"Mas kenapa Sena menyalahkan Bibi dan Paman? Sena tau dari mana? Apa mungkin ..." "Mungkin Dito yang memberitahukannya. Biarkan saja!" "Tapi Mas, kasihan Bibi ..." Zoya terus memperhatikan dengan kedua mata yang memerah. Melihat Sena yang menaruh kebencian pada ibunya sungguh membuat hati Zoya teriris jadinya. Dia yang sudah lama ditinggal ibunya merasakan betul bagaimana rasanya kehilangan tetapi Sena justru terkesan memusuhi orang yang sudah melahirkan wanita itu. "Jika kasihan mungkin sekarang memang sudah waktunya tetapi kesalahan itu sudah sejak lama dipupuk hingga Sena menjadi anak yang pembangkang dan juga nekat. Bukan salah kita! Boleh iba tetapi bukan terus dikasih hati." Zoya mengangguk paham. Paham jika Gama tengah mengingatkan padanya untuk tidak terlalu memberikan hati dan agar lebih berhati-hati juga. Memang Zoya terlalu baik hingga terkadang kebaikannya dimanfaatkan oleh orang lain tetapi kali ini berbeda. Zoya sangat iba melihat Bibi Santi diperlakukan
Santi pun ikut masuk ke dalam mobil setelah Gama memperbolehkan ikut. Itu pun karena bujukan Zoya yang tak mungkin meninggalkan Bibi Santi di sana sendirian. Kedua mata beliau bengkak, terlihat sangat sedih dan juga bingung karena suami beliau yang tiba-tiba pergi. Alhasil Zoya pun berhasil membawa Bibi ikut pulang. Mereka segera menuju rumah besar keluarga Atmanegara dengan mobil Gama yang melaju mengikuti mobil ambulan. Di depan sana mobil ambulan membawa jenazah Nenek. Tadinya Bibi mau ikut mobil itu tetapi Zoya tidak melarang. Kasihan Bibi sendirian di sana sedangkan dia jelas dilarang oleh Gama. Surat-surat sudah komplit dan administrasi pun sudah terselesaikan dengan baik. Semua pun Gama yang mengurusnya hingga tuntas sedangkan di rumah sudah banyak para tamu yang datang melayat setelah tadi Bibi menyebarkan berita kematian Nenek pada ketua RT di sana dan juga tersebarnya kabar dengan mudah dari mulut ke mulut serta media sosial atas nama Atmanegara company. Sampai di
"Gama, ingat pesan Nenek!" Secarik kertas bergoyang di tangan Gama yang gemetar. Kabar dari dokter dan juga surat wasiat terakhir yang Nenek berikan membuat semua histeris termasuk Gama yang saat ini kembali menitikkan kedua air mata. Zoya pun segera berlari masuk untuk melihat Nenek bersamaan dengan Santi yang juga segera melihat sendiri bagaimana kondisi Nenek sekarang. Beliau sudah tak bernyawa. Sudah lebih dari lima menit lalu semua alat yang terpasang di tubuh beliau tak lagi menempel membantu. "Nenek!" seru Zoya dengan derai air mata membasahi pipi. Pertemuan yang membingungkan hingga perkenalan yang sudah menarik hati Zoya sangat membekas di kalbu. Sikap Nenek yang baik pun sangat dikenang dan akan tetap diingat selalu. Isakan lirih dari Zoya dan juga Santi yang mana mantu sangat terdengar menyedihkan sedangkan kedua pria yang bergelar keluarga kandung berdiri lemah mematung masih tak menyangka jika beliau berpulang secepat itu. Gama melirik Bara yang kini tertun
"Nek jangan bilang begitu! Nenek harus kuat." Zoya memeluk Nenek tetapi beliau seperti kesulitan bernafas dan semakin lama semakin melemah. "Mas! Mas! Nenek, Mas!" pekik Zoya kemudian Gama pun beranjak dan meraih tubuh Nenek. "Nek kuat, Nek! Gama belum bisa membahagiakan Nenek. Bangun! Jangan pergi dulu!" kata Gama yang kemudian memeluk Nenek seraya mengusap kepala beliau. Zoya menangis melihat itu sedangkan Santi dan Bara segera mendekati kemudian meraih tubuh Nenek. Semua panik, Gama juga sudah menitikkan air mata dan Zoya mengusap pundak suaminya untuk menguatkan pria itu. "Nek! Aku mohon." Gama terlihat sangat sedih sekali kemudian menoleh ke arah Zoya. "Sayang panggil dokter sekarang!" perintah Gama dan Zoya segera keluar karena tombol yang menghubungkan pada dokter tak kunjung membuahkan hasil sedangkan Bara dan Santi tidak ada pergerakan sama sekali. Mereka panik sampai dimana Dokter yang Zoya panggil pun segera datang untuk segera memeriksa kondisi Nenek. "Silahkan
"Tapi aku tidak setuju! Bagaimana bisa Ibu meminta keluargaku terusir dari keluarga Atmanegara? Aku pun berhak menjadi anggota dari keluarga itu. Aku justru anak Ibu. Tidak sepantasnya aku yang harus terbuang dan kalah dengan seorang cucu yang baru ditemukan." Bara menunjukkan kembali taringnya. Otaknya entah kemana sampai-sampai Zoya menggelengkan kepala kemudian melirik Gama yang masih diam. "Ibu tidak tau bagaimana sikapnya. Ibu pun tidak tau bagaimana perangainya. Sekarang anakku menjadi korban dan akan bagaimana nanti? Aku dan keluargaku pun akan menjadi korban selanjutnya? Ibu justru mengijinkan kami dibuang olehnya. Apa memang ini rencana Ibu untuk menendang keluargaku dari keluarga Atmanegara?" " Ibu sudah muak denganku. Begitu, Bu? Dengan perantaranya dan dengan mudahnya Ibu meminta dia mengusirku dari keluarga yang sejak dulu aku jaga. Ibu sakit tetapi aku tidak habis pikir jika Ibu justru memintanya untuk mengeluarkanku dari keluarga besarku sendiri." Sontak semua m
"Cukup, Mas! Kalian ini apa-apaan? Kalian ini anggota keluarga yang pantas berada di sini. Jangan membuat kegaduhan! Kasihan Ibu sedang kritis. Kamu juga Mas! Masih bisa kamu menantang Gama? Gama yang dicari Ibu sejak tadi. Kamu harusnya memberikan kesempatan untuk Gama masuk. Tidak cukup tadi kamu sudah membuat ibu sampai sakit dan sekarang kamu ingin membuat keributan lagi yang membuat kondisi beliau semakin parah? Apa kamu sudah sangat siap kehilangan Ibu, Mas?" Santi akhirnya turun tangan atas apa yang terjadi sedangkan Zoya lebih menenangkan suaminya dan tidak berani melerai apalagi Bara begitu sangat menyeramkan. Zoya sendiri tidak ingin sampai kena amuk oleh Bara yang nantinya justru semakin membuat Gama murka dan gelap mata. Tadi saja Gama sudah hendak mengayunkan tangan. Beruntung Bibi Santi segera mendekati dan menghentikan perdebatan ini yang sudah hampir berujung baku hantam. "Kamu membela dia, Santi?" tanya Bara dengan tatapan penuh emosi. "Lagi-lagi kamu bertan