Share

Bab 3. Zaman Yang Berbeda

Sekarang sudah hampir 1 minggu, tubuh Ajeng sudah mulai pulih perlahan-lahan, dia sudah mulai bisa menggerakkan seluruh tubuhnya. 

"Bosan sekali, kenapa didalam ruangan ini terlalu banyak buku sastra ketimbang novel!" Ajeng berdecak kesal, menatap seluruh rak buku.

Diluar ruangan terdengar suara kedua Kakaknya sedang ribut, "Pasti mereka akan datang kemari..." Ajeng langsung membuka pintu ruangannya, dan tersenyum manis menyambut mereka berdua.

"Wah, tiap hari kau semangkin tambah cantik Dik jika tersenyum." Goda Cakara, berpangku tangan melirik Ajeng.

"Lupakan, apa kakak tidak ingin masuk?" Tanya Ajeng

"Tentu saja kami ingin masuk." Sahut mereka berdua serentak, tanpa berpikir untuk bersamaan dari awal.

Didalam ruangan Dewandaru dan Cakara duduk saling berhadapan, sementara Ajeng sedang menyajikan segelas teh untuk mereka bertiga nikmati.

"Ada apa gerangan Kakak kemari?" Tanya Ajeng, langsung keintinya saja.

"Ternyata kau paham juga yah, baiklah biar Cakara yang menjelaskan." Kata Dewandaru tertawa kecil.

"Hari ini kami akan pergi ke Bhumi karena panggilan mendadak dari Prabu Lakeswara Lingga, Ayah juga akan ikut... Tapi, maaf kami tidak bisa membawamu pergi. Kami takut didalam perjalanan..."

"Iya, tidak masalah kak. Aku paham, kalian pergilah jaga diri baik baik yah dan jangan khawatirkan aku. Dan tolong jaga Ayah dengan baik." Sela Ajeng

Cakara tersenyum simpul saat menoleh kearah Dewandaru, sebelum akhirnya mereka pergi dari ruangan.

"Kami hanya akan berada 3 hari di Bhumi, jika kau bosan berada didalam kediaman ini ajak Rahadi Byakta untuk menemanimu berkeliling pasar senja." Jelas Tuan Wajendra sebelum naik keatas kuda.

"Baik Ayah, tolong perhatikan kesehatanmu selama perjalanan, Kakak juga." Seru Ajeng 

"Yah, kalau begitu kami berangkat dulu, sampai jumpa."

"Sampai jumpa kembali..."

Tuan Wajendra dan kedua Putranya pergi menuju Bhumi, dengan membawa 100 orang prajurit menemaninya. Sisa prajurit ia tinggalkan dikediaman Jendral untuk menjaga keamanan Ajeng Adiwidya.

"Nona, segeralah bersiap siap kita akan pergi ke pasar senja bersama Tuan Rahadi Byakta beberapa saat lagi." Ujar seorang dayang yang sering melayani Ajeng.

"Baiklah..."

Rahadi Byakta adalah orang kepercayaan Tuan Wajendra diumur 21 tahun, walaupun cukup terbilang sangat mudah tapi dia sudah mampu menanggung semua beban itu seorang diri. Selain Tuan Wajendra dia tidak akan menerima perintah dari siapa pun, baik itu Prabu ataupun Raja Muda.

"Bagaimana penampilanku?" Tanya Ajeng setelah selesai bersolek didepan cermin buram.

"Anda kelihatan lebih cantik Nona, tapi..." Ucapan Dayang itu pun tergantung.

"Tapi kenapa?" Tanya Ajeng penasaran akan jawaban selanjutnya.

"Dimasa pemerintahan Prabu Lakeswara Lingga seorang wanita dilarang menggerai rambutnya, baik dia keturan bangsawan pribumi." Sambung Dayang menunduk kebawah tidak berani menatap wajah Ajeng.

"Ah, tidak masalah kita kan berjalan disore hari bagaimana mungkin Prabu bisa melihatnya? Lagian letak Bhumi dengan kediaman Jendral terbilang sangat jauh." Ajeng terlalu keras kepala, kalau sudah begini Dayang bisa apa.

Mereka pun berangkat dengan tandu yang ditarik oleh kuda, disekiling tandu ada begitu banyak prajurit bertumbuh kekar menjaga keamanan Ajeng.

"Berapa lama lagi kita akan sampai?" Tanya Ajeng, sambil mengipas lehernya karena merasa gerah begitu lama berada didalam tandu.

"Sebentar lagi Nona." Jawab Dayang

Hari memang sudah tampak senja, tapi setiap jalan yang mereka lalui penuh dengan keramaian walaupun terlihat gelap karena belum ada lampu.

"Aku pikir, orang zaman dulu akan takut keluar dimalam hari karena tidak ada benda penerang disetiap jalan." Pikirnya dalam hati

"Nona, kita sudah sampai ayo turun." Dayang membantu Ajeng turun dari tandu.

"Kalian berpencar seperti biasa, jangan biarkan pengawasan kalian lengah sedikitpun paham?!!!" 

"Paham, Tuan!!"

Para prajutin bertubuh kekar itu menerima perintah dari Rahadi Byakta, mereka pun langsung melaksanakannya dengan cepat tanpa menunggu lama.

"Ugh, udara nya mulai dingin." Cicit Ajeng, tiba tiba Rahadi Byakta memberikan mantel baju nya ketubuh sang gadis.

"Eh, kenapa kau memberikan ini kepadaku?"

"Maaf jika saya lancang, tapi kesehatan anda lebih penting dari semua ini." Jelas Rahadi Byakta begitu sopan.

"Terimakasih, kalau begitu."

Di ujung jalan Ajeng melihat ada begitu banyak raykat jelata meminta minta disana, sambil membawa anak anak mereka. Pakaian mereka tanpa lusuh dan tubuh mereka kelihatan sangat kurus seperti kurang makanan dan minum.

"Apa kalian memiliki uang?" Tanya Ajeng langsung kepada Rahadi Byakta dan dayang.

"Uang? Apa itu uang?" Tanya mereka serentak, karena tidak paham dengan ucapan Ajeng barusan.

"Astaga, aku lupa kalau ini bukan zaman modern." Desis Ajeng, menggutuki diri sendiri.

"Ah maksudku, aku ingin membeli sesuatu. Berikan aku, sebuah benda yang bisa digunakan sebagai alat pembayaran." Lugas Ajeng, kebingungan dengan ucapan sendiri.

"Anda meminta Kepeng?" 

"Ah iya Kepeng, aku lupa." Balas Ajeng, menerima 2 kantung Kepeng emas.

---------------------------------------------------------------

Halo, dukung aku terus yah. Maaf jika banyak kata yang masih typo,🙏

Note:

-Bhumi: Pusat Kota Kerajaan

-Kepeng: Uang koin berbentuk emas

-Dayang: Pembantu para anak bangsawan.

-Pribumi: Adalah keturunan bangsa asli dari tempat tinggalnya.

-Bangsawan: Anak berdarah biru

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status