan membuang waktu lagi, dengan menjual emas dan mengumpulkan sisa keuntungan dari bisnis online, aku segera pergi ke kantor pengacara untuk meminta bantuannya."Pak, saya datang kemari dengan harapan besar atas bantuan Bapak, saya berencana akan menggugat cerai suami saya, saya ingin mendapatkan hak asuh serta memenangkan rumah.""Kenapa mengajukan cerai?""Karena dia telah berzina dengan adik kandung saya sendiri," jawabku."Mengapa tidak dilaporkan ke kantor polisi?""Karena saya berat pada orang tua, mereka telah membesarkan saya."Pria itu terlihat berfikir keras lalu berkata."Anda sungguh yakin dengan keputusan anda, Bu?""Insya Allah Pak, lagi pula saya lelah memberi mereka kesempatan untuk sadar dan berubah, tapi tampaknya sia-sia, suami telah saya usir dan diapun tidak punya itikad untuk mmeimta maaf atau mengunjungi anak-anaknya.""Apakah ini sudah lama?""Perselingkuhannya sudah lama, namun kami berpisah ranjang baru satu bulan lebih," jawabku."Ibu yakin suami
Seharusnya tidak begini lemahnya, aku sebagai istri sah, terkungkung dalam kesedihan yang panjang dan harapan bahwa Mas adam akan kembali, omong kosong!.Mana mungkin dia kembali jika sebentar lagi dia akan menikahi adila. Memangnya kenapa kalau mereka menikah dan hidup bahagia? pantaskah karena itu aku akan meringkuk memeluk sedih dan tidak mampu berdiri dan menata hidup mandiri? Aku tidak mau sekonyol itu, orang-orang akan menertawakanku sebagai budak cinta yang menyia-nyiakan hidup sendiri dan aku tidak akan menunjukkan kebodohan semacam itu.Jika ditelaah lebih jauh, sikap orang tuaku juga tidak adil kepadaku mereka memperlakukanku seolah anak tiri yang tidak patut untuk diperjuangkan haknya, tidakkah ayah dan ibu berpikir bahwa Mas Adam jelas-jelas suamiku dan Adila adalah benalu yang telah merusak rumah tangga kami, namun jauh harapan dari kenyataan, mereka malah membela anak bungsunya dan aku tidak berdaya untuk mengomentari lebih jauh.Lalu apa yang harus aku lakukan saat ini
Aku tak percaya juga jika akupun bisa marah seperti itu, mungkin ssudah demikian kenal ditambah akumulasi rasa sakit dan dendam sehingga membuatku kehilangan kendali.Ah, lagipula pelajaran itu terlalu ringan untuknya, karena mereka sudah memutuskan untuk selalu menggangguku maka, aku putuskan juga untuk mengacaukan hidup mereka. Sepadan? iya, kurasa iya.Aku kembali ke rumah menaiki motor milikku bersama Clara sedang dua manusia laknat itu menatap kepergianku dengan sorot heran sekaligus ngeri di mata mereka. Tentang reaksi sekitar? jangan tanya lagi, mereka dibully habis-habisan.*Siang hari, aku dan kedua anakku di meja makan."Bunda ... bagaimana jualan Bunda, lancar?"Tumben sekali ia menanyakan itu, apalagi dia hanya bocah kelas lima SD."Memangnya kenapa sayang?""Ehm, kalo lancar aku boleh minta uang kebuh ya, Bund, ada praktek yang mengharuskan kita beli alat di toko buku," jawabnya sambil tersenyum."Oh, tentu sayang," balasku setengah terharu atas pengertiannya sebagai se
Aku tidak harus selalu sedih memikirkan tentang mereka setiap kali aku teringat atau membayangkan apa yang sedang mereka lakukan air mata ini tumpah begitu saja tanpa Alasan.Aku tidak mampu menepiskan kesedihan yang besar dan kekecewaanku juga kepada Mas Adam. Teganya dia menghancurkan mahligai pernikahan kami, teganya dia meninggalkan Rain dan Clara demi kekasih baru yang telah merebut hatinya, Adila adikku sendiri"Biarkan mereka menikah dan menjalani, bahtera rumah tangga yang mereka inginkan, biarkan Adila merasakan menjadi istri dari Suamiku itu."Mereka saat ini pasti bahagia tinggal di sebuah apartemen dengan flat yang sama, aku yakin kebahagiaan itu bertambah ketika tidak seorangpun berdiri untuk menghalangi mereka saling memeluk dan berbagi kehangatan.Tiap waktu aku memikirkan tentang itu, membuatku tidak fokus, seringnya aku berdiri terpaku atau duduk dalam keadaan termenung membuat aku sendiri merasa salah, nggak usah bawa hidup ini tidak akan berjalan sesuai dengan kei