[Apa kamu tuli, Zoya? Sudah aku katakan jangan datang ke acara itu , tapi kamu masih saja nekat. Pulang kamu sekarang juga!] Zoya menghela nafas berat saat membaca pesan yang suaminya kirimkan. Dia pun bergegas untuk segera pamit pulang pada rekan kerjanya yang lain. Pesan dari Zein menjadi teguran dan perintah yang menakutkan yang mana tak bisa Zoya abaikan. Dia bergegas keluar dari tempat itu tetapi saat hendak membuka pintu ballroom, seseorang yang merupakan rekan kerjanya juga sedikit berlari menghentikan langkahnya. "Zoya, kamu mau kemana?" tanyanya dengan wajahnya panik. "Aku mau pulang. Duluan ya, aku buru-buru soalnya. Suami aku udah nungguin. Salam sama yang lain," jawab Zoya yang sekalian pamit kemudian segera pergi dari sana tapi kembali langkahnya tertahan. "Eh tunggu dulu! Aku tadi lihat Pak Gama sakit. Kamu cepetan ke sana. Beliau ada di kamar nomor 125. Kasihan banget, Zoy." "Emangnya sakit apa?" tanya Zoya bingung. Mana dia sedang buru-buru. "Nggak ng
Siapa yang tak kecewa? Siapa yang tak takut? Siapa yang tak patah hatinya? Dia sudah menikah, tetapi berkhianat dengan pria yang sangat ia kenal. Perlahan Zoya kembali melangkah menuju pintu, langkahnya tertatih merasakan miliknya yang masih sangat nyeri. Entah berapa lama Gama menggempurnya semalam. Yang jelas, rasanya seperti saat malam pertama. Begitu sangat menyakitkan dan terasa mengganjal setelahnya. "Zoya." Zoya menghentikan lagi langkahnya dan kali ini sengaja memberikan kesempatan untuk Kakak iparnya berbicara. Namun, Zoya enggan untuk menoleh ke arah pria itu. Dia muak dengan Gama yang semalam sudah memaksanya. Entah setan apa yang sudah membuat Gama kelewat batas. Zoya yakin ada yang tidak beres dengan Kakak iparnya tapi apa? Yang Gama lakukan semalam itu sudah menghancurkan harga dirinya. "Anggap tidak terjadi apa-apa, Gama! Kamu sudah menghancurkan kepercayaanku. Kamu tidak lebih dari pecundang di mataku, Kak!" sentak Zoya. Rasanya dia sudah tidak ingin lagi b
“Semalam aku menginap di rumah temanku, Mas. Sungguh, aku tidak ber_" Belum sempat Zoya menyelesaikan ucapannya, Zein telah lebih dulu kembali menarik rambut Zoya dan mendorong tubuh istrinya itu hingga terhempas jatuh tepat di depan sepatu seseorang yang baru saja menginjakkan kakinya di rumah. “Ada apa ini?” Jantung Zoya seakan ingin lepas mendengar suara pria yang sangat ingin ia hindari. Pria yang telah menghabiskan malam panas dengannya hingga tidak pulang dan berujung pertengkaran dengan suaminya. Perlahan kepala Zoya terangkat menatap Gama hingga kedua mata mereka bertemu dengan perasaan yang tak menentu. Gama hanya terdiam menatap ke arahnya. Tatapannya tajam seperti menelisik penampilannya yang semakin berantakan kemudian mengangkat kedua alisnya menatap ke arah Zein. Pria itu seakan bertanya tetapi tak ada jawaban apa-apa dari Zein. Sampai di mana Gama kembali menunduk menatapnya dengan tatapan yang Zoya tak mengerti. Apa mungkin saat ini Gama tengah mengasiha
“Butuh bantuan untuk berpisah darinya?” Zoya terdiam saat ingin membuka pintu kamar. Dia tak menoleh ke asal suara, karena jelas suara yang familiar itu milik Gama. Sejenak mengurungkan niatnya untuk bergerak masuk. Melihat Gama yang berdiri diam menatapnya penuh tanya. Zoya pun melengos membuang muka. Namun sebelum Zoya benar-benar masuk, dia sempatkan untuk berbicara pada Gama. "Jangan sok menjadi pahlawan, Kak! Kamu tidak ada bedanya dengan Zein!" Hal yang tertutup rapat terumbar karena suatu perkara. Tak dapat ia sangkal jika kali ini melebihi dari sebelumnya dan bisa-bisanya Gama ingin membantunya untuk bercerai padahal di mata Zoya, Gama tidak ada bedanya dengan Zein. Sama-sama buruk setelah malam itu. Zein memang pria yang sedikit temperamen. Zoya sudah tau dan paham akan itu. Dia pun mengerti tanpa mengeluh. Sebab, bukannya jodoh saling melengkapi dan dan menutup kekurangan pasangannya masing-masing? Itu yang Zoya tau dan berharap sikap Zein lambat laun bisa beru
Zoya terdiam di undakan tangga saat mendengar panggilan dari Gama. Zoya menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Dia tau siapa yang memanggilnya hingga ia tak ingin menoleh dan lebih memilih untuk menunduk. Egois sedang mendominasi diri Zoya sampai dimana dia mengabaikan sopan santun. "Jangan katakan apapun, Kak! Zoya tau apa yang akan kakak pertanyakan." "Bagaimana dengan jejak di tubuh…." "Kak aku mohon! Jangan ungkit itu lagi!" pinta Zoya lalu melangkah panjang meninggalkan Gama yang diam dengan helaan nafas berat. Namun setelahnya pria itu mengedikkan pundak dan masuk kamar tanpa beban. Zoya tak terima apapun sikap Gama padanya. Bagi Zoya itu hanya akan memperkeruh suasana. Mereka harus memiliki batasan jika perlu menjadi asing agar lebih nyaman melanjutkan hidup masing-masing. Walaupun Zoya tau perangai Gama yang sebenarnya baik tetapi setelah malam itu, pandangannya pada Gama tak lagi sama. Zoya nampak ragu untuk masuk kamar. Rasa takut membu
“Masuk ke mobil!” perintah Gama terdengar lugas. "Terima kasih. Aku lebih tertarik naik taksi," tolak Zoya dan bergegas kembali masuk ke dalam rumah untuk Bersiap-siap. Tak ingin dia dikasihani oleh Kakak iparnya yang pagi ini pun membuat geregetan. Sesampainya di kantor, Zoya bergegas untuk turun dari taksi online dan berlari masuk ke dalam kantor menuju lift agar cepat sampai ke ruangannya. Beruntung belum telat meskipun dia sudah di penghujung waktu. Namun sialnya masih harus melewati lift khusus karyawan yang terkenal penuh sesak. Pagi-pagi lift karyawan selalu ramai. Dia yang baru datang sudah pasti terjebak antrian. Tak seperti lift khusus CEO yang lancar jaya. Belum lagi saat penuh begini tercium bermacam-macam aroma yang membuatnya mual. Sungguh ujian setiap pagi di waktu yang mepet. Zoya berdiri agak belakang sembari menunggu gilirannya untuk masuk. Ekspresinya gelisah dan terus menerus melirik ke arah jam tangan, karena tinggal tersisa lima menit lagi untuk b
Zoya terdiam masih berdiri menunggu Gama yang terus sibuk tanpa memperdulikan dirinya. Sudah hampir satu jam berlalu setelah pria itu menahannya untuk tetap di sana. Terus menunggu tetapi Gama nampak santai saja tanpa menyentuh berkas yang ia berikan. Zoya frustasi sendiri, kakinya pegal sekali tetapi Gama tetap cuek seakan tak minat. Sengaja menahannya tanpa kejelasan. Rasanya Zoya ingin mengumpat pria itu tapi semua hanya di angan karena dia tak seberani yang dibayangkan. Zoya mendengus kesal, terdengar helaan nafas kasar darinya yang ternyata bisa menarik hati pria itu. Gama melirik ke arahnya dan menyandarkan tubuh di kursi kebanggaannya. "Bosan?" "Anda masih sibuk, Pak." "Tidak sabaran." celetuk Gama yang kemudian berdecak dan mengambil berkas yang Zoya berikan tadi. Meneliti beberapa saat dan kembali menatapnya dengan lekat. Zoya menegakkan tubuhnya saat sadar Gama memperhatikan. Berharap tak ada yang harus kembali direvisi agar dia bisa mengerjakan pekerjaan
Zoya menarik nafas dalam dan beranjak dari duduknya. Sekuat hati dia berusaha untuk tetap tenang. Ingat, harus banyak bukti untuk bisa memberontak dari pria seperti Zein jika tidak ingin hanya dijadikan angin lalu oleh pria itu. Zoya tersenyum menyambut langkah suaminya yang mendekati dan segera mengambil alih tas dan juga jas Zein. Sebenarnya ada rasa takut untuknya kelak memberontak. Zoya tak memiliki siapa-siapa lagi selain Zein. Jika dia dicampakkan oleh Zein lalu bagaimana dengan nasibnya kelak. Zoya melangkah mendekati Zein yang mulai membuka kancing lengan kemejanya. Dengan sigap pun Zoya mulai membantu membukakan kancing kemeja yang Zein kenakan. Aroma parfum yang sudah bercampur dengan parfum wanita membuat dada Zoya semakin sesak bahkan tangannya sedikit gemetar karena dia harus menahan rasa sakit yang semakin dalam. "Mas, tau kamu pulang lebih cepat. Aku tadi minta jemput sekalian. Aku lelah banget, Mas. Mana harus menunggu taksinya lama." "Jangan manja!" k
"Jadi Zoya sudah pulang? Kenapa Gama tidak mengabari Ibu ya? Padahal kita bisa menjenguk lagi. Ibu ingin sekali bertemu," ujar Nenek pada Sinta. "Kurang tau, Bu. Mungkin belum sempat. Nanti kapan kita ke rumah mereka saja. Tidak perlu khawatir! Masih banyak hari untuk menjenguk Zoya, Bu." "Iya betul, sekalian juga bertemu Sena. Apa kamu tidak rindu pada putrimu? Sejak menikah Sena belum pulang. Nanti bisa sekalian menginap di rumah ini dengan Zoya juga. Semoga mereka akur." Sinta tak menjawab, entah setiap kali membicarakan tentang Sena wanita paruh baya itu selalu memilih diam. Doa untuk Sena masih tersemat rapi, tapi untuk membahas lebih lanjut, Sinta enggan. "Mudah-mudahan, Bu." Nenek memperhatikan menentunya dengan lekat. Beliau seolah paham jika ada sesuatu yang tidak beres dengan Sinta. "Ada apa, Sinta? Apa ada masalah dengan Sena?" Sinta tersenyum miris mendengar itu. Ibu dari Sena itu menarik nafas dalam kemudian menatap kembali Nenek yang begitu terlihat i
Zoya terkekeh saat Gama sangat terlihat marah sekali. Hanya bertanya tetapi rupanya apa yang ditanyakan membuat pria itu hawanya ingin ngamuk saja. Dia melihat Gama turun dan membelikan apa yang ia inginkan. Tawa yang berbau menjadi sebuah senyuman. Zoya memperhatikan Gama dengan hati yang menghangat. Zoya tau, Gama tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Mengantri hanya demi sebuah rujak di tepi jalan. Zoya itu atasan yang apa-apa memerintah saat menginginkan hal yang tak mungkin dilakukan. Maklum, mengingat Gama adalah seorang pemimpin perusahaan besar yang banyak diketahui orang. Hal seperti ini tentunya tidak mungkin pria itu lakukan. Namun demi istrinya Gama mau melakukan itu. Zoya begitu terkesan melihat suaminya. Hanya saja tak banyak yang ia katakan. Hanya binar kebahagiaan terpancar begitu bangga pada Gama yang mau menuruti semua inginnya. "Ini Sayang." "Waahhh.... Banyak banget, Mas. Kamu beneran borong? Ish padahal tidak perlu begitu! Tapi.... Aku suka." Zoy
Hari ini terasa sedikit berta untuk Gama yang sedang menghadapi moodnya istri. Dari yang manja, mandiri, sampai banyak ingin, dan terakhir ngamukan. Sampai-sampai Gama pun memilih untuk tidak mengganggu. Gama membiarkan Zoya tidur dan menikmati satu malam lagi di rumah sakit. Padahal dari tatapan pria itu, Gama sangat ingin mendekati dan memeluk Zoya. Mengecup dan kembali manja-manjaan seperti sebelum sang istri sakit. Namun hal itu jauh dari ekspektasi. Bahkan sampai sudah mau pulang pun Gama masih saja mode sabar akan keinginan Zoya yang semakin aneh-aneh saja. "Mas make up aku mana? Kenapa di tas aku nggak ada?" tanya Zoya seraya mengobrak abrik isi tasnya. Sepertinya Zoya lupa jika sebelumnya sengaja tidak memasukkan banyak make up dan juga ada yang dia tinggal di kantor sebelum kejadian itu. Hanya tersisa lipstick saja yang masih tersisa dari banyaknya make up yang ia gunakan. Saking lamanya kritis hingga dinyatakan koma, membuat Zoya banyak lupanya. Masih harus l
Zoya akhirnya bisa menikmati makanan yang ia inginkan. Dia melirik Gama yang meringis saat dia menggigit kepingan jengkol. Rasanya sedap lebih sedap lagi seraya melihat Gama yang ngilu sendiri memperhatikannya. "Kalau tidak suka keluar dulu saja, Mas! Jangan di sini! Kamu menyiksa dirimu sendiri." "Kamu kenapa jadi bar-bar begini, Sayang? Astaga... Itu akan sangat... " "Stop, Mas! Jangan katakan bau lagi,oke! Aku ingin menikmati makanan ini tanpa ada kata bau. Kamu jangan mendekat jika tidak suka." Gampang bagi Zoya mengatakan itu tetapi tidak bagi Gama yang merindu, tapi kalau sudah bau begini apa Gama masih mau? Zoya makan dengan lahapnya. Kapan lagi bisa menikmati makanan senikmat ini. Zoya sendiri saja bingung kenapa dia begini. Namun tak ingin banyak pikiran, dia makan saja sampai menyisakan nasi yang tidak habis. "Mas buat kamu!" Zoya menyodorkan bungkusan yang masih menyisakan nasi dan juga telur dadar yang nikmatnya luar biasa tapi karena perut Zoya tidak muat
"Maaf sebelumnya, mungkin suatu keteledoran bagi kami jika ada yang terlewat, tapi memang semua bersifat urgent untuk menyelamatkan nyawa. Jadi harus bergerak ke cepat mengeluarkan peluru yang ada di dalam tubuh pasien." "Saya hanya menduga, tapi sebaiknya segera diperiksa. Hanya saja memang sebelumnya belum ada. Mungkin masih sangat baru. Untuk lebih lanjutnya seperti apa, bisa tanyakan langsung pada pada dokter khusus." "Baik, Dok." Tidak menyalahkan siapapun. Mungkin ini suatu hadiah dari Tuhan atas kesabaran mereka. Kesabaran Zoya menunggu, kesabaran Gama juga yang berusaha kuat untuk terus menemani sang istri. Semua hanya kuasa Tuhan. Yang terpenting sekarang Zoya sehat. Tak ada lagi yang Gama beratkan jika sudah melihat istrinya kembali pulih. "Tapi Dok, saat kejadian itu saya belum hamil. Kalau nggak salah beberapa hari setelah saya halangan." "Mungkin ada doa yang terselip dan baru diijabah. Kita tidak pernah tau akan apa yang terjadi ke depan. Bahkan untuk ko
"Persetan dengan pandangan orang lain, Sayang! Yang terpenting kamu istri aku. Apa kamu nggak yakin sama aku? Akun yang akan mengatasi semuanya. Kamu tenang saja!" sahut Gama. "Itu sama saja kamu mengorbankan dirimu, Mas! Kamu mengorbankan semuanya hanya untuk hal yang seharusnya tidak kamu lakukan!" "Tidak perduli! Setidaknya aku bisa balas dendam. Apa kamu takut aku akan jatuh miskin, Sayang?" tanya Gama dengan kedua alis terangkat. "Nggak gitu, Mas. Hanya saja orang akan menganggapmu itu plin-plan, orang akan menganggapmu itu licik, apa kamu tidak berpikir jika hal itu akan mempengaruhi pada pekerjaan kamu?" "Aku pastikan itu tidak akan terjadi, Zoya! Tapi jika itu terjadi, aku sudah siap demi kamu. Aku tidak takut akan apapun kecuali kamu meninggalkan aku." "Mas.... " Cup Gama menyapa bibir Zoya yang sejak tadi membuatnya pria itu gemas. Menyapa setelah lama tak berdua. Zoya pun tidak melarang, tidak juga menghindari dan justru terpejam menikmati. Sapuan lem
"Sayang.... " "Keluar, Mas! Kamu tidak tuli 'kan?" tanya Zoya dengan sangat jengkel sekali. Rasanya ingin getok kapala Gama. Hawanya kok ya kesal. Tatapan mata Zoya tajam pada Gama yang memperhatikan dengan begitu intens. "Kenapa, Yank?" tanya Gama. "Keluar! Nggak ada apa-apa. Sana!" Zoya mendorong tubuh Gama yang tidak mau mendengarkan. Sewot sekali Zoya tetapi sayangnya Gama tidak mau menyerah. Gama tidak kunjung beranjak dari sana. Tidak mau juga pergi dari samping Zoya. Tidak mau sama sekali meninggalkan Zoya yang saat ini tengah merajuk. Mimpinya Zoya bangun, mereka akan melepaskan rindu. Namun sayangnya tidak begitu. Keduanya malah musuhan setelah Zoya sadar. "Jangan gini, Sayang! Aku di sini aja. Kamu kalau main tidur silahkan! Jangan banyak yang dipikirin biar kamu cepat sembuh. Kamu terlalu overthinking Sayang. Aku. temani ya." Gama mengusap kepala Zoya. Pria itu tidak sama sekali membiarkan Zoya sendirian. "Mas kamu tuh kenapa sich? Nggak ngerti banget tau
Lama Dokter memeriksa sampai dimana ruangan itu kembali terbuka. Gama oun bergegas beranjak dari sana kemudian mendekati dokter tersebut. "Bagaimana dengan istri saya, Dok?" tanya Gama dengan wajah yang sangat khawatir sekali. Namun sebisa mungkin berpikir positif akan semua yang terjadi. Sudah cukup dia merutuki dirinya sendiri tadi. "Kondisinya sudah kembali stabil. Jangan dulu diajak bicara banyak dan juga jangan biarkan lama-lama berinteraksi karena masih dalam tahap pemulihan. Pasien masih harus banyak beristirahat." "Baik Dok. Apa saya sudah boleh masuk? Saya ingin bertemu, Dok." "Silahkan tapi pasien belum ingin bertemu. Kebetulan sudah kembali sadar dan mengatakan pada saya jika ingin lebih dulu sendiri. Jadi saya sarankan jangan dulu diganggu! Ini semua demi kesehatan pasien. Nanti jika sudah lebih baik lagi, Bapak bisa kembali menjenguk." Gama menghela nafas berat mendengar itu. Jadi tidak boleh dulu bertemu? Padahal ingin sekali dia menjelaskan dan memeluk Zoy
"Aku tidak keberatan, Pah. Aku akan ikut kemana pun suamiku berada. Tidak usah memikirkan aku. Lagi pula Zoya sedang sakit, tidak mungkin aku bersenang-senang di saat dia sedang seperti ini." "Syukurlah, ya sudah kami pamit. Jaga dirimu baik-baik! Papah selalu merindukanmu, Nak." "Iya, Pah." Mereka pun pergi, Gama dan Sena masih di sana sampai ketiga keluarga mereka sudah tak lagi terlihat. Gama diam memperhatikan kemudian menoleh ke arah Asisten Dito yang terdiam si belakangnya. "Bawa pulang dan pasung dia!" DEG. "Kak!" Sena hendak meraih tangan Gama tetapi Asisten Dito lebih dulu menangkap tubuh wanita itu. "Baik, Tuan." "Lepaskan aku!" pinta Sena dengan wajah panik. "Kak aku tidak gila kenapa kamu memasungkku?" seru Sena menghentikan langkah Gama yang hendak masuk ke dalam. "Siapa bilang kamu tidak gila? Orang gila yang akan menyakiti tanpa berpikir panjang karena dia tidak punya otak!" sahut Gama kemudian masuk kembali ke ruangan Zoya sedangkan Sena kemba