MasukSiapa yang tak kecewa? Siapa yang tak takut? Siapa yang tak patah hatinya? Dia sudah menikah, tetapi berkhianat dengan pria yang sangat ia kenal.
Perlahan Zoya kembali melangkah menuju pintu, langkahnya tertatih merasakan miliknya yang masih sangat nyeri. Entah berapa lama Gama menggempurnya semalam. Yang jelas, rasanya seperti saat malam pertama. Begitu sangat menyakitkan dan terasa mengganjal setelahnya. "Zoya." Zoya menghentikan lagi langkahnya dan kali ini sengaja memberikan kesempatan untuk Kakak iparnya berbicara. Namun, Zoya enggan untuk menoleh ke arah pria itu. Dia muak dengan Gama yang semalam sudah memaksanya. Entah setan apa yang sudah membuat Gama kelewat batas. Zoya yakin ada yang tidak beres dengan Kakak iparnya tapi apa? Yang Gama lakukan semalam itu sudah menghancurkan harga dirinya. "Anggap tidak terjadi apa-apa, Gama! Kamu sudah menghancurkan kepercayaanku. Kamu tidak lebih dari pecundang di mataku, Kak!" sentak Zoya. Rasanya dia sudah tidak ingin lagi bertemu dengan pria itu. "Oke, aku setuju." Kedua tangan Zoya terkepal kuat dengan dadanya yang semakin terasa sesak. Mendengar jawaban dari Gama membuat Zoya semakin ingin membenci pria itu. Namun bukannya itu bagus, karena persetujuan dari Gama membuat mereka melupakan apa yang telah terjadi semalam. Walaupun Zoya sendiri tak mungkin lupa dan akan terus mengingat kelakuan bejat pria itu padanya. "Pulang bersamaku! Aku akan menjelaskan semuanya pada Zein” kata Gama. Mata Zoya lantas terpejam kuat saat mendengar ucapan Gama. Kepalanya terangkat menahan air mata yang kembali mendesak ingin keluar. Dia menggelengkan kepala tanpa menoleh ke arah Gama. "Tidak perlu, aku bisa memesan taksi sendiri. Aku pun tidak ingin merepotkanmu. Jadi, terimakasih atas niat baiknya." Zoya pun bergegas pergi dari kamar yang menjadi saksi bisu perselingkuhan yang terjadi semalam. Entah Gama sengaja atau tidak. Yang jelas apa yang terjadi pada meraka itu suatu kesalahan yang tak termaafkan. "Aku bersumpah tidak akan lagi menginjakkan kakiku di tempat ini!" gumam Zoya. Zoya segera menaiki taksi yang telah ia pesan lalu meminta driver itu sedikit mempercepat lajunya kendaraan. Dia berharap Zein tak akan marah dan mengerti saat ia menjelaskan alasan mengapa tak bisa pulang semalam. Zoya pun sengaja menyamarkan wajah sembabnya dengan make up. Dia tak ingin suaminya tau jika dirinya menangis. Tak ingin membuat suaminya curiga akan apa yang terjadi semalam. Zoya turun dari taksi bertepatan dengan suaminya yang baru saja keluar rumah. Zein menatap tajam ke arahnya kemudian melangkah panjang dan menarik tangannya dengan kasar. "Mas!" pekik Zoya dengan debaran di dada yang begitu kencang. "Pelan-pelan Mas, sakit!" rintih Zoya saat Zein menarik paksa dan membawanya masuk ke dalam rumah. Pria itu mencengkeram kuat tangannya hingga menimbulkan rasa yang panas dan perih. Zoya sudah mengira kalau Zein pasti akan marah. Beruntung dia tidak pulang bersama dengan Gama. Jika sampai mereka pulang bersama, Zoya yakin Zein pasti akan langsung menuduhnya bermain gila dengan kakak iparnya sendiri. Walaupun nyatanya memang Zoya telah berkhianat, tapi itu terjadi bukan karena kemauannya. Semua terjadi di luar kehendaknya dan atas si pemaksa, Gama. Zein seolah tuli dan tak peduli dengan kesakitan yang istrinya rasakan. Pria itu terus menarik kencang tangan kecil istrinya. Melihat istrinya baru pulang membuat Zein sangat murka. Terlebih semalam pria itu sedang sangat menginginkan, tetapi sang istri justru tidak ada kabar dan terindikasi menikmati pesta tanpa dirinya. "Dari mana saja kamu hingga jam segini baru pulang? Pesta macam apa yang kalian adakan? Kamu sudah berani macam-macam di belakangku, Zoya? Istri macam apa kamu, hah?" sentak Zein kepada Zoya. Bahkan pria itu tidak segan-segan menjambak rambut istrinya. "Aku... Aku... Auwh! Sakit Mas!" keluh Zoya menatap takut suaminya. "Aku apa, hah? Mau beralasan apa kamu? Jangan bilang jika kamu tidur dengan sembarang pria!" teriak Zein memenuhi ruangan. “Semalaman kamu membuat aku gelisah. Aku sedang sangat menginginkanmu, tetapi kamu malah nekat untuk tetap ikut ke pesta terkutuk itu hanya karena tidak enak dengan teman-teman kamu.” Zein berteriak kencang untuk menunjukkan perasaannya yang sedang berkabut amarah. “Dimana otak kamu, Zoya? Harusnya kamu memberatkan aku bukan malah memilih bersenang-senang dengan teman kamu! Padahal kamu tau aku melarang dan aku tidak bisa ikut semalam,” lanjut Zein dengan nada semakin menyentak. "Aku juga sudah menyuruhmu pulang, tapi apa? Mana? Kamu malah menginap. Dasar wanita jalang!" Tangan pria itu semakin mencengkeram kuat rambut istrinya hingga Zoya semakin meringis dengan bulir air mata yang semakin deras. “Jangan pikir aku tidak tau bagaimana situasi dalam pesta itu. Gama bisa saja mengatakan akan menjaga kamu, tapi aku tidak percaya jika tidak terjadi apa-apa pada kalian!” Jantung Zoya semakin berdegup kencang saat tuduhan yang Zein layangkan benar adanya. Namun tak mungkin dia membenarkan dan mengakuinya. Zein tidak akan segan-segan membunuhnya andai pria itu tau apa yang terjadi padanya. Sekilas bayangan akan dirinya yang melayani hasrat terlarang Gama terlintas jelas di pikirannya. Setiap sentuhan itu yang semakin lama semakin tidak bisa ia tolak karena Gama yang sudah tak lagi bisa dilawan. Namun bayangan itu membuat Zoya semakin ketakutan hingga wajahnya memucat. Bagaimana jika Zain ternyata tau apa yang terjadi antara dia dan Gama? "Jangan menjadi liar, Zoya! Sekali lagi aku tanya sama kamu. Tidur dimana kamu semalam?" sentak Zein dengan tatapan mata yang semakin menajam dan cengkeraman yang semakin kuat.Gama mendesah kasar saat melihat Dito datang dengan siapa. Baru saja Gama tiba sudah dibuat bete dengan penampakan yang wanita yang sangat dibenci oleh Gama. Pria itu melangkah masuk ke dalam kantor tanpa menyapa keduanya tetapi Dito segera menyusul Gama. "Pagi, Tuan." "Siang!" sahut Gama tanpa menoleh ke arah Dito. Gama dengan gagah melangkah dan melirik Dito yang terus membuntuti. "Katamu pendarahan tapi kamu bawa ke kantorku. pendarahan dimana maksudmu? Di ranjang?" tanya Gama dengan nada sewot dan Asisten Dito menggaruk keningnya. "Tapi memang kami habis dari rumah sakit, Tuan. Tidak keburu jika saya harus mengantarnya pulang dulu." "Saya tidak mau tau, dia tidak boleh naik ke lantai saya! Suruh wanitamu itu menunggu di lobby!" perintah Gama sebelum masuk ke dalam lift dan Dito menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke arah Sena yang melangkah pelan menyusul pria itu. Dito pun tidak ikut masuk ke dalam lift karena Gama juga tidak sudi ada Sena yang ikut serta.
"Bicaramu, Mas! Tidak ada filternya sama sekali. Ayo aku bantu rapikan dulu!" Zoya pun merapikan penampilan suaminya. Dari pakaian sampai rambut pun Zoya manjakan. Gama benar-benar terima jadi saja. Pria itu sangat beruntung sekali memiliki istri yang sangat perhatian. "Jadi aku beneran di rumah sama Bibi?" tanya Zoya lagi. Entah hawanya ingin ikut saja tetapi di rumah nanti malam masih ada pengajian. Pastinya akan ada persiapan juga walaupun bisa pesan tetapi tetap saja harus dikerjakan dan dirapikan. "Iya Sayang. Aku tidak ingin kamu lelah." Gama mengecup kening sang istri kemudian duduk dan mengenakan sepatu sedangkan Zoya segera mengenakan pakaiannya. Zoya manyapu sedikit make di wajahnya agar lebih fresh kemudian mendampingi Gama untuk sarapan. Terlihat ada Bibi yang nampak sedang sibuk menyajikan makanan untuk mereka. "Bibi jangan repot-repot! Maaf Zoya baru turun, By." "Tidak apa, Nak. Ini Bibi sudah biasa. Ayo sarapan dulu!" ajak Bibi kemudian Zoya dan juga Ga
Pagi ini di kediaman rumah Atmanegara. Gama terjaga lebih dulu dari pada sang istri. Yang dilakukan pria itu pertama kali adalah mengecup kening sang istri seraya mengusap perut Zoya. Gama beranjak dari sana kemudian melangkah menuju kamar mandi. Namun sebelum langkah Gama masuk, notifikasi pesan membuat pria itu menghentikan langkah dan meraih ponsel tersebut. [Saya hari ini ke kantor agak telat, Tuan. Maaf...] "CK, bisa saja kelakuannya. Dia yang enak dia juga yang semaunya." [Meeting pagi ini tidak bisa ditunda. Sebelum aku sampai kamu sudah harus tiba di kantor. Jangan sibuk dengan wanitamu saja! Apa kejadian semalam membuatmu pecah perjaka hingga tak bisa jalan? Jangan seperti perempuan kamu, Dito!] Send Dito. Setelah itu Gama pun kembali meletakkan ponsel di atas nakas dan masuk kamar mandi. Di saat pintu tertutup, Zoya membuka mata dan mulai menggeliat dari tidurnya. Zoya mengucak kedua mata kemudian melirik keberadaan Gama di sampingnya tetapi tidak ada. Zoya me
Dito yang dulu bisa menahan sekarang lagi mampu membendung rasa inginnya. Dito tetaplah pria yang memiliki sejuta hasrat. Sayangnya Dito hanya bergairah pada Sena. Wanita pertama dan satu-satunya yang dianggap paling cantik. Maka malam ini, Sena ada dalam genggaman Dito yang begitu sangat menginginkan. Wanita itu dibuat meringis dan kesakitan saya masuknya Dito di saat sudah sama-sama menginginkan. "Kamu masih perawan, Sena?" "Kamu pikir aku sudah bermain terlalu jauh?" "Tidak mungkin wanita sepertimu belum pernah." "Pernah, tetapi tidak sampai seperti ini dan kamu yang pertama. Kamu yang membuat aku meminta, Dito!" kata Sena dengan suara yang terdengar manja dan wajah sangat ingin memicu hasrat Dito untuk melakukan lebih. "Jangan ditahan! Lepaskan saja! Kamu pantas mendapatkan ini semua, Sena." "Benar begitu, Dito? Maka aku akan membuat diriku menjadi satu-satunya yang kamu mau. Jangan gila dengan wanita lain, Dito! Kamu sudah mengacak-acak aku!" "Tidak asal k
"Nanti dulu! Jangan rusuh, Dito! Akh.... Tangan kamu astaga..." Sena sudah tak bisa diam. Tubuh wanita itu menggeliat kala bagian paling sensitif disentuh dan dipermainkan oleh Dito. Pria itu belum pernah tetapi sangat pro sekali membuai wanita. Terbukti dengan Sena yang dibuat tak berdaya sampai desahan yang keluar dari mulut wanita itu terdengar semakin liar. "Akh yess, lebih dalam. Enak Dito." Lama -lama candu juga. Tubuh Sena seperti gelombang yang beraturan kala merasakan jemari Dito bergerak sangat nakal. Akh suka! Itulah yang Sena selalu gumamkan dan di setiap kata yang terucap selalu keluar kata sensitif yang membuat Dito semakin horny. "Ssttt...." "Suka?" "Munafik jika tidak. Kamu membuatku tambah tidak waras, Dito. Aku minta tolong jangan hentikan!" Dito menyeringai mendengar permintaan dari Sena. Laki-laki mana yang tidak menginginkan lebih jika melihat wanitanya tidak mau dilepas begini. Sena semakin membuka kaki hingga tak perduli akan apapun. Sena me
Brugh Dito mendorong Sena hingga ambruk di ranjang. Pria itu menyeringai menatap Sena yang menatap was-was. Kedua tangan Sena meremas sprei dengan kuat dan bergerak mundur. "Dito aku belum siap melakukan itu lagi! Jangan ganggu aku!" kata Sena membuat Dito menyeringai mendengar itu. Dito pun membuka ikat pinggang kemudian naik ke ranjang. Kedua kaki mengkukung tubuh Sena dan mengunci pergerakan wanita itu. "Apa kamu tidak merindukan sentuhanku Sena?" "Kamu menjelma seperti singa jika berdua bersamaku, Dito!" Benar, Dito berubah menjadi seperti singa kelaparan saat bersama dengan Sena. Entah ada daya tarik apa pada wanita itu tetapi sejak awal bertemu, memang Sena yang mampu meluluhkan hati Dito. Terlebih Dito yang belum pernah memiliki kekasih dan tidak pernah mencintai seorang wanita. Hal pertama memang hanya Sena yang memberikan tantangan dan godaan, maka jangan heran jika Dito begitu sangat tak tahan jika melihat Sena. "Karena kamu yang pertama." Kedua mata Sena







