Share

JULIAN'S FEAR

“SIAL!” Caroline mengumpat setelah ditinggal Maggie sendirian.

Caroline memejamkan matanya, mencoba untuk menenangkan dirinya.

“Baiklah, mari kita coba.”

Caroline mencoba untuk berteleportasi menggunakan pikirannya. Caroline membayangkan hutan tempat dimana dia bersama Maggie tinggal. Beberapa detik kemudian dia mulai merasakan perbedaan suasana di sekitarnya. Suasana yang awalnya sunyi di perkampungan sepi, kini dia merasakan suasana yang begitu dia kenal. Harum bunga yang biasanya dia hirup itu kini dia rasakan lagi. Caroline membuka matanya, dia mengamati suasana yang telah lama ia tinggalkan itu. Caroline berdiri di tengah-tengah kebun bunga mawar yang berada di halaman belakang istananya. Caroline tersenyum bahagia melihat bunga-bunga itu, senyum pertama ketika dia bangkit kembali. Caroline menyentuh kelopak merah bunga berduri nan cantik itu, mencium wangi yang bisa melunakkan hatinya yang kini tengah mati.

Caroline berjalan menyusuri taman itu, ingatannya menyusuri kenangan pada setiap sudut istana. Kenangan bersama ayahnya, kenangan bersama ibunya dan kenangan selama dia menjadi tuan putri kebanggaan Rosweld Island. Wajah Caroline berubah menjadi sedih ketika satu-persatu kenangan itu muncul dalam ingatannya.

“Hahaha, sayang hati-hati.” Riuh suara itu membuat Caroline mengalihkan pandangan melihat beberapa wanita yang tengah tertawa riang itu.

Tak lama setelah itu sosok lelaki muncul mengejutkan seorang gadis kecil yang berlari kecil, lelaki itu menggedongnya dan berputar-putar membuat gadis kecil itu tertawa memeperlihatkan empat giginya.

Caroline yang berdiri jauh dari arah belakang lelaki itu menyeringai melihat kebahagian mereka. Kilatan cahaya jingga kembali mengalir di seluruh tubuhnya hingga membuat mata coklat itu berubah menjadi jingga menyala.

Ratu Anastasya yang berdiri di hadapan Julian yang sedang menggendong putri kecilnya itu membelalakkan mata.

“Putri Caroline?” gumamnya setelah dia melihat Caroline yang berdiri di belakang Julian dari kejauhan.

Julian menoleh dan berbalik mengikuti arah pandangan ratu Anastasya yang kini telah menjadi Ratu Rosweld Kingdom.

“Apa yang membuatmu terkejut seperti melihat hantu, Ibu?” tanya Julian bingung melihat ekspresi ratu Anastasya yang terpaku di tempatnya.

“Caroline, Aku melihat Putri Caroline di belakangmu tadi.” Ratu Anastasya tergagap menjelaskan itu.

Julian memegang kedua bahu ratu Anastasya, “Ibu, dia sudah mati di dalam hutan. Dia tidak mungkin akan memasuki istana karena penjagaan kita sangat ketat di perbatasan.” Julian mencoba untuk menenangkan ratu Anastasya.

“Jika memang seperti itu berarti arwahnya menghantui istana ini, dia … dia sangat menyeramkan tadi.”

Julian menatap ratu Anastasya dengan iba, sudah berulangkali ratu Anastasya sangat ketakutan dengan mimpinya bertemu Caroline.

“Bawa ratu kembali.” Julian menyuruh pelayan wanita untuk mengantarkan ratu Anastasya kembali ke kamarnya.

Gadis kecil yang berada dalam gendongan Julian merangkul Julian dengan sangat erat, “Jangan takut ada kakak di sini. Kakak akan selalu menjagamu,” ucap Julian seraya membalas pelukan gadis kecil itu. Mendekapnya lebih erat untuk bisa membuatnya nyaman.

 Julian berbalik dan menatap arah kebun mawar yang berada tepat di belakangnya. Sorot matanya memperlihatkan sisi kejam ketika dia kembali mendengar nama Caroline. Pikirannya kembali terusik, benarkah Caroline masih hidup? Pertanyaan itu terus muncul dalam pikirannya.

***

“Apa yang kamu lakukan?” Maggie menghentakkan tubuh Caroline ketika dia telah sampai di depan rumahnya di dalam hutan.

“Kenapa kamu mencegahku dan membawaku kembali? Sedikit lagi aku bisa membunuh bajingan itu.” Caroline berteriak tak terima ketika Meggie menariknya kembali dari istana tadi.

“Aku sudah katakan jika kekuatanmu masih belum pulih, Lihat! Bukankah kamu masih belum mampu untuk berteleportasi?”

Perdebatan mereka menarik perhatian Ester dan Adrian yang berada di dalam rumah, mereka keluar dengan sedikit berlari untuk menghampiri Caroline dan Maggie.

“Aku sudah mencoba tapi takdir yang membawaku kembali ke sana.”

“Bukan, itu bukan takdir tapi hatimu yang menginginkannya. Hatimu yang menginginkan untuk kembali ke sana.” Maggie menekankan perkataannya untuk membuat Caroline bisa sadar akan perbuatannya yang sangat berbahaya itu.

“Lalu berapa banyak nyawa yang harus aku ambil? Berapa banyak aku harus menghisap mereka agar aku bisa segera menghabisi mereka yang saat ini tengah tertawa riang di dalam istanaku?”

Adrian dan Ester membulatkan matanya ketika mendengar ucapan Caroline itu.

“Putri, apa anda sudah membunuh seseorang?” tanya Ester dengan pandangan curiga kepada Caroline.

Caroline tak menjawab, dia hanya terdiam membisu. Adrian yang mengetahui arti itu langsung berlutut dan munundukkan badannya di hadapan Caroline.

“Yang Mulia, jika memang itu bisa membuat kekuatan anda kembali maka aku bersedia mengorbankan nyawaku untuk anda.”

Raut kemarahan di wajah Caroline memudar, dia memandang Adrian dengan tatapan sendu. Caroline menghampiri Adrian yang tengah berlutut itu, dia menyentuh kedua lengannya seraya menuntunnya untuk berdiri.

“Aku hanya punya kalian berdua, jadi tolong jangan seperti ini.”

“Putri, tolong anda dengarkan apa kata perempuan itu. Kami tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada diri anda.” Ester menggenggam tangan Caroline dengan tatapan memohon.

Caroline menganggukkan kepalanya, saat ini hanya Ester dan Adrian lah yang bisa melembutkan hati Caroline. Mereka satu-satunya keluarga yang dia miliki.

***

Julian masih kalut dengan pikiran yang belakangan hari ini menghantuinya. Dia kini tengah duduk di atas singgasananya. Singgasana yang dia rebut dari raja Charlot, ayah Caroline.

“Julian.” Panggilan Raja Alexander itu membuat Julian tersadar.

Julian menatap ayahnya yang masuk ke dalam aula kerajaan dengan wajah cemas itu.

“Ada apa ayah?” tanya Julian.

“Apa yang telah terjadi? Apa benar perempuan itu kembali lagi?” Raja Alexander menanyakan tentang rumor yang tengah beredar di istana kepada Julian.

“Apa ayah sekarang juga termakan dengan rumor istana?” Julian mengejek raja Alexander.

“Bukan seperti itu nak, tapi rumor ini sudah menyebar keluar istana. Dan ada saksi mata yang melihat perempuan itu di istana ini.”

Perkataan ayahnya itu membuat Julian terdiam sesaat,

“Bawa saksi mata itu kehadapanku.” Perintah Julian kepada para pengawal istana itu.

Tak berselang lama, para pengawal kembali dengan membawa seorang wanita muda dengan pakaian pelayan itu masuk ke dalam aula kerajaan. Pengawal itu menggiringnya dan menghadapkannya kepada Julian dengan sangat kasar.

Julian mengamati wanita itu, menatapnya dengan tatapan yang sangat mengintimidasi. Wanita itu tertunduk dengan kedua tangan yang dia genggam dengan bergetar.

“Apa benar kamu melihat Caroline?” tanya Julian.

Wanita itu seketika berlutut dan mengatupkan kedua tangannya. “Maafkan saya pangeran, tapi saya memang melihat putri Caroline di perkebunan bunga beberapa hari yang lalu.”

“Bagaimana penampilannya?”

“Putri…Putri terlihat sangat pucat. Rambut cokelatnya lebih terang. Hamba mohon, maafkan hamba Pangeran. Hamba hanya melihatnya sekilas dan hanya bagian sampingnya saja.”

Tampak kecemasan di raut wajah Adrian setelah mendengarkan perkataan pelayan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status